Anda di halaman 1dari 5

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah, terutama
masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut belum
mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk
mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic Legal
Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum (Islam)
diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi,
yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum
berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’,
kesepakatan).Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari
pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

B. Ruang Lingkup Pembahasan

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun mencoba
mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:

1. Apa pengertian Ijtihad?


2. Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat ijtihad?

D. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.


2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk memahami fungsi dari ijtihad..
4. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk melakukan ijtihad
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian/Defenisi

Ijtihad secara bahasa berasal dari kata jahada. Kata ini beserta variasinya menunjukkan
pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi. Kata
inipun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (ath-tha̅qah), dan berat(al-masya̅qqah). Secara
bahasa, arti ijtihad dalam arti jahada terdapat didalam Al-Quran Surah An-Nahl [16]:42.
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzal al-wus’i wa ath
thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).

Dalam As-sunnah, kata “ijtihad” terdapat dalam sabda nabi Muhammad SAW yang artinya
“pada waktu sujud,bersungguh-sungguh lah dalam berdoa (fajtahidu fi du’a), dan hadist lain
yang artinya ‘’Rasul ALLAH SWT. Bersungguh-sungguh( yajtahidu) pada sepuluh hari
terakhir (bulan ramadhan)’’.

B. Bahasan Materi

Dari defenisi ijtihad diatas,terlihat beberapa persamaan dan perbedaan. Adapun perbedaannya
adalah pertama, penggunaan bahasa, misalnya ada yang menggunakan istilah istafragha
(menghabiskan keseluruhan kesanggupan) dan ada pula yang menggunakan istilah badzal
(pengerahan seluruh kesanggupan). Kedua,subjek ijtihad;sebagian ada yang menisbatkannya
kepada mujtahid yang konotasinya bahwa upaya ijtihad tidak harus dalam satu bidang, tetapi
menyangkut juga bidang-bidang lain. Adapula yang menggunakan faqih (seorang ahli fiqh)
sehingga hukum yang diijtihadi khusus hukum fiqh. Ketiga,sumber yang diijtihadi. Ibnu hazm
menggunakan istilah nash(sesampainya sesuatu pada batasnya),tentunya nash ini merupakan
perwujudan dari kebenaran hakiki,sehingga tidak memerlukan penakwilan dan penafsiran
serta tidak ada tempat bagi ijtihad. Ulama lain tidak hanya menggunakan dalil nash(Al-Quran
dan As-sunnah sahihah), tetapi juga menggunakan dalil-dalil lain,karena sumber ijtihad tidak
hanya Al-Quran dan As-sunnah. Keempat, metode ijtihad. Ada yang menggunakan metode
manquli (dari sumber Al-Quran dan As-sunnah). Metode ini itba’ dengan metode
RasululahSAW. Dimana beliau selalu menunggu wahyu dalam menyelesaikan setiap
permasalahan. Adapula ulama yang menggunakan metode man’quli( berdasarkan ra’yu atau
akal pikiran semata. Metode ini diterapkan berdasarkan asumsi bahwa nabi Muhammad
SAW diperbolehkan untuk berijtihad.

Adapun persamaannya adalah : pertama,hukum yang dihasilkan bersifat zhanni. Kedua,objek


ijtihad hanya berkisar hukum taklify,yakni hukum yang berkenaan dengan amal ibadah
manusia. Ketiga,masing-masing ulama menggunakan istilah kesungguhan sehingga upaya
ijtihad tidak main-main. Oleh karena itu,dibutuhkan upaya dan syarat-syarat tertentu bagi
mujtahid.

Urgensi dan kedudukan hukum ijtihadi

Pada dasarnya,setiap muslim yang sudah mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang
mujtahid diharuskan berijtihad dalam semua bidang hukum. Hukum syariat mengenai hukum
melakukan ijtihad ini,para ulama membaginya menjadi tiga bagian yaitu ;

a. Wajib ‘ain yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu
peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada
kepastian hukumnya,atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin
mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai
peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedangkan selain dia
masih terdapat mujtahid-mujtahid lainnya. Oleh karena itu,apabila semua
mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad,mereka berdosa semua. Akan
tetapi,bila ada seorang dari mereka memberikan fatwa hukum,gugurlah
tuntutan ijtihad atas diri mereka.
c. Sunat, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
belum atau tidak terjadi.

Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad karena ijtihad
dapat mendinamisikan hukum islam dan mengoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad
yang lalu. Lebuh lanjut,ijtihad merupakan upaya pembaharuan hukum islam. Hal tersebut
pernah diungkapkan oleh ibnu hajib bahwa ijtihad harus merujuk pada aspek-aspek
pembaharuan terhadap masalah-masalah yang belum pernah disinggung oleh ulama
pendahulu,sedangkan untuk masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu di
perbaharui. Sebab hal itu di khawatirkan menjadi aktivitas yang sia-sia,yang hasil ijtihadnya
sama dengan ijtihad yang lama.
Abu bakar al-baqilani menyatakan bahwa setiap ijtihad harus di orientasikan pada tajdid
(pembaharuan) karena setiap periode memiliki ciri tersendiri sehingga menentukan perubahan
hukum. Abdus syakur dalam muslimatus tsubut mengharuskan ijtihad selalu mengacu pada
perubahan dan setiap perubahan mengacu pada setiap pembaharuan yang bertujuan mencari
kebenaran. Nabi Muhammad SAW bersabda,’’Sesungguhnya Allah SWT mengutus pada
umat ini disetiap penghujung periode(100 tahun) seorang yang memperbaharui
agamanya.(Al-hadist)
Walaupun demikian,tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaharuan bagi ijtihad yang
lama. Sebab,adakalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama, bahkan
sekalipun berbeda,hasil ijtihad baru tidak dapat mengubah status ijtihad yang lama. Hal itu
seiring dengan konsensus umum kaidah fiqiyah,’’al-ijtihadu la yanqudlu bil ijtihadi’’(ijtihad
itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Lebih lanjut , urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad yang terbagi
atas 3 macam , yaitu:
a. Fungsi ar-ruju’ atau al-i’adah(kembali) , yakni mengembalikan ajaran – ajaran islam
kepada sumber pokok , yakni Al-Quran dan sunnah sahih dari segala interprestasi yang
dimungkinkan kurang relavan.
b. Fungsi al-ihya(kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
semangat ajaran islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman sehingga
islam mampu sebagai furqan, hudan, dan rahmatan lil”alamin.
c. Fungsi al-inabah (pembenahan), yakni membenahi ajaran-ajaran islam yang telah
diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks
zaman , keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi.

Ketiga fungsi diatas mengingatkan kita akan tajdid, yakni mengadakan pembaharuan
dari ajara-ajaran islam. Dengan demikian

C. Pendapat Ulama/Ahli

BAB III

Penutup

A. Analisa

B. Kesimpulan

C. Saran-saran
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai