Anda di halaman 1dari 10

dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)

www.indokarlmay.com

INN-NU-WOH, SI KEPALA SUKU INDIAN


dari tas Karl May, seorang pengelana

Tibalah musim wabah penyakit kuning dan demam yang membahayakan orang-orang
kulitputih yang tinggal New Orleans. Siapa pun yang tidak mempunyai urusan mendesak
akan segera meninggalkan wilayah yang agak menyeramkan itu. Mereka akan
meninggalkan hilir Sungai Mississippi dan dari dataran rendah sungai berpindah ke
tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi.
Para pejabat kota yang merasa khawatir terhadap wabah penyakit ini sudah lama
pergi meninggalkan kota dengan diam-diam. Mereka yang masih tinggal di kota karena
ada urusan, juga bergegas pergi karena sudah tersiar kabar tentang beberapa kematian
mendadak. Saya pun sudah mengemasi sebagian barang saya yang tak berarti, lalu
berdiri di dermaga sambil menunggu kapal uap yang akan berlayar menuju ke St. Louis,
tempat sanak-saudara dan kerabat menantikan kedatangan saya.
Ned, si negro tua yang beruban, bersandar pada sebuah derek yang digunakan
untuk mengangkat muatan yang besar dan berat ke dan dari kapal. Ia mengomentari
dengan jenaka bermacam-macam orang yang hilir mudik di sekitar kami sambil
menyeringai. Sebagai pelayan di hotel tempat saya menginap, Ned menaruh simpati
khusus kepada saya dan sekarang ia mengangkat koper saya. Tiba-tiba, ia memegang
lengan saya dan mengalihkan posisi saya, sehingga pandangan saya mengarah ke
belakang.
“Apa Master melihatkan Indian di sana?”
“Yang mana? Maksudmu laki-laki murung yang baru saja memandangi kita?”
“Yes, yes, Master! Master, kenalkah Indian itu?”
“Tidak”
“Indian itu adalah kepala suku besar Indian Sioux yang bernamakan Inn-nu-woh.
Ia perenang terbaik Indian di United States1.”
“Jadi orang itu berkuasa?”
“Well, well, Sir; tetapi begitulah actually!”
Saya tak menjawab sepatah kata pun dan memandang laki-laki yang bersikap
angkuh itu lekat-lekat, ia berjalan melewati kami. Namanya tidaklah asing di telinga
saya, bahkan saya sering mendengar cerita tentang dirinya, tapi saya selalu meragukan
kebenaran cerita-cerita hebat tentang kecekatan dan ketangguhannya dalam berenang.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun postur tubuhnya yang gemuk pendek dan terutama
dadanya yang lebar membuat saya agak mempercayai cerita itu.

1
Amerika Serikat.

1
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

Pada saat itu lewatlah sebuah kereta mewah, yang ditumpangi seorang pria yang
tidak muda lagi dan seorang perempuan bercadar. Tanpa mempedulikan keadaan
sekitar, si kusir yang pakaiannya disemati banyak lencana menerobos orang banyak dan
melecutkan cambuk sehingga memekakkan telinga orang-orang yang berdiri di jalan.
Karena terkejut, orang-orang berlari berhamburan, dan hanya si Indian yang melangkah
dengan tenang ke arah tujuannya semula dan tidak menepi sedikit pun. Sebenarnya,
jalan di sana sebaik ruas jalan di sebelah sini. Di seberang sana, jalan yang sudah
diplester itu cukup lebar untuk dilalui kereta mewah.
“Minggir, kulitmerah! Apa kamu tuli?” teriak si kusir. Meski seruannya keras dan
kasar, yang ditegur terus berjalan tanpa berpaling. Kusir itu berteriak sambil
mengayunkan cambuknya, “Minggir, negro! Atau cambuk ini yang akan menunjukkan
jalanmu!”
Meskipun kata negro mengandung penghinaan yang sangat besar bagi seorang
Indian, orang yang melangkah di muka kereta itu tidak mengacuhkannya, sebaliknya ia
terus berjalan dengan tenang. Lalu, terdengar bunyi cambuk yang dilecutkan dan karet
cambuk tepat mengenai wajah Indian itu, sehingga bekas cambukannya membekas
pada wajahnya. Pada saat itu pula, si Indian yang terkena cambuk telah berdiri di atas
tempat duduk kusir lalu menghajar kusir yang kurang ajar tersebut dengan pukulan dari
bawah ke atas mengenai bibir dan hidung. Ia mengangkat tubuh kusir itu dari tempat
duduknya, membantingnya kuat-kuat ke atas jalanan berbatu sehingga kedua tangan
dan kedua kakinya meregang lalu diam tanpa suara.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat sehingga pria yang duduk di dalam kereta
kuda tidak sempat menolong bawahannya. Namun, ia segera mengambil revolver dari
dalam tasnya dan mengarahkannya kepada si Indian, lantas berteriak,
“Zounds, kurang ajar! Peluru ini saya hadiahkan untukmu, jika dalam semenit
kusir itu tidak duduk lagi di atas kursinya!”
Tanpa mengedipkan mata atau pun menyeringai, Indian itu mengambil senapan
dari bahu dan membidikkannya ke arah si Yankee. Bisa dipastikan akan terjadi
perkelahian seru di antara keduanya, bila beberapa polisi tidak segera melerai mereka.
Polisi membujuk si pemilik kereta kuda mewah itu untuk menyimpan senjatanya.
“Silahkan jalan terus, Sir,” ujar salah seorang polisi. “Kusir Anda telah bangun dan
sepertinya tidak mengalami luka parah, kecuali wajahnya yang robek. Orang yang
ceroboh itu harus tahu bahwa menurut hukum Indian, sebuah pukulan hanya dapat
ditebus dengan sebuah kematian.”
Orang Amerika tidak pernah mencampuri urusan orang lain dan menurut
kebiasaan mereka, jika mereka tertarik pada sebuah pertarungan, mereka hanya akan
memberi ruang untuk bertarung sampai ada yang menang. Para penonton membuat

2
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

lingkaran mengelilingi kereta kuda untuk menyaksikan akhir kejadian yang menarik ini.
Tapi tiba-tiba terdengar lengkingan suling yang berasal dari kapal uap, kerumunan itu
pun langsung bubar. Karena panggilan tuannya, si kusir itu kembali menaiki keretanya,
lalu segera berjalan menuju ke arah jembatan penghubung kapal dan daratan. Setiap
penumpang bergegas untuk mendapatkan tempat yang nyaman di kapal.
Kapal uap ini bukanlah kapal penumpang biasa dengan perlengkapan yang sangat
nyaman, melainkan salah satu kapal barang besar yang kadang kala dan biasa dipakai
untuk mengangkut orang pada awal masa wabah demam atau bila banyak sekali
penumpang yang sulit ditangani. Karena itu, kapal ini kehilangan seluruh
kenyamanannya dan hal ini membuat si Yankee sedikit mengeluh. Selain itu para
penumpang harus mencari tempat duduk sendiri dengan bermacam cara.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada pembantu Negro saya, saya
menaiki setumpukan benda-benda bundar yang diapit sederetan peti segi empat yang
hampir memenuhi seluruh geladak kapal. Pemandangan yang saya lihat di atas sini
terasa lebih bebas daripada di bawah, udara pun lebih terasa menghembus wajah saya.
Tanpa malu-malu saya membaringkan diri, sehingga tempat ini menjadi tempat saya
yang istimewa.
Sambil memandang ke segala arah, saya mengamati bahwa si pemilik kereta
kuda bersama teman wanitanya dan si Indian tadi menumpang kapal ini pula. Si Pemilik
kereta tergolong masyarakat kelas atas dan menjadi penumpang kapal barang hanya
agar secepat mungkin terhindar dari tempat yang berbahaya, sedang orang Indian itu
mungkin bermaksud menjual persediaan kulit ke kota lalu kembali ke prairie untuk
memimpin sukunya ke tempat berburu berikut petualangan yang baru. Karena tidak mau
berdesak-desakan dan merasakan pengapnya udara di bawah, si Indian memanjat ke
atas dan mengambil tempat di peti pertama yang tadi saya sebutkan, tanpa
mempermasalahkan tempat duduk saya.
Tapi baru saja ia hendak duduk, terdengar bunyi yang mengguncangkan udara,
begitu bergemuruh, menggelegar, dan bergetar sehingga semua penumpang meloncat
dan menoleh ke asal bunyi yang mengerikan ini dengan perasaan terkejut. Hanya Indian
itu yang tetap duduk dengan tenang meskipun gemuruh tersebut berasal dari bawah
tempat duduknya. Tak ada sedikit pun raut muka tegang di wajahnya yang coklat yang
menunjukkan keterkejutan dan kecemasan. Dan ia hanya sekilas memandang orang-
orang yang terkejut di geladak kapal.
Kemudian terbukalah sebuah pintu penutup di geladak. Dari pintu itu naiklah
seorang laki-laki, dari tampilannya dapat segera dipahami asal bunyi gemuruh tadi. Saya
pernah melihat dia di Boston, di New York, dan di kemudian hari juga di Charlestown,
bahkan saya berteman cukup dekat dengannya. Ia bernama Forster, si penjinak binatang

3
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

terkenal yang mengunjungi kota-kota penting di Amerika Serikat dengan pertunjukan


binatang buasnya. Ke mana pun ia pergi selalu menggemparkan karena keahliannya
melatih binatang buas yang paling liar.
Peti-peti itu miliknya dan berisi sangkar-sangkar binatang peliharaannya. Orang
Indian itu rupanya duduk di atas peti yang biasa dipakai singa pada musim panas. Singa
itu terbangun dari tidur siangnya karena suara-suara ribut sehingga hewan itu
mengeluarkan teriakan amarah yang terdengar oleh Forster. Tentu saja Foster segera
berlari mendekati untuk menjelaskan masalah itu.
Di Eropa orang memang sangat berhati-hati untuk memberikan tempat bagi
rombongan pertunjukan binatang buas yang lengkap di sebuah kapal yang hanya khusus
untuk mengangkut penumpang. Tapi, untuk masalah seperti itu, orang Amerika sendiri
agak sulit bersikap. Tanah tempat tinggal mereka pun berbahaya, orang mengenal
bahaya itu dalam beragam bentuk, mewaspadainya, tapi tidak menakutinya. Karena
orang sudah terbiasa menghadapi penghuni rimba belantara dan prairie berkaki empat,
orang tidak begitu takut bertemu binatang-binatang itu di luar rimba belantara, apalagi
sudah dijinakkan.
Hal yang tiba-tiba itu memang membuat penumpang terkejut. Tetapi ketika
mereka sudah mengetahui isi peti-peti itu, mereka pun menertawakan ketakutan mereka
yang diungkapkan kepada si pemilik binatang, dengan memohon agar ia memberi udara
segar kepada binatang yang ada di dalamnya.
“Benar, saya tidak keberatan bila Anda senang, Ladies and Gentlemen2, sedikit
udara segar akan menyenangkan mahluk-mahluk itu. Tapi mintalah izin kepada nahkoda,
karena saya tidak boleh melakukannya atas kehendak sendiri!” jawabnya, lalu ia
bertanya kepada si Indian.
“Maukah Anda merasa sedikit tidak nyaman dengan meninggalkan singgasana
Anda, Bung? Singa adalah raja dan tidak menyukai seseorang berada di atasnya!”
Tanpa membuka mulut, Indian itu memberi isyarat dengan gerakan tangan
sebagai pertanda menolak dan ia sangat menyukai tempat itu serta tidak bermaksud
meninggalkannya.
“Ya, baiklah, terserah. Tapi jangan menyesal, bila Anda mengalami sesuatu yang
tak menyenangkan!”
Saat itu beberapa penumpang memanggil sang nahkoda yang sebelumnya ragu-
ragu memberi izin untuk melepaskan salah satu sisi dinding papan dari kandang-kandang
tersebut. Dengan bantuan si penjaga hewan, sisi dinding papan kandang pun dibuka.
Karena Forster juga menggunakan kesempatan itu untuk memberi makan para binatang,

2
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya (Inggris).

4
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

maka para penumpang dapat sekaligus menyaksikan pertunjukan yang sangat menarik
dan menghibur.
Koleksi binatang itu benar-benar sangat bagus, terutama seekor harimau betina
dari Benggala yang paling banyak menarik perhatian penumpang. Binatang ini belum
lama ditangkap, diangkut dari India ke Amerika, dan dibeli oleh pemiliknya yang
sekarang. Hewan itu masih liar dan dibesarkan di hutan belantara yang bebas sehingga
terlihat mengesankan. Orang terpukau oleh badannya yang besar, kelenturan gerakan-
gerakannya yang sangat kuat, dan raungan suaranya yang mengerikan ketika mengaum
kuat-kuat.
“Apakah Anda juga masuk ke dalam kandang, Sir?” tanya salah seorang penonton
kepada penjinak binatang.
“Mengapa tidak? Binatang buas tidak bisa dijinakkan dari luar kandang, orang
harus masuk kalau mau menghormatinya.”
“Tapi setiap saat jiwa Anda terancam.”
“Saya sudah melakukannya seribu kali jadi sudah terbiasa. Selain itu, saya
bersenjata. Sekali pukulan menggunakan alat pemukul ini bisa melumpuhkan hewan
paling kuat itu, bila pukulannya kuat dan tepat mengenai sasaran. Tapi saya jarang
sekali menggunakan alat ini. Kekuatan penjinak sejati ada pada hal lain. Kadang-kadang
saya memasuki kandang-kandang tanpa senjata.”
“Tapi di sini Anda tidak akan begitu berani.”
“Siapa yang mengatakannya kepada Anda?”
“Tidak, Anda tidak berani melakukan itu!” sela si pemilik kereta mewah sambil
melangkah mendekat. Sampai saat itu ia melihat kandang-kandang dari jarak agak
jauh. Sementara itu, teman perempuannya yang merasa ngeri terhadap hewan di dalam
kandang itu pergi ke bagian depan kapal, dan di sana ia memandang buih-buih air yang
menciprat pada haluan kapal. “Saya bertaruh seribu dollar kalau Anda berani memasuki
kandang tanpa senjata!”
Orang Amerika ini memang punya kegemaran bertaruh. Begitu ada orang yang
menawarkan kesempatan menarik seperti itu, pasti ia tidak akan melewatkannya.
“Anda ceroboh, Sir!” jawab Forster. “Lihat betapa tenang dan beraninya orang
Indian itu duduk di sana, di atas kandang singa numidis. Apakah Anda mengira, saya
sebagai pemilik binatang ini kurang berani?”
“Ah, Pshaw!” Yankee itu menggerakkan tangannya menghina. “Orang-orang ini
bukan berani, melainkan tidak tahu dan bodoh. Seandainya ia menyadari bahwa ia duduk
di atas tempat yang berbahaya, ia pasti akan segera berdiri di sini bersama kita atau
menyusup ke salah satu sudut. Ia sama sekali tidak mengenal singa itu. Bajingan merah
itu hanya mengerti cara mendekati musuh dengan diam-diam dan menyerangnya dari

5
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

belakang pada malam hari. Tapi mereka tidak berani menghadapi bahaya secara terang-
terangan.”
Inn-nu-woh mengerti setiap kata yang diucapkan si pemilik kereta, namun raut
wajahnya yang tajam tetap tidak tegang, dan tidak satu pun anggota tubuhnya yang
bergerak meskipun hanya perlahan.
“Pandangan Anda terhadap orang Indian adalah keliru. Barangsiapa yang telah
berkenalan dengan penduduk dari prairie seperti saya, ia juga pasti belajar menghargai
mereka.”
“Janganlah merendahkan diri kita di hadapan masyarakat yang terhormat ini.
Coba lepaskan seekor landak di sana, dan saya yakin, begitu ia melihat landak itu
bebas, maka ia akan langsung melompat ke sungai karena ketakutan. Orang-orang itu
pengecut dan kejam. Tapi kita menyimpang dari pembicaraan semula tentang taruhan.”
“Saya tetap bertaruh. Nahkoda, Anda adalah saksinya!”
“Ya, saya menjadi saksi; tapi saya tidak akan mengizinkan Anda mendekati
harimau itu, sebab saya bertanggung jawab bila ada kecelakaan di geladak.”
“Anda tidak dapat melarang seorang Amerika melakukan apa pun yang digemari
atas miliknya. Dan bila terjadi kecelakaan, saya sendirilah yang menanggung akibatnya,
saya sudah cukup dewasa, Sir, untuk mempertanggungjawabkannya. Atau apakah Anda
tidak sependapat?”
Nahkoda itu sudah cukup berurusan dengan Yankee untuk tidak meneruskan
taruhan itu. Karena ia merasa sudah berusaha menjalankan tugasnya dengan
memberikan peringatan, ia pun menjawab,
“Bila Anda bersedia menanggung sendiri akibatnya, saya tidak keberatan.
Lakukanlah sesuka Anda!”
“Mundur, kalian semua!” perintah Forster sambil menyerahkan cambuk beserta
alat pemukul kepada nahkoda itu. Forster mendekati kandang harimau dengan langkah
pasti dan yakin, matanya membelalak memandang hewan itu, lalu menggeser kunci selot
kandang.
Sang harimau betina membungkuk di belakang ruang yang sempit dan meringkuk
di lantai dengan kepala bertumpu pada kaki depannya, ekornya dinaikkan ke dinding dan
matanya berkedip-kedip. Ketika si penjinak mendekati pintu kandang, harimau betina itu
membelalakkan matanya, pandangannya tertuju pada Forster. Pupil matanya mengecil
dan semakin mengecil, cakarnya dibengkokkan dan ditarik ke pangkal kakinya. Bagian
belakang tubuh hewan itu naik perlahan-lahan dan hampir tak terlihat. Tepat ketika
grendel pintu dibuka, bulu hewan yang lembut dan indah itu sedikit bergetar dan sesaat
berikutnya menggelegarlah suara mengerikan di antara batang-batang besi. Forster
tergeletak di lantai dengan setengah lengannya tercabik-cabik dan dari bahunya mengalir

6
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

darah, dan harimau betina yang telah lepas itu segara melompat jauh ke atas geladak
kapal.
Jeritan ngeri dan takut memenuhi udara, dan setiap penumpang berusaha
menyelamatkan diri. Dalam sekejap saja semua orang dihantui rasa takut yang maha
besar dan bingung. Orang-orang saling bertabrakan, di tempat-tempat kosong, di setiap
sudut, di tiang kapal dan di tangga tali. Sementara itu si harimau betina mengaum
dengan sangat keras sehingga deru mesin yang dijalankan tidak terdengar.
Saya melompat lagi ke atas tumpukan barang yang saya tinggalkan sebelumnya.
Kini saya berada di atasnya dan tidak bergerak karena ngeri. Di sana, persis di hadapan
saya, saya melihat seorang gadis malang berdiri di pagar geladak nyaris tak
terselamatkan. Si harimau betina berlari langsung ke arahnya. Kurang dari tujuh atau
delapan langkah lagi dari si gadis, binatang itu membungkuk untuk satu lompatan yang
mematikan. Wajah gadis itu pucat pasi dan terpana, dengan lengan terentang seperti
meminta tolong, dia berdiri di sana tak mampu bergerak dan pada detik berikutnya dia
pasti mati.
Pada saat itulah, dari tumpukan barang di atas, berkelibat suatu sosok melompat
melewati saya dengan gesit seperti kucing. Lompatan yang sangat jauh menyerupai
lompatan binatang buas melampaui ruangan kosong yang terletak di tengah kapal
menuju harimau itu. Ia menyambar gadis itu dengan tangan kiri, sementara tangan
kanannya bertumpu kuat pada tiang di atas pagar geladak dan sesaat kemudian
menghilang di kedalaman sungai Mississippi yang deras, kotor, dan berwarna kuning. Ia
adalah Inn-nu-woh.
Terdengar pekikan membahana yang keluar dari tenggorokan semua penumpang.
Apakah pekikan karena gembira atau karena ada kejutan baru? Tak seorang pun tahu.
Karena begitu keduanya meloncat, harimau betina itu pun melompat ke tepi kapal dan
menghilang ke dalam gelombang air sungai. Semua penumpang lari ke buritan kapal
untuk melihat ke sungai dan dengan suara lantang Nahkoda memberi komando,
“Bung juru setir, perlambat kapal dan ubah haluan! Masinis, stop!”
Waktu yang lama berlalu, saat itu tak seorang pun berani bernapas. Binatang
buas yang tadi melompat, terapung di atas air, keempat kakinya terentang tak bergerak
dan matanya yang membara mewaspadai setiap gerakan. Tak sampai duapuluh hasta3
jauhnya dari binatang itu, tiba-tiba dengan dorongan yang cepat tubuh si Indian muncul
ke atas, sehingga hampir setengah badannya terlihat di atas permukaan air. Orang bisa
melihat dengan jelas, kedua lengan gadis yang tak berdaya itu memeluk erat lehernya
sekuat tenaga.

3
1 Hasta = k.l 60-80 cm.

7
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

Tapi baru saja ia hendak menarik napas, harimau yang melihat kemunculannya
segera menyerangnya. Indian itu kembali masuk ke dalam air, menyelam sesaat sambil
menjauh, lalu muncul untuk bernapas, namun harimau itu segera membuntutinya , dan
menghalaunya ke bawah. Perburuan yang menegangkan itu berlangsung lima menit tapi
waktu lima menit menjadi terasa sangat lama dalam situasi seperti itu.
Para penumpang kapal melemparkan sejumlah tali dan menurunkan tangga kapal,
tapi orang Indian yang cerdik itu paham bahwa penyelamatan itu tidak berguna baginya,
sebab sebelum ia maju beberapa langkah, harimau betina ini pasti sudah
menjangkaunya. Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri: Ia harus menyelam
jauh di bawah kapal, ada baiknya ke arah mesin. Andaikan ia berenang mengelilingi
kapal, pasti harimau itu mengetahui maksudnya. Untuk memanjat ke atas di bagian
belakang kapal juga tidak memungkinkan, karena posisinya sekarang ini ada di sebelah
kanan kapal.
Karena itu, sekarang ia mencoba selama mungkin berada di atas permukaan air
untuk menarik napas. Ia melakukan satu gerakan tangan untuk memberi tanda, lalu
menghilang,
“Lempar tali melalui belakang kapal!” perintah si nahkoda. Semua bergegas ke
sisi yang dimaksud dan tidak beberapa lama muncullah Inn-nu-woh ke permukaan air
dan berenang menuju ke tali terdekat yang menggantung ke bawah.
“Cheer up, cheer up, come on4!” seru si Nahkoda, dan dari nada suaranya
terdengar jelas kekhawatiran dan kecemasan yang sangat besar, sehingga semua orang
berpaling kepadanya.
Tanpa kehilangan satu kata pun ia menunjuk dengan tangan yang direntangkan
ke luar ke arah ombak yang berwarna kuning. Semua pandangan mengikuti arah
lengannya dan semua langsung menyerukan kata-kata menyemangati seperti ucapan
yang baru saja ia ucapkan.
Pada jarak yang tidak jauh terlihat tiga alur di air yang mendekati kapal dengan
kecepatan tinggi.
“Ya Tuhan, cepat, cepat, ada buaya-buaya datang!” teriak semua orang di
sepanjang pinggir kapal.
“Anakku, anakku, anakku yang malang!” ratap ayah si anak perempuan itu lalu
dengan mata membelalak dan raut wajah yang sangat ketakutan ia membungkuk keluar
melampaui pagar geladak.
Inn-nu-woh mendengar ratapan itu. Satu-satunya pandangan yang diarahkan ke
belakang memperingatkan dia akan ancaman bahaya yang baru yang ada di dekatnya.
Dengan tenaga yang luar biasa besarnya ia menggerakkan kedua tangannya melompat
4
Semangat, semangat, ayo!

8
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

ke atas ke arah tali. Untung gadis yang tidak sadarkan diri itu memeluk lehernya erat-
erat, sehingga gadis itu tidak terlepas saat ia melepaskan cengkeramannya pada badan
si gadis untuk meraih tali. Dan ketika Inn-nu-woh hampir dapat memanjat bagian ketiga
dari bagian atas geladak kapal, terdengar olehnya suara berderak seolah-olah dua balok
bertumbukan. Yang pertama adalah buaya yang telah mencapai sisi kapal dan berusaha
memangsanya. Inn-nu-woh terselamatkan. Dengan lebih tenang ia menggerakkan
seluruh badannya naik ke atas dan tiba di geladak kapal.
Seluruh penumpang bergegas hendak mendekatinya, tapi dicegah oleh sebuah
teriakan.
“Harimau, harimau, lihatlah!”
Harimau betina mencari mangsanya yang hilang, dan berenang mengelilingi
kemudi mendekati sisi kapal sebelah kiri. Semua penumpang segera bergegas lari ke
pagar, dan hanya sang ayah yang tetap di tempat menemani putrinya yang pingsan.
Ini benar-benar pemandangan yang luar biasa, hewan kuat itu memperlihatkan
gerakannya yang tenang tapi pasti.
Tiba-tiba hewan itu mencoba berbalik, namun terlambat. Tiga tapak bajak secepat
kilat meluncur ke arah harimau betina berada, lalu terdengar auman sedemikian dahsyat
dan mengerikan, sehingga menegakkan bulu kuduk. Air menjadi berbusa dan berbuih
dan butiran-butirannya menyembur ke segala penjuru diikuti suara ngorok dan
membelahak yang dalam. Lubang terbuka di dalam air yang berputar-putar membentuk
corong, yang semula berwarna kuning berubah menjadi merah darah. Lalu semua
menjadi tenang. Buaya-buaya itu menarik harimau betina ke dalam air.
Dengan satu “ah” yang melegakan hati mereka terlepas dari rasa tertekan yang
sampai sekarang masih berbekas. Pandangan mereka lalu tertuju kepada dua orang yang
berdiri berpelukan di dekat cerobong asap.
“Gadis itu masih hidup, dia sadar!” teriak para penumpang dari semua arah, dan
si Nahkoda mendekat serta memberikan kamarnya untuk gadis yang masih lemah itu.
Sementara yang lain masih sibuk dengan kejadian si Indian, si penjaga
pertunjukan binatang menyiapkan tempat berbaring untuk tuannya dan mengikat luka
tuannya secara darurat. Ia harus turun pada pemberhentian kapal berikutnya untuk
mendapatkan perawatan medis.
Akhirnya, orang menanyakan juga tentang Inn-nu-woh, dan ayah gadis yang
selamat itu bukanlah orang terakhir yang menanyakannya.
Inn-nu-woh tergantung tinggi di atas di tangga tali dan orang melihat bahwa ia
sedang berusaha memberi tanda lambaian dengan kulit binatang yang disampirkan di
pundaknya. Dari tepi seberang sungai meluncurlah sebuah kano. Di atas kano itu terlihat
dua orang Indian yang berusaha keras mencapai kapal uap dengan kayuhan dayung

9
dipersiapkan oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI)
www.indokarlmay.com

yang menghentak kuat. Mereka datang untuk menjemput sang kepala suku mereka.
Putra prairie tidak mengenal tempat pemberhentian. Ia berpamitan dari peradaban,
menuju tempat tinggal dan sukunya berada.
Sebuah tangan memegang pundaknya dan terdengar suara bergetar berkata,
“Engkau tidak boleh pergi. Engkau telah menyelamatkan putriku, dan saya ingin
berterima kasih kepadamu!”
Orang Indian itu berbalik, menatap perlahan-lahan orang yang berbicara tadi dari
kepala hingga ke ujung kaki. Tubuhnya menggeliat, matanya berkilat-kilat menatap
mereka yang berada di sekelilingnya, dan suaranya terdengar jelas serta terang ketika ia
mengucapkan kalimat pertamanya,
“Kulitputih keliru. Bukan putrinya yang telah saya selamatkan, Kulitmerah hanya
meloncat ke air deras yang dikeramatkan nenek moyangnya sebab ia takut terhadap
landak yang telah kalian lepaskan.”
Dengan membungkukkan badan kepala suku itu berpaling, menuruni tangga kapal
yang diturunkan, lalu pergi bersama kedua orangnya. Orang masih melihat rambutnya
yang panjang dan lebat melambai-lambai. Suaranya masih terus terngiang di telinga
para pendengarnya, dan hari ini pun saya masih teringat akan Inn-nu-woh, bila orang
membicarakan seorang anak manusia, yang berhak mendapat gelar seorang pahlawan.

Catatan:

Inn-nu-woh adalah karya pertama Karl May tentang Wild West yang ditulis pada 1875 (usia 33 tahun, setahun
setelah ia keluar dari penjara). Naskah inilah yang kemudian dikembangkan menjadi naskah Winnetou, baik
versi cerpen maupun novel.

Penerjemah: Primardiana H Wijayati


Penyunting: ogh

10

Anda mungkin juga menyukai