Anda di halaman 1dari 5

J. Akad. Kim.

5(1): 50-54, Februari 2016


ISSN 2302-6030 (p), 2477-5185 (e)

PENGARUH WAKTU FERMENTASI TERHADAP KADAR PROTEIN


DARI TEMPE BIJI BUAH LAMTORO GUNG (Leucaena leucocephala)

Effect of Fermentation Time to the Protein Levels of Fermented Lamtoro Gung


(Leucaena leucocephala) Fruit Seed
*Muthmainna, Sri Mulyani Sabang dan Supriadi
Pendidikan Kimia/FKIP - University of Tadulako, Palu - Indonesia 94118
Recieved 20 Desember 2015, Revised 24 Januari 2016, Accepted 21 Februari 2016

Abstract
Lamtoro gung (Leucaena leucocephala) is one of the food materials containing high enough protein
which allow to be used as raw material for producing tempeh through fermentation. This study aimed
to determine the effect of fermentation time to the protein levels of lamtoro gung seeds tempeh with
variation fermentation times of 24 hours, 36 hours, 48 hours, 60 hours and 72 hours. Steps in this study
were sample preparation, producing lamtoro gung seeds tempeh,and protein levels analysis. The protein
level was determined by Kjeldahl method. The results showed that there was an effect of fermentation
time to the protein levels. The longer the fermentation time took effect to the lower the levels of protein
produced. The highest protein level was obtained at 24 hours of fermentation time that was equal to
7.943%, while the protein level on fermentation time of 36 hours was equal to 7.725%, 48 hours
fermentation time was equal to 7195%, 60 hours fermentation time was equal to 7197%, and 72
hours fermentation time was equal to 5733%.
Keywords: lamtoro gung (Leucaena leucocephala) seed, fermentation, protein
Pendahuluan
Masalah kecukupan gizi saat ini merupakan oleh manusia. Usaha penganekaragaman
masalah yang perlu mendapatkan perhatian pangan dapat dilakukan dengan mencari bahan
yang cukup serius terutama bagi negara yang pangan baru atau bahan dari pangan yang sudah
sedang berkembang. Hal ini disebabkan ada dan dikembangkan menjadi bahan pangan
karena kurang seimbangnya jumlah penduduk yang beraneka ragam dengan harga yang relatif
dengan jumlah produksi pangan sumber gizi. terjangkau oleh masyarakat (Setyaningsih,
Jumlah produksi pangan sumber gizi yang dkk., 2009)
kurang mencukupi disebabkan belum skrening Tempe sebagai sumber protein yang baik
terhadap bahan makanan sebagai sumber gizi, dalam menu makanan Indonesia. Tempe pada
serta tingkat tekhnologi negara berkembang umumnya terbuat dari kedelai rebus yang
khususnya dalam produksi dan pengolahan difermentasi oleh jamur rhizopus. Bahan pangan
pangan masih belum memadai (Widodo, berprotein nabati yang banyak dipergunakan
2012). sebagai bahan dasar fermentasi pangan adalah
Pangan merupakan kebutuhan yang paling kedelai atau jenis kacang-kacangan lain, seperti
esensial bagi manusia untuk mempertahankan kacang tanah, kara benguk, dan kacang gude.
hidup dan kehidupannya. Pangan sebagai Di antara bahan-bahan tersebut, kedelai
sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, paling sering digunakan sebagai bahan dasar
vitamin, mineral dan air) menjadi landasan makanan fermentasi di beberapa Negara karena
utama manusia untuk mencapai kesehatan kadar proteinnya yang tinggi (Rosida, dkk.,
dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. 2009). Protein kedelai memiliki peran dalam
Melalui penganekaragaman pangan, dapat mengurangi risiko kanker tertentu, terutama
dipenuhi kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan kanker payudara, usus besar dan kanker prostat
*Korespondensi: (Babu, dkk., 2009).
Muthmainna Indonesia merupakan negara produsen
Program Studi Pendidikan kimia, Fakultas Keguruan dan tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar
Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako
email: muthmainna07511@gmail.com kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari
© 2016 - Universitas Tadulako konsumsi kedelai di Indonesia dilakukan dalam
50
Mutmaina Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar ................

bentuk tempe, 40% tahu dan 10% dalam pemilihan biji untuk mendapatkan biji lamtoro
bentuk lain (seperti touce, kecap, dll) (Hayati, yang berkualitas baik. Selanjutnya biji lamtoro
2009). tersebut direbus selama 30 menit lalu ditiriskan.
Kenaikan harga kedelai yang berimbas Kemudian biji lamtoro direndam selama 24
pada kenaikan harga tempe mengakibatkan jam dan airnya diganti sebanyak 3 kali sehari.
penurunan tempe sebagai salah satu sumber Setelah itu, kulit biji buah lamoro dihilangkan
protein oleh masyarakat. Kelangkaan kedelai dengan cara diremas-remas menggunakan
yang dialami Indonesia saat ini tentu tidak tangan untuk mempermudah jamur menembus
berarti telah terjadi krisis pangan, karena keping biji lamroro pada saat proses fermentasi.
kedelai hanya salah satu dari sekian banyak
Kemudian direbus kembali selama 30 menit
komoditas pangan yang menjadi menu
makanan kita sehari-hari. Tetapi, bagi keluarga dan ditiriskan sampai benar – benar kering.
yang mengandalkan tahu – tempe sebagai Lalu ditaburi ragi tempe dengan komposisi ragi
sumber protein, sekarang harus repot mencari 0.5% dari berat biji lamtoro, kemudian diaduk
sumber protein yang lain (Hayati, 2009). sampai rata. Selanjutnya biji lamtoro yang
Salah satu bahan pengganti kedelai sudah tercampur rata dengan ragi dibungkus
adalah biji lamtoro gung. Biji lamtoro gung dengan menggunakan plastik. Plastik tersebut
mempunyai kandungan protein yang cukup dilubangi dengan menggunakan jarum yang
tinggi bila dibandingkan dengan golongan biji- berukuran besar untuk setiap sisi atas dan sisi
bijian yang lain, yaitu berkisar antara 30-40%. bawah. Langkah terakhir yaitu difermentasikan
Biji lamtoro gung juga mengandung beberapa dengan variasi waktu 0 jam (tanpa fermentasi),
zat penting lain, di antaranya kalori, hidrat 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam.
arang, kalsium, fosfor, zat besi dan vitamin A,
B1 dan C (Rosida, dkk., 2009). Analisis Kadar Protein
Penanganan, penyimpanan dan pengawetan Analisis kadar protein pada tempe lamtoro
bahan pangan sering menyebabkan terjadinya gung dilakukan dengan menggunakan metode
perubahan nilai gizinya, yang sebagian besar Kjeldahl. Langkah pertama yaitu sebanyak 0,5
tidak diinginkan. Zat gizi yang terkandung g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam
dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian
besar proses pengolahan karena sensitif terhadap labu Kjeldahl, ditambahkan 10 mL H2SO4
pH, oksigen, dan sinar matahari (Palupi, dkk., pekat dan 1 butir tablet Kjeldahl. Kemudian
2007). Tulisan ini mendeskripsikan penelitian didestruksi menggunakan alat Kjeldahl term
tentang pengaruh waktu fermentasi terhadap pada suhu ±400 0C sampai semua bahan dalam
kadar protein dari tempe biji buah lamtoro labu Kjeldahl larut dan cairan menjadi bening
gung. kehijauan. Selanjutnya setelah proses destruksi
selesai, dibiarkan beberapa saat sampai dingin.
Metode Sebanyak 2 mL larutan yang telah didestruksi
Alat dan Bahan Penelitian diencerkan sampai 10 mL kemudian dianalisis
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian menggunakan spektrofotometer direct.
meliputi: spektrofotometer direct (RS232
Lovibond), Kjeldahl Term, Gelas kimia 50 mL, Analisis data
Pemanas listrik, neraca digital, gelas ukur 10 Berdasarkan hasil pengukuran yang
mL, batang pengaduk, spatula, botol semprot, diperoleh menggunakan alat spektrofotometer
pipet tetes, gegep, panci, kompor, saringan, direct, maka data yang diperoleh dapat dihitung
wadah (Loyang), plastik pembungkus dan menggunakan persamaan (Muctadi, 2010):
jarum. % Kadar Protein = % N x 6,25, dimana 6,25
Bahan-bahan yang digunakan meliputi:
merupakan faktor koreksi.
biji buah lamtoro gung kering, ragi tempe,
H2SO4 Pekat (Merck KGaA), aquades dan tablet
Kjeldahl. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Prosedur Penelitian Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
Pembuatan Tempe Lamtoro Gung secara umum dapat diketahui bahwa lama
Pembuatan tempe lamtoro gung diawali fermentasi memberi pengaruh terhadap kadar
dengan pengupasan kulit lamtoro dan protein. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

51
Volume 5, No. 1, 2016: 50-54 Jurnal Akademika Kimia

Tabel 1. Kadar Protein Tempe Biji Buah Lam- katalisator untuk mempercepat terjadinya
toro Gung oksidasi pada proses destruksi (Hendrayati &
Askar, 2003).
Kadar protein sebelum fermentasi yaitu
sebesar 8.474%. Dari Tabel 1 dapat dilihat
bahwa setelah proses fermentasi terjadi
penurunan kadar kadar protein. Kadar protein
tertinggi diperoleh pada fermentasi 24 jam
yaitu 7.943%. Sedangkan kadar protein pada
waktu fermentasi 36 jam yaitu sebesar 7.725%,
fermentasi 48 jam sebesar 7.195%, fermentasi
60 jam sebesar 7.197% dan fermentasi 72 jam
yaitu sebesar 5.733%. Fermentasi selama 72
jam ini juga merupakan fermentasi dengan
kadar protein terendah. Perubahan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1

Lamtoro gung atau petai cina adalah


sejenis perdu dari Famili Fabaceae yang sering
digunakan dalam reboisasi atau pencegahan
erosi. Buah lamtoro gung yang muda dapat
dijadikan sebagai lalapan dan bahan makanan
yang biasa disebut dengan botok. Kandungan
gizi biji lamtoro gung relatif lengkap dan
tidak jauh berbeda dengan kandungan gizi biji
kedelai (Sayudi, dkk., 2015).
Pembuatan tempe lamtoro gung diawali Gambar 1. Grafik Hubungan Antara Kadar
dengan proses prafermentasi yaitu perebusan, Protein dengan Waktu Fermentasi.
pembuangan kulit biji, perendaman dan Adanya pengurangan jumlah protein pada
pengukusan, yang dilanjutkan dengan pembuatan tempe disebabkan oleh proses
fermentasi menggunakan ragi yang dapat berupa pengolahan tempe (food processing) seperti
rhizopus oligosporus atau dapat juga dengan perendaman dan perebusan. Protein biji lamtoro
laru yang merupakan campuran beberapa ragi. gung dan biji kedelai memiliki bentuk protein
Proses pembuatan tempe ini menguntungkan globular. Protein globular memiliki sifat mudah
karena dapat meningkatkan kecernaan protein, larut dalam larutan garam dan asam encer, juga
penyerapan zat besi dan menurunkan zat anti lebih muda berubah di bawah pengaruh suhu
gizi (Listyawati, dkk., 2001). sehingga lebih mudah mengalami denaturasi
Penentuan kadar protein pada tempe biji (Sayudi, dkk., 2015).
lamtoro gung dengan menggunakan metode Proses pemanasan juga akan membuat
Kjeldahl pada dasarnya dibagi menjadi 3 protein mengalami denaturasi. Denaturasi
tahapan yaitu, proses destruksi, proses destilasi protein akan membuat protein rusak,
dan proses titrasi. Namun pada penelitian sehingga dengan semakin banyak protein
ini, hanya dilakukan sampai pada tahap yang terdenaturasi menyebebakan terjadinya
destruksi, hal ini disebabkan karena penentuan penurunan kadar protein (Sadli, 2014). Selain
kadar nitrogen totalnya dilakukan dengan itu proses pemanasan juga akan meningkatkan
menggunakan alat spektrofotometer direct daya cerna protein yang di hancurkan oleh
(Hendrayati & Askar, 2003). enzim protease (Hassan, dkk., 2006).
Tahap destruksi, sampel dipanaskan Selama proses fermentasi banyak sekali
dengan menambahkan H2SO4 dan 1 butir jamur yang aktif, tetapi umumnya para peneliti
tablet Kjeldahl sehingga terjadi destruksi menganggap bahwa rhizopus oligosporus
protein menjadi unsur – unsurnya. Asam merupakan jamur yang paling dominan. Jamur
sulfat pekat yang ditambahkan dalam jumlah yang tumbuh pada tempe tersebut menghasilkan
yang berlebihan, akan dipergunakan untuk enzim-enzim pemecah senyawa-senyawa
membentuk garam ammonium sulfat, gas kompleks. rhizopus oligosporus menghasilkan
belerang dioksida dan sebagian bereaksi dengan enzim–enzim protease. Perombakan senyawa

52
Mutmaina Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar ................

kompleks protein menjadi senyawa – (Muslikhah, dkk., 2013).


senyawa lebih sederhana yaitu asam amino Selain itu selama proses fermentasi
adalah penting dalam fermentasi tempe, dan berlangsung juga terdapat bau/aroma yang
merupakan salah satu faktor utama penentu kurang baik pada waktu fermentasi 60 jam dan
kualitas tempe, yaitu sebagai sumber protein 72 jam. Serta pada fermentasi ini tekstur tempe
nabati yang memiliki nilai cerna tinggi karena sudah menjadi sangat lunak. Kemungkinan
lebih mudah untuk diserap dan dimanfaatkan besar hal ini disebabkan oleh rusaknya jamur
oleh tubuh secara langsung (Dwinaningsih, yang terdapat pada tempe. Bau busuk pada
2010). Selama proses fermentasi ada sejumlah tempe disebabkan oleh jamur rhizopus tersebut
protein yang digunakan oleh kapang rhizopus mati dan tumbuh jamur lain serta bakteri yang
oligosporus sebagai sumber nitrogen untuk dapat merombak protein dalam tempe sehingga
pertumbuhannya (Sayudi, dkk., 2015). menyebabkan bau yang tidak enak. Bau busuk
Jamur rhizopus oligosporus bersifat tersebut disebabkan oleh adanya aktivitas enzim
proteolitik dan ini penting dalam pemutusan proteolitik dalam menguraikan protein menjadi
protein menjadi unsur – unsurnya. Jamur ini peptida atau asam amino secara anaerobik yang
akan mendegradasi protein selama fermentasi menghasilkan H2S, amoniak, metil sulfida,
menjadi dipeptida dan seterusnya menjadi amina, dan senyawa-senyawa lainnya yang
senyawa NH3 atau NH2 yang hilang melalui berbau busuk (Muslikhah, dkk., 2013).
penguapan. Dengan semakin lama fermentasi Proses fermentasi juga akan mengurangi zat
berarti semakin lama kesempatan jamur anti nutrisi (Onyango, dkk., 2013). Salah satu
mendegradasi protein, sehingga protein yang zat anti nutrisi yang terdapat dalam biji lamtoro
terdegradasipun semakin banyak, akibatnya gung yaitu mimosin. Hal ini disebabkan
protein tempe semakin menurun dengan karena senyawa tersebut dikonsumsi oleh
semakin lama proses fermentasi (Deliani, mikroorganisme karena strukturnya analog
2008). dengan L-tirosin. Mimosin terukur sebagai
Waktu fermentasi juga memberikan suatu asam amino, sehingga kadar protein
pengaruh dalam kualitas produk suatu produk, terlarut pada biji tinggi karena di dalamnya
produk fermentasi adalah produk yang dapat masih terdapat senyawa mimosin (Rahayu,
diterima baik secara kenampakan, aroma serta dkk., 2005).
nutrisi yang dihasilkan (Darajat, dkk., 2014).
Selama proses fermentasi tersebut terjadi Kesimpulan
peningkatan kelarutan zat-zat gizi terutama Ada pengaruh waktu fermentasi terhadap
protein dan karbohidrat (gula terlarut). kadar protein dimana semakin lama waktu
Dengan demikian fermentasi dapat membantu fermentasi maka kadar protein semakin
meningkatkan daya serap zat-zat gizi dalam menurun. Kadar protein tertinggi diperoleh
tempe lamtoro gung tersebut (Komari, 1999). pada waktu fermentasi 24 jam yaitu sebesar
Selama proses fermentasi berlangsung, 8.474% dan kadar protein terendah diperoleh
tempe yang dihasilkan berbeda dengan tempe pada waktu fermentasi 72 jam yaitu sebesar
kedelai yang beredar dipasaran pada umumnya. 5.733%.
Tempe yang diperoleh pada penelitian ini
berwarna coklat dan kurang ditumbuhi oleh Ucapan Terima Kasih
jamur atau miselium yang berwarna putih serta Penulis mengucapkan terima kasih
teksturnya kurang kompak. Hal ini disebabkan kepada kepala laboran laboratorium Kimia
oleh kurangnya jumlah ragi/laru yang FKIP UNTAD dan semua pihak yang telah
digunakan atau ragi yang digunakan sudah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
rusak (tidak aktif ). Untuk mendapatkan tempe
yang baik maka ragi yang digunakan ragi dalam Referensi
keadaan aktif, artinya kapang tempe dapat Babu, P. D., Bhakyaraj, R. & Vidhyalakshmi,
tumbuh dengan baik. Ragi yang baru akan R. (2009). A low cost nutritious food
berpeluang mengahsilkan tempe yang baik yang “tempeh”- A review. World Journal of Dairy
akan berpengaruh terhadap pembentukan rasa, & Food Sciences, 4(1), 22-27.
aroma dan flavor tempe yang dihasilkan (Silvia,
2009). Tempe yang baik adalah tempe yang Darajat, D. P., Susanto, W. H. &
kompak, seluruh tubuh diselimuti miselium Purwantiningrum, I. (2014). Pengaruh
kapang berwarna putih, tidak bernoda hitam umur fermentasi tempe dan proporsi
akibat timbul spora, tidak berlendir, mudah dekstrin terhadap kualitas susu tempe
diiris, tidak busuk dan tidak berbau amoniak bubuk. Jurnal Pangan dan Agroindustri,

53
Volume 5, No. 1, 2016: 50-54 Jurnal Akademika Kimia

2(1), 47-53. M. A., Ochieng, J. K., Mathooko, F. M. &


Kinyuru, J. N. (2013). Effects of malting
Deliani. (2008). Pengaruh lama fermentasi and fermentation on anti-nutrient reduction
terhadap kadar protein, lemak, komposisi and protein digestibility of red sorghum,
asam lemak dan asam fitat pada pembuatan white sorghum and pearl millet. Journal of
tempe. Universitas Sumatera, Medan. Food Research, 2(1), 41-49.
Dwinaningsih, E. A. (2010). Karakteristik Palupi, N., Zakaria, F. & Prangdimurti, E.
kimia dan sensori tempe dengan variasi bahan (2007). Pengaruh pengolahan terhadap nilai
baku kedelai/beras dan penambahan angkak gizi pangan. Bogor: Departemen Ilmu &
serta variasi lama fermentasi., Universitas Teknologi Pangan.
Sebelas Maret Surakarta.
Rahayu, A., Suranto & Purwoko, T. (2005).
Hassan, A. B., Ahmed, I. A. M., Osman, N. Analisis karbohidrat, protein, dan lemak
M., Eltayeb, M. M., Osman, G. A. & pada pembuatan kecap lamtoro gung
Babiker, E. E. (2006). Effect of processing (leucaena leucocephala) terfermentasi
treatments followed by fermentation on aspergillus oryzae. Jurnal Biotekhnologi,
protein content and digestibility of pearl 2(1), 14-20.
millet (pennisetum typhoideum) cultivars.
Pakistan Journal of Nutrition, 5(1), 86-89. Rosida, D. F., Sudaryati, H. P. & Costantia, F.
(2009). Kajian peran angkak pada kualitas
Hayati, S. (2009). Pengaruh waktu fermentasi tempe kedelai-lamtoro gung (leucaena
terhadap kulaitas tempe dari biji nangka leucocephala). Universitas Pembangunan
(artocarpus heterophyllus) dan penentuan Nasional, Jawa Timur.
kadar zat gizinya. Universitas Sumatera
Utara, Medan. Sadli. (2014). Analisis kandungan karbohidrat
lemak dan protein dari biji durian (durio
Hendrayati, H. & Askar, S. (2003). Teknik zibenthinus murr) dengan variasi waktu
Pengenceran Analisis Protein Kasar Metode
Kjeldahl Dengan Markham Still Dalam fermentasi. Universitas Tadulako, Palu.
Bahan Pakan. Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Sayudi, S., Herawati, N. & Ali, A. (2015).
Potensi biji lamtoro gung dan biji kedelai
Komari. (1999). Proses fermentasi biji lamtoro sebagai bahan baku pembuatan tempe
gung dengan rhizopus oryzae. Jurnal komplementasi. Jurnal Online Mahasiswa
Mikrobiologi Indonesia, 4(1), 19-21. (JOM) Universitas Riau, 2(1), 1-9.

Listyawati, S., Moeljono, M. P. E. & Handari, Setyaningsih, E., Purwani, E. & Sarbini.
S. (2001). Gambaran histologis kelenjar (2009). Perbedaan kadar kalsium, albumin
tiroid pada tikus (rattus norvegicus) setelah dan daya terima pada selai cakar ayam dan
pemberian tempe lamtoro gung. Jurnal kulit pisang dengan variasi perbandingan
Biosmart, 3(1), 14-18. kulit pisang yang berbeda. Jurnal Ilmu
Kesehatan, 1(2), 27-37.
Muctadi, D. (2010). Teknik Evaluasi Nilai Gizi
Pangan. Bandung: Alfabeta. Silvia, I. (2009). Pengaruh penambahan variasi
berat inokulum terhadap kualitas tempe biji
Muslikhah, S., Anam, C. & Andriani, M. durian (durio zibenthinus). Universitas
(2013). Penyimpanan tempe dengan metode Sumatera Utara, Medan
modifikasi atmosfer (modified atmosphere)
untuk mempertahankan kualitas dan daya Widodo, T. (2012). Pemanfaatan biji nangka
simpan. Jurnal Teknosains Pangan, 2(3), 51- (artocarpus heterophyllus lam) sebagai substrat
60. pembuatan tempe biji nangka dengan variasi
kadar ragi dan lama fermentasi. Universitas
Onyango, C. A., Ochanda, S. O., Mwasaru, Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

54

Anda mungkin juga menyukai