Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL


VERTIGO (BPPV)

OLEH :

Kartika Nurul Fatmi (I1011151013)

PEMBIMBING :
dr. Hanartoadjie Anggana Pribadi Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU NEUROLOGI
RSUD DR ABDUL AZIZ SINGKAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vertigo merupakan keluhan yang umum dijumpai pada praktek klinik
dimana pasien menggambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil
(giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness). Berbeda dengan vertigo,
dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan yang umum terjadi akibat
perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap
lingkungan. Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo,
disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing psikofisiologis. Secara
keseluruhan, insiden pusing, vertigo dan ketidakstabilan (imbalance) mencapai
5-10% dan meningkat menjadi 40% pada usia lebih 40 tahun. Dari keempat
subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan sampai dengan
56,4% pada populasi orang tua. Sementara itu, angka kejadian vertigo pada
anak-anak tidak diketahui, tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi anak
sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling tidak pernah
merasakan sekali serangan pusing dalam periode satu tahun. Sebagian besar
(hampir 50%) diketahui sebagai “paroxysmal vertigo” yang disertai dengan
gejala-gejala migren (pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia).1
Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ - organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo dibagi
menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non vestibular.
Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada visual dan
sistem proprioseptif. Sementara vertigo vestibular dibagi menjadi dua yaitu
vertigo sentral dan perifer.1
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus
vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi
pada 50% kasus vertigo. Sementara vertigo perifer kelainan atau gangguan ini
dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun
saraf perifer.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer

Gambar 1. Anatomi Sistem Keseimbangan Perifer


Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang
yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga
dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin
terdiri atas labirin tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak
dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang.
Antara labirin membrane dan labirin tulang terdapat perilimf, sedang endolimf
terdapat didalam labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi daripada
cairan perilimf. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang
terapung dalam perilimf, yang berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri
dari tiga kanalis semisirkularis, yaitu horizontal (lateral), anterior (superior),
posterior (inferior). Selain ke tiga kanalis ini terdapat pula utrikulus dan
sakulus.2
Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan,
yaitu:
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam
pendengaran.
2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus
dan utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus
dan sakulus sel sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel
sensoriknya berada di krista ampulanya)2
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan
disekitarnya tergantung kepada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin,
organ visial dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik
tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh
pada saat itu.2
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis
sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap
percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak
linier, khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif
terhadap gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan
percepatan linier ini disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta
ciri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi sel rambut.1
Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut
pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural
yang dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu
gerakan menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel
rambut akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga
stereosilia menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi.3
Kanalis semisirkularis
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak
lurus satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga
terletak hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada
waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang
satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan
terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke
kanan, maka serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan
tereksitasi, sementara serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada
bidang vertikal misalnya rotasi kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan
kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis posterior akan terinhibisi.2
Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang
hampir horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal.
Berbeda dengan sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut
pada organ otolit tidak semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium
terletak di bagian samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu
striola. Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan linier,
sebagian serabut aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi.
Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat
informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya
hanya ada dua makula.1,2
Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron
ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan
mata dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang
mempunyai suatu komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala
dan suatu komponen cepat yang searah dengan putaran kepala. Komponen
lambat mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu
bayangan pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan
tatapan ke bagian lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata
selama rangsangan vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus
normal.1
2.2 Vertigo Perifer
2.2.1 Definisi
Vertigo perifer adalah rasa pusing berputar, oleng atau tak stabil yang
disebabkan karena adanya gangguan pada organ keseimbangan di telinga.
Gejala-gejala vertigo meliputi: pusing, rasa terayun, mual, keringat dingin,
muntah, sempoyongan sewaktu berdiri atau berjalan, nistagmus. Gejala
tersebut dapat diperhebat dengan berubahnya posisi kepala.3
2.2.2 Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan
prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki
epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness.
Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan
oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari keempat jenis
dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada
sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita
disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren.4
2.2.3 Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan vertigo perifer yaitu :3
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) : menyebabkan
serangan pusing transien (berlangsung beberapa detik) yang rekuren.
Vertigo terjadi karena perubahan posisi kepala yang menyebabkan
kristal kalsium karbonat dari otolit yang lepas ke dalam kanalis
semisirkularis akibat gerakan kepala atau perubahan posisi. Serangan
biasanya menetap selama berminggu-minggu sebelum akhirnya
sembuh sendiri.
b. Infeksi: Neuritis vestibular akut atau labirinitis.
c. Ototoksik
d. Vaskuler: oklusi dari arteri vestibular yang merupakan cabang dari
arteri auditori internal dari arteri cerebelar inferior anterior.
e. Struktural: Fistula perilimfatik baik spontan maupun akibat trauma.
f. Metabolik: Meniere sindrom
g. Tumor: Neuroma akustik
2.2.4 Patofisiologi
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis
semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu
sama lain. Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang
melebar yakni ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk
mendeteksi gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan
kepala. Sebagai contoh, bila seseorang menolehkan kepalanya ke arah
kanan, maka cairan dalam kanalis semisirkularis kanan akan tertinggal
sehingga kupula akan mengalami defleksi ke arah ampula. Defleksi ini
diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak sehingga timbul sensasi
kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis
semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula
ke arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini
menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala,
sehingga timbul sensasi berupa vertigo.4
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang
sebenarnya dengan apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada
beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :1,2
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal
dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan
proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang
berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat
berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan
(gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal
dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori
ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai
penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut
teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu,
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang
-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur
tidak lagi timbulgejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika
sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim
parasimpatis mulai berperan.
5. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi
pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin
releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering
timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan
saraf parasimpatis.
2.2.5 Klasifikasi
a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum
b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus
cranialis vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah,
gula darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena
pengobatan atau infeksi sistemik.3
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis vertigo perifer dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh pusing berputar dengan onset akut
kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala.
Kebanyakan pasien menyadari saat bangun tidur, ketika berubah
posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien merasakan pusing
berputar yang lama kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat jeda
waktu antara perubahan posisi kepala dengan timbulnya perasaan
pusing berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul
sangat kuat pada awalnya dan menghilang setelah 30 detik
sedangkan serangan berulang sifatnya menjadi lebih ringan. Gejala
ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan.
Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di
kemudian hari. Bersamaan dengan perasaan pusing berputar,
pasien dapat mengalami mual dan muntah. Sensasi ini dapat timbul
lagi bila kepala dikembalikan ke posisi semula, namun arah
nistagmus yang timbul adalah sebaliknya.2,3
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum diarahkan pada kemungkinan adanya
penyebab sistemik. Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan
perhatian khusus pada fungsi vestibuler/ serebeler. Pada vertigo,
baik sentral maupun perifer, dilakukan pemeriksaan keseimbangan
dan koordinasi. Pemeriksaan keseimbangan seperti Romberg test,
Stepping gait dan Tandem gait. Untuk pemeriksaan koordinasi
dilakukan finger to finger test, finger to nose, pronasi-supinasi test
dan heel to toe test.2
a) Tes Keseimbangan
Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat
maupun di ruang pemeriksaan lainnya, mungkin akan
memberikan banyak informasi tentang keluhan vertigo.
Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk
melihat dan menilai gangguan keseimbangan diantaranya
adalah: Tes Romberg. Pada tes ini, penderita berdiri dengan
kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada
di depan jari-jari kaki yang lain (tandem). Orang yang normal
mampu berdiri dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau
lebih. Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka dan
kemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang
sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu
berdiri dengan satu kaki dalam keadaan mata tertutup,
dianggap normal.2

Gambar 2. Romberg Test

b) Tandem Gait
Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri kanan diletakkan pada
ujung jari kaki kanan kiri ganti bergantin. Pada kelainan vestibuler,
perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler
penderitaakan cenderung jatuh.2
c) Tes Melangkah Di Tempat (Stepping Test)
Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak
50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak
diperbolehkan beranjak dari tempat semula. Tes ini dapat
mendeteksi ada tidaknya gangguan sistem vestibuler. Bila penderita
beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau badannya
berputar lebih dari 30 derajat dari keadaan semula, dapat
diperkirakan penderita mengalami gangguan sistem vestibuler.2
Gambar 3. Stepping Test

d) Tes Salah Tunjuk (Past-Pointing)


Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan
telunjuk penderita diperintahkan menyentuh telunjuk
pemeriksa. Selanjutnya, penderita diminta untuk menutup
mata, mengangkat lengannya tinggi tinggi (vertikal) dan
kemudian kembali pada posisi semula. Pada gangguan
vestibuler, akan didapatkan salah tunjuk.2
e) Manuver Nylen-Barany atau Hallpike
Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV.
Dix-Hallpike manuever secara garis besar terdiri dari dua
gerakan yaitu Dix-Hallpike manuever kanan pada bidang
kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan Dix- Hallpike
manuever kiri pada bidang posterior kiri. Cara melakukannya
sebagai berikut :2
1) Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur
pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun
menghilang setelah beberapa detik.
2) Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa,
sehingga ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke
belakang 30°-40°, penderita diminta tetap membuka mata
untuk melihat nistagmus yang muncul.
3) Kepala diputar menengok ke kanan 45° (kalau kanalis
semisirkularis posterior yang terlibat). Ini akan
menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak,
kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis
posterior.
4) Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala
penderita, penderita direbahkan sampai kepala tergantung
pada ujung tempat periksa.
5) Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo,
posisi tersebut dipertahankan selama 10-15 detik.
6) Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet‟ (ke arah
dahi) dan ipsilateral.
7) Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat
dalam arahyang berlawanan dan penderita mengeluhkan
kamar berputar kearah berlawanan.
8) Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala
menoleh ke sisi kiri 45° dan seterusnya.
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat
gerakan provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai
dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV
setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya
lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari
satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis
nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya
serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan
nistagmus.3
Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV
sebagai berikut :4
1) Terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan
2) Nistagmus yang khas
3) Adanya masa laten
4) Lamanya serangan terbatas
5) Arah nistagmus berubah bila posisi kepala dikembalikan
ke posisi awal
6) Adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila
stimulus diulang
Dix-hallpike manuver lebih sering digunakan karena pada
manuver tersebut posisi kepala sangat sempurna untuk
canalith repositioning treatment. Pada pasien BPPV, Dix-
Hallpike manuver akan mencetuskan vertigo dan nistagmus.2

Gambar 4. Dix-Hallpike Manuever


f) Tes Kalori
Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan tidak ada
perforasi membran timpani maupun serumen. Tes kalori ini
dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam
air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30°C, sedangkan suhu
air panas adalah 44°C. Volume air yang dialirkan ke dalam liang
telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air
dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri
diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air
dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga
dalam. Pada tiaptiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan
atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit
(untuk menghilangkan pusingnya).
g) Tes Supine Roll
Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes
Dix-Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk
memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral
atau disebut juga BPPV kanal horisontal adalah BPPV terbanyak
kedua. Pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV,
yakni adanya vertigo yang diakibatkan perubahan posisi kepala,
tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis BPPV kanal posterior harus
diperiksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.2

Gambar 5. Supine roll test

Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini


bersifat provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami
pusing yang berat selama beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan
memposisikan pasien dalam posisi supinasi atau berbaring
terlentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi
kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter mengamati
mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus. Setelah
nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus), kepala kembali
menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah nistagmus lain
mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke sisi
yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada
tidaknya nistagmus.3
Gejala Vertigo Perifer Vertigo Sentral
Bangkitan Episodik, onset Lambat, konstan
mendadak
Beratnya vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala ++ +/-
Gejala otonom (mual, ++ +
muntah)
Gangguan pendengaran + -
(tinitus, tuli)
Gejala neurologis - Sering disertai defisit saraf
lainnya kranial serta tanda-tanda
serebelar dan piramidal
Arah nistagmus Satu arah bervariasi
Kehilangan kesadaran Tidak ada Bisa terjadi

2.2.7 Tatalaksana
1. Non-Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu
penyakit yang ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam
beberapa bulan. Namun telah banyak penelitian yang membuktikan
dengan pemberian terapi dengan manuver reposisi partikel/
Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup,
dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari
manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-100%.
Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena
adanya debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen
yang lebih sempit misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal
bifurcasio. Setelah melakukan manuver, hendaknya pasien tetap
berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk menghindari
risiko jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk
mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula
utrikulus.2
Ada lima manuver yang dapat dilakukan :
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada
kanal vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi
yang sakit sebesar 45°, lalu pasien berbaring dengan kepala
tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala
ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah
menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah
itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali
ke posisi duduk secara perlahan.3

Gambar 6. Manuver Epley


b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis
kanan posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta
duduk tegak, lalu kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat,
lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan
dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo
dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi
berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi
duduk lagi.3
Gambar 7. Manuver Semont

c. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe
kanal lateral. Pasien berguling 360°, yang dimulai dari posisi
supinasi lalu pasien menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat,
diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus.
Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi
ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan
tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke
posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama
15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai
respon terhadap gravitasi.2

Gambar 8. Manuver Lempert


d. Forced Prolonged Position
Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi
lateral dekubitus pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan
selama 12 jam.3
e. Brandt-Daroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah
dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi
tambahan pada pasien yang tetap simptomatik setelah
manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu
pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi
kebiasaan.3

Gambar 9. Brandt-Daroff exercise

2. Farmakologi
Secara umum, penatalaksanaan medika- mentosa mempunyai
tujuan utama: (i) mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki
proses-proses kompensasi vestibuler, dan (iii) mengurangi gejala-
gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif. Beberapa golongan
obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya
adalah : 2
a. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk
penanganan vertigo, yang paling banyak dipakai adalah
skopolamin dan homatropin. Kedua preparat tersebut dapat
juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo.
Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui
reseptor muskarinik. Pemberian antikolinergik per oral
memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek
samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala
penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan
memori dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia),
ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer,
seperti gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan
gangguan berkemih.2
b. Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini
merupakan antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk
kasus vertigo,dan termasuk di antaranya adalah difenhidramin,
siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan pro- metazin.
Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak
banyak diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek
ter- hadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin
juga mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki
“motionsickness”. Efek sedasi merupakan efek samping utama
dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya
diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4
jam (misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).1
c. Histaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai
antivertigo di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika.
Betahistin sendiri merupakan prekrusor histamin. Efek
antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di
daerah telinga tengah dan sistem vestibuler. Pada pemberian
per oral, betahistin diserap dengan baik, dengan kadar puncak
tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif
jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.1
d. Antidopaminergik
Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol
keluhan mual pada pasien dengan gejala mirip-vertigo.
Sebagian besar antidopaminergik merupakan neuroleptik.
Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan
pasti, tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan
antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem vestibuler
perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4
sampai 12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan
sebagai antiemetik, seperti domperidon dan metoklopramid.
Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah
hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang
berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia
tardif, parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.1
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan
berikatan di tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai
supresan vestibuler diperkirakan terjadi melalui mekanisme
sentral. Namun, seperti halnya obat-obat sedatif, akan
memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek farmakologis
utama dari benzodiazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan
kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd, serta
antikonvulsan. Beberapa obat golongan ini yang sering
digunakan adalah lorazepam, diazepam, dan klonazepam.3
f. Antagonis kalsium
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal
kalsium di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi
jumlah ion kalsium intrasel. Penghambat kanal kalsium ini
berfungsi sebagai supresan vestibuler. Flunarizin dan sinarizin
merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasikan
untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan
sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal
kalsium, ternyata unarizin dan sinarizin mempunyai efek
sedatif, antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan
sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu
paruh yang panjang, dengan kadar mantap tercapai setelah 2
bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat terdeteksi
dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek
samping jangka pendek dari penggunaan obat ini teru- tama
adalah efek sedasi dan peningkatan be- rat badan. Efek jangka
panjang yang pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala
parkinso-nisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi
pada populasi lanjut usia.3
g. Simpatomimetik
Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus
digunakan secara hati-hati karena adanya efek adiksi.3
h. Asetilleusin
Obat ini banyak digunakan di Prancis. Mekanisme kerja obat
ini sebagai antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi
diperkirakan bekerja sebagai prekrusor neuromediator yang
memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta diperkirakan
mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi.
Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di
antaranya adalah gastritis (terutama pada do- sis tinggi) dan
nyeri di tempat injeksi.2
i. Lain-lain
Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan
mempunyai efek antivertigo di antaranya adalah ginkgo
biloba, piribedil (agonis dopaminergik), dan ondansetron.2

BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien
a. Nama : Ny. H
b. Usia : 54 tahun
c. Tanggal lahir : 25 Desember 1964
d. Jenis kelamin : Perempuan
e. Alamat : Jl. Raya Pajintan 02/01, Singkawang Timur
f. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
g. Agama : Islam
h. Suku : Melayu
i. Status : Menikah
j. Tanggal masuk RS : 28 November 2019
2. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama: Pusing berputar
Pasien datang dengan keluhan pusing berputar sejak 4 hari yang lalu, pusing
berputar terjadi secara tiba-tiba dan disertai dengan pandangan menggelap,
keluhan pertama kali dirasakan pasien saat sedang menonton TV. Keluahn
pusing disertai mual, muntah sebanyak 1 kali saat pertama kali keluhan
dirasakan dan pandangan pada mata kiri berkurang. Pusing berputar diperberat
jika pasien sedang bangun dari posisi tidur/duduk, saat berjalan, dan saat
menggerakan kepala. Pusing dirasakan berkurang saat pasien menutup mata
sambil berbaring.
3. Riwayat penyakit dahulu
Keluhan pusing berputar pernah dirasakan pasien ±8 tahun yang lalu namun
hilang setelah pasien beristirahat, pasien memiliki riwayat diabetes melitus
(diketahun sejak 2 bulan terakhir), hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, dispepsia
dan terdapat karies gigi.
4. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan gejala serupa. Saudara kandung
pasien memiliki riwayat diabetes melitus.
5. Riwayat pekerjaan, sosial dan ekonomi
Pasien tidak bekerja, namun pasien aktif bercocok tanam di halaman
rumahnya. Pasien tinggal dengan anaknya didaerah perkotaan Singkawang.
Pasien hanya tamat sekolah SD. Pasien berobat dengan menggunakan asuransi
kesehatan BPJS.
6. Pemeriksaan fisik
a. Tanda vital
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 160/100 mmHg
 Frekuensi nadi : 97x/menit
 Frekuensi nafas : 20x/menit
 Suhu tubuh : 36,5 oC
 SpO2 : 98%
b. Status Generalis
 Kulit : Ikterik (-), sianosis (-), petekie (-)
 Kepala : Normocephal, wajah sembab (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-), mata cekung (-)
 Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), ↑JVP (-)
 Dada : Dada kanan dan kiri simetris, retraksi (-)
 Jantung :
 Inspeksi : iktus jantung tidak terlihat
 Palpasi : iktus cordis teraba di SIC 5 linea
midclavicula sinistra.
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : bunyi murni, S1S2 reguler, gallop (-),
murmur (-)
 Paru :
 Inspeksi : simetris, statis dan dinamis.
 Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama, nyeri tekan
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas dalam vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen :
 Inspeksi : soepl, datar, jejas (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal, bruit (-)
 Palpasi : soepl, nyeri tekan (-)
 Hepar : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas: akral hangat, edema: ekstremitas atas (-/-)
ekstremitas bawah (-/-), CRT <2 detik.
c. Status neurologi
 GCS : 15; E: 4; V: 5; M: 6
 Pupil : bulat, ishokor 3mm/3mm, RCL: (+/+), RCTL: (+/+)
 Tanda rangsang meningeal:
 Kaku kuduk (-)
 Lasegue (-)
 Kernig (-)
 Brudzinski 1 (-)
 Brudzinski 2 (-)
 Nervus kranialis:
 Nervus I. (Olfactorius) : dalam batas normal
 Nervus II. (Opticus) : dalam batas normal
 Nervus III. (Oculomotorius) : dalam batas normal
 Nervus IV. (Trochlearis) : dalam batas normal
 Nervus V. (Trigeminus) : dalam batas normal
 Nervus VI. (Abducens) : dalam batas normal
 Nervus VII. (Facialis) : dalam batas normal
 Nervus VIII (Vestibulocochlear): dalam batas normal
 Nervus IX (Glossopharyngeal): dalam batas normal
 Nervus X (Vagus) : dalam batas normal
 Nervus XI (Accessory) : dalam batas normal
 Nervus XII (Hypoglossus) : dalam batas normal
 Refleks fisiologis
 Biceps : (+2/+2)
 Triceps : (+2/+2)
 Patella : (+2/+2)
 Achilles : (+2/+2)
 Refleks patologis
 Hoffman-Tromner : (-/-)
 Babinski : (-/-)
 Chaddock : (-/-)
 Oppenheim : (-/-)
 Gordon : (-/-)
 Schaeffer : (-/-)
 Pemeriksaan sensorik
Ekstremitas Atas
 Rangsangan raba : normoestesia/normoestesia
 Rangsangan nyeri : normoalgesia/normoalgesia
 Rangsangan suhu : tidak dilakukan
 Proprioseptif : tidak dilakukan
 Diskriminasi dua titik : tidak dilakukan
Ekstremitas bawah
 Rangsangan raba : normoestesia/normoestesia
 Rangsangan nyeri : normoalgesia/normoalgesia
 Rangsangan suhu : tidak dilakukan
 Proprioseptif : tidak dilakukan
 Diskriminasi dua titik : tidak dilakukan
 Pemeriksaan motorik
 Gerakan involunter : Tidak ada
 Kekuatan otot
Ekstremitas atas : 5555/5555
Ekstremitas bawah : 5555/5555
 Sistem saraf otonom
 BAB : normal
 BAK : normal
 Berkeringat : normal
 Pemeriksaan fungsi luhur
 Memori : baik
 Kognitif : baik
 Visuospatial : baik
 Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi
 Nistagmus : Unidirektional
 Finger to finger : Baik
 Finger to nose : Baik
 Pronasi-supinasi test : Baik
7. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
 Kolesterol total : 248 mg/dL (<200 mg/dL)
 Trigliserida : 165 mg/dL (<160 mg/dL)
 Pemeriksaan EKG
 Pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras
 Tampak lesi hipodens di kapsula interna kiri, thalamus kanan kiri
 Sulkus kortikalis dan gyrus tampak normal
 Ventrikel lateral, 3 dan 4 tidak tampak menyempit
 Pons dan cerebelum baik
 Tidak tampak midline shifting
Kesan:
Infark di kapsula interna kiri, thalamus kanan kiri.
8. Diagnosis
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)

9. Terapi
 Omeprazole capsul 20 mg 1x1 (Proton Pump Inhibitor)
 Betahistine tablet 6mg 2x4 (Antihistamine H3)
 Paracetamol tablet 500 3x1 (OAINS)
 Simvastatin tablet 10mg 1x1 (Hipolipidemik: Statin)
 Domperidon tablet 10mg 2x1 (Antiemetik)
 Flunarizin tablet 10mg 1x1 (Preparat antimigrain)
 Citicoline ampul 250mg 2x500mg (Vitamin saraf)
 Diazepam tablet 2mg 1x2 (Benzodiazepin)
 Aspilet tablet 80mg 1x1 (Antifibrinolitik)
10. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fucntionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Vertigo perifer adalah rasa pusing berputar, oleng atau tak stabil yang
disebabkan karena adanya gangguan pada organ keseimbangan di telinga. Gejala-
gejala vertigo meliputi: pusing, rasa terayun, mual, keringat dingin, muntah,
sempoyongan sewaktu berdiri atau berjalan, nistagmus. Gejala tersebut dapat
diperhebat dengan berubahnya posisi kepala.
Pada pasien, Ny. H, keluhanan utama yang dirasakan adalah pusing berputar
yang diperberat dengan berubahnya posisi kepala dan disertai mual, muntah dan
sempoyongan saat sedang bangun dari posisi tidur atau posisi duduk dan saat
berjalan. Keluhan yang dirasakan oleh Ny. H disebabkan oleh otolith yang terdiri
dari kalsium karbonat yang berasal dari makula pada utrikulus yang lepas dan
bergerak dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular, ketika kristal kalsium
karbonat bergerak dalam kanal semisirkular (kanalitiasis), mereka menyebabkan
pergerakan endolimfe yang menstimulasi ampula pada kanal yang terkena sehingga
menyebabkan vertigo.
Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum dipahami dengan
pasti. debris kalsium dapat pecah karena trauma atau infeksi virus, tapi pada banyak
keadaan dapat terjadi tanpa trauma atau penyakit lain (idiopatik), adapula yang
menyebutkan kaitannya dengan perubahan protein dan matriks gelatin dari
membran otolith yang berkaitan dengan usia.
BAB V
KESIMPULAN
Vertigo perifer adalah rasa pusing berputar, oleng atau tak stabil yang
disebabkan karena adanya gangguan pada organ keseimbangan di telinga. Gejala-
gejala vertigo meliputi: pusing, rasa terayun, mual, keringat dingin, muntah,
sempoyongan sewaktu berdiri atau berjalan, nistagmus. Gejala tersebut dapat
diperhebat dengan berubahnya posisi kepala.
Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ-organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo dibagi
menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non vestibular.
Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada visual dan sistem
proprioseptif.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis vertigo baik perifer
maupun sentral adalah pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi. Pemeriksaan
keseimbangan seperti Romberg Test, Stepping Gait dan Tandem Gait. Untuk
pemeriksaan koordinasi dilakukan Finger to finger test, Finger to nose, Pronasi-
supinasi Test dan Heel to Toe Test.
Penatalaksanaan BPPV meliputi non-farmakologis, farmakologis, dan
operasi. Penatalaksanaan BPPV yang sering digunakan adalah non-farmakologis
yaitu terapi manuver reposisi partikel (PRM) dapat secara efektif menghilangkan
vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada
pasien. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel
ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wahyudi, Kupiya Timbul.Tinjauan Pustaka: Vertigo. CDK-198/ vol. 39 no. 10,
th. 2012
2. Lumbantobing, S.M. 2007. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta. hal 66-78
3. Purnamasari, Putu Prida. 2013. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV). http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article
/viewFile/5625/4269 diakses pada 20 Desember 2019
4. Edward, Yan. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Position Vertigo
(BPPV). http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/31/26
diakses pada 20 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai