SISTEM GENITOURANARIA
Oleh Kelompok 5 :
RAHMAWANTO
RUSMINI
WA ODE AMFIAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu
fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan
sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda,
di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak
tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui
bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut
usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang
mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan
jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh
mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai
fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal,
seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya
tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus
berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif
pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan
waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain .
Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami
bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik
sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh,
dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus
berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Seiring dengan proses menua, semua sistem ditubuh juga
mengalami kemunduran tidak terkecuali pada sistem perkemihan.
Kemunduran fungsi bisa mengakibatkan berbagai masalah. Masalah
timbul karena berkurangnya fungsi ginjal, ketidakmampuan mengontrol
proses pengeluaran maupun disebabka karena pembesaran prostat
akan menimbulkan masalah terutama pada lansia.
B. RUMUSAN MASALAH
Fokus dalam penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan
konsep dasar sistem genitourinaria urin yang terjadi pada lansia yaitu
mulai pengertian, etiologi, bagaimana patofisiologinya, tanda dan
gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan bagaimana
asuhan keperawatan pada lansia dengan ganguan pada sistem
genitouraria.
C. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan
keperawatan yang tepat pada lansia dengan ganguan sistem
genitourinasi. Dan dapat menerapkannya dalam praktek pemberian
asuhan keperawatan kepada pasien.
D. MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah yaitu :
1. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang asuhan
keperawatan pada lansia dengan ganguaan sistem genitourinaria
mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.
2. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimana
gambaran asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan
pada sistem genitourinaria.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Sistem perkemihan pada manuasia dimulai dari ginjal, ginjal
merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal
mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur keseimbangan cairan
tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang
melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta
mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan
sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat
kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi
renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif
vitamin D yaitu penting untuk mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang
penting untuk sintesis darah.
2. Vesika Urinaria
Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika
Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih
diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi
terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter
ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini.Pada lansia tidak
semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan
adanya retensi urine.Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan
adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi
jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan
pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
Otot kandung kemih menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai
200 ml atau menyebabkan frekuensi BAK meningkat. Aktivitas kendali
sfingter dan detrusor hilang, sehingga sering kencing tanpa sadar,
terutama di malam hari. Penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-
400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan
kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari dan atopi pada otot
kandung kemih secara umum. Dengan bertambahnya usia kapasitas
kandung kemih menurun, sisa urin setelah selesai berkemih
cenderung meningkat dan kontraksi otot kandung kemih yang tidak
teratur sering terjadi. Keadaan ini menyebabkan sering berkemih dan
kesulitan menahan keluarnya urin. Pada wanita pasca menopause
karena menipisnya mukosa disertai dengan menurunnya kapasitas,
kandung kemih lebih rentan dan sensitif terhadap rangsangan urine,
sehingga akan berkontraksi tanpa dapat dikendalikan.
3. Mekanisme Kontrol
Perubahan pada sistem saraf dan sistem regulator lain
mempengaruhi fungsi perkemihan. Impuls motorik dalam saraf spinal
mengontrol perkemihan, sedangkan otak bertanggung jawab untuk
mendeteksi sensasi pemenuhan kandung kemih, menghambat
pengosongan kandung kemih saat dibutuhkan, dan stimulasi kontraksi
pengosongan kandung kemih. Saat kandung kemih terisi, reseptor
sensori di dinding kandung kemih mengirim sinyal ke saraf spinal
sakral. Pada lansia, perubahan degeneratif di korteks serebral dapat
mengubah sensasi pemenuhan kandung kemih dan kemampuan
mengosongkan kandung kemih dengan komplet. Pada orang dewasa,
sensasi penuh dimulai ketika kandung kemih terisi setengah. Tetapi,
pada lansia interval antara persepsi awal dari dorongan untuk
mengosongkan dan kebutuhan sebenarnya untuk mengosongkan
kandung kemih menjadi lebih singkat sehingga meningkatkan
kejadian inkontinensia urin.
2. Incontinansia Urin
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and
Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan
masalah social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine
adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat
didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social.
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana
seseorang mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana
seseorang mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
kehilangan urin kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan
tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang
dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu.
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe
stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis
tidak berhasil. Inkontinensia tipeoverflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter.
f.Pemantauan Asupan Cairan
3. Hipertrofi Prostat
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral
yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).
A. Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan gangguan sistem genitouraniraia,
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada
adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul
keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran
Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota
keluarga yang menderita DM, Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung
dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
C. Intervensi
1) Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
2. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
3. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
4. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.
2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan
tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika
pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewas padaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan
cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan
perianal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan
spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
Tingkatkan masukan sari buah berri.
Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah
sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara
keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat
berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan
integritas kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
Jumlah bakteri <100.000/ml.
Kulit periostomal tetap utuh.
Suhu 37° C.
Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.
4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
2. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan sistem urinaria dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria,
tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi
senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya
frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Sistem perkemihan pada manuasia
dimulai dari ginjal, ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia
maka dari itu ginjal mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara
menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan
non elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih
Dengan ada proses penuaan akan penunan fungsi dari
masing-masing organ yang akan berakibat menimbulkan banyak penyakit
dan keluhan.
B. Saran
Melakukan proses asuhan keperawatan pada lansia dengan
ganggguan sistem genitourinaria secara menyeluruh dan komprehnsif
agar dapat meningkatkan derajat dan kualitas hidup.
DAFTAR PUSTAKA