Anda di halaman 1dari 3

Tindak Tutur (Austin dan Searle) 1.5.

1 Tindak tutur versi Austin Teori tindak tutur muncul


sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu
digunakan untuk mendeskripsikan faka atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara
benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat
deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak
bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari)
kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan … dengan mas kawin seperangkat alat
sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh penghulu di sebuah acara pernikahan merupakan
“the doing of some action”, dalam hal ini, merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan
pasangan pengantin, bukan sekedar perkataan belaka, atau “saying something” (hal. 560).
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu ujaran konstatif dan performatif. 1. Ujaran
konstantif ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya.
Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan
faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar
terjadi pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau
salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi
pada ujaran konstatif adalah benar-salah. Contoh: Kamu terlihat bahagia. 2. Ujaran
performatif, yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit
diketahui salahbenarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena
ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur. Ujaran seperti
“Kamu dipecat!”, “Dengan ini Saudara saya nyatakan bersalah” merupakan contoh ujaran
performatif. Dimensi pada ujaran performatif adalah senang-tidak senang (happy/felicitious-
unhappy/infelicitious), yang ditentukan melalui empat jenis kondisi, yaitu: (1) adanya
konvensi umum bahwa ujaran kata-kata tertentu oleh orang tertentu dalam situasi tertentu
akan menghasilkan efek tertentu, (2) semua partisipan dalam prosedur (1) harus
melaksanakan prosedur tersebut secara benar dan lengkap/sempurna, ((3) jika konvensinya
adalah bahwa partisipan dalam prosedur tersebut memiliki pikiran, perasaan dan niat tertentu,
maka partisipan berarti memiliki pikiran, perasaan dan nita tertentu tersebut, dan (4) jika
konvensinya adalah setiap partisipan harus bersikap tertentu, berarti partisipan tersebut harus
bersikap tertentu (sesuai konvensinya). Jika satu dari kondisi diatas tidak terpenuhi, berarti
ujaran performatif tersebut tidak senang (unhappy). Namun, kemudian Austin sendiri
meragukan cara pembedaan diatas dengan mengajukan tes “I hereby” untuk menentukan
ujaran performatif atau konstantif. Austin menyebutkan bahwa ujaran performatif bercirikan
“speech act verbs” atau verba performatif. Pembedaan diatas kemudian ditinggalkan. Austin
kemudian membedakan ujaran performatif eksplisit dan implisit, yang dicirikan dengan ada
tidaknya verba performatif.
Namun ujaran performatif memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah
diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu
diselesaikan pada saat itu juga.[1]
Austin melanjutkan bahwa tutur performatif dapat dibedakan atas (1) tutur
performatif yang eksplisit dan tutur performatif yang implisit. Tutur performatif “Saya
menyuruh anda pergi” adalah tutur performatif eksplisit, sedangkan tutur performatif “ pergi”
adalah tutur performatif implisit.[2]

[1] Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal: 8
[2] J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga hal: 266.

C. Pemikiran John Langshaw Austin tentang Bahasa[7]


Sebelum Austin, kebanyakan filsuf hanya menaruh perhatian terhadap ungkapan yang
bermakna dan tidak bermakna dan hanya ditentukan atas dasar fomulasi tertentu; misalnya
menurut atomisme logis atau filsafat biasa Wittgenstein. Setelah samapai ditangan Austin
perhatian tersebut mengalami pengfokusan mengenai pembedaan tentang jenis-jenis ucapan
dan tentang tindakan-tindakan bahasa. Adapun penjelasan tentang kedua pembedaan itu
sebagai berikut:
1. Jenis Ucapan (Utterances), Austin membedakan jenis ucapan yang acapkali kita jumpai
dalam bahasa pergaulan sehari-hari menjadi dua. Yaitu, Ucapan Konstatif (Constative
Utterance) dan ucapan Performatif (Performative Utterance).
a. Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
Adalah ucapan atau tuturan yang digunakan manakala kita menggambarkan suatu
keadaan yang faktual, yang menyatakan sesuatu atau terdapat sesuatu yang dikonstatir dalam
ucapan tersebut. Dalam pengertian ini ucapan konstatif memang memiliki konsekuensi untuk
ditentukan benar atau salahnya, dan alam batas ini pandangan Austin masih sejalan dengan
faham atomisme logik dan positivisme logik. Jadi dalam setiap ucapan konstatif ini
terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan situasi pendengar untuk menguji
kebenarannya secara empiris atau berdasarkan pengalaman; baik secara langsug maupun
tidak langsung. Istilah “konstatif” ini dipergunakan Austin untuk menggambarkan semua
pernyataan yang dapat dinilai benar atau salahnya. Untuk menjelaskan hal di atas dapat kita
ajukan beberapa contoh seperti yang tertera di bawah ini:
1) Banyak pedagang mainan anak-anak di pasar sekaten.
2) Saya melihat banyak pengendara sepeda motor tertangkap operasi zebra di jalan Malioboro
Jogyakarta.
3) Saya melihat seekor kuda nil di kebun binatang di lokal Yogyakarta.
Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab menggambarkan keadaan faktual
atau peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Kita dapat membuktikan kebenaran
ucapan seperti itu dengan melihat, menyelidiki, ataupun mengalami sendiri hal-hal yang telah
diucapkan si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menandaskan bahwa pada
hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan
histori atau peristiwa nyata.
b. Ucapan Performatif (Perfortative utterance)
Berbeda dengan ucapan yang dapat diperiksa benar atau salahnya, oleh karena itu pula
dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan tersebut maka ucapan performatif tidak dapat
diperlakukan seperti itu. Karena itulah Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat
dikatakan benar atau salah seperti halnya ucapan konstatif melainkan baik atau tidak (happy
or anhappy) untuk diucapkan seseorang. Di dalam ucapan performatif ini peranan si
penutur dengan berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi ucapannya sangat
diutamakan. Untuk memperoleh penjelasan yang rinci kita dapat melihat contoh yang
diajukan Austin ini:
1) “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai yang istri yang sah”, tentunya laik apabila
diucapkan dalam sebuah upacara perkawinan.
2) Saya namakan kapal ini Ratu Elisabeth.
3) Saya memberikan dan mewariskan jam kepunyaan saya ini kepada saudara saya.
Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si penutur (saya) bertautan erat dengan
apa yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang terkandung dalam ucapan
performatif adalah apakah si penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau kelaikan) untuk
melontarkan ucapan seperti itu. Menurut pendapat Austin, kita dapat mengetahui bentuk
ucapan performatif ini melalui ciri-ciri berikut:
1) Diucapkan oleh orang pertama (persona pertama).
2) Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu.
3) Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu).
4) Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.
Keempat ciri bisa saja dikenakan pada ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam
ucapan konstatif tidak terletak pada si penutur (subjek), melainkan pada objek tuturan-dalam
hal ini peristiwa faktual. Sedangkan dalam ucapan performatif, penekanan utama tetap
diletakkan pada si penutur dengan kelaikan pengucapannya. Akan tetapi keempat ciri tersebut
belumlah menjamin kelaikan ucapan performatif. Ada beberapa prasyarat yang dibutuhkan
agar ucapan performatif laik untuk diucapkan yakni:
1) Harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang
menimbulkan akibat tertentu pula. Ini meliputi pengucapan kata yang pasti oleh orang-orang
tertentu dalam keadaan yang pasti.
2) Mereka yang terlibat dalam situasi yang melingkupinya (seperti: janji, sumpah,
penganugerahan, dll) Memang sudah selaiknya atau penting untuk mengucapkannya sesuai
dengan prosedur yang ditempuhnya.
3) Prosedur itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat secara tepat (menuntut
kejujuran dalam isi ucapan).4. Harus dilaksanakan dengan sempurna (menuntut
pertanggungjawaban dalam pelaksanaan isi ucapan) Apabila salah satu dari prasyarat tersebut
di atas tidak dipatuhi, maka Austin tidak mengatakan ucapan performatif itu salah,melainkan
tidak laik (anhappy). Ucapan performatif yang tidak laik itu oleh Austin dianggap sia-
sia (void)1

1 Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, Cet.III, 2002),
hlm165

Anda mungkin juga menyukai