Anda di halaman 1dari 45

CASE REPORT

ENSEFALITIS TOKSOPLASMA

Disusun oleh :
Leonie Avica Huningkor
NIM : 1361050100

Dokter Pembimbing :
dr. Wiwit Ida Chahyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 06 NOVEMBER s/d 09 DESEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Ensefalitis toksoplasma atau toxoplasma encephalitis (TE) merupakan

etiologi infeksi intrakranial tersering yang muncul sebagai lesi desak ruang di otak

pada pasien HIV. Seroprevalensi toksoplasma di Indonesia sangat tinggi dan pernah

dilaporkan sebesar 80% pada populasi orang Indonesia sehat. Pasien HIV yang

seropositif terhadap infeksi toksoplasma memiliki peningkatan risiko reaktivasi

infeksi dan dapat berkembang menjadi TE. Adanya defisit neurologis yang ebrsifat

progresif pada pasien HIV positif dengan CD4 <100 sel/μL serta pencitraan yang

sesuai dengan lesi fokal multipel di otak harus dicurigai ke arah infeksi

toksoplasma.1

Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak

dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit

Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat

ditularkan ke manusia. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan

dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan

HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis

akut karena proses reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka

kurang di bawah 100sel/µL atau apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/µL

tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau malignansi. Reaktivasi

toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya akan

2
menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis

dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di

negara-negara berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. Berdasarkan

gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih

serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.2,3

Gambar 1. Toxoplasma Gondii dengan pewarnaan giemsa

3
BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama: Tn. E Pekerjaan: -

Umur: 36 tahun Status pernikahan: Belum Menikah

Alamat: Jakarta Selatan Suku: Jawa

Agama: Islam

II. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama: Kejang

Pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Pasar Minggu pada tanggal 17

November 2017 dengan keluhan kejang 2 jam SMRS. Kejang kelojotan terjadi saat

pasien istirahat dan berlangsung selama kurang lebih 5-10 menit, pasien dalam

keadaan sadar. Setelah kejang pasien gelisah dan muntah sebanyak empat kali

kemudian tidur. Pasien kejang setiap hari sejak kurang lebih 3 minggu lalu, dengan

frekuensi 1-3x sehari, biasanya setelah pasien BAB. Trauma kepala disangkal,

lemah separuh badan atau ekstremitas tertentu disangkal. Pasien juga mengeluhkan

adanya nyeri kepala, terkadang demam dan buang air besar (BAB) berdarah.

Riwayat Penyakit Dahulu: riwayat kejang sejak 3 minggu lalu akibat infeksi

pada otak dan sedang mengkonsumsi obat anti kejang, namun obat yang diminum

4
tidak teratur. Pasien merupakan pasien SIDA putus obat, dan sedang dalam

pengobatan TB paru dengan OAT bulan ketiga. Pasien meminum obat-obatan:

fenitoin 3x100 mg, omeprazole 2x20mg, ulsafat 3x10 cc, clindamisin 4x600 mg,

cotrimoksasol 2x960mg. Riwayat HT (-), DM (-).

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak terdapat keluarga yang pernah mengalami

keluhan yang sama

Riwayat Kebiasaan Pribadi: Pasien jarang berolahraga, tidak merokok, dan

tidak minum minuman beralkohol.

III.Pemeriksaan Fisik

KU : TSB

Kesadaran : GCS (E4 M5 V3 ) Tekanan darah : 130/80 mmHg

Pernafasan : 24x/menit Nadi : 113 x/menit

Suhu : 36,4⁰C Saturasi: 99%

Kepala : Normocephali

Thoraks

Paru : BND Vesikuler +/+, Rh -/- , Wh -/- ,

Jantung : BJ I dan BJ II reguler, M-, G-

Abdomen : Bu +, Nyeri tekan -/- /-/-

Ekstremitas : Akral hangat +/+/+/+, Oedem -/- /-/-

Status Neurologis

1. Tanda Rangsang Meningeal

5
Kaku kuduk : (-) Laseque : (-) / (-)

Brudzinski I : (-) Kernig : (-) / (-)

Brudzinski II : (-) / (-)

2. Nervi Kanialis kanan kiri

- N. I (Olfactorius)

penciuman Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- N. II (Optikus)

Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lapang penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Melihat Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- N. III, IV, VI (Oculomotorius, Trokhlearis, Abdusens)

Sela mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pergerakan bulbus (+) (+)

Strabismus (-) (-)

Nistagmus (-) (-)

Eksoftalmus (-) (-)

Pupil

Besar 3mm 3mm

Bentuk Bulat isokor Bulat isokor

Refleks Cahaya langsung (+) (+)

Refleks Cahaya tidak langsung (+) (+)

6
Pergerakan mata normal normal

- N. V (Trigeminus)

Membuka mulut (+) (+)

Mengunyah (+) (+)

Menggigit (+) (+)

Sensibilitas muka Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan

R. Maseter Tidak dilakukan

- N. VII (Fascialis)

Mimik: Tidak ditemukan adanya parese

Menutup mata: Simetris

Memperlihatkan gigi Tidak ditemukan adanya parese

Pengecapan lidah (2/3 ant) Tidak dilakukan

- N. VIII (Vestibulokokhlearis)

Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- N. IX (Glossofaringeus)

Pengecapan lidah (1/3 post) Tidak dilakukan

Sensibilitas faring Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7
- N. X (Vagus)

Arkus faring Tidak dilakukan, Menelan Tidak dilakukan, Refleks Okulokardiak


Tidak dilakukan

- N. XI (Accecorisus)

Mengangkat bahu : Tidak dilakukan, memalingkan kepala tidak dilakukan

- N. XII (Hipoglossus)

Pergerakan lidah: normal

Tremor lidah: Tidak ditemukan

Artikulasi: baik

3. Motorik

Motorik: kesan hemiparese (-)

Refleks Fisiologis: Bisep +4/+4, Trisep +4 +4, Patella +4 +4, Achilles +4+4

Refleks Patologis: Babinski (+) (+)

Sensibilitas: tidak dilakukan

4. Koordinasi, gait, dan keseimbangan

Cara berjalan Tidak dilakukan Tes Romberg Tidak dilakukan

Disdiakokinesis Tidak dilakukan Ataksia Tidak dilakukan

Rebound phenomena Tidak dilakukan

8
5. Alat vegetatif

Miksi & defekasi (+) Refleks anal Tidak dilakukan

Reflex kremaster Tidak dilakukan Reflex bulbokavernosus Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT scan (27/10/2017)
- Massa solid di kortikal subkortikal lobus frontoparietalis kiri disertai
edema perifokal dan menyebabkan pergeseran struktur garis tengah ke
kanan sejauh lk 0,5cm.
- mucous retention cyst di sinus maxillaris kanan

2. Laboratorium
Hb 12,3 g/dL (13,2-17,3)
Ht 35% (40-52%)
Leukosit 4.800/uL (3.800-10.600)

9
Trombosit 3,43 x 103/uL (150-440)
Eritrosit 4,2 x 106/uL (4,4 – 5,9)
MCV 86 fl (80 – 100)
MCH 30 pg (26 – 34)
MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Glukosa darah sewaktu 147 mg/dL (70 – 180)
Natrium 145 135 – 147 mEq/L
Kalium 4,1 3.50 – 5.00 mEq/L
Chlorida 105 95 – 105 mEq/L

V. RESUME

Pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Pasar Minggu pada tanggal 17
November 2017 dengan keluhan kejang 2 jam SMRS. Kejang kelojotan terjadi saat
pasien istirahat dan berlangsung selama kurang lebih 5-10 menit, pasien dalam
keadaan sadar. Setelah kejang pasien gelisah dan muntah sebanyak empat kali
kemudian tidur. Pasien kejang setiap hari sejak kurang lebih 3 minggu lalu, dengan
frekuensi 1-3x sehari, biasanya setelah pasien BAB. Trauma kepala disangkal,
lemah separuh badan atau ekstremitas tertentu disangkal. Pasien juga mengeluhkan
adanya nyeri kepala, terkadang demam dan buang air besar (BAB) berdarah.

RPD: riwayat kejang sejak 3 minggu lalu akibat infeksi pada otak dan sedang
mengkonsumsi obat anti kejang, namun obat yang diminum tidak teratur. Pasien
merupakan pasien SIDA putus obat, dan sedang dalam pengobatan TB paru dengan
OAT bulan ketiga. Pasien meminum obat-obatan: fenitoin 3x100 mg, omeprazole
2x20mg, ulsafat 3x10 cc, clindamisin 4x600 mg, cotrimoksasol 2x960mg. Riwayat
HT (-), DM (-).

RPK: disangkal

10
RKP: Pasien jarang berolahraga, tidak merokok, dan tidak minum minuman
beralkohol.

• Status generalis:

Kesadaran : GCS (E4 M5 V3 ) Tekanan darah : 130/80 mmHg

Pernafasan : 24x/menit Nadi : 113 x/menit

Suhu : 36,4⁰C Saturasi: 99%

• Status neurologis:

- Motorik : kesan hemiparese (-)


- Pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+,
- Refleks fisiologis Bisep +4/+4, Trisep +4 +4, Patella +4 +4, Achilles +4+4
- Refleks Patologis: Babinski (+) (+)
- Rangsangan meningen: (-)

• Laboratorium : anemia

• Radiologi : Massa solid di kortikal subkortikal lobus frontoparietalis kiri disertai


edema perifokal dan menyebabkan pergeseran struktur garis tengah ke kanan sejauh
lk 0,5cm.

VI. DIAGNOSIS

 Diagnosis Klinis: Epilepsi simptomatik, SIDA putus ARV, TB paru on OAT


bulan ketiga
 Diagnosis Topis: Kortikal-subkortikal lobus frontoparietalis kiri
 Diagnosa Etiologis: Infeksi intrakranial susp toxoplasma ensefalitis

11
VII. PENATALAKSANAAN

• IVFD : NaCl 0,9% 14 tpm


• Ranitid 1 amp
• Ondansentron 1 amp
• Paasien berontak -> diazepam ½ amp bolus pelan
• Fenitoin 3x100 mg
• OAT diteruskan
• Clindamisin 4x600mg
• Cotrimoksasol 2x960mg

VIII. PROGNOSIS

- Ad vitam : Dubia ad bonam

- Ad sanationum : Dubia ad bonam

- Ad fungsionum : Dubia ad Malam

IX. FOLLOW UP HARIAN


18 November 2017
S Lemas, sesak, sakit kepala, sesak (+), BAB berdarah (ada benjolan),
kejang 1x jam 07.20 selama 10-15 menit, pasien belum minum fenitoin
O KU : TSS Status generalis : dbn
GCS E4M6V5 Status neurologis :
TD: 134/95 Tanda meningeal: (-)
N : 83x RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat
RR: 24x isokor d 3 mm
S : 37 Lesi nervus kranial (-)
Motorik: 4444/5555
Lab (18/11/17):

12
Hb 12,3 g/dL (13,2-17,3) 4444/5555

Ht 35% (40-52%) Sensoris: hemihipestesi (-)


Leukosit 4.800/uL (3.800- Reflek fisiologis: B+4/+4, T+4/+4,
10.600)
Trombosit 3,43 x 103/uL (150- P+4/+4, A+4/+4
440) Refleks Patologis: B +/+

Eritrosit 4,2 x 106/uL (4,4 – 5,9) Otonom : retensio uri (-), retensio

MCV 86 fl (80 – 100) alvi (-)

MCH 30 pg (26 – 34)


MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Glukosa darah sewaktu 147
mg/dL (70 – 180)
Natrium 145 135 – 147 mEq/L
Kalium 4,1 3.50 – 5.00 mEq/L
Chlorida 105 95 – 105 mEq/L

CT Scan (27/10/17):
Massa solid di kortikal
subkortikal lobus frontoparietalis
kiri disertai edema perifokal dan
menyebabkan pergeseran
struktur garis tengah ke kanan
sejauh lk 0,5cm.

A - Status epileptikus pada epilepsi simptomatik pada infeksi intrakranial


susp toxoplasma ensefalitis dd tuberkuloma
- SIDA putus ARV
- TB paru on OAT bulan ke 3
P - Fenitoin 3x100 mg diteruskan Pukul 07.20 WIB :
(rencana tappering, ganti Diazepam 5cc
depakene)

13
-depakene loading 200mg/kgBB
(20x70) = 1400mg, lanjut 2x700
mg
- obat OAT diteruskan (RH FDC
1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- B6 3x 10mg
- dexamethasone loading 10 mg
iv lanjut 4x5 mg iv
- omeparzole 2x40 mg iv
- masih gelisah -> pro pasang
NGT
- clindamisin 4x600mg (mulai
28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai
28/10/17)
- CT scan kepala dengan kontras
- cek SGOT, SGPT, dan albumin
besok pagi

19 November 2017
S Lemas, pusing, kejang 2x
O KU : TSS Status generalis : dbn
GCS E4M6V5 Status neurologis :
TD: 120/90 Tanda meningeal: (-)
N : 103x RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat
RR: 20x isokor d 3 mm
S : 36 Lesi nervus kranial (-)
Motorik: 4+4+4+4+/5555

14
Lab (18/11/17): 4+4+4+4+/5555
Hb 12,3 g/dL (13,2-17,3)
Sensoris: hemihipestesi (-)
Ht 35% (40-52%) Reflek fisiologis: B+4/+4, T+4/+4,
Leukosit 4.800/uL (3.800-
10.600) P+4/+4, A+4/+4
Trombosit 3,43 x 103/uL (150- Refleks Patologis: B +/+
440) Otonom : retensio uri (-), retensio
Eritrosit 4,2 x 10 /uL (4,4 – 5,9)
6
alvi (-)
MCV 86 fl (80 – 100)
MCH 30 pg (26 – 34)
MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Glukosa darah sewaktu 147
mg/dL (70 – 180)
Natrium 145 135 – 147 mEq/L
Kalium 4,1 3.50 – 5.00 mEq/L
Chlorida 105 95 – 105 mEq/L

CT Scan (27/10/17):
Massa solid di kortikal
subkortikal lobus
frontoparietalis kiri disertai
edema perifokal dan
menyebabkan pergeseran
struktur garis tengah ke kanan
sejauh lk 0,5cm.

Lab (19/11/2017):
Albumin 3,41 (3,4-4,8)
SGOT 24 U/L (<50)
SGPT 18 U/L (<50)

15
A - Status epileptikus pada epilepsi simptomatik pada infeksi intrakranial
susp toxoplasma ensefalitis dd tuberkuloma
- SIDA putus ARV
- TB paru on OAT bulan ke 3
P - Fenitoin 3x100 mg diteruskan 09.20: diazepam 1cc
(rencana tappering, ganti 10.20: diazepam 1cc
depakene)
-depakene 2x700 mg
- obat OAT diteruskan (RH FDC
1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- B6 3x 10mg
- dexamethasone loading 10 mg
iv lanjut 4x5 mg iv
- omeparzole 2x40 mg iv
- masih gelisah -> pro pasang
NGT
- clindamisin 4x600mg (mulai
28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai
28/10/17)

20 November 2017
S Sakit kepala, nyeri ulu hati, kejang 1x
O KU : TSS Status generalis : dbn
GCS E3M5V4 Status neurologis :
TD: 130/90 Tanda meningeal: (-)
N : 89x RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat
RR: 26x isokor d 3 mm

16
S : 36,2 Lesi nervus kranial (-)
Motorik: 5555/5555
Lab (18/11/17): 5555/5555
Hb 12,3 g/dL (13,2-17,3)
Sensoris: hemihipestesi (-)
Ht 35% (40-52%) Reflek fisiologis: B+2/+2, T+2/+2,
Leukosit 4.800/uL (3.800-
10.600) P+2/+2, A+2/+2
3
Trombosit 3,43 x 10 /uL (150- Refleks Patologis: B -/-
440) Otonom : retensio uri (-), retensio
Eritrosit 4,2 x 106/uL (4,4 – 5,9) alvi (-)
MCV 86 fl (80 – 100)
MCH 30 pg (26 – 34)
MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Glukosa darah sewaktu 147
mg/dL (70 – 180)
Natrium 145 135 – 147 mEq/L
Kalium 4,1 3.50 – 5.00 mEq/L
Chlorida 105 95 – 105 mEq/L

CT Scan (27/10/17):
Massa solid di kortikal
subkortikal lobus frontoparietalis
kiri disertai edema perifokal dan
menyebabkan pergeseran
struktur garis tengah ke kanan
sejauh lk 0,5cm.

Lab (19/11/2017):
Albumin 3,41 (3,4-4,8)
SGOT 24 U/L (<50)
SGPT 18 U/L (<50)

17
A - riwayat status epileptikus pada epilepsi simptomatik pada infeksi
intrakranial susp toxoplasma ensefalitis dd tuberkuloma
- SIDA putus ARV
- TB paru on OAT bulan ke 3
P - Fenitoin 3x100 mg diteruskan Pukul 07.00:
(rencana tappering, ganti Diazepam 1cc+1cc
depakene) (total: 11cc)
-depakene lanjut 2x700 mg
- obat OAT diteruskan (RH FDC
1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- B6 3x 10mg
- dexamethasone loading 10 mg
iv lanjut 4x5 mg iv
- omeparzole 2x40 mg iv
- masih gelisah -> pro pasang
NGT
- clindamisin 4x600mg (mulai
28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai
28/10/17)
- CT scan kepala dengan kontras
21/11/17
- konsul VCT untuk pemberian
ARV (dengan pertimbangan Ts
Paru & IPD)

21 November 2017

18
S Pusing, kejang (-)
O KU : TSS Status generalis : dbn
GCS E4M6V5 Status neurologis :
TD: 110/80 Tanda meningeal: (-)
N : 72x RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat
RR: 20x isokor d 3 mm
S : 36,2 Lesi nervus kranial (-)
Motorik: 4+4+4+4+/5555
Lab (18/11/17): 4+4+4+4+/5555
Hb 12,3 g/dL (13,2-17,3)
Sensoris: hemihipestesi (-)
Ht 35% (40-52%) Reflek fisiologis: B+2/+2, T+2/+2,
Leukosit 4.800/uL (3.800-
10.600) P+2/+2, A+2/+2
3
Trombosit 3,43 x 10 /uL (150- Refleks Patologis: (-)
440) Otonom : retensio uri (-), retensio
Eritrosit 4,2 x 106/uL (4,4 – 5,9) alvi (-)
MCV 86 fl (80 – 100)
MCH 30 pg (26 – 34)
MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Glukosa darah sewaktu 147
mg/dL (70 – 180)
Natrium 145 135 – 147 mEq/L
Kalium 4,1 3.50 – 5.00 mEq/L
Chlorida 105 95 – 105 mEq/L

CT Scan (27/10/17):
Massa solid di kortikal
subkortikal lobus
frontoparietalis kiri disertai
edema perifokal dan
menyebabkan pergeseran

19
struktur garis tengah ke kanan
sejauh lk 0,5cm.

Lab (19/11/2017):
Albumin 3,41 (3,4-4,8)
SGOT 24 U/L (<50)
SGPT 18 U/L (<50)
A - riwayat status epileptikus pada epilepsi simptomatik pada infeksi
intrakranial susp toxoplasma ensefalitis dd tuberkuloma
- SIDA putus ARV
- TB paru on OAT bulan ke 3
P - Fenitoin drip dapat distop
(instruksi dokter jaga)
- fenitoin 3x100 mg dapat
diteruskan
-depakene loading 200mg/kgBB
(20x70) = 1400mg, lanjut 2x700
mg
- obat OAT diteruskan (RH FDC
1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- B6 3x 10mg
- dexamethasone loading 10 mg
iv lanjut 4x5 mg iv, tapp off per
hari, hari ini mulai 3x5mg iv
- omeprazole 2x40 mg iv
- clindamisin 4x600mg (mulai
28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai
28/10/17)

20
- VCT: ARV 1x1 (FDC: tonovir
& lamivudin)
-nystatin 4x1cc drop
- persiapan besok rawat jalan

22 November 2017
S Pusing, kejang 1x (07.30), kemarin 2x
O KU : TSS Status generalis : dbn
GCS E4M6V5 Status neurologis :
TD: 130/90 Tanda meningeal: (-)
N : 92x RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat
RR: 24x isokor d 3 mm
S : 36,5 Lesi nervus kranial (-)
Motorik: 4+4+4+4+/5555
Lab (18/11/17): 4+4+4+4+/5555
Hb 12,3 g/dL (13,2-17,3)
Sensoris: hemihipestesi (-)
Ht 35% (40-52%) Reflek fisiologis: B+2/+2, T+2/+2,
Leukosit 4.800/uL (3.800-
10.600) P+2/+2, A+2/+2
Trombosit 3,43 x 103/uL (150- Refleks Patologis: (-)
440) Otonom : retensio uri (-), retensio
Eritrosit 4,2 x 10 /uL (4,4 – 5,9)
6
alvi (-)
MCV 86 fl (80 – 100)
MCH 30 pg (26 – 34)
MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Glukosa darah sewaktu 147
mg/dL (70 – 180)
Natrium 145 135 – 147 mEq/L
Kalium 4,1 3.50 – 5.00 mEq/L
Chlorida 105 95 – 105 mEq/L

21
Lab (19/11/2017):
Albumin 3,41 (3,4-4,8)
SGOT 24 U/L (<50)
SGPT 18 U/L (<50)

CT Scan (27/10/17):
Massa solid di kortikal
subkortikal lobus
frontoparietalis kiri disertai
edema perifokal dan
menyebabkan pergeseran
struktur garis tengah ke kanan
sejauh lk 0,5cm.

CT scan kepala dengan kontras


(21/11/17): dibandingkan
dengan CT scan nonkontras
(27/10/17), lesi hipodens di
lobus frontoparietal kiri
berkurang.

A - riwayat status epileptikus pada epilepsi simptomatik pada infeksi


intrakranial susp toxoplasma ensefalitis dd tuberkuloma
- SIDA putus ARV
- TB paru on OAT bulan ke 3
P - fenitoin 3x100 mg po 07.30: diazepam 7 mg
-depakene lanjut 2x700 mg

22
- obat OAT diteruskan (RH FDC
1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- B6 3x 10mg
- dexamethasone dapat distop
- omeprazole 2x40 mg iv stop
ganti ranitidn 2x50 mg iv
- clindamisin 4x600mg (mulai
28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai
28/10/17)
- VCT: ARV 1x1 (FDC: tonovir
& lamivudin), kontrol 16/12/17
-nystatin 4x1cc drop
- tunda pulang hari ini
- lab dpl ulang, cek elektrolit,
SGOT/PT hari ini

23 November 2017
S mual, kejang (-)
O KU : TSS Status generalis : dbn
GCS E4M6V5 Status neurologis :
TD: 130/90 Tanda meningeal: (-)
N : 80x RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat
RR: 21x isokor d 3 mm
S : 36,5 Lesi nervus kranial (-)
Motorik: 4+4+4+4+/5555
Lab (22/11/17): 4+4+4+4+/5555
Hb 10,6 g/dL (13,2-17,3)
Sensoris: hemihipestesi (-)
Ht 31% (40-52%)
Leukosit 4.400/uL (3.800-
10.600)

23
Trombosit 3,33 x 103/uL (150- Reflek fisiologis: B+2/+2, T+2/+2,
440) P+2/+2, A+2/+2
Eritrosit 3,51 x 106/uL (4,4 – 5,9) Refleks Patologis: (-)
RDW: 15,6% Otonom : retensio uri (-), retensio
MCV 88 fl (80 – 100) alvi (-)
MCH 30 pg (26 – 34)
MCHC 35 g/Dl (32 – 36)
Basofil 0.0% (0,0-1,0)
Eosinofil 0.0% (2,0-4,0)
Neutrofil batang 3.0% (3.0-5.0)
Segmen 60% (50-70)
Limfosit 25% (25-40)
Monosit 12% (2-8%)
SGOT 23 u/L (<50)
SGPT 24 u/L (<50)
Na 145 mEq/L (135-147)
K 3,6 (3,5-5)
Cl 106 (95-105)

Lab (19/11/2017):
Albumin 3,41 (3,4-4,8)
SGOT 24 U/L (<50)
SGPT 18 U/L (<50)

CT Scan (27/10/17):
Massa solid di kortikal
subkortikal lobus
frontoparietalis kiri disertai
edema perifokal dan
menyebabkan pergeseran

24
struktur garis tengah ke kanan
sejauh lk 0,5cm.

CT scan kepala dengan kontras


(21/11/17): dibandingkan
dengan CT scan nonkontras
(27/10/17), lesi hipodens di
lobus frontoparietal kiri
berkurang.

A - riwayat status epileptikus pada epilepsi simptomatik pada infeksi


intrakranial susp toxoplasma ensefalitis dd tuberkuloma
- SIDA putus ARV
- TB paru on OAT bulan ke 3
P - fenitoin 3x100 mg po
-depakote tab 2x750 mg po
- obat OAT diteruskan (RH FDC 1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- B6 3x 10mg
- omeprazole 2x40 mg iv stop ganti ranitidn 2x50 mg iv
- clindamisin 4x600mg (mulai 28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai 28/10/17)
- VCT: ARV 1x1 (FDC: tonovir & lamivudin), kontrol 16/12/17
-nystatin 4x1cc drop
- tablet tambah darah 3x1

acc rawat jalan hari ini


-paracetamol 3x500mg po
- fenitoin 3x100mg po

25
- depakote tab 2x750 mg po
- obat OAT diteruskan (RH FDC 1x5 tab, senin, rabu, jumat,
R750/H750)
- vitamin B6 3x10mg
- ranitidin 2x150mg po
- clindamisin 4x600mg (mulai 28/10/17)
- cotrimoksasol 2x960mg (mulai 28/10/17)
- VCT: ARV 1x1 (FDC: tonovir & lamivudin)
-nystatin 4x1cc drop
-tab tambah darah 3x1
- kontrol poli saraf, VCT

26
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Definisi

Toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh

Toksoplasma gondii yang bersifat intraselular obligat dan dapat menimbulkan

radang pada kulit, kelnejar getah bening, jantung, paru, mata, otak, dan selaput

otak.4

III.2. Epidemiologi

Infeksi protozoa ini didiagnosis dengan didapatkannya antibodi IgM dan

IgG anti T. Gondii dalam tes serologi. Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di

berbagai daerah geografik, seperti pada ketinggian yang berbeda di daerah rendah

prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi

zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropic. Pada umumnya prevalensi zat anti T.

gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria

dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari memakan tinja

kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang

merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan

kecoa secara praktis juga penting dalam penyebarannya.5

Pada sebuah penelitian di Meksiko pada 320 pasien AIDS, kondisi utama

yan berhubungan dengan HIV/AIDS adalah toksoplasmosis (42%), cerebral

cryptococcosis (28%), tuberculous meningitis (8,7%), limfoma non hodgkin

27
(3,75%). Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai

berikut: kucing 35-73 %, kambing 11-61 %, anjing 75 %, babi 11-36 %, ternak lain

kurang dari 10 %.5

III.3. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh

kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar

oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Apabila

parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia dapat menetap di dalam tubuh tetapi

sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga

tuntas dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila

memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk

infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak

langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat

transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu

yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas

tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten, hal ini akan

mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.6

Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis


Toxoplasma gondii memiliki 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan

Ookista:

28
Gambar 4. Siklus hidup Toxoplasma gondii

 Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua

sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama

masa infeksi akut. Trofozoit yang membelah secara cepat disebut tachyzoit,

bila infeksi menjadi kronis, trofozoit dalam jaringan akan membelah secara

lambat dan disebut bradizoit (berada dalam kista).6

Gambar 5. Tachyzoit

29
 Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah

ribuan berukuran 10-100 μm. Kista penting untuk transmisi karena

mengandung banyak bradyzoit yang akan dilepaskan setelah terkonsumsi

dan paling banyak terdapa tdalam otot rangka, otot jantung dan organ-organ

visceral.6

Gambar 6. Kista

 Bentuk yang ke tiga adalah bentuk ookista yang berukuran 10-12 um.

Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan

dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual

atau schizogoni dan siklus atau gametogenidan sporogoni, menghasilkan

ookista yang mengandung sporozoit dan dikeluarkan bersama feces kucing.

Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan

mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu perantara

seperti manusia, sapi,kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan

pejamu perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang

membelah secara aktif. Pada pejamu perantara tidak dibentuk stadium

30
seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing memakan

tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di

dalam usus halus kucing tersebut.6

Gambar 7. Ookista

III.4. Patofisiologi

Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya kista atau ookista

diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites (dalam kista) atau

sporozoites (dalam ookista) secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi

tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau

sistem limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi kista begitu mencapai jaringan

perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu,dan berpredileksi untuk

menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.6

Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi

dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan

predileksi di otak. Kista menjadi rupture dan melepaskan invasive trofozoit

31
(tachyzoit). Tachyzoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus

nekrosis.6

Bradyzoit
Immunoc
Ookista (otak,
Tachyzoit Darah & Respon ompromi
(Daging skeletal,
(usus) Limfe Imun zed →
mentah) myocard,
reaktivasi
retina)

Gambar 8. Patogenesis Toxoplasmosis

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapatmenjadi

32ystem32or kemungkinan adanya infeksi oportunistik. Infeksi limfosit CD4 oleh

HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang

menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang

terinfeksi. Selain menyerang 32 ystem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga

berdampak pada 32 ystem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf.

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita

HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang 32ystem saraf yang membahayakan

fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi

oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T

CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalanaktivitas

Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan

produksi IL-12 dan IFN-γ secara invitro dan penurunan ekspresi dari CD154

32
sebagai respon terhadap T. gondii. Pada keadaan imunokmpeten, infeksi

toksoplasma dikendalikan oleh sistem imunitas selular. Terdeteksinya takizoit akan

mengaktivasi sel T CD4+ untuk mengekspresikan CD154, menstimulasi sel

dendritik dan makrofag untuk mensekresi interleukin 12 (IL-12) serta

meningkatkan produksi interferon gamma (INF-γ). Sitokin ini akan menstimulasi

makrofag dan sel nonfagositik untuk bereaksi terhadap infeksi. Sebagai respons,

takizoit bertransformasi menjadi bradizoit, yang secara morfologis serupa namun

memiliki laju replikasi yang lebih rendah dari takizoit. Bila terjadi kondisi

imunosupresi pada tubuh pejamu, toksoplasma dapat kembali bertransformasi

menjadi takizoit dan bermanifestasi sebagai infeksi sistemik.1,6,7

sel
Aktivasi dendriti Respon
Tachyzo ekspresi Sel T →
CD4 sel k dan IL-12 antitoxo
it CD154 INF-y
T makrofa plasmik
g

Gambar 9. Reaksi imun pada infeksi toksoplasma

III.5. Gejala dan Manifestasi Klinis


Sebagian besar toksoplasmosis pada HIV terjadi karena reaktivasi infeksi
kronik dan bermanifestasi sebagai TE. Pasien HIV dengan CD4 <50 sel/μL
memiliki risiko tertinggi. Gejala klinis pada TE umumnya memiliki onset subakut
dengan gejala dan tanda yang tersering dikeluhkan ialah nyeri kepala (85%),
hemiparesis (48%), demam (47%), penurunan kesadaran (37%), dan kejang (37%).

33
Namun pasien dapat pula hanya mengeluhkan nyeri kepala tidak spesifik ataupun
gejala psikiatri. Bila tidak segera ditatalaksana, infeksi dapat berlanjut menjadi
infeksi berat yang menimbulkan afasia, kejang, hingga koma. Toksoplasmosis juga
dapat menginfeksi organ ekstraserebral, yang tersering ialah mata (korioretinitis
toksoplasma) dan paru.1,8

III.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan serologi,
analisis cairan otak, dan pencitraan otak. Pada pasien dengan suspek toxoplasmosis,
pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat
diagnosis. Terapi empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan
untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau
untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik.
1. Serologi
Mengingat tingginya seroprevalensi toksoplasma terutama pada negara
berkembang seperti Indonesia, maka aplikasi pemeriksaan serologi
toksoplasma hanya untuk mengetahui adanya infeksi laten toksoplasma
pada pasien. Pasien HIV dengan kecurigaan toksoplasma dapat diperiksa
IgG antitoksoplasma, dan bila hasilnya didapatkan negatif maka diagnosis
toksoplasma dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Namun hasil IgG yang
negatif juga dapat ditemukan pada toksoplasmosis akut. Titer antibodi
kuantif tidak memberikan manfaat terhadap diagnosis toksoplasma.

2. Analisis cairan otak


Pungsi lumbal jarang dilakukan pada pasien HIV yang memiliki defisit
neurologis fokal dan lesi fokal multipel pada pencitraan. Hal ini disebabkan
karena cukup kuatnya kemungkinan diagnosis TE dan juga adanya risiko
herniasi apabila pungsi lumbal tetap dikerjakan, terutama pada pasien yang
ditemukan papiledema dan lesi desak ruang yang disertai herniasi. Pungsi
lumbal umumnya dikerjakan pada pasien HIV dengan CD4 <100 sel/μL

34
yang memiliki kecurigaan infeksi otak lain atau pada pasien dengan
kecurigaan toksoplasma yang tidak bersepons baik setelah pemberian terapi
empirik. Polymerase chain reaction (PCR) toksoplasma pada CSS dapat
dikerjakan untuk mengetahui adanya infeksi toksoplasma, namun hal ini
tidak dikerjakan secara rutin.

3. Pencitraan otak
CT scan atau MRI dengan kontras sebaiknya dikerjakan bila menemui
pasien dengan kecurigaan TE. Sebanyak 80% pasien akan menunjukan
adanya lesi multipel menyangat kontras di korteks serebri atau ganglia
basal, namun lesi tunggal juga cukup banyak ditemukan. Gambaran khas
pada toksoplasmosis otak ialah adanya asymmetric target sign, yaitu abses
menyangat kontras berbentuk cincin yang dapat tervisualisasi pada CT scan
atau MRI. Pada CT scan nonkontras, yang tampak hanyalah lesi hipodens
atau edema yang dapat menyerupai lesi fokal otak lainnya. Pada MRI
sekuens T1, dapat terlihat adanya lesi hipointens yang berubah menjadi
hiperintens pada sekuens T2. MRI merupakan modalitas utama yang dapat
mendiagnosis sekaligus mengevaluasi terapi TE karena dinilai lebih sensitif
daripada CT scan untuk mendeteksi lesi multipel.

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan

penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama

2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara

klinis maupun radiologik, diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat

ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien menunjukkan

perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari.

Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi

otak.2

35
Salah satu diagnosa banding yang perlu dipertimbangkan ialah limfoma SSP

yang juga berupa lesi multipel dikelilingi edema dan efek massa. Diagnosis banding

lain yang pada lesi multipel menyangat kontras pada pasien HIV adalah

toksoplasmosis akut, tumor primer otak, metastasis otak, penyakit demielinisasi

(multipel sklerosis, vaskulitis), malformasi arteriovena, infark multifokal, lesi

kongenital (hemangioblastoma pada penyakit von Hippel-Lindau), atau infeksi otak

lain (abses bakteri, tuberkuloma).1

III.7. Tatalaksana

1. Pencegahan paparan toksoplasma

Individu yang baru terdiagnosis HIV direkomendasikan untuk

melakukan pemeriksaan IgG toksoplasma untuk mengetahui adanya infeksi

laten terhadap T. gondii. Guna meminimalisasi terjadinya infeksi

toksoplasma, perlu diberikan penjelasan untuk menghindari daging mentah

atau setengah matang. Pasien harus mencuci tangan setelah berkontak

dengan daging mentah atau tanah, serta selalu mencuci buah dan sayur

sebelum dimakan. Kucing sebagai binatang peliharaan juga harus diberi

perhatian khusus supaya tidak menjadi hewan pejamu yang dapat

menularkan toksoplasma.1

2. Pemberian profilaksis primer

Pasien HIV dengan CD4 <100 sel/μL dengan serologi toksoplasma

yang positif perlu mendapatkan profilaksis primer, yaitu trimetoprim-

36
sulfametoxazol (TMP-SMX) 960mg satu kali/hari, yang juga efektif

sebagai profilaksis pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP). Pemberian

profilaksis terhadap TE dapat dihentikan pada pasien dewasa yang telah

menerima ARV dan CD4 >200 sel/μL selama 3 bulan berturut-turut. Oleh

karena pemberian profilaksis yang terus menerus hanaya memiliki sedikit

manfaat dalam mencegah toksoplasmosis, memiliki potensi terjadinya

toksisitas dan interaksi obat, serta dapat menciptakan patogen resisten obat,

selain juga pertimbangan biaya.1

3. Tatalaksana medikamentosa

Terapi fase akut adalah pirimetamin ditambah dengan sulfadiazin

dan leukovorin. Pirimetamin memiliki kemampuan penetrasi terhadap

parenkim otak secara efisien, sedangkan leukovorin mengurangi

kemungkinan toksisistas hematologi akibat pirimetamin. Terapi alternatif

yang direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat menermia sulfadiazin

atau tidak berespon terhadap terapi lini pertama adalah pirimetamin,

klindamisin, dan leukovorin. Namun kombinasi ini tidak dapat sekaligus

menjadi profilaksis PCP, sehingga tetap perlu penambahan obat. Pada suatu

uji klinis dilaporkan bahwa pemberian TMP-SMX lebih mudah ditolerir dan

cukup efektif dibandingkan pirimetamin-sulfadiazin. Apabila pemberian

pirimetamin harus ditunda, mayoritas karena anemia, maka TMP-SMX

harus diberikan.1

37
Pasien umumnya memberikan respons klinis yang baik setelah 14

hari terapi fase akut. Pemberian terapi akut sebaiknya tidak dihentikan

selama minimal 3-6 minggu. Setelah menyelesaikan terapi akut, pasien

sebaiknya melanjutkan dengan dosis rumatan kronik. Dosis rumatan kronik

yang direkomendasikan adalah setengah dari dosis yang diberikan saat

terapi fase akut. Terapi rumatan diberikan hingga CD4 >200 sel/μL selama

6 bulan berturut-turut setelah pemberian ARV.1,3

Terapi tambahan berupa pemberian kortikosteroid seperti

deksametason dapat diberikan pada pasein yang memiliki lesi fokal disertai

edema dan tanda herniasi. Pemberiannya harus dievaluasi dan dihentikan

sesegera mungkin karena adanya potensi imunosupresi. Pasien dengan

steroid harus dimonitor ketat untuk menghindari infeksi oportunistik lain,

seperti tuberkulosis dan cytomegalovirus.1,2

Hingga saat ini belum ada rekomendasi waktu yang tepat untuk

memulai ARV pada pasien TE. Laporan mengenai IRIS pada TE sangat

jarang. Para klinisi umumnya memulai inisiasi ARV pada 2-3 minggu

setelah diagnosis.1,2

38
Tabel 1. Rekomendasi tatalaksana medikamentosa pada ensefalitis toksoplasma

Nama Obat Dosis Awal Dosis Rumatan Efek Samping


Sulfadiazin 1-2g/6jam 1-2g/6jam Gangguan fungsi hati,
(sediaan tablet selama 6 minggu fungsi ginjal, gangguan
500 mg) hematologi
Pirimetamin 200mg, satu kali BB ≤ 60 kg: Ruam kulit, depresi
(sediaan tablet 50mg/hari sumsum tulang
25mg) BB > 60 kg: (neutropenia,
75mg/hari trombositopenia)
Asam folinat 10-20mg/hari 10-20mg/hari Alergi
(sediaan tablet 5
dan 10mg)
Klindamisin 600mg/6 jam 600 mg/6jam Demam, ruam kulit,
(sediaan tablet muntah, diare (kolitis
300mg) pseudomembran)
Trimetroprim- 960mg/12 jam 960 mg/12 jam Ruam kulit, demam,
sulfametoksazol (sediaan tablet leukopenia,
480 mg) trombositopenia,
gangguan fungsi hati

III.8. Prognosis

Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral

bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci

mencegah terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active

Anti Retroviral Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral

dapat dikurangi.2

39
BAB IV

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pada pasien ini ditemukan adanya nyeri kepala, demam, dan penurunan

kesadaran yang merupakan gejala kronik progresif dan menunjukan adanya suatu

lesi desak ruang pada otak. Adanya demam menunjukan adanya infeksi sehingga

penurunan kesadaran pada pasien ini diduga karena adanya lesi desak ruang

intrakranial yang mungkin disebabkan oleh infeksi. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil

CT scan brain nonkontras (20/10/2017) yang menunjukan adanya masa solid

berbentuk bulat pada lobus frontoparietal kiri yang disertai edema perifokal dan

midline shift sejauh 0,5cm. Pasien merupakan pasien SIDA (b20) putus obat dan

sedang dalam pengobatan TB paru bulan ke tiga. Maka diagnosis toksoplasma

ensefalitis dapat ditegakkan. Diagnosis ini bertambah kuat dengan adanya

perbaikan yang ditunjukan pada CT Brain kontras (21/11/2017) setelah pasien

mendapat terapi empirik berupa kotrimoxazol 2x960mg dan clindamicin 4x600mg

sejak 28 Oktober 2017.

Terapi ensefalitis toksoplasma yang lazim diberikan adalam kombinasi

sulfadiazin 500mg dan pyrimethamin 25mg tiap 6 jam, clindamisin 600mg tiap 6

jam, dan asam folat 10mg/hari. Terapi yang diberikan pada pasien ini, yaitu

kotrimoxazol merupakan kombinasi obat trimetoprim dan sulfametoksazol (TMP-

SMX). Kotrimoxazol menjadi obat pilihan karena kondisi anemia pasien yang tidak

memungkinkan pasien untuk mengkonsumsi obat pirimetamin. Setelah pemberian

selama kurang lebih 3 minggu, dilakukan evaluasi ulang menggunakan CT Scan

40
kontras. Untuk menilai perbaikan, digunakan 2 parameter yaitu ukuran lesi dan

penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini, setelah terapi empirik

didapatkan ukuran lesi mengecil dan penyangatan berkurang. Adanya perbaikan

klinis dan radiologis maka diagnosis definitif ensefalitis toksoplasma dapat

ditegakkan. Terapi toksoplasmosis ini direncanakan untuk dilanjutkan sampai 6

minggu. Nistatin drop diberikan karena adanya infeksi oportunistik berupa

candidosis oral.9

Pada suatu penelitian di Tanzania terhadap 1078 wanita hamil terinfeksi

HIV yang diberikan suplemen multivitamin berupa vitamin A, beta karoten B, C

dan E menunjukan adanya peningkatan CD4 dan penurunan viral load secara

bermakna, sehingga pemberian multivitamin pada pasien yang terinfeksi HIV

dapat dipertimbangkan.10

Terapi anti retroviral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi

HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/ml, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total

kurang dari 1200. Setelah dikonsultasikan dengan pihak VCT, pasien mendapatkan

ARV lagi setelah sebelumnya putus obat selama beberapa bulan. Pasien diberikan

kombinasi FDC: tenovir dan lamivudin, dengan dosis 1x1.

41
Kesimpulan

1. Diagnosa ditegakan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan

neurologi, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologis CT scan.

2. Diagnosa pada pasien ini adalah diagnosa definitif toksoplasma ensefalitis

mengingat ditemukannya gambaran CT scan yang sesuai, juga perbaikan secara

klinis dan radiologis setelah diberikan terapi empirik.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku ajar neurologi UI. Jakarta:

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia.

2017:243-7

2. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral

Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital Physician.

2008:17-24.

3. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast

Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70.

4. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful

Treatment of Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report.

Oman Med J. 2012;27(5):411-2.

5. Chahaya Indra. Epidemiologi Toxoplasma Gondii. Bagian Kesehatan

Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitasn Sumatera Utara.

2003. Tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-

indra%20c4.pdf

43
6. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in

Relation to Toxoplasma in the Food Chain. 2012. Tersedia di

https://www.food.gov.uk/sites/default/files/multimedia/pdfs/commit

tee/acmsfrtaxopasm.pdf

7. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma on the

Brain:Understanding Host-PathogenInteractions in Chronic CNS Infection.

August 2011.

8. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath,

Fayek Al Hilli, PhD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A

Case Report and Review ofPathogenesis and Laboratory Diagnosis.

Bahrain Medical Bulletin. June 2009.

9. Dalton Silaban, KikingRitarwan, danRusliDhanu. MajalahKedokteran

Nusantara Volume 41. DepartemenNeurologi, FakultasKedokteran

USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Juni 2008.

10. Olofin IO, Spiegelman D, Aboud S, Duggan C. Supplementation with

multivitamins and vitamin A adn Incidence of Malaria Among HIV infected

Tanzanian women. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes.

2014.

44
45

Anda mungkin juga menyukai