Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Permasalahan
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia. Nama pancasila
merupakan bahasa Sansekerta, panca berarti lima dan sila berarti prinsip atau asas.
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila secara resmi disahkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum pada pembukaan UUD 1945.
Pancasila secara resmi ditetapkan oleh Instruksi Presiden No. 12 Tahun
1968 (Inpres No. 12/1968). Rumusan Pancasila itu berbunyi :
“ ... Ketoehanan Jang Maha Esa, kemanoesiaan jang adil dan beradab, persatoean
Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam
pemoesjawaratan/perwakilan, serta dengan mewoedjoedkan soeatoe keadilan
sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia... “ (Berita Repoeblik Indonesia Tahoen II
No. 7).
Dalam notulen sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoozakai (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum menjadi rumusan resmi,
Pancasila telah dirumuskan oleh Sukarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 sebagai
berikut: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat
atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Sukarno mengatakan bahwa kelima sila tersebut berasal dari prinsip yang
terkandung dalam satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu gotong royong.
Supomo tidak merumuskan Pancasila secara tegas, tetapi dalam pidatonya tanggal
31 Mei beliau menyebutkan: Negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, budi
pekerti kemanusiaan yang luhur, takluk kepada Tuhan, sistem badan
permusyawaratan, dan sistem sosialisme negara. Supomo mengatakan bahwa
kelima asas itu bertitik tolak dari lembaga sosial (struktur sosial) dari masyarakat
asli yang diciptakan oleh kebudayaan Indonesia dan aliran pikiran atau semangat
kebatinan bangsa Indonesia. Muhammad Yamin yang berpidato pada tanggal 29
merumuskan Pancasila itu sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan,

1
Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial).
Muhammad Yamin mengatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar
pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama
berkembang di Indonesia. Menurut Hatta dalam pidatonya tanggal 29 Mei Yamin
tidak merumuskan Pancasila,tetapi beliau merumuskan Pancasila yang diberi pada
tanggal 29 Mei itu sesudah pidato Sukarno.
Dari uraian itu dapat dipahami bahwa rumusan (formulasi) Pancasila yang
disebut juga dengan Pancasila formal itu mempunyai akar yang dalam pada
semangat kegotongroyongan masyarakat Indonesia (Sukarno), pada lembaga
sosial (struktur sosial) dari masyarakat asli yang diciptakan oleh kebudayaan
Indonesia, aliran pikiran, dan semangat kebatinan bangsa Indonesia (Supomo),
pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama
berkembang di Indonesia (Yamin). Akar-akar pancasila itu disebut Pnacasila
material (Notonagoro, 1962/ 7).
Dengan demikian, pengertian Pancasila terbagi menjadi dua yaitu
Pancasila formal yang berupa pengertian yang abstrak berupa ide tokoh-tokoh
perumus Pancasila yang kemudian dituangkan dalam rumusan tertulis dalam
dokumen-dokumen penting; dan Pancasila material yang hidup dan berkembang
dalam sejarah, peradaban, agama, hidup ketatanegaraan, lembaga sosial (struktur
sosial) asli Indonesia yang bersifat gotong royong. Kedua pengertian Pancasila itu
juga memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Dalm Pancasila material belum
jelas batas-batas antara sila satu dan sila yang lain seperti halnya pada Pancasila
formal. Bahkan mungkin saja orang belum memahaminya sebagai sila-sila atau
prinsip-prinsip yang abstrak tetapi mereka memahaminya sebagai nilai-nilai
kehidupan sehari-hari dalm bidang sosial, politik pemerintahan, ekonomi, budaya,
dan agama. Sebaliknya, Pancasila formal sudah dirumuskan sebagai prinsip-
prinsip yang abstrak dan tegas batas-batasnya, sehingga dapat dipahami oleh
setiap orang sebagai sesuatu yang universal karena sudah dilepaskan dari ciri-ciri
individual dan partikularnya . pancasila formal dimaksudkan untuk sebagai
pedoman hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dalam Negara Indonesia
merdeka yang sedang mereka teliti persiapannya dalam sidang BPUPKI itu.

2
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pancasila sudah mengalami
proses dari Pancasila material menjadi Pancasila formal sebagai hasil
pembudayaan masyarakat Indonesia dan dari Pancasila formal akan dijabarkan
lagi menjadi pedoman hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dalam
Negara Indonesia merdeka.
Sejarah Pancasila meengalami berbagai macam interpretasi dan
manipulasi politik demi kepentingan penguasa yang tidak bertanggung jawab.
Dalam hal ini, Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar negara serta
pandangan hidup bangsa Indonesia, melainkan dimanipulasi demi kepentingan
politik para penguasa tersebut.
Dampak yang cukup serius atas manipulasi Pancasila oleh para penguasa
pada masa lampau adalah banyak kalangan elit politik dan sebagian masyarakat
beranggapan bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Orde baru
merupakan upaya menjaga penilitian di Indonesia. Di satu pihak, penelitian adalah
suatu jenis kerja profesional tingkat tinggi. Dilihat dari segi keuntungan finansial
inilah bidang yang sama sekali tidak mendatangkan keuntungan apapun kecuali
bisa dibayangkan bahwa itu hanya terjadi dalam jangka yang sangat panjang. Di
pihak lain, dampak sosial dan terutama politiknya justru jauh lebih tinggi dari
yang bisa dibayangkan bila suatu informasi datang atas nama penelitian.
Pandangan sinis serta upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era
reformasi akan sangat berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya
kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara yang kemudian akan mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang telah lama dibina, dipelihara, dan
didambakan bangsa Indonesia sejak dahulu.

B. Catatan Metodologis

Proses terjadinya Pancasila formal dari Pancasila material dapat dibedakan


menjadi proses faktual dan proses rasional. Dalam proses faktual perlu dikaji
waktu, tokoh-tokoh pelaku, situasi dan lingkungan yang menyertainya. Dalam
proses rasional, kajian difokuskan pada pemikiran-pemikiran yang dapat
menjawab pertanyaan bagaimana Pancasila material yang bersifat individual dan
partikular itu dapat berada dalam pemikiran yang berupa konsep abstrak universal

3
yang dipahami sebagai Pancasila, dan apa sebenarnya hakikat dari Pancasila itu
sebagai pengertian yang abstrak dan universal? Pemikiran ini berkaitan
pendekatan filsafat yang mengupas tentang keberadaan (ontologia) dan hakikat
(kritika) dari objek studinya. Dalam hal ini, Driyarkara, Notonegoro, dan pemikir
lain sudah merintisnya sejak tahun 1950-an.

Meskipun kelima sila Pancasila merupakan satuan yang tidak terpisahkan,


tetapi dalam pelaksanaannya tetap dapat ditelusuri perbedaan intensitasnya, sebab
mesikipun satu tetap lim, yang masing-masing tidak sama asasinya. Sila
Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sifatnya lebih asasi daripada sila persatuan
Indonesia dan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam
permusyawaratan/perwakilan.

Maka tidak mengherankan kalau penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai


pribadi tidak sama tebal tipisnya. Sila Ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan
sosial sudah ditransformasikan sebagai kategori operatif lebih lama dan lebih
intensif lewat lembaga agama dan lembaga kemasyarakatan daripada sila
persatuan dan kerakyatan. Pengertian nasionalisme dan demokrasi modern
memang merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia, meskipun akarnya sudah ada
pada masyarakat Indonesia sejak lama. Maka, kedua sila itu agak sulit
ditransformasikan menjadi kategori operatif bagi bangsa Indonesia sebagai
pribadi, dan mungkin cara yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan yang paling tepat adalah
pendekatan ilmu-ilmu sosial sehingga dapat dijelaskan proses sosialisasi dari
setiap pribadi dalam mentransformasikan Pancasila dalam norma-norma sosial,
politik, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

4
BAB II
PROSES PERUMUSAN FAKTUAL PANCASILA

Nilai Budaya Indonesia Tumbuh Memasuki Zaman Sejarah (400 -


1500)

A. Kutai

Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M dengan ditemukannya


prasasti yang berupa tujuh yupa (tiang batu). Dapat diketahui bahwa Raja
Mulawarman keturunan dari Raja Aswawarman yang berketurunan dari Raja
Kudunga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan
memberi sedekah kepada para brahmana, dan para brahmana membangun yupa itu
sebagai tanda terimakasih raja yang dermawan (Bambang Sumadio, dalam
Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto,
1977: 32-33). Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia untuk
pertama kalinya ini menampilkan nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk
kerajaan, kenduri, sedekah kepada para brahmana.

Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan Raja ini
tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di Jawa dan Sumatra.
Dalam zaman kuno pada tahun 400-1500 terdapat dua kerajaan yang berhasil
mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi separoh Indonesia dan seluruh
wilayah Indonesia sekarang yaitu Sriwijaya yang berpusat di Sumatra dan
Majapahit yang berpusat di Jawa.

B. Sriwijaya

Sriwijaya menguasai pedalaman Sumatra, pelabuhan-pelabuhan di Sumatra


Timur dan Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan laut yang
sangat ramai, yang memungkinkan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang kuat.

Sriwijaya sudah mengembangkan tata negara dan tata pemerintahan yang


mampu menciptakan peraturan-peraturan yang ditaati oleh rakyat yang berada di
wilayah kekuasaannya. Menurut prasasti Telaga Batu, Raja yang memegang

5
otoritas tertinggi. Raja dikelilingi anggota keluarganya sebagai bawahan dan
staffnya yaitu Yuwaraja, Pratyuwaraja, dan Raja Kumara. Mereka dipisahkan dari
Rajaputra yang berasal dari istri-istri Raja yang lebih rendah. Putra-putra Raja ini
diberi kekuasaan memerintah wilayah Kedatun yang terletak di sekitar Ibukota.
Mereka di bawah pemerintahan langsung oleh Raja.

Di sekitar keluarga raja dibentuk administrasi pusat yang terdiri dari hakim
raja yang menjalankan kekuasaan raja untuk mengadili yang disebut dandanayaka;
pemungut pajak yang disebut Nayaka, dan pengurus harta benda milik raja disebut
Prataya. Untuk basis kehidupan ekonomi keluarga, Raja memiliki wilayah pribadi
sekitar ibukota yang dihuni oleh hulun haji di bawah pimpinan murdhaka.
Pejabat-pejabat pusat lainnya adalah para menteri yang tidak memiliki darah
bangsawan, juru tulis, juru kerohanian yang menjadi pengawas teknis
pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci, pengawas perdagangan,
dan pejabat jawatan angkutan (Kenneth R. Hall,1976 dalam Kenneth R. Hall and
John K. Withemore, eds.,1976: 72 dan 78)

Wilayah kekuasaan Sriwijaya yang luas itu terdiri dari daerah-daerah


pedalaman yang disebut purdattun yang diperintahkan oleh seorang Datu yang
bukan anggota keluarga Raja. Datu memiliki otonomi seluas-luasnya tidak
dibawahkan oleh pejabat pusat dan tidak diawasi oleh kesatuan militer pusat yang
ditempatkan di Pardattunnya, tetapi diberi ancaman kutukan yang ditulis bagi
mereka yang tidak setia kepada raja. Hal itu dapat dtemukan di prasasti kota
Kapur dan telaga Batu (Kenneth R. Hall,1976 dalam Kenneth R. Hall and John K.
Withemore, eds.,1976: 75-77).

Pedagang pengrajin di bawah pengawasan pegawai Raja yang disebut Tuha


An Vatakvurah. Mereka mengumpulksn barang dagangan dan hasil kerajinannya
di pusat-pusat penampungan yang diawasi oleh pegawai Raja itu dan kemudian
disalurkan keluar sehingga para pedagang dan pengrajin dengan bebas mudah
memasarkan barang dagangannya. Dalam hal ini tak jarang raja menjadi bankir
umum.

Wilayah laut, tempat kelompok-kelompok nomad laut yang otonom juga


dimasukkan dalam birokrasi Sriwijaya. Ketua-ketua kelompok itu oleh Raja diberi

6
bagian tertentu untuk menjalankan perdagangan laut. Dengan demikian mereka
menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan. Dengan sendirinya mereka
berusaha agar kepentingannya tidak dirugikan oleh nomad laut yang tidak menjadi
bagian dari kerajaan. Jadi, merekalah yang menjaga keamanan laut di Selat
Malaka.

Dengan sistem pemerintahan tersebut, Sriwijaya menarik perhatian rakyat


pedalaman untuk mengumpulkan barang-barang dagangan untuk ditampung di
pasar-pasar lokal kemudian dipasarkan lanjut ke pelabuhan-pelabuhan. Dari
pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatra, barang dagangan itu diteruskan ke
pasar dunia melalui jalur laut. Bagi Sriwijaya, keamanan laut merupakan hal yang
penting dan pelaksanannya diserahkan kepada kelompok-kelompok nomad laut
yang ketua-ketuanya dimasukkan dalam organisasi dagang Sriwijaya. Dengan
demikian timbulah jaringan saling ketergantungan antara rakyat di pedalaman
dengan pedagang-pedagang di pelabuhan serta di laut kekuasaan Sriwijaya. Maka
dari itu bubungan dagang dengan luar negeri berkembang, sebab barang dagangan
melimpah dan keamanan lalu lintas laut terjamin.

Persatuan Sriwijaya berpusat pada Raja kecuali yang memiliki kekuatan


militer yang handal baik di darat maupun di laut, memiliki kewibawaan mistis
yang ditegakkan dengan kultus individu sebagai Raja, pahlawan militer, kepala
suku, dan sebagai sang pemberi kemakmuran pada rakyat. Pengkultusan ini
dikukuhkan dengan mengadakan pesta yang dihadiri oleh kepala-kepala suku
taklukan, dan menyembelih seekor lembu untuk memperkokoh ikatan di antara
mereka.

Dari perkembangan Sriwijaya yang disebut oleh Muhammad Yamin sebagai


Negara Indonesia pertama dengan dasar kedatuan (Muhammad Yamin,1959:90)
itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila material yang masih saling berkaitan satu
sama lain, seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai ketuhanan
yang tampak pada raja sebagai pusat kekuasaan dengan kekuatan religius
berusaha mempertahankan kewibawaannnya terhadap para datu, demikian juga
nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu sama lain dengan nilai
internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terbentang dari

7
pedalaman sampai ke negeri-negeri sebrang lautan lewat pelabuhan Kerajaan
Selat Malaka yang diamankan oleh aparat nomad laut yang menjadi bagian dari
birokrasi pemerintahan Sriwijaya.

C. Majapahit

Kemerosotan Sriwijaya disusul dengan munculnya Kerajaan Majapahit di


Jawa yang berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya ke seluruh nusantara dan
daerah-daerah tetangganya. Pujangga keraton, Empu Prapanca mencatat wilayah
Majapahit dalam karyanya Negara Kertagama Canto 13-16, Stanza 1-15 sebagai
berikut “Negeri Melayu meliputi daerah-daerah Sumatra; Negeri Tanjung Negara
yang meliputi daerah di timur pulau Jawa, yaitu Nusa Tenggara Barat; Daerah-
daerah di Sulawesi dan sekitarnya; Nusa Tenggara Timur sampai Irian. Kecuali
itu dicatat juga negara-negara tetangga seperti Campa, Kamboja dan lain-lain. “
(Th.Pigeaud, Vol III,1960: 17-18)

Puncak birokrasi pemerintahan Majapahit ialah raja yang disebut Prabhu


Hayam Wuruk berkuasa karena tradisi yang merupakan rutinitas dari kharisma
yang dimiliki oleh Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan kharisma Raden
Wijaya merupakan rutinitas dari kharisma Ken Angrok pendiri kerajaan Singasari
. maka dari itu sang Prabhu dianggap mempunyai fungsi sebagai pusat masyarakat
dan kosmos yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam sistem pemerintahan di Majapahit terdapat Dewan Raja yang terdiri


dari Ayah, Ibu, saudara-saudari, dan ipar-ipar raja. Dewan ini bersidang untuk
membicarakan hal-hal yang penting saja. Pada pemerintahan Hayam Wuruk
hanya tiga sidang saja yang tercatat, yaitu membicarakan pembangunan caitia
untuk memperingati para pahlawan Singasari yang gugur bersama Kertanegara;
membicarakan rencana perkawinan Raja Hayam Wuruk dengan Putri Pajajaran,
dan membicarakan pengganti Gajah Mada yang meninggal dunia.

Sang Prabhu dibantu pejabat tinggi lain, Sang Mantri Kartini yaitu; Rakryan
Mahamantri i Hino, Rakryan Mahamantri Sirikan, Rakryan Mahamantri i Halu.
Semua perintah Raja yang disampaikan kepada para pejabat eksekutif yang
dipimpin oleh Apatih Mangkubumi terlebih dahulu disampaikan kepada mereka.

8
Pejabat-pejabat pemerintah lain adalah; panglima tertinggi yakni Tumenggung,
pengurus rumah tangga Raja yakni Demung, ketua protokol dan tatalaksana yakni
Kanuruhan, komandan dua belas kesatuan yakni Juru Pangalasan, asisten pribadi
Raja Olah Senjata yakni Rangga. Selain itu masih ada Dharmadyaksa yang
merupakan pejabat keagamaan, terdiri dari Buddhadyaksa untuk agama Buddha
dan Saiwadhayksa untuk agama Hindu Siwa. Daerah yang diperintahkan Raja
taklukan yang di Jawa dikawinkan dengan saudara Raja, dan mereka sekaligus
menjadi anggota Dewan Raja, daerah-daerah luar Jawa diperintah oleh Raja-raja
setempat yang mengakui kedaulatan Sang Prabhu. Pemerintahan daerah terdiri
dari Rakhai yang dibantu Wahuta dan membawahkan beberapa Juru, juru
membawahkan beberapa Wedana yang membawahkan beberapa Kuwu dan Kuwu
membawahkan beberapa Buyut yang membawahkan beberapa Rama.

Integrasi pusat dan daerah dijalin lewat tali kekeluargaan, Apatih


Mangkubumi, mekanisme pemungutan pajak, dan pengembangan peraturan
perundang-undangan Melalui tali kekeluargaan yakni perkawinan kepala-kepala
daerah di Jawa dengan saudara Raja dan kepala-kepala daerah itu diangkat
menjadi anggota Pahom Narendra. Kemudian melalui Apatih Mangkubumi yang
mempunyai tugas-tugas pokok yaitu melaksanakan sejumlah pelayanan untuk
Raja pada saat ada perkainan di Karaton; mengurus terlaksananya kebaktian di
tempat-tempat suci setiap tahun untuk keselamatan Raja; melindungi keselamatan
rakyat dalam hal ini harus ada kerjasama dengan Juru Pengalasan. Kemudian
mekanisme pajak dilaksanakan dengan menarik pajak oleh Rama desa. Lalu
pengembangan peraturan perundang-undangan disebarluaskan kepada rakyat
lewat pejabat-pejabat pusat dan daerah.

Identifikasi Nilai-nilai Budaya Indonesia (1500-1800)

Kerajaan Majapahit mulai disintegrasi menjelang abad ke-15 karena


melemahnya faktor integrasi serta lenyap satu persatu terkikis perkembangan baru
yang tidak selalu dapat diakomodasikan dalam organisasi pemerintahan
Majapahit. Titik awalnya pada tahun 1364 ketika Apatih Mangkubumi Gajah
Mada meninggal dunia. Kematian beliau memperlemah kekuatan militer yang

9
merupakanfaktor stabilisator seluruh negeri. Hal ini berdampak pada melemahnya
usaha penarikan pajak terutama di luar Jawa.

D. Mataram

Munculnya kerajaan Mataram didukung oleh para tokoh penyebar agama


Islam terkemuka di Jawa. Sebelumnya muncul kerajaan-kerajaan kecil seperti,
Pathi, Juwana, Kudus, Jepara, Cirebon, Banten, Jipang Panolan, Tuban, Gresik-
Giri, Surabaya, Madura Barat, Madura Timur, Pasuruan, Purbalingga, Penarukan,
Blambangan, Pengging, Pajang, dan Mataram.

Warisan Sultan Pajang jatuh pada Kyai Gede Mataram, seorang Abdidalem
Pajang. Penguasa Mataram ini adalah homo novus yang tidak berasal dari
keturunan Raja, namun menjadi anak emas Raja. Para penguasa pertama dari
keluarga Raja Mataram yang baru ini, pada dasawarsa terakhir abad abad ke-16
dan permulaan abad ke-17 berhasil menaklukan hampir semua Raja-raja di Jawa.
Hal ini berhasil dilakukan dengan kekuatan bersenjata dari wilayahnya yang
strategis di daerah pedalaman yang belum banyak digarap.

Wilayah-wilayah Mataram terdiri dari daerah taklukan dari Raja-Raja


keturunan Kyai Gede Pemanahan yang mendapat hadiah daerah Mataram dari
Raja Pajang karena berhasil membunuh Aria Penangsang yang hendak merebut
Pajang. Mataram ditempati dan dan dibangun menjadi suatu daerah yang akan
menjadi Ibukota kerajaan Mataram pada tahun 1578. Pada tahun 1584, Kyai Gede
Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya, Senapati yang diberi
gelar Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panata Gama oleh Sultan Pajang. Beliaulah
yang mulai menaklukandaerah-daerah di sekitar Mataram baik dengan jalan
perang maupun dengan jalan damai. Semula Kedu dan Bagelen dimasukkan
wilayah Mataram secara damai, dan Pajang bekas tuannya direbut untuk dijadikan
salah satu daerahnya. Kemudian Demak dan akhirnya seluruh daerah Jawa
Tengah dari Pantai Utara sampai ke pantai laut Selatan menjadi daerah Mataram
lalu disusul Madiun dan Pasuruhan.Untuk melegitimasi kekuasaannya, beliau
menciptakan mitos mengenai jatuhnya Pulung Keraton pada dirinya di Lipura,
Bantul dan perkawinannya dengan Ratu Kidul. Selain itu Senapati juga
mengadakan perkawinan dengan Retna Jumilah yang merupakan Putri Madiun

10
cucu Trenggana, Raja terakhir Demak yang mandiri. Dengan demikian Senapati
terangkat derajatnya ke kalangan bangsawan tingkat teratas.

Perluasan wilayah Mataram itu dilanjutkan oleh Sultan Agung yang naik tahta
tahun 1613 menggantikan Penembahan Seda Krapyak. Dalam masa
pemerintahannya Sultan Agung menaklukan Lasem, Pasuruhan, Tuban, Madura,
dan Surabaya. Sedangkan daerah yang belum dapat ditaklukan oelh Sultan Agung
adalah Batavia yang menjadi pusat perdagangan kumpeni Belanda. Sultan Ageng
lah yang pertama kali menyerbu Batavia dengan mengirim pasukan ke Batavia
pada tahun 1628 dan 1629.

Mataram membangun kekuasaan pemerintahan yang sama dengan Belanda.


Seperti halnya Sriwijaya dan Majapahit, Raja menjadi pusat kekuasaan yang
dilegitimasi oleh tradisi dan kharisma atau wahyu rutinitas yang menjadi mitos
turun temurun. Pada dasarnya seluruh kekuasaan berada pada Raja, tetapi untuk
melaksanakan kekuasaan Raja dibantu seorang kepercayaan yang disebut Patih
yang dijabat oleh seorang Tumenggung, pada zaman Sultan Agung Tumenggung
Singaranu. Selain itu terdapat empat penasihat yang membawahkan lima ratus
orang terkemuka. Dua penasihat membawahkan bagian kiri dan dua penasihat
membawahkan bagian kanan. Masing-masing hanya dapat mengajukan sesuatu
kepada Raja melalui wakilnya. Pembantu-pembantu Raja pada pemerintahan itu
dalam perkembangan selanjutnya menjadi birokrat-birokrat yang menjadi rumah
tangga istana Raja.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa persatuan dan kesatuan Mataram
dibina atas dasar faktor-faktor: a) Unsur magis yaitu wahyu keraton yang
ditradisikan lewat keturunan Raja yang tertua dari permaisuri; b) Kekuatan fisik
yang dipegang Raja lewat pejabat-pejabat yang diangkatnya baik di pusat maupun
daerah; c) Pejabat-pejabat pusat yang ditempatkan di daerah seperti dua pejabat
tinggi pengawas bupati-bupati di Pesisir Utara, Wedana Bupati di Mancanegara
Klien dan Mancanegara Wetan yang mengawasi para bupati di daerah-daerah
mancanegara, dan pejabat-pejabat di Negara Agung diwajibkan bertempat tinggal
di Kutagara; d) Sistem penyerahan upeti dari penguasa-penguasa daerah. Upeti
dari bupati Pesisir berupa uang dan barang-barang yang ditarik dari pedagang di

11
laut Utara. Setelah para bupati menyisihkan bagiannya, mereka menyerahkan
kepada pejabat pengawas, lalu setelah menyisihkan bagiannya, mereka
menyerahkannya kepada Raja. Demikian juga para bupati di mancanegara,
mereka menarik upeti dari pejabat bawahan yang menariknya dari rakyat.
Kemudian dengan koordinasi Wedana Bupati mereka mempersembahkan bagian
Raja pada saat upacara Gerebeg.

12
Daftar Pustaka

Suwarno. 1993. “ Pancasila Budaya Bangsa Indonesia “. Kanisius.

13

Anda mungkin juga menyukai