Anda di halaman 1dari 8

Penataan Kawasan, Kota Dan Ruang Luar

Yang Berkelanjutan

Disusun Oleh :
Febrianti Anggia (1804104010035)
Nabila Chantika Putri (1804104010041)
Hibban Bariq Rana (1804104010061)

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Penataan Kawasan Yang Berkelanjutan


Wilayah dalam pengertian fungsional sering disebut sebagai kawasan, yakni
suatu wilayah yang teritorial didasarkan pada pengertian, batasan dan perwatakan
fungsional tertentu. UU No. 24/1992 mendefinisikannya sebagai ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri
tertentu/spesifik/khusus. Contoh kawasan antara lain adalah: Kawasan Lindung –
Kawasan Budidaya dalam suatu wilayah Provinsi; Kawasan Perkotaan – Kawasan
Perdesaan dalam suatu wilayah Kabupaten; Kawasan Perumahan, Kawasan Pusat
Kota, dan Kawasan Industri dalam suatu Kota.
Sedangkan Penataan Kawasan merupakan salah satu upaya rekayasa sosial
yang diselenggarakan di suatu wilayah dan dilakukan bersamaan dengan upaya
menciptakan suatu sistem yang komprehensif terkait aktivitas yang berlangsung di
kawasan, dengan memperhatikan kualitas lingkungan hidup. Hal ini berarti yang
diharapkan dari Penataan Kawasan adalah hadirnya suatu tatanan baru yang dapat
memberikan harapan kualitas kehidupan yang lebih meningkat. Diharapkan proses
dan hasil penataan kawasan merupakan bagian dari upaya mendidik perilaku warga
masyarakat sekitar dan juga merupakan pendidikan bagi para pengguna manfaat dari
kawasan tersebut agar sesuai dengan tujuan Penataan Kawasan. (Wildani, 2013)
Perencanaan tata ruang wilayah menjadi salah satu problematika pada
perkembangan Kota dewasa ini, perkembangan kota yang cukup cepat dengan
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat juga, maka masalah lingkungan mejadi
suatu masalah yang cukup urgen dalam pembahasan mengenai keberlanjutan
lingkungan untuk masa depan generasi.
Menurut Rustiadi et al. (2004), menyatakan bahwa penataan ruang memiliki
tiga urgensi, yaitu: pertama; optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip
produktivitas dan efisiensi), kedua; alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip
pemerataan, keberimbangan,dan keadilan), dan ketiga; keberlanjutan (prinsip
sustainability). Penataaan ruang yang optimal dan tepat sesuai dengan arahan
memanfaatkan ruang, penataan ruang yang tepat sasaran bertujuan untuk
mensejahterakan rakyat, mengunakan sumberdaya alam secara bijak tanpa
mengorbankan kebutuhan generasi dimasa akan datang, pilar pembangunan
berkelanjutan.

2.2 Penataan Kota Yang Berkelanjutan


Mengacu pada Peraturan Mendagri RI No. 4 th. 1980, Kota adalah suatu
wadah yang memiliki batasan administrasi wilayah seperti kotamadya dan kota
administratif. Kota juga berarti suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang
mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan yang
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan.

ciri-ciri kehidupan kota yang mendasari kepentingan untuk mewujudkan


keberlanjutan kehidupan warga kota, yakni :

1. Merupakan konsentrasi penduduk, dalam arti jumlah, kepadatan, dan


pertambahan penduduk yang lebih tinggi.

2. Merupakan kawasan terbangun yang lebih masif.

3. Merupakan pusat produksi dan produktivitas barang dan jasa.

4. Bukan merupakan kawasan pertanian dalam arti luas.

5. Didominasi oleh permukiman kota, bangunan komersial, bangunan industri,


bangunan pemerintahan, dan bangunan sosial.

6. Dilengkapi oleh prasarana dan sarana transportasi, ekonomi, dan sosial


perkotaan.

7. Dilengkapi oleh utilitas air bersih, drainase, air kotor, persampahan, telepon,
dan listrik.

8. Penduduk kota cenderung berlatarbelakang heterogen, berpendidikan relatif


lebih tinggi, berstatus ekonomi dan sosial lebih baik, bersifat rasional dan
individualistik, dan memiliki inovasi dan kreativitas lebih maju

Konsep kota berkelanjutan dalam Hassan and Lee (2014: 5) merupakan kota mandiri,
yang dapat mengembalikan kita ke kondisi pertama yaitu ''memproduksi untuk
dikonsumsi''. Gagasan kota berkelanjutan telah muncul sebagai inisiatif politik dalam
menanggapi degradasi yang terjadi di lingkungan perkotaan sepanjang abad
kedua puluh.

Pengertian pembangunan kota berkelanjutan secara prinsipil selaras dengan


pengertian pembangunan berkelanjutan, dimana perspektif ruang difokuskan pada
ruang perkotaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Urban21 Conference (Berlin, July
2000), pembangunan kota berkelanjutan diartikan sebagai upaya meningkatkan
kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang
akan datang akibat berkurangnya sumberdaya alam dan penurunan kualitas
lingkungan.

Dalam konteks yang lebih spesifik, kota yang berkelanjutan (sustainable


city) diartikan sebagai kota yang direncanakan dengan mempertimbangkan dampak
lingkungan yang didukung oleh warga kota yang memiliki kepedulian dan tanggung-
jawab dalam penghematan sumberdaya pangan, air, dan energi; mengupayakan
pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan; dan mengurangi pencemaran terhadap
lingkungan

Sesuai dengan karakteristik suatu kota, maka pembangunan kota berkelanjutan


dapat diartikan sebagai upaya terus-menerus untuk meningkatkan kualitas kehidupan
warga kota melalui peningkatan produktivitas di sektor sekunder dan tersier dan
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang layak dengan mempertimbangkan
dampak invasi dan intensifikasi kawasan terbangun terhadap kerusakan lingkungan
kota serta mensyaratkan keterlibatan yang tinggi dari warga kota terhadap upaya
penghematan konsumsi sumberdaya alam dan pengendalian penurunan kualitas
lingkungan.

Oleh karena kawasan perkotaan cenderung didominasi kawasan terbangun dan


bukan merupakan kawasan pertanian dalam arti luas, maka secara implisit memiliki
ketergantungan terhadap pasokan sumberdaya alam dari kawasan lainnya. Dengan
demikian, pembangunan kota berkelanjutan relevan dengan pengertian upaya
mengurangi ketergantungan terhadap pasokan sumber daya alam dari luar tersebut.
2.3 Penataan kawasan kampung/perdesaan yang berkelanjutan

Salah satu tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan


masyarakat desa dan kualitas manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan hasil sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Perencanaan pembangunan desa membutuhkan
sebuah inovasi dan sumber pengetahuan bagi masyarakat mengenai ruang yang akan
dibangunnya.
 tujuan dari pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan
perdesaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan
meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan
dengan tetap menjamin terpeliharanya ada istiadat setempat”.
 ruang lingkup pembangunan perdesaan, dengan redaksional
“pembangunan perdesaan meliputi pembangunan infrastruktur dan
sumberdaya manusia perdesaan”.
 tahapan pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan
perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 diselenggarakan melalui
tahapan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; dan d. evaluasi.”
 sistem informasi pembangunan perdesaan, dengan redaksional “informasi
kegiatan seluruh tahapan pembangunan perdesaan memanfaatkan sistem
informasi pembangunan perdesaan”.

Pembangunan berkelanjutan merupakan membuat dunia lebih baik untuk


semua,tanpa menghancurkan kesempatan generasi masa depan. Sebagaimana World
Commission On Environmental Development (WCED) Pada tahun 1987, merumuskan
pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berusaha
memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pembangunan berkelanjutan berarti kita harus
mengingat 3 hal sekaligus, yaitu kemajuan social, pembangunan ekonomi, serta iklim
dan lingkungan.
pembangunan perdesaan diarahkan untuk penguatan desa dan masyarakatnya,
serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan untuk mendorong
pengembangan perdesaan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial,ekonomi, dan
ekologi serta mendorong keterkaitan desa-kota. Sehingga di harapkan dengan
terwujudnya hal tersebut dapat menjadi magnet bagi para masyarakat desa sendiri
terutama para pemuda desa agar mau mengelola SDA dan membangun desanya sehin
gga kesan kumuh, miskin, terbelakang tidak lagi melekat di desa dan dapat
menurunkan ketimpangan antara kota dan desa sehingga dapat menarik pemuda desa
kembali ke desa, membangun desanya maka dapat menekan angka unrbanisasi.
Masyarakat merupakan bagian penting atau titik sentral dalam
pembangunan berkelanjutan, karena peran penduduk sejatinya adalah sebagai subjek
dan objek
dari pembangunan berkelanjutan. Upaya penguatan ketahanan masyarakat desa ini dih
arapkan dapat menyeimbangkan fungsi desa self-governing community dan local self-
government Mari kita song-song pembangunan kedepan dengan lebih
mengedepankan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan sehingga keberhasilan
kedepan adalah keberhasilan Indonesia, pemerintah indonesia, dan juga masyarakat
indonesia, hal ini agar mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

2.4 Konsep Penataan Ruang Hijau yang berkelanjutan


Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan (urbanisasi) dan
menurunnya kualitas lingkungan perkotaan membawa berbagai konsekuensi masalah
di Indonesia, diantaranya peningkatan angka kemiskinan perkotaan, kemacetan lalu
lintas, kenaikan permukaan air laut, pemenuhan kebutuhan infrastruktur yang belum
merata, makin banyaknya lingkungan kumuh, dan banjir.

Sejumlah permasalahan tersebut memberi kontribusi pada peningkatan efek


pemanasan global (perubahan iklim). Konsep pengembangan kota hijau merupakan
salah satu solusi yang ditawarkan dalam berkontribusi pada permasalahan perubahan
iklim melalui tindakan adaptasi dan mitigasi. Kota hijau adalah kota yang dibangun
dengan tak mengorbankan aset kota, tapi terus-menerus memupuk semua aset, yakni
manusia, lingkungan, dan sarana prasarana terbangun.

Beberapa ciri kota hijau antara lain memanfaatkan secara efektif dan efisien
sumber daya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi
terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, serta menyinergikan lingkungan alami dan
buatan berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip
pembangunan berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).

Ada delapan atribut kota hijau, yaitu:

1. Green planning and design : perencanaan dan perancangan kota yang


beradaptasi pada kondisi biofisik kawasan.
2. Green open space : mewujudkan jejaring ruang terbuka hijau.
3. Green waste : usaha menerapkan 3 R (reduce, reuse, recycle).
4. Green transportation : pengembangan transportasi yang
berkelanjutan/transportasi massal.
5. Green water : efisiensi pemanfaatan sumber daya air.
6. Green energy : pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah
lingkungan
7. Green building : pengembangan bangunan hemat energi.
8. Green community : kepekaan, kepedulian, dan peran aktif masyarakat dalam
pengembangan atribut kota hijau. Konstruksi bangunan yang ramah
lingkungan menjadi sebuah elemen vital dalam perwujudan kota hijau.

Tahapan awal perwujudan kota hijau ini juga terfokus pada tiga atribut,
yakni green planning and design, green open space, dan green community. Upaya
perwujudan kota hijau melalui tercapainya delapan atribut memerlukan peran,
dukungan dan komitmen seluruh stakeholder, yaitu masyarakat, pemda, swasta, dan
sektor lain.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas


mengamanatkan minimal 30% dari wilayah kota berwujud ruang terbuka hijau (RTH)
dengan komposisi 20% RTH publik dan 10 persen RTH privat. Pengalokasian RTH
ini ditetapkan ke dalam peraturan daerah (perda) tentang RTRW kabupaten/kota.

Strategi menuju RTH 30% dengan cara menyusun rencana induk RTH dan
melegalisasi perda RTH, menentukan daerah yang tidak boleh dibangun,
menghijaukan bangunan, dan menambah luasan ruang terbuka hijau baru. Selain itu
meningkatkan partisipasi masyarakat, mengembangkan koridor hijau, mengakuisisi
RTH privat, dan meningkatkan kualitas RTH kota.

Anda mungkin juga menyukai