Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muhammad Habib Maulana

Nim : 8111416117
Makul : Hukum dan HAM
Rombel : 02

Tindakan Negara Barat Atas Pelanggaran HAM yang Terjadi di


Rohingya

Pendahuluan
Rohingya adalah nama kelompok etnis yang kebanyakanberagama Islam dan
tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke 7 Masehi (778 M). ada
beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohan” atau
“Rohang”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah Rohingya disematkan oleh peneliti
Inggris Francis Hamilton pada abad ke 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di
Arakan.
Etnis Rohingya tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh sejak wilayah itu
masih menjadi jajahan Inggris. Ketika Arakan berada di bawah aneksasi Inggris banyak
orang India dan Bangladesh yang melakukan migrasi ke Arakan, dan sejak kemerdekaan
Burma (sekarang Myanmar) pada 4 Januari 1948, pemerintah telah menyatakan migrasi
tersebut adalah illegal dan menyatakan bahwa Rohingya adalah keturunan Bengali serta
menolak untuk mengakui mereka sebagai etnis dan warga negara Myanmar. Sehingga
setelah negara itu merdeka, etnis Rohingya terus mendapat perlakuan buruk dan kerap
mengalami kekerasan dan diskriminasi.Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah
satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis.
Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali, banyak orang
Rohingya yang merupakan keturunan campuran dari orang Arab dan warga lokal.
Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di sisi Timur daerah yang kini bagian dari
Bangladesh yang eksis sejak abad ke 8 Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung
dengan Union of Myanmar pada tahun 1948 berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu,
kerajaan Islam (pada abad 15-18), dan Buddhist.
Pelanggaran HAM adalah sesuatu yang sudah sangat sering terjadi didalam
kehidupan masyarakat. Kasus yang sedang dan masih sangat hangat saat ini adalah
tentang pelanggaran HAM warga muslim Rohingya yang mendapat perlakuan
diskriminatif dari pemerintah Myanmar, dibawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi,
mereka membantai dan membakar desa tempat dimana warga muslim Rohingya
tersebut bertempat tinggal, terletak di wilayah Rakhine, Myanmar bagian utara. Para
pemimpin dari berbagai negara muslim termasuk Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan
Pakistan telah menekan dan mendesak pemerintah Myanmar agar bisa menemukan
solusi damai dan agar tidak menjadi kasus yang lebih parah lagi. Tetapi seakan
berbanding terbalik dengan negara-negara tersebut, negara barat seperti tidak mau tahu
atas apa yang sudah menimpa warga muslim Rohingya, yang mana dibuktikan dengan
para pemimpin mereka yang tidak mau atau enggan bersuara mengenai kasus ini,mereka
hanya memfokuskan diri kepada masalah nuklir Korea Utara. Bahkan sudah tidak
sedikit lagi pihak yang mendesak dan memaksa agar negara-negara barat ikut serta
dalam masalah yang bisa dibilang masalah pelanggaran HAM internasional yang sudah
seharusnya menjadi perhatian dari seluruh negara di dunia. Tidak main-main bahkan
dari pihak PBB pun sudah “menyentil” agar salah satu saja dari negara barat setidaknya
memberikan sedikit perhatian mereka agar masalah ini dapat selesai dengan tanpa
menimbulkan masalah yang lain.
Selama ini kita sering sekali mendengar tentang kasus pelanggaran HAM atau
Hak Asasi Manusia. Sudah banyak laporan tentang adanya pelanggaran HAM tersebut,
salah satu contoh dari kasus tersebut adalah pelanggaran HAM pembunuhan,
pemerkosaan dan sikap diskriminatif terhadap suatu kelompok minoritas tertentu.
Saya disini akan mengambil tema tentang sikap diskriminatif pemerintah
Myanmar terhadap etnis muslim di Rohingya khususnya di desa Rakhine, dimana
warga desa tersebut mendapat perlakuan yang sangat sangat buruk, mereka dibunuh,
rumah mereka dibakar sampai habis begitu pula dengan jasad mereka. Jasad mereka
dibakar oleh militer Myanmar untuk menutupi pembunuhan massal tersebut. Bukan
hanya itu, para pengungsi dari Rohingya pun masih mendapat perlakuan yang sangat
keji, mereka tidak diterima oleh negara-negara tetangga mereka seperti Bangladesh.
Walaupun sekarang Bangladesh sudah membukakan pintu mereka untuk para
pengungsi dari Rohingya, namun tetap saja para pengungsi tersebut harus menunggu
selama berminggu-minggu untuk mendapat tempat nyaman dan aman untuk mereka
mengistirahatkan tubuh dan dan anak-anak mereka. Pada prinsipnya perlindungan
pengungsi merupakan tanggung jawab setiap negara. The Cconvention relating to the Status
of Relugees atau konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi merupakan dasar hukum
bagi pengungsi Internasional. Definisi pengungsi menurut Pasal 1 Konvensi 1951 adalah
“Refugee relates to a person who owning a well-founded fear of persecution for reasons of race,
religion, nationally, membership of a particular social group of political opinion is outside his
country and is unable or unwilling to avail himself of the protection of that country”1. Namun
ternyata ada sekitar kurang lebih 8000 pengungsi yang berlayar dari Rohingya menuju
perairan Asia Tenggara dan telah sampai di tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan
Thailand. Tapi tidak sampai disitu saja, seakan badai penderitaan etnis muslim
Rohingya terus menerpa mereka, setelah mendapat perlakuan diskriminatif yang teramat
sangat mengerikan dari negara mereka sendiri dan di tolak oleh negara-negara tetangga
mereka, bahkan sampai sekarang masih belum ada satupun negara dari daerah barat
menyampaikan suara dukungan mereka untuk warga Rohingya ini. Respons dan reaksi
negara barat sungguh memprihatinkan. Suara gerang mereka selalu tumpul bila sasaran
ketidakadilan itu komunitas muslim.
Akan tetapi, ketika beberapa negara di Asia Tenggara menemukan para
pengungsi Rohingya di lautan, dunia meminta tiga negara ASEAN ini untuk menerima
dan tidak menolaknya. Padahal, permasalahan sebenarnya bukan terletak pada
kesanggupan dan kesiapan menampung mereka, apalagi umat Islam di Aceh dan
Indonesia sangat ingin membantu mereka. Melainkan permasalahan utama adalah
diskriminasi yang dilakukan kelompok Buddha garis keras di Myanmar dan dilegitimasi
pemerintah. Dan parahnya, selama ini dunia Barat diam, tidak bersuara keras atas
penindasan yang menimpa Muslim Rohingya tersebut.

Legal Opinion
Respons dan reaksi Negara-negara Barat atas kezaliman dan diskriminasi yang
dilakukan Myanmar terhadap Muslim Rohingya sungguh memprihatinkan. Suara
garang mereka selalu tumpul bila sasaran ketidakadilan itu komunitas Muslim. Akan
tetapi, ketika beberapa negara di Asia Tenggara menemukan para pengungsi Rohingya
di lautan, dunia meminta agar tiga negara ASEAN,yaitu Indonesia, Malaysia dan

1
Ayub Torry Satriyo Kusumo, “PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PENGUNGSI INTERNASIONAL” YUSTISIA
Jurnal Hukum, Volume II No.2, Juli 2008, hal. 39
Thailand untuk menerima dan tidak menolak. Mereka mengatakan hal seperti itu seolah
mereka peduli, tapi pada kenyataannya mereka tidak peduli sama sekali dengan nasib
pengungsi Rohingya. Itu dibuktikan dengan tidak ada satupun Negara Barat yang
mengirimkan bantuan, baik itu bantuan dari medis, militer ataupun makanan, mereka
hanya bisa mengatakan kalau “ASEAN jangan menelantarkan para pengungsi tersebut”.
Menurut pendapat saya sendiri, ini sebenarnya adalah tindakan yang bahkan lebih tidak
manusiawi ketimbang apa yang sudah dilakukan oleh Myanmar terhadap etnis Muslim
di Rohingya. Kenapa saya berpendapat seperti itu? Karena kebanyakan di negara-negara
Barat adalah negara maju yang mempunyai sarana dan prasarana yang sangat memadai,
kenapa mereka dengan sengaja tidak memberikan itu sedikit kepada warga Rohingya
tersebut? bukankah akan sangat lebih baik jika mereka langsung membantu dengan
tindakan “nyata” bukan hanya dengan perkataan “ASEAN jangan menelantarkan
pengungsi Rohingya”.
Terlepas dari sikap dan reaksi negara Barat mengenai kasus tersebut, saya akan
meneliti tentang bagaimana bisa kita sesama manusia yang memiliki pikiran dan
perasaan tega melakukan perbuatan keji dengan membunuh, membakar dan
memperkosa sesama manusia hanya dengan beralasan “untuk mencegah aksi
terorisme”?. Bukankah kita semua lahir dengan kodrat yang sama dan diberikan hak
yang sama pula? Kenapa mereka bisa merenggut hak orang lain dengan mudahnya,
seolah mereka telah melakukan suatu tindakan yang benar. Sejak kita masih berada
didalam kandungan, kita sudah memliki hak-hak yang melekat pada diri kita dan tidak
bisa dilepas, diganti atau pun hilang dari diri kita. Hak-hak ini bertujuan untuk
menjamin martabat setiap manusia, meliputi :
1. Hak untuk hidup
2. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukum yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat
3. Hak untuk bebas dari perbudakan
4. Hak untuk bebas dari pemenjaraan akibat ketidak sanggupan memenuhi
kewajiban kontrak
5. Hak untuk bebas dari dinyatakan bersalah atas tindak kriminal yang belum
menjadi hukum pada saat tindakan tersebut dilakukan (prinsip non-retroaktif)
6. Hak untuk diakui sebagai pribadi hukum
7. Hak atas kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan beragama2

Uji Syarat
Membahas tentang kasus yang terjadi di Rohingya adalah sebuah kasus
pelanggaran HAM dan kejahatan genosida. Kenapa pelanggaran HAM dan kejahatan
genosida dapat terjadi? Itu karena penegakkan hukumnya kurang tegas terhadap
pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sudah ada hukum dan undang-undang yang
mengatur disertai pula dengan berapa tahun pidanya, tetapi karena kurangnya kesadaran
hukum dari masyarakat yang membuat para penegak hukum juga sulit untuk
menegakkan hukum atas pelanggaran HAM itu. Tetapi kasus yang menimpa
masyarakat Rohingya saat ini bukanlah sebuah pelanggaran HAM biasa, ini adalah
kejahatan genosida, ini lebih dari pelanggaran HAM biasa. Undang-undang yang
mengatur tentang HAM sendiri di Indonesia telah diatur pada Pasal 27 UUD 1945 :

2
Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum, HUKUM HAK ASASI MANUSIA, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, hal. 6
(1) ”Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
(2) ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.
(3) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut sertadalam upaya pembelaan
negara”.3
Didalam pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa pada hakikatnya konsep HAM
mempunyai dua dimensi, yaitu pertama adalah bahwa hak-hak yang tidak dapat
dipisahkan atau dicabut adalah hak manusia karena ia manusia. Hak-hak ini adalah hak
moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak ini bertujuan untuk
menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum, yang dibuat sesuai
dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat internasional maupun nasional.
Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari
warga yang tunduk pada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang
merupakan dasar dari arti yang pertama tadi.4 Maka sudah tidak mengherankan lagi jika
pidana untuk kejahatan HAM ataupun pelanggarannya berat, seperti hukuman mati
atau penjara seumur hidup. Menurut pandangan hukum pelanggaran dan kejahatan
HAM adalah sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dimaafkan, karena seseorang yang
telah dengan sengaja merenggut atau merampas hak orang lain sangat tidak manusiawi.
Konflik yang berkepanjangan antara penduduk Rakhine dan Rohingya di Arakan
daan bahkan untuk muslim di Myanmar, bahwa penyebab timbulnya konflik dan
mengapa konflik tersebut tidak terselesaikan adalah kerna beberapa factor.
1. Faktor pertama, Faktor SARA, bahwasannya pemerintah tidak mengakui
Rohingya sebagai etnis Myanmar karena mereka keturunan Bengali
(Bangladesh). Disamping itu, kelompok 969 melakukan provokasi kebencian
terhadap Islam dengan mengatakan bahwa Islam adalah ancaman buat umat
Budha. Mereka menyatakan bahwa mereka khawatir Myanmar akan seperti
Indonesia, yang dahulunya Negara dengan kerajaan hindu-Budha dan sekarang
menjadi Negara islam mayoritas dan terbesar didunia. Hal ini menurut mereka
ancaman serius sehingga islam harus dieliminasi dari bumi Myanmar. Mereka
menganggap bahwa Burmese Buddhist adalah raja dan selainnya adalah budak.
Sehingga Burmese Buddhist harus kembali dengan kodratnya sebagai raja
dinegeri Myanmar.
2. Faktor kedua, Faktor ekonomi, bahwasannya sendi-sendi perekonomian
Myanmar dikuasai oleh pembisnis dan pedagang muslim dengan kedai-kedainya
yang menggunakan simbolnya 786 (basmallah), sehingga kondisi ini
menimbulkan ketegangan social. Kelompok ekstrimis kemudian mendirikan
kelompok 9699 untuk men-counter perkembangan perekonomian muslim di
Myanmar, dengan cara menghancurkan kedai-kedai 786 milik muslim di Arakan
dan Meikhtilla. Disamping itu, wilayah Arakan kaya akan sumber gas dan
sumber daya alam lainnya, yang menjadi perebutan Negara-negara adidaya.
Dimana untuk tahun 2010-2014 telah dibangu proyek pipa gas sepanjang 2400
km dari arakan ke China. Pemerintah Myanmar sangat mempunyai kepentingan
atas sumber daya alam melimpah dibumi Arakan tersebut.

3
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia
4
Anis Widyawati, “KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HAM”, Jurnal Hukum PANDECTA, Volume II No.
2, Juli-Desember 2008, hal. 41
3. Ketiga, factor social budaya, bahwasannya banyak wanita Myanmar yang
menikah dengan lelaki muslim dan kemudin mualaf. Kelompok ekstimis dan
pemerintah tidak meyukai hal tersebut dan mencoba meng counter-nya dengan
cara melarang wanita Myanmar tersebut dan memenjarakan lelaki muslim yang
menikahinya. Disamping itu, kebiasaan kebanyakan lelaki Myanmar (Buddist)
suka mabuk dan tidak saying terhadap istri dan keluaraga. Sehingga hal tersebut
menjadi alas an wanita Myanmar lebih suka menikah dengan lelaki muslim yang
memiliki sifat sebaliknya.
4. Keempat, factor politik, bahwasannya konflik yang ada di Arakan merupakan
proyek bagi pemerintah sehingga konflik tersebut sengaja dipelihara untuk
mendapat keuntungan dari proyek tersebut. Disamping itu, Myanmar akan
menjelang pemilihan umum pada tahun 2015, sehingga konflik ini sengaja
dipelihara oleh elit politik dan pemerintah untuk kepentingan pemilu dalam
mencari dukungan dari buddist. Konflik ini juga tak lepas dari campur tangan
Negara adikuasa yang tidak mendapatkan “kue” diarakan karena sejauh ini china
yang menikmati gas dan kekayaan alam arakan. Terbukti sudah berjalan proyek
pipa gas diArakan yang dimulai tahun 2010-2014 sepanjang 2400km dari
kyauphyu sampai kumin menuju China.
Sebenarnya, PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR untuk datang ke Myanmar
dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada di kawasan Myanmar sebagai
bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus Rohingya. Banyak sekali bantuan
yang dikeluarkan oleh UNHCR pada etnis ini seperti mengadakan pendidikan informal,
membangun camp pengungsian, kesehatan, dan masih banyak lainnya.
Tetapi, peran UNHCR disini hanyalah sebagai pembantu saja dan bersifat
sementara, mereka tidak dapat menembus kebijakan yang diambil pemerintah
Myanmar.Hal ini dibuktikan dengan permasalahan Rohingya sampai saat ini masih
tetap ada sejalan dengan masih eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar.
Tetapi keberadaan UNHCR di Myanmar sejak tahun 90-an membuktikan bahwa
usaha yang dilakukan oleh PBB dimulai dari dalam negeri Myanmar itu sendiri, mereka
mencoba memenuhi kebutuhan dasar etnis ini, tetapi kembali lagi, usaha yang dilakukan
PBB ini tidak dapat mencegah perlakuan diskriminasi yang dilakukan pemerintah
Myanmar sehingga etnis Rohingya tetap melarikan diri ke luar wilayah Myanmar.
Myanmar adalah negara anggota PBB sejak tanggal 4 april 1948. Myanmar belum
meratifikasi Konvenan-Konvenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Namun,
sebagai bagian dari anggota PBB, Myanmar berkewajiban menghormati ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam PBB.
Banyak ketentuan dalam UDHR yang telah dilanggar oleh pemerintah Myanmar,
diantaranya, Hak Hidup (Pasal 3) untuk tidak disiksa (Pasal 5), atas setiap orang atas
kewarganegaraan (Pasal 15) dan ha katas setiap orang untuk memilki sesuatu (Pasal 17).
Selain pelanggaran terhadap ketentuan UDHR tersebut, Myanmar sbagai anggota PBB
memiliki kewajiban untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana
ditegaskan dalam Piagam PBB.
Sementara itu wakil Organization of Islamic Cooperation (OIC) di PBB
mendesak PBB untuk menekan pemerintahan Myanmar agar menyelesaikan konflik
Rohingya. Myanmar tidak dapat bergabung dengan komunitas demokratis negara-
negara lain jika tidak melindungi hak-hak minoritas di negerinya ujar para wakil OIC.
Secara khusus, Indonesia sebagai anggota OKI berkepentingan mendesak PBB
untuk memberi sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke
International Criminal Court (ICC) atas tuduhan upaya genosida secara sistematis
terhadap Muslim Rohingya. Tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya
diMyanmar jelas merupakan amanat penderitaan Muslim internasional sebagai spirit
kemanusiaan atas nama ketidakadilan yang merampas hak-hak kemanusiaan.
ASEAN juga sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi
manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights
(AICHR) padatahun 2009.
Namun kembali lagi bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan masyarakat
internasional dalam menangani masalah Rohingya.Kedaulatan suatu negara sangat
dijunjung tinggi oleh masyarakat internasional.Sehingga masyarakat internasional tidak
dapat melakukan intenvensi terhadap Myanmar karena mereka memilki kedaulatan
mereka sendiri.Terlebih lagi pemerintah Myanmar sangatlah tertutup mengenai
permasalahan seperti ini.

Kesimpulan
Kasus kejahatan genosida yang telah menimpa Rohingya memang bukanlah
yang pertama kali terjadi, tetapi kasus ini bisa dibilang adalah salah satu kasus
diskriminasi dan kejahatan HAM yang terbesar di era modern yang notabene sudah
damai dan jarang terjadi perang. Kejahatan yang telah di klarifikasikan sebagai salah
satu kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) oleh dunia ini seharusnya tidak boleh
terjadi lagi untuk kesekian kalinya. Dari kasus ini kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa ternyata hanya dengan satu kejahatan (dalam kasus ini adalah kejahatan
terorisme) dapat memicu kejahatan yang lebih mengerikan, dan ternyata rasa
kemanusiaan di zaman modern ini sudah terlalu buruk, dibuktikan dengan sikap dan
respons dari negara-negara Barat yang seakan malah ikut serta dalam mendiskriminasi
kan etnis dan umat muslim di Rohingya, bahkan di seluruh dunia, tanpa memberikan
satupun bantuan kemanusian atau bantuan dalam bentuk yang lain.
Apakah mereka sudah menutup hati meraka? Kalaupun mereka benar-benar
membenci terorisme, seharusnya yang meraka berantas adalah aksi terorisme tersebut,
bukan orang-orang yang tidak bersalah yang tidak tahu apa itu terorisme. Karena pada
kenyataannya bukan hanya negara mereka saja yang mendapat teror dari teroris tetapi
semua negara di dunia, bahkan di negara yang mayoritas orang muslim seperti
Indonesia. Walaupun sudah ada dan sudah sangat jelas semua peraturan di dalam
Undang-undang tetapi UU tersebut hanya berperan sebagai hiasan belaka tanpa adanya
tindakan nyata yang menindak lanjuti dari undang-undang tersebut. Undang-undang
yang mengatur tentang HAM sendiri di Indonesia telah diatur pada Pasal 27 UUD 1945
: (1) ”Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.(2)
”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.(3) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut sertadalam upaya
pembelaan negara”.
Tapi memang bukan undang-undangya yang kurang tegas, tetapi penegakkan
hukumnya lah yang harus dibenahi agar tidak terjadi lagi kasus-kasus kejahatan
pelanggaran HAM berat ataupun kejahatan-kejahatan yang lain.
Daftar Pustaka

Rahayu. 2010. HUKUM HAK ASASI MANUSIA. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.

Kusumo, Ayub Torry Satriyo. 2008. Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi
Internasional.
YUSTISA Jurnal Hukum, Vol. 83.

Widyawati, Anis. 2008. Kajian Hukum Internasional Terhadap HAM. Jurnal Hukum
Pandecta,
Vol. 2, No. 2, Hlm. 39-46.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia

Anda mungkin juga menyukai