Hubungan Obesitas Dengan OSA
Hubungan Obesitas Dengan OSA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi OSA pada populasi umumnya adalah tiga hingga tujuh persen untuk laki-laki dan
dua hingga lima persen pada wanita. Prevalensi juga ditemukan tinggi terutama pada pasien
dengan obesitas, dimana pasien OSA juga berisiko untuk mengalami obesitas karena tidur
yang tidak cukup berkaitan dengan peningkatan berat badan. Wanita yang belum mengalami
menopause memiliki angka prevalensi yang rendah yaitu 0,6%, sedangkan wanita yang sudah
mengalami menopause memiliki prevalensi OSA lebih besar yaitu 2.7%. Prevalensi OSA
lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita, dengan pengecualian pada wanita yang
sudah mengalami menopause. Studi yang dilakukan pada pasien Afrika Selatan dibandingkan
dengan pasien Eropa, menunjukkan pasien kulit putih memiliki dua kali lipat risiko lebih
tinggi mengalami OSA (35.2% vs. 51.4%). Pada etnis Afrika-Amerika, risiko OSA ditemukan
lebih banyak pada usia muda. Perbedaan bentuk kraniofasial dapat mempengaruhi prevalensi
OSA. Sedangkan pada negara belahan timur tengan (middle east), obesitas memiliki peran
besar dalam kejadian OSA.1,2
2.1.3 Etiologi dan patogenesis
Pengertian terhadap fisiologi tidur penting untuk mengetahui proses terjadinya OSA. Fase
tidur dapat dibagi menjadi fase rapid eye movement (REM) and non-REM. Fase NREM
sendiri terbagi menjadi 4 tingkatan, yaitu tingkat 1 (N1), tingkat 2 (N2), tingkat 3 (N3), dan
tingkat 4 (N4). Proses tidur dimulai periode pendek N1 yang kemudian berlanjut ke N2, N3,
N4, dan REM secara berturut-turut. Setelah memasuki fase REM, siklus tidur akan kembali
ke fase NREM kembali dan hal ini akan terjadi berulang kali selama tidur. Fase NREM
terjadi sekitar 75-80% sedangkan fase REM terjadi sekitar 20- 25% total waktu tidur. Panjang
rata-rata siklus tidur NREM-REM pertama berkisar antara 70-100 menit. Pada orang dewasa
normal, fase REM meningkat semakin lama orang tersebut tidur. Rata-rata terdapat 4-5
episode REM saat tidur di malam hari. Fase NREM merupakan fase tidur restoratif tanpa
mimpi. Periode N1 merupakan periode transisional pada siklus tidur. Fase ini berlangsung
selama 1-7 menit pada siklus awal, berkontribusi sekitar 2-5% total tidur, dan mudah
diinterupsi dengan suara yang mengganggu. N2 berlangsung selama 10-25 menit pada siklus
awal dan memanjang di siklus berikutnya secara berturut-turut dan meliputi 45-55% total
periode tidur. N3 hanya berlangsung beberapa menit dan meliputi 3-8% total periode tidur,
sedangkan N4 berlangsung selama 20-40 menit pada siklus pertama dan terjadi pada 10-15%
total periode tidur. Ambang bangun pada fase ini sangat tinggi dibanding fase NREM lainnya
sehingga fase N4 sering disebut sebagai fase tidur dalam. 1,3
Fase REM memiliki karakteristik yang mudah dibedakan dengan fase NREM karena
adanya gerakan bola mata. Mimpi terjadi pada fase ini. Penurunan tonus otot skeletal terjadi
sehingga ikut mempengaruhi pernapasan. Pada fase ini terjadi reaktivasi kelompok sel
kolinergik pada pons dan basal forebrain yang relatif inaktif selama NREM. Selain itu terjadi
penekanan aktivitas motorik spinal melalui rekrutmen sirkuit neural desenden yang
melibatkan glisin dan GABA. Periode supresi mayor dari aktivitas otot saluran pernapasan
atas yang terjadi pada fase ini memiliki mekanisme yang berbeda. Supresi aktivitas otot
genioglossus pada fase REM terjadi melalui dua proses yaitu, disfasilitasi dan inhibisi yang
mediasi oleh reseptor muskarinik yang berhubungan dengan protein G dan potassium
channel. Disfasilitasi merupakan penarikan input eksitasi yang dimediasi oleh penurunan
eksitasi noradrenalin dan serotonin pada hipoglosus.1,3
Patofisiologi OSA diduga terjadi karena adanya gangguan fisiologi atau perubahan
struktur pada anatomi saluran nafas, dimana struktur kraniofasial atau lemak tubuh dapat
mengurangi ukuran lumen faring. Ukuran lumen faring yang mengecil meningkatkan
kemungkinan terjadinya kolaps faring. Selama kondisi sadar, saluran pernafasan
dipertahankan oleh berbagai macam otot wajah. Hal yang berlawanan terjadi selama tidur,
aktivitas otot berkurang dan seringkali menyebabkan penutupan jalur nafas. Berbagai macam
faktor mempengaruhi patogenesis OSA. Salah satu faktor penting yang ada adalah sistem
kontrol respirasi tubuh yang berfungsi mempertahankan jalan nafas. Gangguan pada sistem
kontrol dapat menyebabkan gangguan asupan oksigen dan penutupan jalur nafas. Volume
paru juga dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi OSA. Studi cross sectional pada
binatang dan manusia menunjukkan adanya daerah saluran nafas atas yang membesar ketika
volume paru meningkat. Saluran pernafasan menjadi lebih kecil dan kolaps lebih mudah pada
paru yang memiliki volume lebih kecil. Penemuan ini diduga karena saluran nafas atas dan
bawah berhubungan secara mekanik, maka ketika volume paru membesar, struktur
mediastinum tertarik ke arah kaudal, menyebabkan dilatasi dan pengerasan saluran faring.
Peningkatan volume paru juga mengatur sistem kontrol respirasi dengan meningkatkan O2
dan CO2. Pada pasien obesitas terjadi penurunan volume residual paru terutama pada posisi
supine.1,2
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi anatomi saluran nafas atas dan fungsi otot,
merupakan faktor predisposisi OSA. Muskulus Genioglossus merupakan otot yang
berkontribusi pada lidah. Kontraksi adekuat dari M. Genioglossus akan mempertahankan
saluran nafas tetap terbuka selama tidur. Kelelahan, lesi saraf dan myopati dapat mengganggu
fungsi M. Genioglossus. Retensi cairan dan perpindahan cairan dari kaki ke leher saat tidur
juga mempengaruhi saluran nafas. Edema atau akumulasi air di daerah leher akan
menyebabkan penyempitan lumen faring. Pasien laki-laki dengan obsesitas merupakan faktor
risiko utama mengalami OSA. Deposisi lemak di daerah leher berkontribusi pada
penyempitan faring dan mekanisme terjadinya OSA. Obesitas selain menyebabkan deposisi
lemak juga mempengaruhi volume paru dan stabilitas sistem respirasi. Laki-laki lebih
berisiko mengalami OSA diduga karena diduga lebih mudah mengalami penambahan berat
badan dibandingkan perempuan. Usia yang lebih tua menyebabkan hilangnya elastitas paru
dan berkurangnya kontraksi M. genioglossus. Faktor-faktor lain yang juga dapat
mempengaruhi berupa faktor genetik, menopause, dan kebiasaan merokok.1,2
2.1.4 Diagnosis
Pasien dengan OSA akan mengeluhkan gejala yang timbul saat malam, seperti suara
mengorok yang keras, tersedak selamat tidur, nafas berhenti saat tidur, nokturia, diaforesis
dan kualitas tidur yang buruk. Walaupun 95% pasien mengeluhkan gejala mengorok saat
malam, gejala ini tidak spesifik. Apnea yang ditemukan saat tidur memiliki akurasi diagnosis
yang lebih akurat, namun tidak selalu muncul. Kualitas tidur yang buruk dan terjadi terus
menerus menyebabkan gejala selama pasien beraktivitas seperti, rasa mengantuk di sepanjang
hari, lelah, nyeri kepala, gangguan memori, depresi, penurunan libido, dan kurangnya
konsentrasi selama kerja. Obesitas sentral dapat terjadi pada pasien dengan OSA, dan lingkar
pinggang > 102 cm berhubungan dengan peningkatan skor apnea-hypopnea index (AHI).
Alat skrining yang dapat digunakan adalah kuesioner STOPbang yang digunakan oleh
anestesiologi yang memiliki sensitivitas 92,9% dan 100% untuk mendeteksi OSA sedang
hingga berat. Pasien memiliki risiko tinggi OSA bila memiliki tiga jawaban ‘ya’ atau lebih.4
Tabel 1. Kuesioner STOP Bang4
Pasien juga dapat datang dengan komplikasi OSA seperti atrial fibrilasi, hipertensi tidak
terkontrol, hipertensi pulmoner, dan penyakit jantung kongestif. Prevalensi OSA tinggi pada
pasien dengan gagal jantung. Diagnosis OSA ditegakkan dengan overnight sleep study atau
polisomnogram (PSG) dengan berbagai macam parameter. Parameter yang dinilai terdiri dari
aliran udara, aktivitas pernafasan, konsentrasi oksigen, aktivitas EEG otak, aktivitas otot kaki,
dan posisi tidur. Pemeriksaan PSG dapat dilakukan pada laboratorium atau rumah pasien.
Studi yang ada memperlihatkan bahwa 76% pasien memilih untuk melakukan pemeriksaan di
rumah masing-masing untuk diagnosis OSA. Pemeriksaan PSG memperlihatkan peningkatan
aliran udara (apnea), berhubungan dengan usaha nafas yang meningkat. Hasil PSG akan
membantu penentuan skor AHI dalam pemberian CPAP kepada pasien. Skor AHI 5/jam
menegakkan diagnosis OSA dan dikategorikan sebagai OSA ringan bila <15/jam. Skor
15/jam mengindikasikan OSA derajat sedang, dimana skor 30/jam mengindikasikan OSA
derajat berat. Klasifikasi ini penting dalam penentuan terapi.4
Pasien dengan OSA memiliki gejala klinis khas berupa mengorok, apnea yang terlihat
selama tidur, rasa tersedak, dan rasa kantuk berkepanjangan. Keluhan tambahan lain berupa
lemah, sulit tidur dan nyeri kepala. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah polisomnografi
untuk menentukan AHI. Walaupun polisomnografi merupakan prosedur definitif, biasanya
memiliki harga yang relatif mahal, dan memakan waktu sedangkan penelitian terbaru
memperlihatkan diagnosis dan tatalaksana berdasarkan aktivitas rumah dapat membantu pada
beberapa pasien OSA.1
2.1.5 Komplikasi
Pasien dengan OSA memiliki risiko tujuh kali lebih tinggi mengalami kecelakaan kendaraan
bermotor, selain itu OSA juga mempengaruhi kualitas hidup dalam berbagai aspek yang
berbeda setelah dilakukan pemberian CPAP. OSA seringkali juga dihubungkan dengan
diabetes serta penyakit metabolik lain seperti hiperkolestrolemia. Diabetes dapat
menyebabkan neuromiopati yang dapat menyebabkan pelemasan saluran nafas. Sebanyak
87% pasien obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 mengalami OSA. Diabetes dan OSA
dapat memperburuk situasi karena menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah.
Komplikasi OSA seringkali berujung pada hipertensi sistemik, dimana pemberian CPAP
dapat meringankan gejala hipertensi dengan menurunkan tekanan darah sebesar 2-3 mmHg.1
Komplikasi lain yang seringkali dilaporkan adalah meningkatnya penyakit kardiovaskular
seperti infark miokard, penyakit jantung kongestif dan stroke. Seringkali pasien
memperlihatkan gejala yang asimtomatik, oleh karena itu pemeriksaan dini harus dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya komplikasi. Tidak ada data yang
memperlihatkan CPAP dapat mencegah kejadian infark, mikoard atau komplikasi
kardiovaskular.1,2
2.1.6 Tatalaksana
Tatalaksana pada pasien OSA dapat dibagi menjadi medikamentosa dan non-medikamentosa.
Tatalaksana non-medikamentosa dapat berupa pemberian CPAP, aplikasi oral, latihan posisi,
latihan fisik dan pengaturan diet. Tatalaksana utama pada pasien OSA adalah CPAP nasal.
Pemberian CPAP merupakan tatalaksana yang terbukti efektif dalam mengobati OSA.
Mekanisme yang terjadi melibatkan tekanan transmural faring sehingga tekanan intraluminal
dapat melawan tekanan sekitar. Penggunaan CPAP juga meningkatkan volume akhir ekspirasi
paru melalui traksi kaudal. Keputusan untuk memulai CPAP harus didiskusikan secara baik
dengan pasien terlebih dahulu karena prosedur ini digunakan dalam jangka panjang. Pada
beberapa pasien dengan CPAP seringkali membutuhkan nasal decongestant agar pemberian
CPAP efektif. Pasien akan memilih terlebih dahulu masker nasal yang sesuai karena akan
berpengaruh pada kenyamanan pasien dimana sebagian besar pasien dalam jangka panjang
akan semakin bergantung pada CPAP. Hasil yang ditunjukkan adalah banyak pasien yang
dapat tidur lebih baik, lebih segar dan dapat berkonsentrasi. Namun sebagian pasien merasa
kesulitan untuk menggunakan masker CPAP, dan lebih memilih mencari alternatif terapi lain.4
Pasien yang tidak dapat diterapi dengan CPAP dapat diberikan alternatif berupa
aplikasi oral, pembedahan, dan latihan posisi dan fisik. Aplikasi oral meerupakan alat yang
dipasang untuk memposisikan lidah dan mandibular, penggunaan dapat menyebabkan rasa
tidak nyaman. Menghindari posisi tidur terlentang juga membantu pasien apnea yang
disebabkan oleh posisi. Terapi posisi merupakan terapi mencegah pasien untuk tidur dalam
keadaan buruk. Alat yang digunakan dapat bermacam-macam seperti bantal dan wraist band.
Penurunan berat badan lewat diet dan latihan fisik juga membantu perbaikan gejala. 1,4
Tatalaksana lain dapat berupa latihan fisik, obat simtomatik atau pembedahan bila
terdapat inidikasi. Perubahan pola hidup juga memiliki banyak keuntungan pada pasien OSA.
Latihan fisik akan membantu menurunkan berat badan, tekanan darah, depresi, ansietas dan
kelelahan. Gangguan pola makan seperti bulimia juga menjadi faktor risiko obesitas.
Pencegahan sejak masa kecil oleh keluarga merupakan salah satu pencegahan obesitas saat
dewasa, sayangnya masih kurangnya kesadaran mengenai pentingnya latihan fisik dan
pengaturan pola makan. Penurunan berat badan menjadi salah satu target tatalaksana OSA.
Apabila latihan fisik tidak dapat menurunkan berat badan secara optimal, prosedur
pembedahan bariatrik dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil optimal. Konsentrasi enzim
heme-oksigenase yang tinggi pada pasien OSA akan berkurang setelah dilakukan
pembedahan. Hasilnya proses inflamasi yang terjadi akan menurun. OSA dan obesitas
merupakan maslaah kesehatan yang saling berkaitan, dimana dalam mengobati OSA,
penanganan obesitas juga harus dilakukan. Studi meta analisis yang dilakukan mengenai
efektifitas latihan fisik pada OSA menunjukkan penurunan berat badan yang berhubungan
dengan penurunan skor AHI (-6.04/jam, CI 95%) pada OSA ringan hingga sedang.4,5
Pasien dengan obesitas dapat berisiko penyakit lain berupa diabetes melitus tipe 2, hipertensi
dan penyakit kardiovaskular. Peningkatan lingkar pinggang dapat menjadi penanda risiko
penyakit, bahkan pada pasien dengan berat normal.7
2.2.4 Komplikasi Obesitas
Tatalaksana obesitas memiliki tujuan yang luas dan tidak hanya menurunkan berat badan,
namun menurunkan risiko dan peningkatan kualitas hidup. Target penurunan berat badan
adalah 5-10% dari berat badan, perubahan gaya hidup, dan penatalaksanaan penyakit
mendasar. Tatalaksana penyakit komorbid termasuk tatalaskana dislipidemia, kontrol gula
darah dan tekanan darah, dan gangguan pulmoner seperti OSA.6
Obesitas merupakan masalah kesehatan pada orang dewasa yang dapat menyebabkan
berbagai komplikasi seperti penyakit jantung, stroke, diabetes melitus tipe 2 dan kanker.
Berat badan berlebih juga meningkatkan risiko penyakit hati dan kantung empedu, OSA,
osteoartritis, dan impotensi. Klinisi memiliki tanggung jawab untuk melihat obesitas sebagai
gerbang berbagai macam penyakit dan membantu pencegahan sedini mungkin sebelum
terjadi berbagai macam penyakit komorbiditas.6,7
Gambar 2. Alur Tatalaksana Obesitas6
2.3. Hubungan OSA dengan Obesitas
Obesitas merupakan masalah epidemik yang mendunia dan kejadiannya terus meingkat setiap
tahunnya. Angka kejadian pada laki-laki dan wanita adalah sebesar 29% dan 57% di Afrika
Selatan. Sorotan utama yang terjadi adalah, angka kejadian anak yang mengalami obesitas
mulai meningkat. Selain angka kejadian yang tinggi, obesitas juga berhubungan dengan
kejadian obstructive sleep apnea (OSA). Data yang ada menunjukkan hubungan yang
konsisten antara obesitas dengan OSA, dimana pasien dengan IMT 30 kg/m2 ditemukan
pada 60-90% pasien OSA. Prevalensi OSA pada orang dewasa diperkirakan sebesar 25% dan
dapat meningkat hingga 45% pada pasien dengan obesitas. Laki-laki dewasa lebih sering
ditemukan mengalami OSA, namun dapat juga terjadi pada remaja.4
Pasien dengan obesitas memiliki deposit lemak pada saluran pernafasan atas yang
dapat menyebatakan penyempitan saluran pernafasan atas. Studi di Amerika pada pasien
dengan obesitas memperlihatkan hubungan langsung dengan kelainan pernafasan selama
tidur (sleep disorded breathing). Obesitas berhubungan dengan waktu tidur pendek dan
menyebabkan ketidak seimbangan hormonal. Hormon yang terganggu adalah melatonin,
leptin, insulin dan grelin. Hormon melatonin yang terganggu menyebabkan irama sirkadian
berubah yang dapat berujung pada peningkatan berat badan dan sindrom metabolik.
Peningkatan grelin dan penurunan leptin ditemukan pada pasien obesitas. Kadar leptin juga
ditemukan meningkat pada pasien OSA. Perubahan hormon ini menyebabkan peningkatan
konsumsi makanan pasien. Pasien dengan berat badan paling tinggi memiliki skor AHI paling
berat. Risiko OSA meningkat dengan bertambahnya usia dan IMT. Faktor risiko termasuk
jenis kelamin laki-laki, merokok, dan alkohol. Penyakit yang sering menyertai juga berupa
diabetes tipe 2, hiperlipidemia, hipertensi, gagal jantung dan penyakit kardiovaskular.8
Obesitas dan aktifitas fisik yang rendah berhubungan dengan kejadian OSA sedang
hingga berat. Patogenesis OSA terjadi ketika tidur dimana otot saluran pernafasan atas
mengalami relaksasi dan menyebabkan obstruksi udara secara parsial (hypopnea) atau
komplit (apnea). Pengukuran apnea-hypopnea per jam digunakan untuk mengukur beratnya
penyakit dengan apnea-hypopnea index (AHI). Hubungan antar obesitas, OSA dan sindrom
metabolik seringkali menjadi sorotan. Obesitas menyebabkan mekanisme patologis pada
OSA dan sindrom metabolik. Mekanisme patologis yang mendasari pada pasien obesitas
dengan OSA adalah inflamasi sistemik. Obesitas merupakan penyakit inflamasi sistemik yang
menyebabkan disfungsi endotelial. Hal ini didukung dengan adanya peningkatan C-Reactive
Protein (CRP) pada pasien obesitas. Penyakit OSA sendiri juga memperberat inflamasi
sistemik yang terjadi pada psien obesitas. Pada pasien OSA, terjadi kaskade aktivasi
makrofag yang menghasilkan sitokin pro-inflamasi (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1), yang
dikenal sebagai mediator inflamasi. Apabila OSA dibiarkan tidak teratasi, aktivasi makrofag
dan pengeluaran sitokin pro-inflamasi akan terus terjadi hingga terjadi disfungsi endotelual
dan aterosklerosis.4
Kesimpulan:
- Latihan fiisk merupakan
intervensi yang dapat
meningkatkan perbaikan
klinis pada pasien OSA
dewasa
Mohamed AS, et al Tujuan: - AHI dan rasa kantuk
evaluasi latihan otot saluran
(2016) membaik pada kelomok
Upper airway pernafasan untuk tatalaksana
OSA sedang (p<0.001)
muscle exercises pasien dengan OSA. - Penurunan lingkar leher
outcome in patients yang berkaitan dengan
Sampel:
with obstructive - 15 orang dengan OSA sedang penurunan AHI pada OSA
sleep apnea dan 15 OSA berat, kedua sedang (r=0.582; p<0.001)
syndrome.13 kelompok dilakukan latihan
orofaring selama 3 bulan dan Kesimpulan:
Latihan otot pernafasan
diperiksakan ESS, AHI,
meningkatkan AHI, saturasi
saturasi oksigen dan snoring
oksigen pada OSA sedang
Souza AK, et al Tujuan: - Tidak ada perbedaan
Evaluasi efektivitas inspiratory
(2017) fungsi hati pada kelompok
Effectiveness of muscle training (IMT) pada fungsi
IMT dan kontrol (p>0.05)
inspiratory muscle pernapasan pasien dengan OSA - Peningkatan kualitas tidur
training on sleep meningkat secara
Sampel:
and functional - 8 orang pada kelompok IMT signifikan pada kelompok
capacity to exercise dan 8 orang pada kelompok IMT (p>0.02)
in obstructive sleep plasebo.
Kesimpulan:
- IMT dilakukan 2 kali sehari,
apnea: a - IMT 12 minggu
(30 menit setiap sesi) selama
randomized meningkatkan kualitas
12 minggu
controlled trial 14 tidur pasien OSA
Neumannova Tujuan: - skor AHI (p<0.0001), ODI
Membandingkan efek jangka
Katerina, et al (p<0.0001), saturasi
pendek CPAP dengan kombinasi
(2017) (p<0.01), %t<90
Pulmonary CPAP dan rehabilitasi pulmoner
(p<0.0005), dan EES
rehabilitation and pada derajat kerparahan OSA,
(p<0.0005) membaik pada
oropharyngeal fungsi ventilasi dan perubahan
kedua program.
exercises as an karakteristik tubuh - Indeks massa tubuh
adjunct therapy in (p<0.0001), lingkar leher
Sampel:
obstructive sleep 20 kelompok rehabilitasi (p<0.0005), lingkar
apnea: a pulmoner dan 20 kelompok pinggang (p<0.0001), dan
randomized kontrol lingkar panggul
controlled trial9 Kelompok rehabilitasi pulmoner
(p<0.0001) menurun
melakukan program dua kali
secara siginifikan pada
seminggu (60 menit tiap sesi)
kelompok rehabilitasi
selama enam minggu yang terdiri
pulmoner
dari latihan aerobik, edukasi,
Kesimpulan:
latihan orofaringeal dan latihan
Latihan aerobik, orofaringela
pernafasan
dan pernafasan dapat menjadi
bagian penting dalam terapi
OSA
Feicio CM, et al Tujuan: Melihat efek latihan - Studi yang diinklusikan
(2018) orofaringeal pada terapi OSA sebanyak 11
Obstructive sleep - Latihan orofaringeal
Sampel: Pengumpulan pada 161
apnea: focus on menurunkan indeks
penelitian
myofunctional snoring (99.5 vs 48.2,
therapy10 p=0.041)
- Penurunan lingkar leher
berhubungan dengan
perubahan AHI setelah
latihan orofaringeal
mengindikasikan latihan
menyebabkan remodeling
pada saluran nafas atas
Kesimpulan:
Latihan orofaringeal
memberikan hasil efektif dalam
menurunkan derajat OSA dan
peningkatan kualitas hidup
Miranda VS, et al Tujuan: - Hasil menunjukkan adanya
Melihat profil myofunsional
(2019) Orofacial hubungan antara berat
orofasial pada pasien dengan
myofunctional gangguan tidur dengan
gangguan polisomnografi
profile of patients indeks massa tubuh,
with sleep Sampel: lingkar pinggang dan
97 pasien yang menyetujui
disorders: hipertensi (p<0.001)
informed consent dan
relationship with
Kesimpulan:
direncanakan untuk pemeriksaan
result of Semakin tinggi derajat
polisomnografi
polysomnography15 kerusakan struktur orofasila,
semakin tinggi gangguan tidur
yang muncul
2.4.1 Latihan Aerobik
Latihan aerobik dapat dimulai dengan pemanasan terlebih dahulu seperti stretching atau
jogging santai. Latihan dilanjutkan dengan latihan aerobik (dapat berupa treadmill atau
sepeda), dan resistensi dengan durasi yang disesuaikan dengan ketahanan pasien. Penggunaan
pulse oxymeter selama latihan digunakan untuk memantau saturasi oksigen dan denyut nadi.
Setelah sesi aerobik selesai, latihan dilanjutkan dengan pendinginan seperti jalan santai dan
stretching. Pendinginan disarankan untuk semua latihan untuk melatih kontrol pernafasan.
Penelitian yang dilakukan mengenai efektifitas latihan fisik pada pasien OSA dilakukan
dengan kelompok yang tidak mendapat tatalaksana dan kelompok yang mendapat latihan
fisik 1,5 hingga tiga jam per minggu selama 12 minggu memperlihatkan hasil yang signifikan
dalam AHI, FOSQ dan SF-36 (P<0.05).16 Penyakit OSA dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi. Latihan fisik telah menjadi tatalaksana tambahan selain penggunaan CPAP. Studi
systematic review pada 8 studi menunjukkan sebanyak 354 pasien dengan OSA menunjukkan
perbaikan setelah diberikan latihan fisik. Perbaikan ini ditandai dengan fungsi kardiovaskular,
kualitas tidur dan kualitas hiudp. Sebaliknya latihan fisik tidak memperlihatkan hasil yang
spesifik pada penurunan berat badan.14,17
2.4.2 Latihan Orofaringeal
Latihan Orofaringeal merupakan latihan yang didasarkan pada sensitivitas, mobilitas,
koordinasi dan kekuatan struktur orofasial yang berpengaruh pada perkembangan fungsi
respirasi, mastikasi, dan berbicara. Pada tahun 1990 American Speech and Hearing
Association pertama kali menggunakan latihan orofaringeal pada pasien dengan disfungsi
otot mulut untuk mengembalikan kekuatan ototnya. Latihan ini mendapat perhatian pada
klinisi untuk pasien OSA yang bertujuan untuk menjaga jalan nafas dan meningkatkan fungsi
respirasi. Latihan orofaringeal memberikan hasil perbaikan pada penurunan indeks
mengorok, dan peningkatan kualitas tidur. Sebagian besar studi mencantumkan latihan
spesifik pada struktur yang sering menyebabkan obstruksi faring seperti, lidah, palatum,
faring lateral, epiglotis atau kombinasi.10,18
Latihan yang paling sering diterapkan adalah latihan pada lidah, dimana aktivitas otot
genioglossus selama tidur atau masa REM mengalami penurunan sehingga lidah tidak
menyebabkan obstruksi. Latihan pada otot suprahyoid dengan meletakkan ujung lidah pada
palatum, menulurkan lidah maju mundur. Pernafaasan melalui mulut selama tidur dapat
mempengaruhi panjang dan penyempitan saluran napas. Latihan otot rahang dan businator
juga dilakukan untuk modifikasi jalur orofaring. Lingkar leher, lingkar perut dan pengukuran
antropometri IMT dapat membantu prediksi derajat keparahan OSA. Pasien obesitas dengan
lingkar leher yang besar dapat meningkatkan risiko obstruksi. Penurunan lingkar leher
berhbungan dengan perubahan AHI setelah latihan orofaringeal mengindikasikan latihan
menyebabkan remodeling pada saluran nafas atas. Secara ringkas, prinsip latihan orofaringeal
merupakan latihan otot repetitif dengan pertumbuhan spesifik dalam koordinasi, tonisitas, dan
ketahan otot. Latihan dapat meningkatkan kondisi kelemahan otot pada pasien dengan OSA.
Lebih jauh lagi, latihan dapat menurunkan volume dari struktur spesifik pafa lemak dalam
ptpt dilatasi faring, namun hipotesis ini masih belum dibuktikan. Sebagai tambahan, apakah
terapi harus dilakukan terus menerus masih belum dapat dipastikan.10,16
Tabel 4. Latihan Orofaringeal10
2.6. SF-36
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan salah satu penyakit yang dapat mempengaruhi
kualitas tidur dan kualitas hidup. Pengukuran kualitas tidur diperlukan terutama pada pasien
dengan OSA untuk evaluasi perkembangan terapi OSA. Berbagai macam instrumen
digunakan untuk mengukur kualitas hidup pada OSA. Instrumen yang paling sering
digunakan adalah survei dengan Medical Outcomes Study Short-Form Health Survey SF-36.
Beberapa kuesioner juga dikembangkan untuk menilai kualitas hidup pada pasien dengan
OSA.18,20
Kuesioner tersebut adalah functional outcomes of sleep questionnaire (FOSQ) dan
sleep apnea quality of life inventory (SAQLI). Apakah instrumen ini dapat lebih spesifik dari
kuesioner SF-36 masih memerlukan penelitian lanjut. Studi kohort dilakukan untuk
membandingkan efektifitas dari kuesioner yang ada. Seluruh responden dilakukan
pemeriksaan polisomnografi sebelum mengisi kuesioner. Kuesioner SF-36 terdiri dari 36
pertanyaan yang terbagi menjadi delapan bagian yaitu, fungsi fisik (limitasi karena penyakit
mendasar), kemampuan fisik (penurunan kemampuan kerja karena penyakit mendasar), OSA
dan kualitas hidup, persepsi kesehatan, vitalitas (energi dan kelelahan), fungsi sosial, fungsi
emosional, dan kesehatan mental. Penilaian dari 8 bagian pertanyaan ni digunakan untuk
menentukan dua bagian pengukuran lagi yang terbagi menjadi physical component summary
(PCS) dan mental component summary (MCS). Skor total dihitung dan memiliki skala 0-100,
dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik. Kuesioner FOSQ
merupakan instrumen mandiri untuk melihat gangguan tidur dengan kualitas hidup. Tiga
puluh pertanyaan terbagi menjadi dalam lima bagian yaitu, tingkat aktivitas, kesadaran,
hubungan intim, produktivitas kerja, dan hubungan sosial. Rerata skor didapatkan dari setiap
bagian dan dijumlah menjadi skor global.18,20
Kuesioner SAQLI dibentuk untuk mengukur kualitas hidup dengan apnea selama
tidur secara spesifik. Instrumen terdiri dari 35 pertanyaan yang terbagi menjad empat bagian
yaitu, fungsi sehari-hari, interaksi sosial, fungsi emosi dan gejala. Penilaian menggunakan
tujuh poin pengukuran dimulai dari setiap saat hingga tidak sama sekali. Skor yang semakin
tinggi menunjukkan kualitas hidup yang baik. Jumlah responden yang didapat adalah
sebanyak 435 orang tanpa OSA, 382 orang dengan OSA ringan hingga sedang dan 67 orang
dengan OSA berat. Responden OSA berat memiliki BMI yang lebih tinggi (mean = 34.3
kg/m2, p<0.0001) dan skor SF36 yang rendah (45.1 p = 0.006) dibandingkan pada OSA
ringan-sedang.20
Perbandingan antara instrumen kuesioner yang ada dibandingkan dan memperlihatkan
korelasi yang kecil. Kuesioner FOSQ dengan SF-36 MCS (r=0.31, p<0.001) dan SF-36 PCS
(r=0.37, p <0.001), sedangkan korelasi antara SAQLI dengan SF-36 MCS (r=0.52, p<0.001)
dan SF-36 PCS (r=0.42, p <0.001). Korelasi antara FOSQ dan SAQLI adalah 0.66, p<0.001.
Skor pada laki-laki tidak menunjukkan adanya perbedaan skor, namun pada wanita memiliki
skor AHI yang berat secara signifikan pada SF-36 PCS dengan OSA berat (p=0.004).
Kesimpulan yang didapat adalah kualitas hidup didapatkan lebih rendah pada pasien dengan
OSA berat. Korelasi antara ketiga instrumen masih sangat lemah hal ini memperlihatkan
masing-masing kuesioner memiliki aspek yang berbeda.20
BAB 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Jordan AS, et al. Adult Obstructive Sleep Apnea. Lancet. 2014 February 22;
383(9918):736-47.
2. Peppard P, Young T, Barnet JH, Maria P, Hagen EW, Hia KM. Increased Prevalence
of Sleep-Disordered Breathing in Adults. American Journal of Epidemiology.
2013:177 (9).1006-14
3. Azagra-Calero E, Espinar-Escalona E, Barrera-Mora JM, Llamas-Carreras JM,
Solano-Reina E. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). Review of the literature.
Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2012;17(6).
4. Tintinger GR, Pretorius L, Labadarios D. Obstructive Sleep Apnea and Obesity. S Afr
J Clin Nutr. 2011:24(4). 174-77.
5. Araghi MH, et al. Effectiveness of Lifestyle Interventions on Obstructive Sleep Apnea
(OSA): Systematic Review and Meta-Analysis. Sleep. 2013: 36 (10). 1553-62.
6. Yumuk V, et al. European Guidelines for Obesity Management in Adults. Obes Facts.
2015:8.402-24.
7. McKinney L, et al. Diagnosis and Management of Obesity. AAFP. 2013
8. Jehan et al. Obstructive Sleep Apnea and Obesity: Implications for Public Health.
HHS Public Access. Sleep Med Disord. 2017: 1 (4).
9. Neumannova K, Hobzova M, Sova M, Prasko J. Pulmonary rehabilitation and
oropharyngeal exercises as an adjunct therapy in obstructive sleep apnea: a
randomized controlled trial. Sleep Medicine. 2018. doi: 10.1016/j.sleep.2018.03.022.
10. Felicio CM, Voltarelli F, Vitalino L. Obstructive Sleep Apnea: focus on myofunctional
therapy. Nature and Science of Sleep. 2018:10.271-86.
11. D’Elia CA, et al. Effects of exercise training associated with continuous positive
airway pressure treatment in patients with obstructive sleep apnea syndrome. Sleep
Breath. 2012: 16. 723-35.
12. Aiello KD, et al. Effect of exercise training on sleep apnea: A systematic review and
meta-analysis. Respiratory Medicine. 2016: 116. 85-92.
13. Mohamed AS, Sharshar RS, Elkolaly RM, Serageldin SM. Upper airway muscle
exercises outcome in patients with obstructive sleep apnea syndrome. Egypt. J. Chest.
Dis. Tubere. 2016.
14. Souza AK et al. Effectiveness of inspiratory muscle training on sleep and functional
capacity to exercise in obstructive sleep apnea: a randomized controlled trial. Sleep
Breath. 2017
15. Miranda VS, Buffon G, Vidor DC. Orofacial myofunctional profile of patientswith
sleep disorders: relationship with result of polysomnography. CoDAS 2019:31(3).
16. Sengul YS, Ozalevli, Oztura I, Itil O, Baklan B. The Effect of Exercise on Obstructive
Sleep Apnea: A randomized and Controlled Trial. Sleep Breath. 2011:15.49-56
17. Bollens B, Reycher G. Efficacy of Exercise as a Treatment for Obstructive Sleep
Apnea Syndrome: A Systematic Review. Complementary Therapies in Medicine.
2018 (41). 208-14.
18. Epstein LJ, et al. Clinical Guideline for the Evaluation, Management and Long-
termCare of Obstructive Sleep Apnea in Adults. Journal of Clinical Sleep Medicine.
2009 : 5 (3). 263-76
19. Spicuzza L, Caruso D, Maria GD. Obstructive sleep apnea syndrome and its
management. Ther Adv Chronic Dis. 2015: 6(5).273-85
20. Silva GE, et al. Obstructive Sleep Apnea and Quality of Life: Comparison of the
SAQLI, FOSQ, and SF-36 Questionnaires. Southwest Journal of Pulmonary and
Critical Care. 2016 September 24. 137-49.