Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa prasekolah,
karena pada masa ini anak mengalami kemajuan perkembangan yang
optimal terutama perkembangan sosial. Aspek tersebut meliputi aktivitas
jasmani yang bertambah seperti kemandirian, kemampuan bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungan. Aspek tersebut dianggap penting untuk
dikembangkan karena sebagai dasar untuk perkembangan sosial selanjutnya
(Maulana, 2011).
Anak yang mempunyai perkembangan personal sosial baik akan dapat
berhubungan sosial dimasyarakat dengan baik dan anak juga bisa belajar
memenuhi kebutuhannya sendiri. Anak dengan masalah
perkembangan personal sosial akan memiliki prestasi belajar yang kurang,
suka berkelahi, suka menantang, suka marah, berebut dan mudah menangis
(Maulana, 2011).
Hurlock dalam Putri (2012) menyatakan bahwa pada umumnya
masalah perkembangan personal sosial anak terbentuk karena pola asuh
orang tua yang terlalu memanjakan anak dengan cara melayani anak sampai
melewati batas usianya, ketika anak seharusnya sudah mulai dapat
mengurus dirinya sendiri dan belajar memenuhi kebutuhannya sendiri.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan
perkembangan personal sosial anak usia prasekolah yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Hastuti, et al (2011) yang menunjukkan bahwa stimulasi
keluarga berpengaruh pada perkembangan sosial emosi anak dan Maulana
(2011) dalam Putri (2012) menyatakan bahwa anak dengan masalah
perkembangan personal sosial akan memiliki prestasi belajar yang kurang,
suka marah, suka berkelahi, suka menantang, berebut dan mudah menangis.
Orang tua dalam memberi pengasuhan dipengaruhi oleh sikap-sikap
tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan anaknya. Sikap
tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-
beda. Pola pengasuhan yang diterapkan orang tua mempunyai kelebihan dan
2

kekurangan masing-masing. Pola asuh demokratis membuat anak akan


merasa aman dan merasa dicintai serta menjadi mandiri. Di sisi lain anak
dalam keluarga dengan pola asuh otoriter cenderung menarik diri dan tidak
punya kepercayaan terhadap orang lain. Sementara itu anak dalam keluarga
dengan pola asuh permisif cenderung menjadi kurang dewasa dan kurang
dapat mengontrol diri (Papalia dan Feldman, 2014).
Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kelompok Bermain
Baiturrahman Karangasem kecamatan Kartasura, diperoleh data siswasiswi
berjumlah 48 anak dengan karakteristik usia prasekolah (3-6 tahun). Hasil
observasi awal didapatkan data terdapat 3 anak berumur 4 tahun yang
cenderung susah untuk bergaul dengan teman sebayanya dan lebih banyak
diam serta pasif ketika diberikan stimulus, 2 anak berumur 4,5 tahun belum
bisa menyiapkan makanannya sendiri, 2 anak berumur 5 tahun tidak mau
menatap wajah pemeriksa dan tidak membalas senyum pemeriksa ketika
disapa serta 1 anak berumur 4,5 tahun hanya diam dan sibuk dengan
permainannya dan mau mengerjakan sesuatu apabila hanya disuruh oleh
gurunya.
Hasil wawancara kepada 6 orang tua diperoleh data bahwa 3 orang tua
menerapkan pola asuh demokratis, dimana ibu mengatakan bahwa selalu
menegur dan menanyakan sebab-sebabnya bila anak tidak belajar, selalu
memperhatikan kebutuhan sekolah anak dan memberi hukuman yang
bersifat mendidik. Selanjutnya terdapat 2 orang tua menerapkan pola asuh
otoriter, dimana ibu mengatakan bahwa selalu membagi waktu belajar dan
bermain anak secara ketat dan tidak membolehkan anak menonton televisi
pada saat anak menginginkan. Kemudian terdapat 1 orang tua menerapkan
pola asuh permisif dimana ibu mengatakan selalu membiasakan anak
membagi waktu belajar dan bermain sendirian, selalu membiarkan anak
menonton televisi pada waktu belajar, tidak menanyakan atau menegur bila
anak tidak belajar dan membiarkan anak sekalipun ia melakukan kesalahan.
Permasalahan tersebut di atas membuat peneliti tertarik untuk meneliti
lebih dalam mengenai kaitan antara pola asuh ibu dengan perkembangan
personal sosial anak prasekolah. Sehingga dalam penelitian ini diajukan
3

judul “ hubungan antara pola asuh ibu dengan perkembangan sosialisasi


anak usia prasekolah di TK

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti merumuskan
masalah “apakah ada hubungan antara pola asuh ibu dengan
perkembangan sosialisasi anak usia prasekolah di TK

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan perkembangan personal
sosial anak usia prasekolah di Kelompok Bermain
Baiturrahman Karangasem.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pola asuh ibu yang mempunyai anak usia
prasekolah di TK.
b. Untuk mengetahui perkembangan sosialisasi anak usia prasekolah di
TK.
c. Untuk menganalisis hubungan pola asuh ibu dengan perkembangan
sosialisasi anak usia prasekolah di TK.
.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti terkait hubungan antara pola asuh
ibu dengan tingkat perkembangan sosialisasi pada anak usia prasekolah
sehingga bisa digunakan sebagai acuan dalam pengembangan keilmuan
khususnya ilmu keperawatan anak.
2. Bagi Responden
Orang tua dapat mengetahui pola asuh yang baik bagi
perkembangan sosialisasi anak prasekolah.
3. Bagi Ilmu Keperawatan
4

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan sumbangan


bagi ilmu keperawatan khususnya keperawatan anak dan dapat
melengkapi penelitian yang terdahulu yang ada kaitannya dengan pola
asuh ibu dengan perkembangan personal sosial anak prasekolah.
4. Bagi Tempat Penelitian
Menambah pengetahuan dan pemahaman agar dapat melakukan
pola asuh yang lebih baik lagi yang mengarah ke perkembangan positif
pada tumbuh kembang anak di usia prasekolah
5. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat mengaplikasikan hasil penelitan ini
kepada anak cucu mereka agar proses tumbuh kembang anak menjadi
lebih bagus lagi dari sebelumnya
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pola Asuh Orang Tua


1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya. Sikap yang dilakukan orang tua antara lain mendidik,
membimbing, serta mengajarkan nilai-nilai yang sesuai dengan norma-
norma yang dilakukan di masyarakat (Suwono, 2008).
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang
tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak
adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi
masyarakat baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada
pendidikan umum yang ditetapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu
proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup
perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong
keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi (Jas & Meta, 2004).
Mengasuh anak dapat menjadi sesuatu yang menantang, tetapi
membutuhkan waktu dan energi ekstra, strategi-strategi baru untuk
mengasuh anak. Belajar cara-cara baru mengasuh anak mungkin sulit
dilakukan, tetapi orang tua harus berusaha mencurahkan usaha untuk
mengurusi anak (Drew, 2006).

Cara orang tua mendidik anaknya disebut pola pengasuhan, di dalam


interaksinya dengan anak orang tua cenderung menggunakan caracara
tertentu yang dianggapnya paling baik bagi si anak. Setiap upaya yang
dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap
orang tua dalam mengasuh anak seperti :
a. Perilaku yang patut dicontoh
Artinya setiap perilaku yang dilakukan harus didasarkan pada
kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan
identifikasi bagi anak-anaknya.
6

b. Kesadaran diri
Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong
mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral, oleh
sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu
melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal
maupun nonverbal.
c. Komunikasi
Komunikasi yang terjadi antara orang tua dengan aanak-anaknya
terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk
memecahkan permasalahannya.

2. Tipe Pola Asuh


Pola asuh orang tua mempengaruhi seberapa baik anak membangun
nilai-nilai dan sikap-sikap anak yang bisa dikendalikan.
Baumrind, pakar perkembangan anak telah mengelompokkan pola asuh
kedalam empat tipe : (Drew, 2006).
a. Pola asuh bisa diandalkan
Orang tua yang bisa diandalkan menyeimbangkan kasih sayang
dan dukungan emosional dengan struktur dan bimbingan dalam
membesarkan anak-anak mereka. Orang tua tipe ini memperlihatkan
cinta dan kehangatan kepada anak. Mereka harus mendengarkan secara
aktif dan penuh perhatian, serta menyediakan waktu bertemu yang positif
secara rutin dengan anak. Orang tua tipe bisa diandalkan membiarkan
anak untuk menentukan keputusan sendiri dan mendorong anak untuk
membangun kepribadian.
Anak-anak dari orang tua yang bisa diandalkan cenderung
memiliki kebanggaan diri yang sehat, hubungan positif dengan
sebayanya, percaya diri, dan sukses.
b. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat
pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai
aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan
7

sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal
yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak
dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati
orang tua yang telah membesarkannya.
Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya
tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan
tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua, dan lainlain.
Namun dibalik itu biasanya anak hasil didikan orang tua otoriter lebih
bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih
disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
Orang tua otoriter menekankan batasan dan larangan diatas respon
positif. Orang tua sangat menghargai anak yang patuh terhadap perintah
orang tua dan tidak melawan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak dari orang tua otoriter
bisa menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri, dan berisiko terkena
depresi.
c. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang tidak
peduli terhadap anak. Jadi apapun yang mau dilakukan anak
diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan
maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini
diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan,
kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan
mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi
atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang
menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini
nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa
tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang
buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain,
dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
8

Orang tua tipe permisif tidak memberikan struktur dan batasan


yang tepat bagi anak. Orang tua tipe ini cenderung mempercayai bahwa
ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi
perkembangan psikologis. Orang tua menyembunyikan ketidaksabaran,
kemarahan, atau kejengkelan pada anak.
d. Pola asuh campuran
Pola asuh campuran orang tua tidak konsisten dalam mengasuh
anak. Orang tua terombang-ambing antara tipe bisa diandalkan, otoriter,
atau permisif. Pada pola asuh ini orang tua tidak selamanya memberikan
alternatif seperti halnya pola asuh bias diandalkan, akan tetapi juga tidak
selamanya melarang seperti halnya orang tua yang menerapkan otoriter
dan juga tidak secara terus menerus membiarkan anak seperti pada
penerapan pola asuh permisif. Pada pola asuh campuran orang tua akan
memberikan larangan jika tindakan anak menurut orang tua
membahayakan, membiarkan saja jika tindakan anak masih dalam batas
wajar dan memberikan alternatif jika anak paham tentang alternatif yang
ditawarkan.
Anak yang diasuh orang tua dengan metode semacam ini nantinya
bisa berkembang menjadi anak yang tidak mempunyai pendirian tetap
karena orang tua yang tidak konsisten dalam mengasuh anaknya.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah :
(Edward, 2006)
a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalamannya
sangat berpengaruh dalam mengasuh anak.
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka
tidak mustahil jika lingkungan juga ikut mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orang tua terhadap anak.
c. Budaya
9

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh


masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat
disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggapnya
berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua
mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik,
oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh
anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh
terhadap anaknya.

B. Perkembangan Bahasa
1. Pengertian perkembangan bahasa
Bahasa adalah sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan
perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain (Hurlock, 1995).
Proses bicara melibatkan dua stadium aktivitas mental yaitu membentuk
pikiran termasuk di dalamnya memilih kata-kata yang akan digunakan dan
kemudian mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi
itu sendiri. Dalam sistem koordinasi tubuh manusia pusat pengendali bahasa
terletak di area broca dan korteks motorik di anterior dan area wernicke di
posterior pada hemisfer kiri dari otak.
Informasi yang berasal dari korteks pendengaran primer dan sekunder,
diteruskan ke bagian korteks temporo parietal posterior (area wernicke),
yang dibandingkan dengan ingatan yang sudah disimpan. Kemudian
jawaban diformulasikan dan disalurkan oleh fasciculus arcuata ke bagian
anterior otak dimana jawaban motorik dikoordinasi. Apabila terjadi
kelainan pada salah satu dari jalannya impuls ini, maka akan terjadi kelainan
bicara. Kerusakan pada bagian posterior akan mengakibatkan kelainan
bicara reseptif, sedangkan kerusakan dibagian anterior akan menyebabkan
kelainan bahasa ekspresif.
Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara seluruh
fase perkembangan. Fungsi berbahasa bersama fungsi perkembangan
pemecahan masalah visio-motor merupakan indikator paling baik dari ada
tidaknya gangguan perkembangan intelek. Gabungan kedua fungsi
perkembangan ini akan menjadi fungsi perkembangan sosial. Perkembangan
10

bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif adalah


kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang,
terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik, dan nada
suara dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan
anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum
anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh,
dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal
(Soetjiningsih, 1995).
2. Tugas-tugas perkembangan bahasa
Dalam berbahasa anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai
empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan (Yusuf, 2004).
Empat tugas pokok perkembangan bahasa antara lain :
a. Pemahaman
Yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain

b. Pengembangan pembendaharaan kata


Pembendaharaan kata anak-anak berkembang dimulai secara
lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang
cepat pada usia pra sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk
sekolah.
c. Penyusunan kata-kata menjadi kalimat
Kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada
umumnya berkembang sebelum usia 2 tahun. Bentuk kalimat pertama
kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture (bahasa
tubuh) untuk melengkapi cara berfikirnya.
Menurut Davis, Garrison & Mc Carthy (1973) dalam Hurlock
(1995) menyatakan bahwa anak yang cerdas, anak wanita dan anak yang
berasal dari keluarga berada, bentuk kalimat yang diucapkannya lebih
panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas,
anak pria dan anak yang berasal dari keluarga miskin.
d. Ucapan
Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar
melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari
orang lain (pertama orang tua). Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada
11

usia sekitar 3 tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara
menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam
huruf-huruf tertentu. Huruf yang mudah diucapkan yaitu huruf hidup
(Vokal) a, i, u, e,o dan huruf mati (konsonan) b, m, n, p, dan t sedangkan
yang sulit diucapkan adalah huruf mati tunggal : z, w, s, g dan huruf
rangkap (diftong): st, str, sk, dan dr.
3. Tipe perkembangan bahasa
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak yaitu sebagai berikut :
a. Egosentric speech
Yaitu berbicara pada dirinya sendiri (monolog).
b. Sosialized speech
Terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya
atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dapat dibagi menjadi
lima bentuk yaitu :
1) Adapted Information
Terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang
dicari
2) Criticism
Menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang
lain
3) Command (perintah), requeat (permintaan), threat (ancaman).
4) Question (pertanyaan)
5) Answer (jawaban)
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa
Menurut Hurlock (1995) ada beberapa faktor yang menyebabkan
perbedaan perkembangan bahasa anak terkait dalam proses belajar
berbicara seorang anak antara lain :
a. Kesehatan
Anak yang sehat, lebih cepat belajar berbicara dibanding anak yang
tidak sehat, hal ini dikarenakan motivasi yang lebih kuat untuk menjadi
anggota kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota kelompok
tersebut.
12

b. Kecerdasan
Anak dengan kecerdasan yang tinggi, dalam belajar berbicara lebih
cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih baik dibanding
anak yang tingkat kecerdasan yang rendah.
c. Keadaan sosial ekonomi
Anak dari keluaraga ekonomi mampu lebih mudah belajar
berbicara, pengungkapan perasaan dirinya lebih baik, dan lebih banyak
berbicara dibanding anak dari keluarga berada lebih banyak mendapat
dorongan dan bimbingan untuk berbicara dari anggota keluarga yang
lain. Keluarga dengan ekonomi yang rendah cenderung lebih
memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehingga
perkembangan bahasa anak kurang diperhatikan.
d. Jenis kelamin
Anak perempuan lebih cepat belajar berbicara dibanding anak laki-
laki. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek, dan
kurang benar dalam tata bahasa, kosa katanya pun lebih sedikit dan
pengucapan kata kurang tepat dari pada anak perempuan.
e. Keinginan berkomunikasi
Semakin kuat dalam berkomunikasi dengan orang lain semakin
kuat motivasi anak untuk belajar berbicara dan semakin bersedia
menyisihkan waktu dan usaha yang dipergunakan untuk belajar.
f. Dorongan
Semakin banyak di dorong untuk berbicara dengan mengajaknya
berbicara dan didorong menanggapinya, akan semakin awal mereka
belajar berbicara dan semakin baik kualitas bicaranya. Disini orang tua
khususnya ibu sebagai guru yang pertama bagi anak untuk membantu
kemampuan bicara anak. Pendapat ini didukung oleh Soetjiningsih (1995)
yang menyatakan bahwa anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan
teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang
kurang atau tidak mendapat stimulasi.
f. Ukuran keluarga
Anak tunggal atau anak dari keluarga kecil biasanya berbicara
lebih awal dan lebih baik dari pada anak dari keluarga besar, karena
13

orang tua dapat menyisihkan waktu yang lebih banyak untuk mengajar
anaknya berbicara.
g. Urutan kelahiran
Dalam keluarga yang sama, anak pertama lebih cepat berbicara
dibanding anak yang lahir kemudian. Hal ini karena orang tua dapat
menyisihkan waktunya yang lebih banyak untuk mengajar dan
mendorong anak yang lahir pertama dalam belajar dibanding untuk anak
yang lahir kemudian.
h. Metode pelatihan anak
Anak-anak dalam keluarga otoriter yang menekankan bahwa
”anak harus dilihat dan bukan didengar” disini terjadi hambatan belajar,
sedangkan keluarga dengan kebebasan dan demokratis akan mendorong
anak untuk belajar bicara.
i. Kelahiran kembar
Anak yang lahir kembar pada umumnya mengalami keterlambatan
dalam bicara karena mereka lebih banyak bergaul dengan saudara
kembarnya dan hanya memahami logat khusus yang mereka miliki.Hal
ini melmahkan motivasi mereka untuk belajar berbicara agar dapat di
pahami oleh orang lain
j. Hubungan dengan teman sebaya
Semakin banyak hubungan anak dengan teman sebayanya
menyebabkan semakin besar keinginan mereka untuk diterima sebagai
anggota kelompok sebaya, hal ini akan memperbesar motivasi anak
untuk belajar berbicara.
k. Kepribadian
Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik cenderung
mempunyai kemampuan bahasa yang lebih baik, baik secara kuntitatif
maupun secara kualitatif. Sehingga kemampuan bahasa juga dapat
dijadikan sebagai petunjuk anak sehat mental.

5. Bahaya yang dapat muncul dalam perkembangan bahasa


Dampak bicara pada penyesuaian sosial dan pribadi anak lebih besar
ketimbang dampak perkembangan motorik, karena bicara melibatkan orang
14

lain, mempengaruhi penyesuaian pribadi, sehingga menimbulkan pengaruh


yang besar terhadap penyesuaian sosial anak dari pada keterampilan motorik
yang dia miliki (Hurlock, 1995). Hal-hal yang dapat mempengaruhi
penyesuaian anak terhadap lingkungan sosial mereka
antara lain :
a. Tangis berlebihan
Bagi bayi dan balita tangis normal (tidak berlebihan) dapat berguna
karena tangisan normal merupakan kesempatan latihan untuk koordinasi
dan pertumbuhan otot bayi dan juga dapat meningkatkan nafsu makan
anak dan mendorong mereka untuk terlelap tidur.
Tangisan yang berlebihan dan berkepanjangan akan berkembang
menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan yang telah terbentuk sukar
ditanggulangi dan tidak akan hilang begitu saja. Sebaiknya kebiasaan ini
dihilangkan dan digantikan dengan bentuk komunikasi yang lebih dapat
diterima secara sosial.
b. Kesulitan dalam pemahaman
Karena kemampuan berkomunikasi bergantung pada kemampuan
memahami apa yang dikatakan orang lain dan kemampuan bicara, maka
anak yang tidak dapat memahami apa yang dikatakan orang lain pada
waktu berkomunikasi dengan mereka akan mengalami hambatan sosial.
Persaingan secara sosial akan menimbulkan perasaan tidak mampu,
rendah diri dan membosankan.
c. Keterlambatan bahasa
Apabila tingkat perkembangan bicara berada dibawah tingkat
kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat
diketahui dari ketepatan penggunaan kata, maka hubungan sosial anak
akan terhambat sama halnya apabila keterampilan bermain mereka
berada dibawah keterampilan teman sebayanya akan mempengaruhi
penyesuaian sosial anak. Kesan anggota kelompok sosial terhadap
mereka sebagai ”bayi penangis” akan menimbulkan pengaruh yang
merusak pada konsep diri anak.
15

d. Bicara cacat
Bicara cacat adalah bicara yang tidak tepat, secara kualitatif
kemampuan anak tidak memenuhi norma usia anak dan berisi lebih besar
kesalahan bicara untuk umur tersebut.
Bicara cacat berbeda dengan keterlambatan bicara, seperti apa
yang digambarkan diatas, yang berada dibawah norma untuk anak
tersebut yang secara kuantitatif karena kurangnya kosa kata, jeleknya
pengucapan dan kurang baiknya kalimat yang dibentuk dibandingkan
dengan anak yang normal pada umur tersebut.
e. Kerancuan bicara
Kerancuan bicara mengacu pada cacat ucapan yang serius.
Seringkali terjadi pada keluarga yang kedua orang tuanya mengalami
gangguan jiwa (neurotik), keluarga dengan hubungan antara anak dengan
orang tua tidak terjalin dengan baik, keluarga dengan ibu memegang
kepemimpinan/dominan dari pada ayah, keluarga dengan ibu yang
mengabaikan anaknya, keluarga dengan ibu yang terlalu menuntut atau
menaruh harapan yang berlebihan pada anak.
Kerancuan berkaitan dengan ketergantungan, kekotoran, kerusakan,
kegelisahan tidur, watak yang pemarah, kenegatifan, malu-malu, dan
kerewelan.
Kerancuan bicara anak dapat berupa :
1) Lipsing
Yaitu menggantikan bunyi huruf. Misalnya th untuk s, seperti
dalam ’thimple thimon’ dan w untuk r, seperti dalam ’wed wose’.
Lisping disebabkan oleh kesalahan atau pembentukan rahang, gigi
atau bibir dan kecenderungan terkait dengan bicara kebayi-bayian.
2) Sluring
Yaitu bicara yang tidak jelas akibat tidak berfungsinya bibir,
lidah, atau rahang dengan baik. Kadang-kadang disebabkan
kelumpuhan organ suara atau karena otot lidah yang kurang
berkembang. Apabila emosi terganggu atau sedang merasa gembira
anak akan berkata dengan tergopoh-gopoh tanpa mengucapkan
setiap huruf dengan jelas.
16

3) Stutering
Stuttering (gagap) yaitu keragu-raguan, pengulangan bicara
disertai dengan kekejangan otot kerongkongan dan diafragma.
Stuttering timbul dari gangguan pernafasan yang disebabkan oleh
tidak terkoordinasinya otot bicara, disertai dengan gemetaran,
terhentinya bicara dan sewaktu-waktu pembicara tidak sanggup
mengeluarkan bunyi. Kemudian, apabila ketegangan otot berlalu,
kata-kata membanjiri keluar, yang kemudian disertai kekejangan
yang lain.
4) Cluttering
Adalah bicara dengan cepat dan membingungkan. Biasanya
terjadi pada anak yang pengendalian motorik dan perkembangan
bicara berlebihan yang dilakukan oleh orang normal, tidak seperti
stuttering, cluttering dapat diperbaiki jika anak memperhatikan benar
hal-hal yang ingin dikatakan.
f. Dwibahasa
Dwibahasa (bilingual) adalah kemampuan menggunakan dua
bahasa. Kemampuan ini tidak hanya dalam berbicara dan menulis tetapi
juga kemampuan memahami apa yang dikomunikasikan orang lain, baik
secara lisan maupun tulisan.
Bagi sebagian anak, dwibahasa merupakan gangguan yang
serius untuk belajar berbicara dengan benar. Akan tetapi penting disadari
bahwa pengarunya terhadap penyesuaian sosial dan pribadi anak tidak
sangat bergantung pada kedwibahasaan, tetapi pada kondisi yang
menimbulkannya. Dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan lebih
merupakan hambatan dari pada kelebihan bagi anak. Khususnya usia pra
sekolah karena dapat mempengaruhi penyesuaian sosialnya.
g. Kesulitan dalam percakapan
Sebagian besar anak menghadapi dua kesulitan dalam percakapan
dengan orang lain.kesulitan memahami orang lain dan kesulitan
mengekspresikan perasaannya, kedua kesulitan itu menimbulkan bahaya
bagi penyesuaian sosial hal didahului dengan kesan yang kurang
menyenangkan bagi lingkungan sosialnya.
17

h. Bicara yang tidak disetujui secara sosial.


Anak yang pembicaraannya menyangkut hal-hal yang tidak
disukai oleh masyarakat menimbulkan kesan jelek dan seringkali
memperoleh reputasi yang tidak menyenangkan.

6. Pemeriksaan pada perkembangan anak


a. Anamnesis
Pengambilan anamnesis harus mencakup uraian mengenai
perkembangan bahasa anak. Kecurigaan adanya gangguan bicara dan
tingkah laku yang bersamaan. Pertanyaan bagaimana anak bermain
dengan teman sebaya dapat mengungkap tabir tingkah laku.
b. Instrumen penyaring
Instrumen penyaring untuk menilai perkembangan bahasa.
Misalnya : Early Languge Melistone Scale (Caplan dan Gleason). The
Denver developmental screening test II / Denver II (Dodds dan
Kenburg), Reseptife- Expresif Emergent Language Scale.
c. Pemeriksaan fisik
Dapat digunakan untuk mengungkap penyakit lain dari gangguan
bahasa. Apakah ada mikrosefali, anomaly telinga luar, otitis media yang
berulang, sindrom Wiliam (fasies Elfin, perawakan pendek, kelainan
jantung, langkah yang tidak mantap), dan celah palatum.
Gangguan otomotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak
melakukan gerakan mengunyah, menjulurkan lidah dan mengulang suku
kata PA, TA, PA-TA, PA-TA-KA. Gangguan kemampuan
otomotor terdapat pada verbal apraksia.
d. Pengamatan saat bermain
Mengamati saat anak bermain dengan alat permainan yang sesuai
dengan umurnya, sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan
tingkah laku. Idealnya pemeriksa juga bermain dengan anaknya. Tetapi
ini tidak praktis dilakukan pada ruangan yang ramai. Pengamatan anak
saat bermain sendiri, selama pengambilan anamnesis dengan orang
tuanya, lebih mudah dilaksanakan. Anak yang memperlakukan
18

permainannya sebagai objek saja atau hanya sebagai satu titik pusat
perhatian saja, dapat merupakan petunjuk adanya kelainan tingkah laku.
e. Pemeriksaan laboratorium
Semua anak dengan gangguan bahasa harus dilakukan tes
pendengaran. Jika hasilnya mencurigakan, maka perlu dilakukan
pemeriksaan “auditory brainstem responses”.
f. Konsultasi
Pemeriksaan dari psikologi/neuropsikiater anak diperlukan jika
ada gangguan bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat
dan tes bahasa, kemampuan kognitif dan tingkah laku. Ahli psikologi
wicara akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan
bicara. Anak akan diperiksa apakah ada masalah anatomi yang
mempengaruhi produksi suara.

7. The Denver developmental screening test (Denver II)


a. Pengertian
Denver II adalah salah satu metode skrining terhadap kelainan
perkembangan anak, yang dibuat oleh Fran Kenburg & J.B. Dodds, yang
mengetahui perkembangan bahasa anak pada saat pemeriksaan saja dan
dapat memperkirakan perkembangan anak dimasa yang akan datang,
bukan merupakan tes dignostik atau tes intelegensi, tetapi memenuhi
persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik. Tes ini
dinilai lebih mudah dibanding tes perkembangan yang lain dan dapat
diandalkan serta menunjukkan validitas yang tinggi. Tes ini dapat
dilakukan kapan saja dengan menggunakan alat sederhana, namun begitu
Denver II tidak digunakan untuk mengetahui sebabsebab
keabnormalan/keterlambatan dalam fase perkembangan.
Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan ternyata Denver
II secara efektif dapat mengidentifikasikan antara 85-100% bayi dan
anak prasekolah yang mengalami keterlambatan perkembangan dan pada
follow up selanjutnya ternyata dari 89% kelompok Denver II mengalami
kegagalan sekolah 5-6 tahun kemudian.
19

b. Tujuan
1) Menafsirkan perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa
dan motorik kasar pada anak mulai usia 1 bulan sampai 6 tahun.
2) Mengetahui penyimpangan perkembangan secara dini, sehingga
upaya stimulasi dan upaya pemulihan dapat diberikan dengan
indikasi yang jelas sedini mungkin pada masa-masa kritis tumbuh
kembang.
c. Kegunaan Denver II
1) Untuk menilai perkembangan anak sesuai usia
2) Memantau anak yang tampak tidak sehat umur dari lahir sampai umur
6 tahun
3) Menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan
perkembangan
4) Memastikan apakah anak dengan persangkaan ada kelainan.
Apakah bebar-benar ada kelainan.
5) Memonitor anak dengan risiko perkembangan
d. Prinsip dalam melakukan pemeriksaan Denver II
1) Bertahap dan berkelanjutan
2) Dimulai dari tahap perkembangan yang telah dicapai anak
3) Buat suasana menjadi menyenangkan bagi anak
4) Dilakukan dengan wajar (tanpa paksaan atau hukuman jika anak tidak
mau melakukan) beri anak pujian jika berhasil.
5) Menggunakan alat bantu sederhana, tidak berbahaya dan mudah
didapat dalam memberi stimulasi pada anak
6) Sebelum dilakukan tes, alat diletakkan diatas meja dengan tujuan
anak senang dan pada saat tes hanya alat yang diperlukan.
7) Pemeriksaan menanyakan pada ibu atau pengasuh pada item yang
bertanda L
8) Perhatikan apa yang telah dilakukan anak secara spontan dan beri
penilaian.
e. Hal-hal yang perlu diperhatikan
Anak yang ada dalam kondisi dipertanyakan, abnormal atau
menolak kemampuan tes yang diberikan. Perlu tes kemampuan ulang
20

satu sampai dua minggu kemudian dan berikan kesempatan kepada anak
selama tiga kali untuk melakukan tes kemampuan yang diberikan.
Lakukan sektor yang kurang aktif terlebih dahulu. Personal sosial,
motorik halus, bahasa dan motorik kasar. Dimulai dari yang mudah di
lakukan, jika anak kurang tepat melakukan beri stimulus dan lakukan tes
ulang. Tes menggunakan alat yang sama dilakukan secara berurutan. Tes
dilakukan untuk sikap sektor dan mulailah dari sebelah kiri garis umur
terus ke kanan.
f. Persiapan alat
1) Alat peraga, benang wol, manik-manik, kubus berwarna : merah,
hijau, biru, kuning, bola tennis, bel kecil, kertas, pensil.
2) Lembar formulir denver II
3) Buku petunjuk sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara
melakukan dan cara-cara penilaiannya.
g. Petunjuk pelaksanaan
1) Tarik garis sesuai umur kronologis untuk memotong garis horizontal
tugas perkembangan pada formulir denver II
2) Tes kemampuan anak terutama yang mendekati garis umur
3) Dilakukan secara berkelanjutan
4) Satu formulir dapat dipakai beberapa kali pada satu anak
5) Didampingi ibu atau pengasuh
6) Dalam keadaan santai
7) Memberikan posisi yang aman dan nyaman untuk anak
8) Menjelaskan tentang Denver II pada ibu atau pengasuh
9) Menggunakan test form dalam menentukan tingkat perkembangan
sesuai batas usia.
a) Menunjukkan standar anak normal bisa melakukan tugas/test item
ini sesuai dengan usia.
b) Ada beberapa item bertanda L, menunjukkan bahwa kita bisa
memperoleh skor dari orang tua
c) Nomor kecil disebelah kiri, bisa melihat petunjuk pelaksanaan
pada halaman dibaliknya.
21

10) Berikan huruf seperti dibawah ini tip kotak tes perkembangan yang
diberikan
a) P (Passed) = Lulus
Apabila anak dapat melakukan semua kemampuan tes yang
diberikan dengan baik. Atau ibu/pengasuh memberi laporan L,
tepat atau dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukan.
b) F (Fail) = Gagal
Apabila anak gagal atau tidak dapat melakukan test
kemampuan yang diberikan. Atau ibu/pengasuh memberi laporan
bahwa anak tidak dapat melakukan dengan baik.
c) No : No opportunity = tidak ada kesempatan
Anak tidak mempunyai kesempatan melakukan test karena
ada hambatan
d) R (Refusal) = menolak
Anak menolak untuk melakukan test.
e) B (By report) = Dengan bantuan orang tua
Anak melakukan test dengan bantuan dari orang tua.
Apabila anak dapat melakukannya, berarti lulus (P) sedangkan
apabila anak tidak dapat melakukannya, berarti gagal (F).
O = F (Fail/gagal)
M = R (Refusal/menolak)
V = P (Pass/lewat)
Setelah itu dihitung masing-masing sektor, berapa jumlah P,
berapa jumlah F dsb. Berdasarkan pedoman hasil tes
diklasifikasikan dalam normal, abnormal, meragukan dan tidak
dapat dites.
h. Interpretasi hasil tes
1) Normal
a) Lulus semua tes kemampuan yang diberikan atau tidak terdapat
keterlambatan / delay
b) Paling banyak satu caution/peringatan
c) Dapat dilakukan ulangan pemeriksaan pada kontrol kesehatan
berikutnya
22

2) Suspect
a) Apabila pada satu sektor didapatkan 2 tau lebih caution atau delay
atau lebih
b) Dapat dilakukan ulangan dalam 1-2 minggu
untuk
menghilangkan faktor sesaat (rasa takut, keadaan sakit,
kelelahan).
3) Unstable/Tidak dapat diuji.
a) Apabila ada sektor menolak 1 atau lebih item sebelah kiri garis
umur.
b) Menolak lebih dari 1 item pada area 75%-90% (warna kelabu)
(Soetjiningsih, 1995).
23

C.Kerangka Teori

Faktor yang Pola asuh orang tua *


mempengaruhi pola asuh 1. Bisa diandalkan
orang tua : 2. Otoriter
1. Tingkat pendidikan 3. Permisif
2. Lingkungan 4. Campuran
3. Budaya

Perkembangan bahasa *

Faktor yang mempengaruhi perkembangan


bahasa
1. Kesehatan
2. Kecerdasan
3. Keadaan sosial ekonomi
4. Jenis kelamin
5. Keinginan berkomunikasi
6. Dorongan
7. Ukuran keluarga
8. Urutan kelahiran
9. Metode pelatihan anak
10. Kelahiran kembar
11. Hubungan dengan teman sebaya
12. Kepribadian

Keterangan :
* Variabel yang diteliti
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi (Drew, 2006), (Edward, 2006), (Hurlock, 1995)
24

C.Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel


Dependen
Pola Asuh Orang Tua Perkembangan Bahasa
Usia 2-4 Tahun
Bagan 2.2 Kerangka Konsep

C. Hipotesa Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2003), hipotesa penelitian adalah jawaban
sementara penelitian, patokan duga atau dari sementara, yang kebenaranya akan
dibuktikan dalam penelitian tersebut, hipotesa dalam penelitian ini yaitu :
Ha : Ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan bahasa pada
anak usia 2-4 tahun.
25

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Dasar Pemikiran
Berdasarkan konsep penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaka
Hubungan pola asuh orang tua terhadap kemampuan sosialisasi anak pra
sekolah. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel
independen dan devenden. Variabel indevenden, yaitu pola asuh orang tua
dan variabel dependen, yaitu kemampuan social anak pra sekolah. Kedua
bariabel ini akan di teliti secara korelasi untuk mengetahui hubungan dari
kedua variabel tersebut.

B. Kerangka Konsep
Variabel independen Variabel devenden

Kemampuan social
Pola asuh orang tua
anak pra sekolah

C. Identivikasi variabel dan Definisi operasional

a. Variabel indevenden
Variabel indevenden darin penelitian ini adalah tipe pola asuh
orang tua, meliputi polah asuh otoriter,demokratis,dan permisif
pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif.

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional

Pola asuh
orang tua:
26

Tabel
a. Otoriter Pola asuh otoriter Kuesioner Jika remaja Nominal
adalah pola asuh dengan 10 menjawab 70% 3.2.1
yang diterapkan pernyataan dari pernyataan
oleh orang tua anak dengan 2 nomor 1
di TK yang pilihan sampai 10
menekankan pada jawaban. 0 = dengan
pengawasan orang Tidak jawaban “Ya”,
tua atau kontrol 1 = Ya maka pola asuh
yang ditunjukkan yang
kepada anak untuk diterapkan
mendapatkan pada remaja
ketaatan dan tersebut adalah
kepatuhan dengan otoriter.
ciri-ciri :
pemberian perintah
keras, pemberian
hukuman, dan
intervensi fisik
negatif.
Jika remaja
Pola asuh menjawab 70%
demokratis adalah
pola asuh yang dari pernyataan
b. Demokratis diterapkan Kuesioner nomor 11 Nominal
oleh
dengan 10
orang tua remaja di sampai 20
pernyataan
SMK Bistek dengan 2 dengan
Palembang yang pilihan jawaban “Ya”,
bercirikan adanya jawaban. 0 maka pola asuh
hak dan kewajiban = Tidak
orang tua dan anak 1 = Ya

Definisi Operasional Variabel Independen


27

adalah sama. Anak yang


dilatih untuk diterapkan
bertanggung jawab pada remaja
dan menentukan tersebut
perilakunya sendiri adalah
agar dapat demokratis.
berdisiplin dengan
ciri-ciri :
pemberian
informasi, reaksi
yang positif, dan
pemberian
pertanyaan.
28

c. Permisif Pola asuh permisif Kuesioner Jika remaja Nominal


adalah pola asuh dengan 10 menjawab
yang diterapkan pernyataan 70% dari
oleh orang tua yang dengan 2
bercirikan orang tua pilihan pernyataan
memberlakukan jawaban. 0 nomor 21
kebebasan dalam = Tidak sampai 30
bertindak, disiplin 1 = Ya dengan
yang inkonsisten, jawaban
tidak menetapkan
“Ya”, maka
batasan-batasan
pada anak,reaksi pola asuh
penolakan secara yang
verbal, diterapkan
mengabaikan anak, pada remaja
dan pengalihan
adalah
perhatian pada hal
lain. permisif.
29

d. Campuran Pola asuh campuran Kuesioner Jika remaja Nominal


adalah pola asuh dengan 2 memiliki
yang diterapkan pilihan orang tua
oleh orang tua anak jawaban. yang
yang bercirikan 0=Tidak menerapkan
orang tua tidak 1=Ya lebih dari 1
konsisten dalam pola asuh,
mengasuh anak maka
mereka dimana termasuk
orang tua pola asuh
menerapkan pola campuran.
asuh antara tipe
demokratis,
otoriter, dan
permisif, orang tua
tidak selamanya
memberikan
alternatif seperti
halnya pola asuh
demokratis, akan
tetapi juga tidak
selamanya
melarang seperti
halnya orang tua
yang menerapkan
pola asuh otoriter
dan juga tidak
secara terus
menerus
membiarkan anak
seperti pada
penerapan pola
asuh permisif

3.2.1 Variabel Dependen

Variabel dependen dari penelitian ini adalah perkembangan sosial remaja.


30

Tabel 3.2.2 Definisi Operasional Variabel Dependen

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional

Perkembangan Perkembangan Kuesioner Sosial Baik Ordinal


Sosial sosial adalah proses dengan 25 = 93 - 125
perubahan yang pernyataan
terjadi pada anak dengan 5
sebagai hasil dari pilihan Sosial
interaksi sosial dan jawaban. 1 = Cukup =
pembelajaran dari Sangat 59 - 92
aturan-aturan Tidak Setuju
sosial. Sosial (STS)
remaja berkaitan 2 = Tidak Sosial Buruk
dengan kuatnya Setuju (TS) = 25-58
pengaruh kelompok 3 = Setuju (S)
teman sebaya, 4 = Sangat
perubahan dalam Setuju (SS)
perilaku
sosial,
pengelompokan
sosial baru, nilai
baru dalam memilih
teman, nilai baru
dalam penerimaan
sosial, dan nilai
baru dalam memilih
pemimpin yang
akan diteliti pada
anak di TK

3.3 Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini, yaitu :

1. Ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter terhadap perkembangan

sosial anak;
31

2. Ada hubungan antara pola asuh orang tua demokratis terhadap

perkembangan sosial anak;

3. Ada hubungan antara pola asuh orang tua permisif terhadap

perkembangan sosial anak;

4. Ada hubungan antara pola asuh orang tua campuran terhadap

perkembangan sosial anak.

Anda mungkin juga menyukai