Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

SISTEM GENITOURANARIA

Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik

Oleh Kelompok 5 :

RAHMAWANTO

RUSMINI

WA ODE AMFIAR

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI PROFESI NERS

2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu
fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan
sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda,
di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak
tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui
bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut
usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang
mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan
jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh
mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai
fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal,
seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya
tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus
berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif
pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan
waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain .
Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami
bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik
sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh,
dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus
berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Seiring dengan proses menua, semua sistem ditubuh juga
mengalami kemunduran tidak terkecuali pada sistem perkemihan.
Kemunduran fungsi bisa mengakibatkan berbagai masalah. Masalah
timbul karena berkurangnya fungsi ginjal, ketidakmampuan mengontrol
proses pengeluaran maupun disebabka karena pembesaran prostat
akan menimbulkan masalah terutama pada lansia.

B. RUMUSAN MASALAH
Fokus dalam penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan
konsep dasar sistem genitourinaria urin yang terjadi pada lansia yaitu
mulai pengertian, etiologi, bagaimana patofisiologinya, tanda dan
gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan bagaimana
asuhan keperawatan pada lansia dengan ganguan pada sistem
genitouraria.

C. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan
keperawatan yang tepat pada lansia dengan ganguan sistem
genitourinasi. Dan dapat menerapkannya dalam praktek pemberian
asuhan keperawatan kepada pasien.

D. MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah yaitu :
1. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang asuhan
keperawatan pada lansia dengan ganguaan sistem genitourinaria
mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.
2. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimana
gambaran asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan
pada sistem genitourinaria.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendahuluan
Sistem perkemihan pada manuasia dimulai dari ginjal, ginjal
merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal
mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur keseimbangan cairan
tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang
melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta
mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan
sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat
kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi
renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif
vitamin D yaitu penting untuk mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang
penting untuk sintesis darah.

Setelah ginjal terdapat kedua ureter merupakan saluran yang


panjangnya 25 sampai 30 cm, yang berjalan dari ginjal sampai kandung
kemih. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan kemih ke kandung
kemih. Kandung kemih adalah salah satu kantong berotot yang dapat
mengempis dan berdilatasi, terletak di belakang simpisis pubis. Kandung
kemih memiliki 3 muara antara lain dua muara ureter dan satu muara
uretra. Dua fungsi kandung kemih adalah sebagai tempat penyimpanan
kemih dan mendorong kemih keluar dari tubuh melalui uretra. Uretra
adalah saluran kecil yang dapat mengembang, yang berjalan dari
kandung kemih sampai keluar tubuh. Panjangnya pada wanita sekitar 4
cm dan pada pria sekitar 20 cm.

Dalam proses penuaan akan terjadi kemunduran dari masing-


masing bagian. Kemunduran ini akan berdampak yang berbeda tiap
individu.
B. Perubahan Sistem Genitourinaria Pada Lansia
1. Ginjal
Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan
ginjal pada usia muda. Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-
30% atau 110-150 gram bersamaan dengan pengurangan ukuran
ginjal. Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman tentang
panjang, luas dan kemampuan untuk berkembang dari ginjal yang
mendapat urogram i.v, mereka menemukan bahwa panjang ginjal
berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun.
Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks
ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30-
40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus berkurang
secara progresif setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi
penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari 1%
glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-
30% pada usia 80 tahun.

Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal


pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung
untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang
terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada
jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi
ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular
akan meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang
berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem
keseimbangan. Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat
seseorang mulai memasuki usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal
menurun sampai 50% yang diakibatkan karena berkurangnya jumlah
nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.

Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau


sekitar 1 liter per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal
mengalir sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring
di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per
hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang
terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter
per hari. Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan,
memperlihatkan bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran
darah ginjal kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal
pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit.
Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks.
Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari
kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus
besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan
usia.

Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana


pada peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi
terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam
tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih
berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah
penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah
lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin
atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang
mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang
mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang
menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila
dibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin
juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk
mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara
intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air
yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

2. Vesika Urinaria
Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika
Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih
diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi
terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter
ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini.Pada lansia tidak
semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan
adanya retensi urine.Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan
adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi
jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan
pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
Otot kandung kemih menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai
200 ml atau menyebabkan frekuensi BAK meningkat. Aktivitas kendali
sfingter dan detrusor hilang, sehingga sering kencing tanpa sadar,
terutama di malam hari. Penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-
400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan
kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari dan atopi pada otot
kandung kemih secara umum. Dengan bertambahnya usia kapasitas
kandung kemih menurun, sisa urin setelah selesai berkemih
cenderung meningkat dan kontraksi otot kandung kemih yang tidak
teratur sering terjadi. Keadaan ini menyebabkan sering berkemih dan
kesulitan menahan keluarnya urin. Pada wanita pasca menopause
karena menipisnya mukosa disertai dengan menurunnya kapasitas,
kandung kemih lebih rentan dan sensitif terhadap rangsangan urine,
sehingga akan berkontraksi tanpa dapat dikendalikan.
3. Mekanisme Kontrol
Perubahan pada sistem saraf dan sistem regulator lain
mempengaruhi fungsi perkemihan. Impuls motorik dalam saraf spinal
mengontrol perkemihan, sedangkan otak bertanggung jawab untuk
mendeteksi sensasi pemenuhan kandung kemih, menghambat
pengosongan kandung kemih saat dibutuhkan, dan stimulasi kontraksi
pengosongan kandung kemih. Saat kandung kemih terisi, reseptor
sensori di dinding kandung kemih mengirim sinyal ke saraf spinal
sakral. Pada lansia, perubahan degeneratif di korteks serebral dapat
mengubah sensasi pemenuhan kandung kemih dan kemampuan
mengosongkan kandung kemih dengan komplet. Pada orang dewasa,
sensasi penuh dimulai ketika kandung kemih terisi setengah. Tetapi,
pada lansia interval antara persepsi awal dari dorongan untuk
mengosongkan dan kebutuhan sebenarnya untuk mengosongkan
kandung kemih menjadi lebih singkat sehingga meningkatkan
kejadian inkontinensia urin.

C. Penyakit Penyakit Ginjal Dan Traktus Urinarius Pada Lanjut Usia


1. Infeksi Saluran Kemih ( ISK )
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai
untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran
kemih. Prevalensi ISK di masyarakat makin meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pada usia 40-60 tahun mempunyai angka
prevalensi 3,2 %, sedangkan pada usia sama atau di atas 65 tahun
kira-kira mempunyai angka prevalensi ISK sebesar 20 %. Infeksi
saluran kemih dapat mengenal baik laki-laki maupun wanita dari
semua umur, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia.
Akan tetapi dari kedua jenis kelamin, ternyata wanita lebih sering dari
pria dengan angka populasi umum, kurang lebih 5-15%. Bermacam-
macam mikroorganisme dapat menyebabkan ISK. Mikroorganisme
yang paling sering adalah bakteri aerob. Saluran kemih normal tidak
dihuni oleh bakteri atau mikroba lain, karena itu urin dalam ginjal dan
buli-buli biasanya steril. Walaupun demikian uretra bagian bawah
terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya makin
kurang pada bagian yang mendekati kandung kemih. Selain bakteri
aerob, ISK juga dapat disebabkan oleh virus, ragi, dan jamur.
Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri
dalam urin. Bakteriuria yang disertai dengan gejala pada saluran
kemih disebut bakteriuria simptomatis. Sedangkan yang tanpa gejala
disebut bakteriuria asimptomatis. Dikatakan bakteriuria positif pada
pasien asimptomatis bila terdapat lebih dari 105 koloni bakteri dalam
sampel urin midstream, sedangkan pada pasien simptomatis bisa
terdapat jumlah koloni lebih rendah.
ISK pada usia lanjut dipandang dari segi penatalaksanaan
sering dibedakan atas: (Russel, B.M., 1989; Tolkoff, Rubu N.E. dan
Rubin R.H., 1989). ISK dibagi menjadi dua :
a. ISK uncomplicated (simple)
ISK yang sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran
kencing baik anatomi maupun fungsionil normal. ISK sederhana ini
pada usia lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi
hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih. Penyebab
kuman tersering (90%) adalah E. coli.
b. ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kuman
penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten
terhadap beberapa macam antibiotik, sering terjadi bakteriemia,
sepsis, dan syok. Penyebab kuman pada ISK complicated adalah
Pseudomonas, Proteus, dan Klebsiela. ISK complicated terjadi bila
terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
Kelainan abnormal saluran kemih, misalnya batu (pada usia lanjut
kemungkinan terjadinya batu lebih besar dari pada usia muda).
Refleks vesiko urethral obstruksi, paraplegi, atoni kandung kemih,
kateter kandung kemih menetap, serta prostatitis
menahun.Kelainan faal ginjal, baik gagal ginjal akut (GGA)
maupun gagal ginjal kronis (GGK).
Gejala klinis ISK tidak khas dan bahkan pada sebagian pasien
tanpa gejala. Gejala yang sering ditemukan ialah disuria, polakisuria,
dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan. Nyeri
suprapubik dan daerah pelvis juga ditemukan. Polakisuria terjadi
akibat kandung kemih tidak dapat menampung urin lebih dari 500 ml
karena mukosa yang meradang sehingga sering kencing. Stranguria,
tenesmus, nokturia, sering juga ditemukan enuresis nokturnal
sekunder, prostatismus, nyeri uretra, kolik ureter dan ginjal. Gejala
klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi
sebagai berikut
Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa rasa sakit
atau rasa panas di uretra sewaktu kencing dengan air kemih sedikit-
sedikit serta rasa tidak enak di daerah suprapubik.Pada ISK bagian
atas dapat ditemukan gejala sakit kepala, malaise, mual, muntah,
demam, menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu melalui
pemeriksaan laboratorium melalui urinanalisis.
Penangnan pada kasus infeksi saluran kemih dengan
diberikan obat-obat sesuai dengan keluhan, pasien dianjukan untuk
banyak minum agar diuresis meningkat.

2. Incontinansia Urin
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and
Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan
masalah social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine
adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat
didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social.
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana
seseorang mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana
seseorang mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
kehilangan urin kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan
tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang
dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu.
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.

Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji


Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan
penurunan otot-otot dasar panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)


1) Inkontinensia Dorongan :

a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih

2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.

5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi


faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia
urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu
tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi
yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih
(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi
dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia
diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara
bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari
lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul
tersebut adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10
kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong
feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini
dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen
adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa
adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan
retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik
agonis sepertiBethanecholataualfakolinergik antagonis
sepertiprazosinuntuk stimulasi kontraksi, danterapi diberikan secara
singkat.

d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe
stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis
tidak berhasil. Inkontinensia tipeoverflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter.
f.Pemantauan Asupan Cairan

Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml


perhari dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml
perhari dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang
kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk
mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan
cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada
malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang
hari sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama.\

3. Hipertrofi Prostat
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral
yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak


kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau
semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 ).

Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui


secara pasti. Tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
Benigne Prostat Hypertropi yaitu testis dan usia lanjut.

Kelenjar proatat adalah suatu jaringan fibromuskular dan kelenjar


grandular yang melingkari urethra bagian proksimal yang terdiri dari
kelnjar majemuk, saluran-saluran dan otot polos terletak di bawah
kandung kemih dan melekat pada dinding kandung kemih dengan
ukuran panjang : 3-4 cm dan lebar : 4,4 cm, tebal : 2,6 cm dan sebesar
biji kenari, pembesaran pada prostat akan membendung uretra dan
dapat menyebabkan retensi urine,

Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi


secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi
pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang
mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian
detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnonosa dengan Intravena


pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy,
foto polos abdomen. (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
Tanda dan gejala pada pasien yang menglami gangguan prostat
antara lain :

1. Hilangnya kekuatan pancaran saat miksi (bak tidak lampias)


2. Kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih.
3. Rasa nyeri saat memulai miksi/
4. Adanya urine yang bercampur darah (hematuri).
BAB III
Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan gangguan sistem genitouraniraia,
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada
adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul
keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran
Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota
keluarga yang menderita DM, Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung
dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
C. Intervensi
1) Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
2. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
3. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
4. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.
2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
 Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan
tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika
pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewas padaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan
cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan
perianal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan
spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah
sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara
keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat
berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan
integritas kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
 Jumlah bakteri <100.000/ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.
4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
2. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan sistem urinaria dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria,
tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi
senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya
frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Sistem perkemihan pada manuasia
dimulai dari ginjal, ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia
maka dari itu ginjal mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara
menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan
non elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih
Dengan ada proses penuaan akan penunan fungsi dari
masing-masing organ yang akan berakibat menimbulkan banyak penyakit
dan keluhan.

B. Saran
Melakukan proses asuhan keperawatan pada lansia dengan
ganggguan sistem genitourinaria secara menyeluruh dan komprehnsif
agar dapat meningkatkan derajat dan kualitas hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1.


Jakarta: EGC.
Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2).
Jakarta: Salemba Medika.
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik
Edisi 2. Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai