Anda di halaman 1dari 29

3.

ISI REVIEW

A. Latar Belakang dan Tujuan

Wasting (Malnutrisi Akut) adalah kekurangan atau kehilangan berat badan dalam
kaitannya dengan tinggi badan. WHO mengklasifikasikan wasting menjadi berat dan sedang,
sesuai standar pertumbuhan berat/tinggi badan. Malnutrisi akut berat didefinisikan sebagai
wasting berat atau Lingkar lengan kurang dari dari 115 milimeter dan kurang dari 125
milimeter (WHO 2014).

Klasifikasidari pemborosan menimbulkan tantangan dalam mengidentifikasi anak-


anak untuk perawatan. Meskipun baik berat-untuk-tinggi atau pertengahan putaran lengan
cir-cumference terbukti menjadi prediktor yang baik dari kematian, pada keseimbangan,
lingkar lengan atas pertengahan telah menunjukkan daya prediksi yang lebih baik (ENN et
al. 2012). Karena itu, penilaian klinis komplikasi seperti edema pitting bilateral sangat
penting untuk membedakan kasus-kasus berat yang membutuhkan perawatan rawat inap
dibandingkan kasus-kasus tanpa komplikasi yang dapat diobati pada tingkat komunitas.
Anak-anak yang menderita kekurangan gizi akut parah memiliki risiko kematian 11 kali
lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak kekurangan gizi. WHO memperkirakan bahwa
wasting menyumbang sekitar 2 juta kematian di antara anak-anak di bawah usia lima tahun
secara global — 5 persen dari semua kematian dalam kelompok usia tersebut (McDonald et
al. 2013).

Pada tahun 2014, 50 juta anak-anak secara global adalah wasting (UNICEF, WHO,
dan World Bank 2015), sepertiga di antaranya Several Wasting. Dari jumlah total anak-anak
yang tergolong wasting, sekitar 34 juta tinggal di Asia Selatan dan sekitar 14 juta tinggal di
Afrika Sub-Sahara. India, Sri Lanka, Djibouti, dan Sudan Selatan menghadapi beban
terbuang terbesar, dengan lebih dari 15 persen prevalensi di setiap negara, meskipun etiologi
dan penyebab wasting mungkin berbeda di seluruh wilayah. Khususnya di Asia Selatan,
wasting sering terlihat pada anak-anak di bawah usia enam bulan, hal ini menunjukkan
etiologi yang lebih kronis dan sosial seperti gizi ibu yang buruk, praktek pemberian makan
bayi yang buruk, dan status kelas / kasta yang lebih rendah berkontribusi pada tingkat
wasting (Menon 2012) . Beban yang membesar juga berkembang di Timur Tengah dan
Afrika Utara, dengan negara-negara seperti Yaman melihat tingkat wasting lebih dari 16
persen (UNICEF, WHO, dan World Bank 2015). Secara total, 14 negara secara global telah
menyia-nyiakan angka di atas rentang darurat kesehatan masyarakat (lebih dari 10 persen
prevalensi). Tidak seperti pengerdilan, kecenderungan dalam pemborosan mungkin
meremehkan beban wasting yang sebenarnya karena ini adalah ukuran insiden akut atau
jangka pendek dalam malnutrisi, yang dapat terjadi selama masa puncak kelaparan, krisis,
periode panen rendah, atau serangan penyakit. Oleh karena itu selama waktu survei, yang
mungkin di luar puncak musiman dalam wasting, prevalensi kasus insiden yang relatif besar
mungkin terlewatkan. Meskipun demikian, prevalensi kurus tetap stabil pada 8 persen secara
global dengan penurunan minimal baru-baru ini hingga 7,5 persen (UNICEF, WHO, dan
World Bank 2015).

Tujuan :

Untuk mengurangi prevalensi wasting, akibatnya, serta pencegahan dan pengobatan


wasting. Untuk mencapai target, strategi yang efektif diperlukan untuk menangani kasus-
kasus saat ini dan untuk mencegah kasus wasting di masa depan

Sasaran Organisasi Kesehatan Dunia 2012 adalah untuk mengurangi dan


mempertahankan Wasting anak hingga kurang dari 5 persen. Seperti target stunting, target
World Health Assembly untuk membuang-buang telah dimasukkan ke dalam Tujuan
Pembangunan.

B. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah Metode Kohord, sesuai dengan tujuannya untuk
mengurangi prevalensi wasting, akibatnya, pencegahan dan pengobatan wasting.
Yakni adanya kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Jenis intervensinya yakni
pemberian suplemansi makanan dan suplemansi mikronutriens (termasuk suplemen
nutrisi lipid, makanan hangat, susu fortifikasi, kesehatan dan pendidikan higiene)
pada anak anak balita.
2. Subjek Penelitian
 Pemilihan Sampel
Sampel yang digunakan sebanyak 37 negara. Angka tersebut menunjukkan bahwa
37 negara menyumbang 85 persen dari beban global stunting. Berdasarkan penilaian
ini, keputusan dibuat untuk secara sistematis memisahkan jumlah negara dalam
sampel ke 4 kategori pada tujuan analisis ini. Jadi 37 negara dimasukkan untuk
stunting, 26 untuk anemia, 27 untuk menyusui, dan 24 untuk wasting (tabel 1.1).
Pendekatan ini memungkinkan perkiraan global dikembangkan secara lebih efisien
mengingat tingkat upaya yang diperlukan untuk memperoleh, seringkali sedikit,
informasi tentang perkiraan biaya dan dampak

Tabel 1.1 Pembagian Jumlah Sampel

Number of Percentage of the Multiplier used to extrapolate


countries in global burden the cost to estimate financing
Target the sample captured in the needs for all low- and middle-
sample income countries

Stunting 37 84.0 1.19

Anemia 26 82.2 1.22

Breast 27 78.1 1.28


feeding

Wasting 24 82.9 1.21

Setiap sampel mencakup 20 negara dengan beban tertinggi aspek tertentu gizi
buruk (yaitu, jumlah tertinggi anak stunting, perempuan usia reproduksi yang
menderita anemia, dari anak n di bawah usia enam bulan yang tidak diberi ASI
eksklusif, dan anak-anak di bawah usia lima tahun menderita wasting). Selain itu,
semua negara dengan beban gizi buruk di atas ambang batas prevalensi tertentu
ditambahkan ke sampel masing-masing negara (lihat tabel 1.2 untuk tingkat
ambang batas). Strategi untuk memilih sampel ini memastikan bahwa negara-
negara besar dan kecil dengan beban stunting yang tinggi terwakili. Sampel target
Wasting terdiri dari 24 negara (20 negara dengan beban absolut tertinggi dan 4
negara dengan prevalensi yang lebih tinggi dari 15 persen), bersama-sama
menyumbang 82,9 persen dari beban anak-anak yang wasting.

Tabel 2 : 4 kategori target dengan negara negara pembagiannya

Global nutrition
target (number of 20 countries with Additional countries with
countries in the highest absolute burden highest/lowest prevalence
sample)
Stunting Bangladesh, China, Democratic Benin, Burundi,
(37 countries) Republic of Congo, Egypt, Cambodia,
Ethiopia, Central African Republic,
India, Indonesia, Kenya, Eritrea, Guatemala, Lao
Madagascar, Mexico, PDR, Liberia, Malawi,
Mozambique, Myanmar, Nepal, Niger, Papua New
Nigeria, Pakistan, Philippines, Guinea, Rwanda, Sierra
Sudan, Tanzania, Leone, Somalia, Timor-
Uganda, Vietnam, Yemen Leste, Zambia

Anemia in women Bangladesh, Brazil, China, Republic of Congo,


(26 countries) Democratic Republic of Congo, Gabon, Ghana, Mali,
Egypt, Ethiopia, India, Senegal, Togo
Indonesia, Islamic Republic of Exclusive
Iran, Mexico, Myanmar,
Nigeria, Pakistan, Philippines,
South Africa, Tanzania,
Thailand, Turkey, Uzbekistan,
Vietnam
breastfeeding Algeria, Bangladesh, Brazil, Chad, Djibouti,
(27 countries) China, Côted’Ivoire, Dominican
Democratic Republic of Congo, Republic, Gabon,
Egypt, Ethiopia, Iraq, India, Somalia,
Indonesia, Mexico, Myanmar, Suriname, Tunisia
Nigeria, Pakistan, Philippines,
Tanzania, Turkey,
Vietnam,Yemen
Wasting (24 Afghanistan, Bangladesh, Chad, Djibouti, Eritrea,
countries) China, Timor-Leste
Democratic Republic of Congo,
Egypt, Ethiopia, India,
Indonesia, Iraq, Mali,Myanmar,
Niger, Nigeria, Pakistan,
Philippines, South Sudan, Sri
Lanka, Sudan, Vietnam, Yemen
3. Teknik penggumpulan Data
Pengumulan data secara longitudinal, penelitian jangka panjang dan
membandingkan perubahan subjekpenelitian setelah periode tertentu yakni per 5
tahun hingga tahun 2021-2025
 Mengukur insiden wasting.
Populasi target malnutrisi berat : anak anak usia 6-59 bulan menderita wasting
berat. (pengukuran Weight for Heoght or mid Upprt arm circumference, or
klinical assesment of bilateral pitting edema). Data yang dikumpulkan secara
ekstensif tentang status gizi anak-anak — misalnya, melalui Demografi dan
Survei Kesehatan (DHS) atau Survei Beberapa Indikator Kelompok (MICS) —
mencakup informasi tentang prevalensi wasting yang parah pada tahun tertentu.
 Mengukur Asupan Perlakuan
Untuk mengembangkan cakupan awal, analisis ini bergantung pada data dari
Jaringan Pemantauan Cakupan pada persentase anak-anak yang menderita
wasting berat di tingkat subnasional (misalnya, kabupaten) untuk sejumlah
negara. 4 Database ini didasarkan pada informasi yang dikumpulkan dari
organisasi menerapkan program di lokasi geografis subnasional tertentu. Untuk
negara-negara di mana data cakupan hanya tersedia dari satu wilayah, data ini
digunakan untuk mewakili cakupan di tingkat nasional.
4. Alat pengumpulan data
 Dengan data sekunder, data wasting diambil di masing masing negara dengan
tingkat kabupaten
 Mengamati perubahan setelah diberikan intervensi
C. Gambaran Umum Several Wasting
1. Pengertian Wasting
Wasting merupakan bagian dari kekurangan gizi. Menurut UNICEF, wasting adalah
kurangnya berat badan terhadap tinggi badan sehingga tubuh anak tersebut tidak
proporsional (low weight for height).
2. Epidimiologi Several Wasting di Indonesia
Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen
gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD.
Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3
persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2
%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga
menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 persen (tahun
2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus menurun
dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013. Terdapat 17
provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari
prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau,
Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten,
Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah,
Kepulauan Riau dan Maluku Utara.

Gambar 1: Prevalensi Wasting di Indonesia (Source: RISKESDAS 2013)


3. Epidimiologi Several Wasting di Dunia
Data prevalensi malnutrisi global umumnya disusun berdasarkan data antropometri
anak di bawah usia lima tahun. Sementara data. Rata-rata prevalensi stunting adalah
antara 20% hingga 30% di semua kawasan kecuali Amerika Latin. Nilai tengah
prevalensi kekurangan berat badan adalah 17%, dengan nilai tengah prevalensi
paling tinggi ada di Asia Tenggara (39%) dan paling rendah di Amerika Latin (8%).
Prevalensi wasting adalah sekitar 35% baik di Afrika maupun di Asia Tenggara.

4. Faktor Determinan
Berbagai teori dan kajian telah dilakukan oleh para ahli dalam menelaah masalah gizi dan
kesehatan. Dalam teori Blum, status kesehatan dipengaruhi oleh lingkungan,
pelayanan kesehatan, perilaku dan factor genetik. Kondisi ini tidak berdiri sendiri dan
saling terkait selama masa kehidupan. Selanjutnya, Unicef mengembangkan kerangka
penyebab terjadinya masalah gizi dengan menjelaskan keterkaitan masalah gizi dalam
berbagai tingkatan factor penyebab seperti tampak dalam diagram (Unicef, 1990).
Penyebab mendasar terjadinya masalah gizi adalah kemiskinan dan keterbatasan
sumberdaya alam yang akan mempengaruhi struktur ekonomi masyarakat serta
kemampuan politik dalam mengatur dan mengontrol ketersediaan sumber daya
(manusia dan alam) yang dimiliki oleh suatu Negara.
Di negara-negara miskin/sedang berkembang keterbatasan sumberdaya berpotensi
terhadap rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, yang dinyatakan sebagai
penyebab tidak langsung masalah gizi masyarakat. Keterbatasan akses pangan,
pendidikan yang rendah, keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan, faktor
lingkungan serta rendahnya perhatian kepada anak dan wanita menjadi determinan yang
saling terkait. Akhirnya, masalah penyakit dan rendahnya asupan nutrisi secara timbal
balik menjadi penyebab langsung rendahnya status gizi masyarakat, baik secara
bersamaan ataupun silih berganti dalam lingkaran masalah kesehatan masyarakat.
Kasus gizi buruk muncul sebagai manifestasi adanya masalah gizi di masyarakat.
Penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk adalah kurang gizi dan penyakit
infeksi. Kurang gizi sebagai akibat tidak cukupnya asupan nutrient dapat menurunkan
imunitas tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Sebaliknya, bila anak
menderita penyakit infeksi maka anak tersebut dapat menderita kurang gizi terlebih
bila asupan nutrient dari makanan tidak mencukupi.
Berat badan balita dapat dengan cepat menurun apabila asupan kalori tidak
dapat mencukupi kebutuhannya, terutama bila anak dalam kondisi sakit,
misalnya akibat diare atau kurangnya nafsu makan, sehingga anak akan terlihat
kurus dan menderita masalah gizi akut. Dalam kondisi ini anak membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk bisa mengembalikan status gizinya untuk menjadi
baik; dan bila upaya pemulihan ini sulit terkejar, maka Balita akan mengalami
masalah gizi kronis.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa penyebab utama kematian pada Balita
adalah karena faktor kurang gizi dan BBLR.
Faktor lingkungan sebagai penyebab utama kematian balita gizi buruk adalah
penyakit infeksi. Kejadian penyakit infeksi dapat berawal dari kelahiran BBLR.
Data dari Kabupaten Garut menyebutkan 89 dari 152 kasus BBLR meninggal.
Kurang dari separuh bayi BBLR survive. Bayi dalam masa pertumbuhannya sangat
rentan untuk terserang penyakit infeksi; terutama bila status gizinya sudah
buruk (BBLR)
Faktor perilaku terkait dengan pendidikan yang rendah berpotensi terhadap
rendahnya upaya masyarakat untuk akses ke fasilitas pelayanan. Meskipun
data tentang pendidikan tidak dapat melengkapi analisis ini, namun secara
teoritis hal ini dapat dikaitkan dengan rendahnya cakupan imunisasi di Kabupaten
Garut. Rendahnya perilaku hidup bersih
Fak tor Pelayanan Ke sehat an meliput i ketersediaan fasilitas pelayanan, kecukupan
tenaga pemberi pelayanan, kemampuan petugas, alokasi anggaran tampak sebagai komponen
terbesar terkait kematian akibat masalah gizi buruk. Deteksi dini dan penanganan gizi buruk
yang tidak adekuat berpengaruh langsung terhadap jumlah kematian balita akibat gizi buruk.
Kejadian gizi buruk tidak bersifat akut dan membutuhkan proses yang disertai dengan tanda
dan gejala penyakit, oleh karena itu bila kemampuan petugas bagus, seharusnya masalah dapat
dideteksi sejak dini pada saat kegiatan penimbangan Balita di Posyandu. Bila penyebab
mendasar kejadian gizi buruk dapat dideteksi, seharusnya fatalitas kasus gizi buruk tidak
terjadi. Intervensi utama untuk balita gizi buruk dapat dilakukan melalui penata-laksanaan
kasus gizi buruk termasuk rujukannya; intervensi gizi dengan pemberian makanan tambahan
dan pola asuh Balita; intensifikasi kegiatan di Posyandu termasuk pemberian KMS dan
penyuluhan gizi kepada Ibu Balita; dan akhirnya, komitmen pemerintah Kabupaten Garut
dalam penanganan masalah gizi dan kesehatan yang diwujudkan dalam penalokasian anggaran
yang memadai.
UPAYA-UPAYA
Upaya pemecahan masalah untuk tingkat kabupaten harus dikembangkan dengan
mengacu kepada goals dan strategi yang telah dituangkan dalam strategi nasional. Namun,
pada dasarnya strategi penanggulangan masalah di lapangan dapat dimulai berdasarkan
evidence based dan komitment pemerintah kabupaten Garut itu sendiri dalam meningkatkan
status gizi masyarakatnya melalui pengembangan program intervensi kesehatan Balita
secara langsung maupun tidak langsung.

a) Intervensi langsung
Intervensi langsung dapat dilakukan melalui pemberian makanan tambahan, yaitu
makanan pengganti ASI (MP-ASI) pada bayi. Bila Ibu si bayi mampu menyusui secara
eksklusif enam bulan, makanan pendampin SI diberikan setelah bayi berusia lebih dari 6
bulan, tetapi bila ibu mengalami hambatan dalam menyusui (misalnya: ASI tidak cukup),
maka susu formula perlu ditambahkan pada bayi, khususnya bayi BBLR.

Pada Balita, pemberian makanan tambahan sebaiknya dijadikan program rutin.


Tidak hanya pada Balita gizi kurang/buruk, tetapi seluruh Balita. Kendala dalam hal
alokasi anggaran dari pemerintah harus dipecahkan dengan melakukan re-alokasi dan
prioritas, khususnya pada Balita dengan status gizi kurang dan buruk, agar tidak sampai
mengalami sakit apalagi meninggal.
Pada ibu hamil, terutama ibu hamil yang mengalami kurang gizi kronis (KEK) harus
diprioritaskan untuk mendapat makanan tambahan. Selebihnya adalah diberikan
penyuluhan gizi dan kesehatan serta supplementasi mikro nutrient, antara lain pil
besi, asam folat, kalsium, serta multi vitamin.
Untuk jangkauan yang lebih luas, upaya intervensi langsung dalam pemecahan masalah
gizi juga dilakukan di tingkat remaja, yakni mencukupi kebutuhan gizi remaja (misalnya
pemberian tablet besi pada remaja puteri) sebagai upaya preventif terjadinya anemia.

b) Intervensi Tidak langsung


Masalah gizi, seringkali berakar dari masalah daya beli dan ketersediaan pangan. Bila
masyarakat memiliki daya beli, maka pangan bisa didatangkan. Agar masyarakat
memiliki daya beli, maka mereka harus diberdayakan, yaitu dibukakan lapangan kerja.
Selayaknyalah pemerintah memikirkan dan melakukan upaya pemecahan masalah yang
bersifat menyeluruh dan terpadu antar sector di hulu sehingga dampaknya dapat dirasakan
dalam peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Dari MDGs kita ketahui bahwa pengentasan kemiskinan adalah goal nomor 1, dimana
di dalamnya terkait masalah gizi. Goal ini tidak akan pernah tercapai tanpa adanya
inisiasi dan penggerakan dari pemerintah, mengingat kebijakan MDGs adalah
kebijakan yang mengacu kepada komitmen internasional.
Kegiatan ini membutuhkan integrasi di semua level, baik lintas program maupun
lintas sektoral. Implementasi kebijakan di era otonomi membutuhkan komitmen
ditingkat kabupaten, khususnya dalam hal formulasi anggaran terkait kesehatan. Kekuatan
politik telah mengurangi 'jatah' rakyat untuk memperoleh haknya. Seringkali terjadi
ketidak-sesuaian antara kebijakan dan implementasinya di masyarakat, misalnya
anggaran kesehatan yang sangat kecil.

Peranan Lintas Sektor dan Unit Pelaksana Teknis


Masalah gizi merupakan masalah yang ditangani oleh Dinas Kesehatan/Puskesmas. Pada
dasarnya masalah gizi terjadi sebagai dampak dari masalah kemiskinan, pengetahuan dan
factor budaya. Oleh karena masalah gizi merupakan tanggung jawab Dinas Kesehatan,
maka perlu adanya advocacy dari Dinas Kesehatan kepada Pemerintah Daerah maupun
Dewan Perwakilan Rakyat untuk menaruh perhatiannya (memberikan alokasi anggaran)
kepada kesehatan/gizi masyarakat.
Kemampuan petugas pelaksana gizi (TPG) dalam mendeteksi dan menangani kasus gizi
buruk harus lebih ditingkatkan. Peningkatan kemampuan petugas seharusnya lebih cost-
efektif dibandingkan dengan memberikan intervensi/pengobatan kasus gizi buruk.
Intensifikasi intervensi penanggulangan masalah gizi membutuhkan kerjasama program
maupun lintas sektoral. Di tahun 1974–1984, dikenal istilah Upaya Perbaikan Gizi Keluarga
(UPGK) yang melibatkan integrasi lintas sector yang sangat intensif dengan kegiatan karang
gizinya dan berlanjut menjadi pos pelayanan terpadu (Posyandu) pada tahun 1985. Hal yang
baik tidak ada salahnya untuk dilakukan kembali setelah lama tidak berfungsi dan terjadinya
perubahan system pemerintahan (Desentralisasi). Keterlibatan sector serta tanggung jawab
teknisnya adalah:
1) Bidang Kesehatan, memberikan pelayanan gizi dan kesehatan kepada Balita melalui
Puskesmas maupun Posyandu; 2) Bidang Pendidikan, menyelenggarakan pendidikan,
penyuluhan serta kegiatan ekstra kurikuler melalui peserta didik untuk dapat mengenal,
mengerti dan berperilaku sehat sejak dini. Contoh yang dapat diambil di bidang gizi adalah
masyarakat tidak mengkonsumsi garam yodium, yang merupakan program nasional,
disebabkan mereka tidak tahu pentingnya yodium dalam garam (Aryastami, 2009).
Distribusi informasi melalui pendidikan sangat efektif dalam merubah perilaku seseorang,
dimulai dari tingkat dasar dan dipraktekkan menjadi kebiasaan di tingkat keluarga; 3) Bidang
Pertanian dan Peternakan, melakukan penyuluhan gizi keluarga dan peningkatan income
generating melalui upaya pemanfaatan
pekarangan, pemberian bibit (tanaman, ternak, ikan) hingga produksi pangan dan olahan
rumah tangga;
4) Bidang Agama, memberikan penyuluhan dan klarifikasi pentingnya kesehatan dan gizi
melalui pendekatan budaya dan agama (misalnya menyangkut pantangan/tabu yang dapat
merugikan kesehatan);
5) Perkumpulan wanita dan kelompok pengajian melakukan sharing dan diskusi-diskusi
masalah kesehatan keluarga dan wanita.

Pemberdayaan Masyarakat

Upaya peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat dapat dimulai dari tingkat individu,
keluarga/rumah tangga maupun komunitas. Di tingkat individu, dapat dimulai dari
membiasakan berperilaku hidup bersih dan pola hidup sehat. Misalnya, makan bervariasi,
tidak harus mahal tetapi seimbang.
Di tingkat keluarga/rumah tangga, implementasi pola hidup bersih harus dibudayakan.
Makan dirumah (bukan jajanan) merupakan salah satu tehnik untuk mendapatkan nutrisi secara
benar, seimbang, cukup dan merata antar anggota keluarga. Disamping itu, makan dirumah
dapat meningkatkan hubungan komunikasi dan social antar anggota rumah tangga serta
menghindari unsafety makanan yang berlebihan, antara lain penggunaan penyedap dan food
additive.
Tingkat komunitas, pemanfaatan sarana komunikasi melalui perkumpulan kelompok
seminat (misal: kelompok pengajian, kelompok pensiunan, dll) termasuk pemanfaatan
media radio, bulletin maupun selebaran. Kepedulian masyarakat juga perlu ditingkatkan
melalui system Dasa Wisma di tingkat R; yaitu membentuk kelompok komunitas untuk
setiap 10 rumah tangga agar saling peduli dan saling berinteraksi dalam upaya peningkatan
kesehatan anggotanya.

Monitoring dan Evaluasi

Keberhasilan suatu program tidak akan pernah tercapai tanpa adanya upaya monitoring dan
evaluasi. Upaya monitoring dan evaluasi terhadap upaya pemecahan masalah gizi dapat
dilakukan di semua tingkatan. Di tingkat masyarakat, upaya monitoring dilakukan oleh
masyarakat melalui aktifitas dalam Pos Kesehatan Desa. Peranan kader dan penanggung jawab
Pos Kesehatan Desa sangat dibutuhkan dalam memberikan informasi tentang kesehatan bayi,
balita dan ibu hamil. Komunikasi informasi kesehatan

masyarakat dapat diteruskan secara berjenjang ke tingkat Puskesmas.


Di tingkat Puskesmas, petugas harus bertindak berdasarkan community oriented dalam
melaksanakan seluruh program dan kegiatannya. Upaya monitoring dan evaluasi di tingkat
kecamatan harus dilakukan secara terintegrasi dengan lintas sector; melibatkan camat, lurah,
guru, pemuka agama, LSM dan seluruh potensi yang ada di masyarakat.
Di tingkat kabupaten, perlu dibuat komitmen yang lebih tegas mengenai keterlibatan lintas
sector dari dinas terkait. Hal ini harus juga diwujudkan dalam pengalokasian anggaran APBD
yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya, bukan sebaliknya,
anggaran lebih banyak teralokasi untuk pembangunan fisik dan kebutuhan politik.
Kurang gizi atau malnutrisi bukanlah kejadian yang terjadi dalam waktu singkat. Tapi bisa
terjadi sejak bayi, saat berada dalam kandungan ibunya. Apakah kekurangan gizi berbahaya?
Faktor ekonomi tidak selalu menjadi penyebab anak kekurangan gizi. Penyebab lainnya
adalah anak tidak mendapatkan ASI. Tak heran jika umumnya anak mengalami kekurangan gizi
pada usia 6 bulan ke atas. Oleh karena itu, agar anak tidak mengalami malnutrisi, memberi
makanan tambahan sebagai pendamping ASI sangat penting. Misalnya, berilah anak bubur susu
yang encer atau buah manis seperti pisang yang dihaluskaskan.
Untuk mengatasi permasalahan gizi ini, pada tahun 2010 PBB telah meluncurkan program
Scalling Up Nutrition (SUN) yaitu sebuah upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk
mewujudkan visi bebas rawan pangan dan kurang gizi (zero hunger and malnutrition), melalui
penguatan kesadaran dan komitmen untuk menjamin akses masyarakat terhadap makanan yang
bergizi. Di Indonesia, Gerakan scaling up nutrition dikenal dengan Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi dalam rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK) dengan
landasan berupa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.
Factor—Faktor yang mempengaruhi terjadinya Wasting
A. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi Yang menyebabkan Wasting adalah :

1. Diare
Diare erat hubungannya dengan keada-an kurang gizi. Setiap episode diare dapat
berakibat kekurangan kemampuan menye-rap sari makanan, sehingga apabila
episo-denya berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan dan kesehatan
anak.
Penyakit diare sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama
kesakitan dan kematian. Hampir seluruh daerah geografis dunia dan semua kelom-
pok usia diserang diare tetapi penya-kit berat dengan kematian yang tinggi terut-
ama didapatkan pada bayi dan anak-anak.

2. Malaria
Malaria dapat menyebabkan kekurangan darah karena sel-sel darah banyak yang
hancur dirusak atau dimakan oleh plasmodium.Malaria juga menyebabkan
Splenomegali yaitu pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria klinik.
Anemia terjadi terutama karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi,
plasmodium falsifarum menginfeksi seluruh stadium sel darah merah hingga
anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis. Anemia merupakan keadaan
menurunnya kadar hemoglobin, hemotokrit dan pecahnya sel darah merah di
bawah nilai normal yang dijumlah untuk perorangan. parasit pada malaria juga
mempengaruhi perubahan pada hematologi, ini dapat erlihat dengan adanya gejala
anemia yaitu pucat, mudah, lelah, dan badan terasa lemah. infeksi Plasmodium
Falsiparum menyebabkan perubahan bentuk eritrosit yang memicu
eritrifagositosis di limpa, menginduksi respon imun untuk meningkatkan
opsonisasi fagositosis melalui aktivasi sistim imun, yang dapat menyebabkan
penurunan kadar hemoglobin. Secara teori penyebab anemia pada malaria adalah
akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan. Patogenesis
lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dari
pada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan
eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan
parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung
parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan
fungsi eritrosit dan ebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasite keluar.
Faktor lain yang enyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya
antibodi terhadap eritrosit.

3. CAMPAK.

Asupan makanan dan penyakit infeksi merupakan faktor penyebab langsung dari
status gizi, dimana keduanya merupakan faktor yang saling mempengaruhi. Balita
yang akan terkena penyakit infeksi biasanya mengalami perubahan pola makan,
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara asupan makanan dan kebutuhan gizi.
Jika hal ini terjadi dalam waktu yang cukup lama maka terjadilah kekurangan gizi.

''Adanya penyakit Campak, si anak sakit sehingga tidak bisa makan (nafsu makan
menurun). Campak memperberat anak-anak yang inadekuat dietary intakes (kurus)
tadi menjadi lebih buruk gizinya..

Campak atau yang dikenal dengan nama Measles merupakan salah satu penyakit
menular melalui udara yang disebabkan oleh virus golongan paramyxovirus.
Penyakit ini dapat menyerang sistem pernapasan dan sistem kekebalan sehingga
anak menjadi rentan terhadap berbagai infeksi lainnya, seperti Pneumonia dan
Diare. Campak sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi.

Campak bukan penyakit berbahaya jika segera ditangani dengan tepat. Namun jika
perawatan yang diberikan kurang baik dan kondisi tubuh penderita lemah (kurang
gizi), maka akan mudah terkena infeksi lain atau komplikasi yang bisa berakibat
fatal. Komplikasi yang paling umum terjadi pada kasus campak yang fatal adalah
diare kronis.

Pemberian kekebalan terhadap penyakit Campak telah menjadi salah satu prioritas
program imunisasi nasional. meningkatkan kekebalan dengan meluncurkan vaksin
MR, jenis imunisasi yang mampu melindungi tubuh dari dua penyakit, yaitu
measles (campak) dan rubella (campak jerman).
4. kecacingan
Infeksi yang terjadi pada saluran cerna dapat memberikan pengaruh terhadap status
gizi, salah satunya yaitu infeksi kecacingan yang diakibatkan olehvkelompok
cacing Soil-Transmitted Helminths (STH) yaitu cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Anak dengan infeksi cacing ini
akan mengalami malabsorpsi, inflamasi, dan penurunan asupan makan karena
nafsu makan yang kurang saat infeksi. Penelitian di area rural Malaysia
menunjukkan bahwa infeksi cacing T. trichiura dan A. lumbricoides dapat
menyebabkan stunting pada anak. Peneliti menjelaskan bahwa infeksi kecacingan
berhubungan dengan turunya nafsu makan dan asupan makan yang kurang
sehingga dapat menyebabkan penurunan kecepatan pertumbuhan, lemahnya
kesehatan fisik, penurunan aktivitas, dan lemahnya fungsi kognitif.2
B. SANITASI LINGKUNGAN
Kurangnya akses masyarakat terhadap air bersih atau air minum serta buruknya
sanitasi dan perilaku hygiene berkontribusi terhadap kematian 1,8 juta orang per
tahun karena diare.4 Upaya penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita
dapat diusahakan dengan menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada
akhirnya akan memperbaiki status gizinya. Air merupakan komponen lingkungan
yang penting bagi kehidupan manusia. Di dalam Undang-undang Kesehatan No. 23
tahun 1992 ayat 3m terkandung makna bahwa air minum yang dikonsumsi oleh
masyarakat harus memenuhi persyaratan, baik kualitas maupun kuantitas.
Persyaratan kualitas ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 416/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air.5
Masalah gizi pada bayi dan anak balita di Indonesia disebabkan penyakit infeksi
yang erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan. Pada kegiatan Riskesdas telah
dilakukan pengambilan data status gizi balita, morbiditas dan keadaan sanitasi
lingkungan secara menyeluruh di wilayah Indonesia. Informasi yang lengkap
dibutuhkan untuk sebuah perencanaan kesehatan. Data Riskesdas ini akan
dianalisis untuk memperoleh informasi gambaran status gizi kaitannya dengan
morbiditas dan kesehatan lingkungan. Informasi ini diharapkan dapat memberikan
dukungan dalam pengambilan kebijakan yang sesuai.
C. Pelayanan kesehatan
Upaya pelayanan kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan dan
status gizi anak sehingga terhindar dari kematian dini dan mutu fisik yang rendah
(Utari 2006). Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk memperbaiki
status gizi. Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan oleh karena itu
perlu adanya penanganan yang cepat terhadap masalah kesehatan terutama masalah
gizi. Pelayanan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat
membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan (Trisnantoro 1996). Dalam
rangka perbaikan kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia dalam hal ini
Departemen Kesehatan telah menyediakan fasilitas kesehatan masyarakat dalam
bentuk pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas). Tidak kurang dari
7.000 puskesmas tersebar diseluruh Indonesia. Namun pemanfaatan puskesmas
oleh masyarakat belum optimal (Utari 2006)

Pada akhir tahun 2006, sarana pelayanan kesehatan dasar yang tersedia meliputi
8.015 puskesmas, 22.000 puskesmas pembantu dan 6.132 puskesmas keliling.
disamping itu, hampir seluruh kabupaten/kota telah memiliki rumah sakit, baik
milik pemerintah maupun swasta. Jumlah sarana kesehatan dasar tersebut telah
meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dan pada tahun 2007 diperkirakan akan
terus bertambah. Meskipun demikian sebagian masyarakat terutama penduduk
miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan karena kendala
jarak dan biaya transportasi (Bappenas 2008).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan secara umum yang meliputi: penimbangan,
penyuluhan, kesehatan ibu dan anak, imunisasi, pengobatan, pemberian makanan
tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit masih sangat rendah.
Cakupan pelayanan kesehatan di Sumatera Selatan 25.9%, DI Yogyakarta 23.8%
dan Nusa Tenggara Timur 42.9% berdasarkan data Riskesdas 2007. Provinsi yang
mempunyai prevalensi kurang gizi (underweight) terendah adalah DI Yogyakarta
(10.9%) dan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (33.6%), sedangkan Sumatera
Selatan (18.2%) hampir sama pencapaiannya dengan nasional.
D. Ketahanan Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Jika kebutuhan tersebut
tidak terpenuhi, baik jumlah maupun mutunya pada tingkat individu dan rumah
tangga akan mengganggu tercapainya kualitas hidup sehat, aktif, dan
berkesinambungan serta dapat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan dan
gizi. Balita Wasting merupakan salah satu masalah gizi kronis yang disebabkan
oleh akses dan keterjangkauan terhadap pangan masih rendah Rumah tangga
dengan kategori tahan panganmemiliki anggota keluarga yang mempunyai akses
terhadap pangan, baik jumlah maupun mutunya dan hal ini akan berdampak pada
terpenuhinya kebutuhan gizi baduta sehingga tercapai status gizi yang optimal
Baita yang berada dalam kondisi rumah tangga tahan pangan memiliki tingkat
kecukupan energi dan protein yang baik. Berbeda dengan baduta dari keluarga
rawan pangan yang mengalami keterlambatan pertumbuhan karena kurang
memiliki akses terhadap pangan, sehingga porsi makan dikurangi untuk berbagi
dengan anggota keluarga
Lainnya.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Bagian ini menyajikan hasil analisis intervensi yang dijelaskan di atas untuk target buang-
buang melalui pengobatan gizi buruk akut, termasuk biaya, dampak, dan analisis biaya-
manfaat.

Perkiraan biaya

Meningatnya treatment terhadap giziakut untuk anak-anak di negara berpenghasilan


menengah dan rendah sebanyak 9,1 dolar milar selama 10 tahun. Meningkatkan
pengobatan kekurangan gizi akut yang parah untuk anak-anak di negara berpenghasilan
rendah dan menengah membutuhkan sekitar $ 9,1 miliar selama 10 tahun. Dari jumlah ini,
sekitar $ 8,1 miliar akan diperlukan untuk penyediaan layanan langsung dengan tambahan
12 persen dari biaya layanan langsung ($ 971 juta) untuk penguatan kapasitas; untuk
mengembangkan kebijakan, protokol, dan pedoman yang diperlukan; dan untuk
pemantauan dan evaluasi program pengobatan. Perkiraan ini mengasumsikan bahwa,
seiring waktu, harga makanan terapeutik yang siap digunakan akan menurun dan efisiensi
pemberian layanan akan meningkat. Ketika dipertimbangkan menurut wilayah, sekitar 45
persen dari total biaya akan diperlukan untuk memperluas cakupan pengobatan malnutrisi
akut bet di Asia Selat(lihat diagram lingkaran).

Ten-Year Total Financing Needs for the the


Treatment of Severa Acute Malnutrion, by
Region

South Asia
1% East Asia and Pacific
25%
45% Latin America and the Caribbean
Middle East and North Africa
16%
2%11% Sub-Saharan Africa
Europa and Central Asia

an
Ketika dipertimbangkan menurut wilayah, sekitar 45 persen dari total biaya akan diperlukan untuk
memperluas cakupan pengobatan malnutrisi akut berat di Asia Selatan (gambar 6.3). Di Asia
Selatan, lebih 80 persen diperkirakan untuk perluasan perawatan di India. 25 persen lainnya dari
total kebutuhan pembiayaan adalah untuk meningkatkan perawatan di Afrika Sub-Sahara.
Peningkatan biaya lebih tinggi di Asia Selatan daripada di Afrika Sub-Sahara meskipun fakta
bahwa perkiraan biaya unit perawatan rata-rata lebih tinggi di Afrika Sub-Sahara ($ 110 per anak
yang dirawat, dibandingkan dengan $ 90 per anak yang dirawat di Asia Selatan). Ini karena
perkiraan beban absolut yang lebih tinggi: 40 juta kasus akan dirawat di Asia Selatan selama 10
tahun dibandingkan dengan 11,4 juta kasus di Afrika Sub-Sahara. Sekitar 16 persen dari total
kebutuhan pembiayaan adalah untuk memperluas cakupan di kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara, 11 persen di kawasan Asia Timur dan Pasifik, dan sisanya 3 persen di Amerika Latin dan
Karibia, Eropa, dan wilayah Asia Tengah.

Negara-negara berpenghasilan rendah mencapai sekitar 20 persen dari total kebutuhan


pembiayaan, dengan 80 persen lainnya untuk negara-negara berpenghasilan menengah (70 persen
untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dan 10 persen untuk negara-negara
berpenghasilan menengah ke atas) (angka 6.4). India sendiri menyumbang lebih dari setengah dari
pembiayaan yang dibutuhkan untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah.

Ten Year Financing Needs For The Treatment Of Severe Acute


Malnutrion By Country Income Group

10%
20%

Low income countries


Lower middle income countries
Upper middle income countries

70%
Total Annual Financing Needs to Skill up the treatment of severe
acute malnutrion 2016-2025
1800

1600

1400

1200

1000

800

600

400

200

0
2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025

Total Annual Finencing

pembiayaan diperlukan untuk meningkatkan perawatan malnu- akut yang parah trisi untuk anak-
anak dengan sekitar $ 1,6 miliar pada tahun lalu untuk mencapai dan mempertahankan cakupan
90 persen di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah. Seperti disebutkan di atas,
asumsinya adalah penghematan biaya dari formulasi baru makanan terapeutik siap pakai dan
penyampaian layanan yang lebih baik akan direalisasikan pada tahun 2020. Rekening tabungan
tersebut untuk pengurangan biaya dari 2019 hingga 2020, meskipun cakupan perawatan akan terus
berlanjut. memperluas.

Perkiraan Dampak

Analisis ini memperkirakan bahwa sekitar 91 juta kasus gizi buruk akut pada anak-anak 6-59 bulan
akan dirawat selama 10 tahun sebagai hasil dari perluasan cakupan pengobatan. Biaya rata-rata
per kasus yang ditangani adalah sekitar $ 90. Angka ini menggabungkan asumsi tentang penurunan
biaya unit yang dihasilkan dari pengurangan harga makanan terapeutik yang siap digunakan dan
perbaikan dalam efisiensi pemberian layanan.

Berdasarkan pemodelan LiST, peningkatan pengobatan kekurangan gizi akut yang parah untuk
anak-anak di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah selama 10 tahun akan mencegah
sekitar 860.000 kematian pada anak-anak di bawah usia lima tahun (tabel 6.2). Sekitar 49 persen
dari kematian itu akan dihindari di Afrika Sub-Sahara, 44 persen di Asia Selatan, dan sisanya 7
persen di wilayah lain.

Impact Treatment of Severe Acute Malnutrion

Total 10 Years costs (US$, billiont) $9.1 billion

Number of cases treated over 10 years 91 million

Number of deaths uverted over 10 years 860,000

Cost per case of severa acute malnutrion $100’’


treated (US$)

Cost per death averted (US$) $10,500

Analisis Manfaat-Biaya Di bawah skenario kasus dasar (tingkat diskon 3 persen untuk biaya dan
manfaat dan tingkat pertumbuhan PDB tahunan 3 persen), 9 memperluas cakupan perawatan gizi
buruk akut untuk anak-anak di semua berpenghasilan rendah dan menengah negara-negara dan
mortalitas yang diakibatkannya akan menghasilkan sekitar $ 25 miliar peningkatan tahunan dalam
produktivitas ekonomi selama masa hidup produktif anak-anak yang mendapat manfaat dari
program tersebut (Tabel 6.3). Rasio manfaat-biaya gabungan dalam skenario kasus dasar adalah
3,6,10 yang menunjukkan bahwa setiap dolar yang diinvestasikan dalam pengobatan gizi buruk
akut akan menghasilkan sekitar empat dolar dalam pengembalian ekonomi.

Hasil ini sensitif terhadap perubahan asumsi. Meningkatkan tingkat diskonto hingga 5 persen
mengubah rasio biaya manfaat menjadi 1,5. Ketika mengubah asumsi mengenai jumlah episode
wasting yang dialami anak di bawah usia lima tahun rata-rata dari 1,6 hingga 2,0 atau 3,0, rasio
biaya-manfaat menurun dari 3,6 menjadi 2,7 atau 1,4, masing-masing

Benefit-Cost Rations Up Treatment Of Severe Acute Malnutrion, 3 And 5 Percent

Discount Rates

3% discount rate 5% discount rate


Present Present Prsent Present
Region value value cost Benefit value value cost Benefit
benefit (US$, cost ratio benefit (US$, cost ratio
billions) billions)
(US$, (US$,
billions) billions)
By region
Sub-
Saharan 13.0 1.1 11.6 5.8 1.0 6.0
Afrika
South Asia 6.7 3.2 2.1 2.0 2.8 0.7
East Asia
and the 1.8 0.7 2.6 0.6 0.6 1.1
Pacific
By income group
Low-
income 1.7 1.0 1.7 0.4 0.8 0.5
countries
Lower-
middle- 19.3 4.6 4.2 7.5 4.0 1.9
income
countries
Upper-
middle- 0.4 0.4 1.1 0.1 0.3 0.2
income
countries
Pooled 25.3 7.1 3.6 9.1 5.2 1.5

Median 1.8 0.5

DISKUSI/PEMBAHASAN

Mengingat keadaan saat ini bukti pencegahan pemborosan, tidak mungkin untuk memperkirakan
biaya mencapai target wasting global. Oleh karena itu rekomendasi utama pertama dari analisis ini
adalah memprioritaskan penelitian tentang pencegahan pemborosan. Jelas bahwa, tanpa bukti
seperti itu, mencapai target pemborosan global tidak akan mungkin. Karena biaya mencapai target
yang sia-sia tidak dapat diperkirakan, bab ini berfokus pada biaya perluasan pengobatan gizi buruk
akut untuk anak-anak, meskipun sangat mungkin bahwa mencegah pemborosan akan lebih efektif
daripada mengobati, terutama diberikan biaya pengobatan yang tinggi. Dengan demikian
memperluas pengobatan dapat dianggap sebagai biaya mengurangi dampak wasting, daripada
mencegah pemborosan.
Dengan tidak adanya intervensi pencegahan, pengobatan akan diperlukan untuk menyelamatkan
nyawa anak-anak yang menderita kekurangan gizi akut yang parah. Saat ini, hanya sebagian kecil
anak-anak dengan malnutrisi akut yang parah menerima pengobatan. Bahkan, cakupan program
pengobatan rawat jalan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah sebagian besar
masih belum diketahui. Untuk memperluas perawatan hingga 90 persen pada tahun 2025,
tambahan $ 9,1 miliar dolar dalam pembiayaan baru akan diperlukan.

Perkiraan biaya ini lebih rendah daripada yang dilaporkan dalam studi sebelumnya karena
sejumlah alasan (Tabel 6.5). Pertama, biaya unit dasar yang digunakan di sini lebih rendah
daripada yang ada di Horton et al. (2010) dan Bhutta dkk. (2013). Hal ini terutama karena data
biaya satuan baru tersedia dari studi negara (lihat, misalnya, Alive & Thrive dan UNICEF 2013;
IFPRI 2014; Shekar dkk. 2014; Shekar, Mattern, Eozenou dkk. 2015; Shekar, Mattern, Laviolette
et. al. 2015; Tekeste et al. 2012) lebih rendah dari yang digunakan dalam estimasi sebelumnya.
Kedua, analisis ini mengasumsikan beberapa pengurangan dalam biaya unit perawatan dari waktu
ke waktu sebagai akibat dari harga yang lebih rendah dari makanan terapeutik yang siap pakai dan
perbaikan dalam efisiensi.

Comparison of Cost Estimates of the Treatment of Severe Acute Malnutrion

Intervention Unit costs (US$) Global annual costs (US$, billions)


Horton et Bhutta et Current Horton et Bhuta et Current
al, 2010 al, 2013 analysis al, 2010 al, 2013 analysis
Treatment of
severe acute
malnutrion $201 $149-250 $89 $2,600 $2,563 $1,109
for children

dari pemberian layanan. Akhirnya, tidak seperti dua studi global sebelumnya, analisis ini
menggabungkan dinamika pertumbuhan penduduk selama dekade berikutnya. Biaya peningkatan
tahunan lebih rendah karena penurunan populasi yang diproyeksikan di kawasan Asia Selatan,
Asia Timur dan Pasifik, dan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Berdasarkan pemodelan menggunakan LiST, peningkatan pengobatan malnutrisi akut berat untuk
anak-anak akan mencegah sekitar 860.000 kematian selama 10 tahun. Perkiraan ini lebih rendah
daripada yang dipublikasikan sebelumnya. Misalnya, Schofield dan Ashworth (1996)
memperkirakan bahwa, dengan tidak adanya perawatan apa pun, hingga 30 persen anak-anak yang
menderita kekurangan gizi akut akan meninggal. Demikian pula, Bulti et al. (2015)
memperkirakan bahwa tingkat kematian untuk malnutrisi akut yang tidak diobati di Nigeria adalah
sekitar 250 per 1.000 (atau sekitar 25 persen).

Menghitung risiko kematian awal yang disebabkan oleh pemborosan berat di LiST agak
menantang karena, sebagaimana disebutkan di atas, itu dimodelkan melalui penyakit tertentu,
seperti pneumonia, diare, dan campak, dan karena itu tergantung pada kejadian penyakit tersebut
di negara tertentu. . Dengan kata lain, model ini mempertimbangkan penyebab kematian pada
anak-anak yang mengalami kekurangan gizi parah.

Untuk menghitung risiko moral baseline di LiST, jumlah kematian yang dihasilkan dari perubahan
dalam prevalensi wasting di setiap negara dihitung. Namun, LiST memungkinkan untuk
menghitung perubahan angka kematian yang hanya dihasilkan dari penurunan prevalensi buang-
buang (bukan dari peningkatan prevalensi). Oleh karena itu, untuk masing-masing negara,
pengurangan mortalitas diestimasi untuk menurunkan prevalensi

Mortality Estimates for Severe Acute Malnutrion

Indicator LIST estimates Bulti et al, 2015 esti,ates


Severe acute malnutrion 1,43% 25.00%
mortality risk
Number of severe acute
malnutrition cases treated 90.7 90.7
(millions)
Number of deaths averted 0.9 15.1
(millions)
Total costs (US$, millions) $9.062 $9.062
Cost per death averted (US$) $10.516 $601

Perkiraan dari Bulti et al. (2015) dan dari Schofield dan Ashworth (1996) tampak tinggi. Penelitian
oleh Schofield dan Ashworth berusia lebih dari dua dekade dan sangat mungkin bahwa kematian
akibat buang sekarang akan lebih rendah berkat lingkungan yang lebih sehat di mana anak-anak
tumbuh, cakupan vaksinasi yang lebih baik, akses yang lebih besar ke layanan kesehatan ibu dan
anak, dan sebagainya . Perkiraan dari Bulti et al. berasal dari data dari manajemen program
malnutrisi akut berbasis masyarakat di Nigeria utara, di mana mortalitas secara umum - dan karena
itu membuang kematian juga - lebih tinggi daripada di banyak negara lain yang termasuk dalam
penelitian ini. Jika kami menerapkan tarif ini ke India, di mana sekitar 8 juta anak-anak di 2015
menderita wasting yang parah, 25% risiko kematian akan menghasilkan sekitar 1,3 juta kematian
per tahun. Ini, pada gilirannya, akan diterjemahkan ke tingkat kematian yang disebabkan
pemborosan sekitar 10,5 per 1.000. Mengingat bahwa total di bawah lima tingkat kematian di India
pada tahun 2015 diperkirakan menjadi 48 (World Bank 2015), tampaknya sangat tidak mungkin
bahwa pemborosan merupakan penyebab yang mendasari 21 persen dari semua kematian balita di
India.13 Oleh karena itu, jelas, menggunakan nilai risiko kematian yang tinggi baik dari studi
Schofield dan Ashworth atau Bulti kemungkinan akan melebih-lebihkan dampak dari peningkatan
pengobatan malnutrisi akut yang parah. Namun demikian, perkiraan mortalitas yang disesuaikan
dapat diperlakukan di sini sebagai estimasi batas atas, dengan estimasi yang dihasilkan oleh LiST
dianggap sebagai batas bawah konservatif.

Keuntungan dari pendekatan LiST adalah bahwa ia memodelkan dampak pemborosan dengan
melihat kefanaan dari penyakit infeksi dan dengan demikian memperhitungkan keseluruhan risiko
mortalitas yang mendasari dalam konteks negara yang berbeda. Oleh karena itu, keuntungan dari
penurunan mortalitas dalam target ini lebih tinggi di negara-negara dengan beban penyakit yang
mendasarinya. Hal ini tercermin dalam analisis yang disajikan di atas: meskipun hanya sekitar 25
persen dari total biaya untuk perluasan program di Afrika Sub-Sahara, sekitar 47 persen kematian
dihindari berasal dari wilayah tersebut. Oleh karena itu, biaya per kematian dihindari jauh lebih
rendah di Sub-Sahara Afrika (sekitar $ 6.400) daripada di Asia Selatan, serta di sampel
keseluruhan negara-negara dengan beban tinggi ($ 12.600 dan $ 10.500, masing-masing), dan rasio
biaya-manfaat jauh lebih tinggi di Afrika Sub-Sahara (sekitar 11,6) daripada di keseluruhan sampel
atau di wilayah lain (3,6 di 24 negara dengan beban tinggi, 2,1 di Asia Selatan).

Manfaat ekonomi hasil dari perluasan pengobatan gizi buruk akut untuk anak-anak diperkirakan
sekitar $ 25 miliar (diskon 3 persen). Ini adalah perkiraan konservatif berdasarkan hanya pada
pengurangan mortalitas. Ada kemungkinan bahwa pengobatan malnutrisi akut yang parah
memiliki manfaat lain untuk perkembangan anak (seperti mengurangi kerugian kognitif dan cacat
fisik). Sebagai contoh, penelitian yang ada menunjukkan bahwa episode membuang-buang
berdampak negatif terhadap pertumbuhan linear (Black et al. 2008; Khara dan Dolan 2014).
Namun, basis bukti saat ini tidak cukup kuat untuk memungkinkan kuantifikasi manfaat tambahan
tersebut.

Analisis yang disajikan dalam bab ini menunjukkan bahwa pengobatan malnutrisi akut berat untuk
anak-anak dapat menjadi intervensi yang efektif biaya, dengan rasio efektivitas biaya yang sangat
tinggi, terutama di negara-negara di mana faktor risiko seperti penyakit infeksi dan kebersihan
yang buruk dan

13Hal yang sama Latihan yang dilakukan untuk Nigeria akan menghasilkan kematian terkait
wasting sekitar 4,5 per 100 atau sekitar 4 persen dari total kematian pada anak-anak balita (109
per 1.000 pada tahun 2015); World Bank (2015), yang jauh lebih dekat dengan perkiraan WHO
global sebesar 5 persen.

sanitasi merajalela. Namun, untuk lebih memahami manfaat investasi dalam perawatan dan
pencegahan malnutrisi akut, diperlukan lebih banyak penelitian tentang insidensi wasting; jumlah
episode kekurangan gizi akut anak-anak mungkin menderita; hubungan antara wasting dan
stunting dan hasil kesehatan anak lainnya; dan jangka pendek, sedang, dan jangka panjang dampak
kekurangan gizi akut pada perkembangan fisik dan kognitif anak-anak. Lebih lanjut, meskipun
pengobatan malnutrisi akut yang parah dapat efektif biaya, ini merupakan intervensi yang mahal
(sekitar $ 110 per anak di Afrika Sub-Sahara dan $ 90 per anak di Asia Selatan per episode). Upaya
penelitian di masa depan harus fokus pada mencari strategi untuk mencegah pemborosan sehingga
dapat mengurangi jumlah anak yang membutuhkan perawatan. Tanpa investasi yang cepat dalam
pengetahuan, tidak mungkin membangun kasus investasi global yang efektif untuk mencapai
target .wasting

KESIMPULAM

KEKUATAN DAN KELEMAHAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai