Anda di halaman 1dari 102

KONSEP PRA-NIKAH DALAM AL-QUR’AN

(KAJIAN TAFSIR TEMATIK)

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Ahmad Arifuz Zaki


NIM: 1110034000022

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK

Ahmad Arifuz Zaki

Konsep Pra-Nikah dalam Al-Quran (Kajian Tafsir Tematik)

Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam


jalinan pernikahan (QS. al-Nisa: 3). Namun sebelum sampai kepada jenjang
pernikahan terdapat konsep yang dijalankan yaitu, konsep pra-nikah. Pra-nikah
sering sekali diartikan sebagai pacaran yang membuat hubungan laki-laki dan
perempuan seperti tidak ada batasnya. Selain itu konsep pra-nikah yang dimaksud
dalam skripsi ini adalah konsep dalam hal mamilih pasangan ideal. Hal ini
disebabkan banyaknya angka perceraian karena tidak memiliki rasa tanggung
jawabterhadap pasangan.
Oleh karena itu pertanyaan utama dari skripsi ini adalah bagaimana konsep
pra-nikah dalam al-Qur’an? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan
mengumpulakan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema, diantaranya: QS. al-
Baqarah: 221, al-Baqarah: 234, al-Baqarah: 235, Yaasin: 36, an-Nisa: 9, an-Nisa:
22-23, an-Nisa: 34.
Skripsi ini menggunakan metode kepustakaan (library research).Sumber
data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder. Sumber primer berasal
dari al-qura’an dan sumber sekunder berasal dari kitab tafsir yang berupa Shofwat
at-Tafsir karya Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir al-Mizan karya Al-Ṭaba’ṭaba’i, Tafsir al-
Sya’rowi karya al-Sya’rowi, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir al-Misbah
karya Quraish Shihab. Kitab-kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang banyak
membahas tentang sosial kemasyarakatan, sehingga sesuai dengan tema yang
dikaji penulis
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah kriteria memilih pasangan yang baik
sebelum menikah harus berdasarkan seiman, berlawanan jenis, bukan mahram,
berkepribadian baik, memiliki sifat tanggung jawab dan memiliki visi dalam
menjalani sebuah pernikahan. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan terkait poin-
poin yang sudah didapatkan diatas, apakah sudah diaplikasikan oleh masyarakat
pada umumnya dalam memilih sebuah pasangan yang ideal untuk menikah.

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan pada Allah SWT, atas segala

nikmat dan pertolongan yang telah dan akan selalu dia berikan kepada penulis.

Kepada-Nya lah penulis mengadu ketika semangat mengendur, ketika pikiran dan

hati merasa lelah. Shalawat serta salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW,

yang telah membawa manusia ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Penulis sangat menyadari jika skripsi yang berjudul “Konsep Pra-Nikah

Dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Temati)” ini tidak akan rampung dengan daya

penulis sendiri. Ada banyak sosok keluarga, dosen pembimbing, teman-teman

yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis.

Mereka dalah pembakar semangat penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

Maka dengan kerendahan hati, penulis mengungkapkan ucapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta Pembatu Dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.

Ibu Dra. Banun Binaningrum, M. Pd., selaku sekertaris Jurusan Tafsir Hadis

iv
4. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.,selaku Penasehat Akademik yang

membantu menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku pembimbing yang selalu

memberikan arahan kepada penulis, memberika jalan keluar kepada

penulis ketika sudah tidak dapat berfikir kembali, bersabar dalam

memberikan ilmu dan membimbing penulis selama berada di bawah

bimbingannya. Juga melalui beliau tumbuh ide-ide baru, pemikiran

baru, sehingga penulis ada gairah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku tercinta, abah dan umi, yang telah menyayangi

penulis tanpa pamrih, selalu memberikan semangat bagi penulis baik

itu moril maupun materil, serta doa yang selalu dipanjatkan untuk

penulis. Adik-adik tercinta (Ifah, Fina, Jihan, Khilda), yang selalu memberi

semangat penulis untuk menyelesaikan penelitian ini dan kepada seluruh

famili yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang dengan semangat

dan ikhlas memberikan dorongan dan motivasi. Sehingga penulis selalu

terpacu dalam menempuh dan menyelesaikan kuliah di UIN Syarif

Hidayatulla Jakarta.

7. Bapak Dr. Ainur Rofiq Dawam, M.Ag, yang dengan ketulusan beliau

memberikan dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan kuliah di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Bapak Dr. Fahmi Arif, M,Si., yang tak henti-hentinya mengingatkan untuk

menyelesaikan penelitian ini.

v
9. Terima kasih kepada seluruh teman-teman Falasia, yang selalu memberikan

dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan kuliah di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Teman-teman Shahibul Menara (Serpin, Raja Usman,

Muhammad Hanif, Maringo, dan Gusti Rahmat). Terima kasih kepada

seluruh teman-teman TH(A,B,C,D), terkhusus TH.A. Terima kasih kepada

teman-teman SMPN , MA, ketika penulis masih bersekolah disana. Terima

kasih kepada kang Imam Haromen berserta istri yang telah membatu,

memberikan waktu serta bimbingannya dalam penyelesaian penelitian ini.

Terima kasih kepada teman-teman IMAGE terutama cak Sofi, cak Hilmi dan

Nur Cita yang telah mendorong serta membantu dalam penyelesaian

penelitian ini.

Penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan tambahan wawasan

mengenai pra-nikah baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.

Amin ya Rabb Al-Alamin

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI

KeputusanbersamaMenteri Agama danMenteriPdan K

Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987


1. Konsonan

No. Arab Latin No. Arab Latin

1 ‫ا‬ tidakdilambangkan 16 ‫ط‬ ṭ

2 ‫ب‬ B 17 ‫ظ‬ ẓ

3 ‫ت‬ T 18 ‫ع‬ ʻ

4 ‫ث‬ ṡ 19 ‫غ‬ g

5 ‫ج‬ J 20 ‫ف‬ f

6 ‫ح‬ ḥ 21 ‫ق‬ q

7 ‫خ‬ Kh 22 ‫ك‬ k

8 ‫د‬ D 23 ‫ل‬ l

9 ‫ذ‬ Ż 24 ‫م‬ m

10 ‫ر‬ R 25 ‫ن‬ n

11 ‫ز‬ Z 26 ‫و‬ w

12 ‫س‬ S 27 ‫ه‬ h

13 ‫ش‬ Sy 28 ‫ء‬ ’

14 ‫ص‬ ṣ 29 ‫ي‬ y

15 ‫ض‬ ḍ

2. Vocal Pendek

-◌
َ -- = a َ َ ‫َﻛﺘ‬
‫ﺐ‬ kataba

vii
-◌
ِ -- = i ‫ﺳ ِﺌ َﻞ‬
ُ su’ila

- ُ◌-- = u ُ ‫ﯾَ ْﺬھ‬


‫َﺐ‬ yażhabu

3. Vocal Panjang

a. Fathah + alif, ditulis ā (a garis di atas)

‫ﺟﺎھﻠﯿﺔ‬ ditulis jāhiliyyah

b. Fatḥah + aliflayyinah, ditulis ā (a garis di atas)

‫ﯾﺴﻌﻰ‬ ditulis yasʻā

c. Kasrah + yā’ mati, ditulis ī (i dengangaris di atas)

‫ﻣﺠﯿﺪ‬ ditulis majīd

d. Ḍammah + wāumati, ditulis ū (u dengangaris di atas)

‫ﻓﺮوض‬ ditulis furūd

4. Diftong

ْ َ‫ا‬
‫ي‬ = ai َ ‫َﻛﯿ‬
‫ْﻒ‬ = kaifa

‫اَ ْو‬ = au ‫َﺣ ْﻮ َل‬ = haula

5. Kata sandang (‫)ال‬

Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah.

6. Tasydid

Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi

syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

syiddah tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

viii
al-syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ اﻟﻀ ُﱠﺮ ْو َرة‬tidak ditulis aḍ-ḍarūrah melainkan

al-ḍarūrah.

7. Tā’Marbūṭah

a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi na’t

atau sifat, ditulis h

Contoh:

‫ﺟﺰﯾﺔ‬ ditulis jizyah

‫اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ‬ ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah

(Ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa

Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya kecuali

dikehendaki lafal aslinya)

b. Bila diharakati kerena berangkaian dengan kata lain, ditulis t

Contoh:

‫ﻧﻌﻤﺔ ﷲ‬ ditulis niʻmat Allāh

‫زﻛﺎة اﻟﻔﻄﺮ‬ ditulis zakāt al-fiṭr

8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut

penulisannya, contoh:

‫ذوي اﻟﻔﺮض‬ ditulis żawī al-furūḍ

‫اھﻞ اﻟﺴﻨﺔ‬ ditulis ahl al-sunnah

9. Singkatan

swt., =subḥānah wa taʻālā

ix
saw., = ṣallā Allāh ‘alaih wa salam

as. =‘alaih al-salām

ra. = raḍiya Allāh ‘anh

QS. = Quran Surat

M = Masehi

H = Hijriah

w. = Wafat

h. = Halaman

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i


PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................................. ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 8
E. Metode Penelitian ................................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 14
BAB II Tinjauan Teoritis Pernikahan
A. Definisi Pernikahan .............................................................................. 17
B. Hukum Pernikahan ............................................................................... 19
C. Tujuan Pernikahan ............................................................................... 24
D. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan ....................................................... 28
E. Jenis-jenis Pernikahan pada Zaman Jahiliyyah .................................... 32
F. Legalitas Pernikahan dalam UU Negara dan Agama Islam ................. 36
BAB III Tuntunan Pra-Nikah dalam al-Qur’an Bagi Orang Tua dan
Pasangan
A. Azas Pasangan Ideal............................................................................. 46
1. Kesamaan Iman ............................................................................. 46
2. Berpasangan (laki-laki dengan perempuan) .................................. 54
3. Tidah Mahram ............................................................................... 59
B. Karakter Pasangan Ideal....................................................................... 63
1. Berkepribadian Baik ...................................................................... 63
2. Memiliki Sifat Tanggung Jawab ................................................... 68
3. Mempunyai Visi dalam Menjalani Pernikahan ............................. 72
C. Memberikan Keleluasan Memilih Pasangan ........................................ 76
D. Meminang Sebelum Pernikahan .......................................................... 79
BAB IVPenutup
A. Kesimpulan .......................................................................................... 84
B. Saran .................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 86

xi
BAB I
KONSEP PRA-NIKAH DALAM AL-QUR’AN
(KAJIAN TAFSIR TEMATIK)

A. Latar belakang

Perkembangan manusia dikenal sebuah masa yang disebut dewasa

awal, yakni proses transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Usia dewasa

awal menurut Erikcson yang dikutip oleh Santrock menjelaskan bahwa masa

ini dimulai dari usia 20-30 tahun.1 Masa ini ditandai dengan dimulainya

keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation), saat seorang individu

mencari jati diri orang lain dengan tanpa sengaja ia telah kehilangan jati

dirinya sendiri.2 Pada tahap dewasa awal ini, individu akan menghadapi tugas

perkembangan yaitu membentuk hubungan intim dengan orang lain, seperti

mencari teman bergaul yang arahnya bisa kepada calon suami dan calon istri

pra nikah.3

Jalinan hubungan dalam Islam antara laki-laki dan perempuan diatur

dalam sebuah konsep yang disebut pernikahan. Hal ini berlandaskan surah

an-Nisa’ ayat 1 yaitu :

1
Putri Saraswati, Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Otang Tua dalam
Pemilihan Pasangan Hidup dengan Kecenderungan Pemilihan Pasangan Hidup Berdasarkan
Status Sosial Ekonomi Pada Dewasa Awal, Jurnal Psikologi vol. 6, no. 1, April 2011, h. 348.
2
J.W. Santrock, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid II. Alih
bahasa oleh Achmad Chusairi dan Juda Damanik. Jakarta: Erlangga, 2002, h. 125.
3
Mohammad Ali, dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembanagn Peserta
Didik, cet ketujuh, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, h. 169.

1
2

           

             

    

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah kepada manusia, baik

laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal satu sama lain. Proses

mengenal ini bertujuan agar manusia dapat saling tolong menolong dalam hal

kebaikan dan juga untuk melestarikan keturunan. Manusia tidak dapat

memenuhi kebutuhannya lahir dan batin tanpa bantuan orang lain, dari sini

diperlukan kerja sama serta interaksi harmonis.4 Allah SWT juga

menciptakan manusia dengan berpasangan untuk melestarikan dan

melangsungkan keturunannya, dimana manusia tidak akan mencapai tujuan

tersebut jika tidak memiliki pasangan. Ha ini sesuai dengan firman Allah

SWT dalam surat Yasin: 36.

         

   

4
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-Anakku, cetakan
x, Tangerang: Lenter Hati, 2014, h. 9.
3

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,


baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui”
Ayat di atas menjelaskan tidak hanya manusia saja yang diciptakan

dengan berpasangan, bahkan hewan dan tumbuhan serta suasana alam pun

diciptakan dengan berpasangan seperti: siang dan malam, baik dan buruk, dan

lain sebagainya. Manusia masih belum mantap kehidupannya jika laki-laki

belum mempunyai istri dan perempuan pun belum mempunyai suami.5 Maka

dari itu manusia diharapkan berusaha untuk mendapatkan dan menemukan

suami dan istrinya dengan baik, baik dengan usaha sendiri maupun melalui

bantuan orang lain.

Islam mengatur umatnya dalam hal melestarikan keturunannya

melalui pernikahan. Pernikahan merupakan sunatullah artinya perintah Allah

dan Rasul-Nya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa nafsu

saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah

mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) agama Islam.6 Sebagaimana

disebutkan dalam hadis Nabi berikut ini:

‫ﻌﻘﹸﻮﺏ‬ ‫ ﺛﻨﺎ ﻳ‬،‫ﻟﺐﹴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﻳﺤ‬ ‫ ﺛﻨﺎ‬،‫ﺻﻢ‬  ‫ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺱﹺ ﻫ‬‫ﺒ‬‫ﻮ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ ﻧﺎ ﺃﹶﺑ‬،‫ﻓﻆﹸ‬‫ﺎ‬‫ ﺍﷲِ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻮ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﹶﺃﺧ‬
‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﺲﹺ ﺑ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻲ‬‫ﻗﹶﺎﺷ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ ﺛﻨﺎ ﻳ‬،‫ﺮﺓﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻴﻞﹸ ﺑ‬‫ﻠ‬‫ ﺛﻨﺎ ﺍﹾﻟﺨ‬،‫ﻲ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﺤﻀ‬  ‫ ﺍﻟﹾ‬‫ﺎﻕ‬‫ﺤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ﺑ‬
‫ﻲ‬‫ﻖﹺ ﺍﷲَ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬،‫ﻳﻦﹺ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻒ‬‫ ﹶﻞ ﹺﻧﺼ‬‫ ﹶﻛﻤ‬‫ ﹶﻓﻘﹶﺪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻭﺝ‬ ‫ﺰ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺗ‬:‫ﱠﻠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬
7
(‫ﻲ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ‬‫ﺎﻗ‬‫ﻒ ﺍﻟﹾﺒ‬  ‫ﺼ‬  ‫ﻨ‬‫ﺍﻟ‬

5
Al-Quran dan Isu-Isu Kontemputer I (Tafsir Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2012, h. 76.
6
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1993, h. 3.
7
Ahmad bin ‘Ali bin Musa al-Khurasani al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 7 (Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 2003), h. 340.
4

Artinya: mengabarkan kami Abu Abdillah al-Hafizh berkata menceritakan


kepada kami Abu al-Abbas al-Asham berkata menceritakan kepada kami
Yahya bin Abi Thalib berkata menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ishaq
al-Hadhrami berkata menceritakan kepada kami al-Khalil bin Murrah
berkata menceritakan kepada kami Yazid al-Raqasyi dari Anas bin Malik
berkata, Rasulullah Saw bersabda: “jika seorang hamba Allah telah
menikah, berarti telah menyempurnakan separuh agama, maka hendaklah
bertaqwa kepada Allah sebagai penyempurna sisanya (agama)” (HR. al-
Baihaqi)
Pernikahan merupakan bentuk hubungan antara laki-laki dan

perempuan dewasa yang diterima serta diakui secara universal.8 Pernikahan

adalah keterikatan antara hubungan suami dan istri, sekaligus merupakan

salah satu sunah dari Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan hadist :

‫ﻦ‬ ‫ ﻋ‬،‫ﺳﻢﹺ‬ ‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ‬‫ ﻋ‬،‫ﻮﻥ‬‫ﻴﻤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴﺴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺣﺪ‬ :‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺩﻡ‬ ‫ﺎ ﺁ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺣﺪ‬ :‫ﻫﺮﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬ ‫ﺯ‬ ‫ ﺍﻟﹾﹶﺄ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻤﺪ‬ ‫ﺎ ﹶﺃﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺣﺪ‬
‫ﻞﹾ‬‫ﻌﻤ‬ ‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ﻦ‬‫ ﹶﻓﻤ‬،‫ﻲ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹶﺎﺡ‬‫ ﺍﻟﻨ‬:‫ﱠﻠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬:‫ ﻗﹶﺎﹶﻟﺖ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﺸ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻋ‬
‫ ﻟﹶﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﻜﺢ‬ ‫ﻨ‬‫ﻝﹴ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺫﹶﺍ ﻃﹶﻮ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﻣﻢ‬ ‫ ﺍﻟﹾﹸﺄ‬‫ ﺑﹺﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻜﹶﺎﺛ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬،‫ﻮﺍ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﺰ‬‫ﺗ‬‫ ﻭ‬،‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺲ‬‫ﻲ ﻓﹶﻠﹶﻴ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﺑﹺﺴ‬
9
(‫ﺎﺀٌ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ‬‫ﻪ ﹺﻭﺟ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ ﹶﻓﺈﹺ ﱠﻥ ﺍﻟﺼ‬،‫ﺎﻡﹺ‬‫ﻴ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﺼ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﺠﺪ‬ ‫ﻳ ﹺ‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin al-Azhar berkata, telah
menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami
Isa bin Maimun dari al-Qasim dari 'Aisyah ia berkata, "Rasulullah Saw
bersabda: "Menikah adalah sebagian sunnahku, barangsiapa tidak
mengamalkan sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah kalian
menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-banyakkan
umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang
tidak, hendaknya berpuasa, karena puasa itu merupakan tameng (HR. Ibnu
Majah)
Hadis di atas dapat diambil pengertian bahwa pernikahan adalah

perintah Allah dan Rasul-Nya, dimana pernikahan ini dasarnya adalah sebuah

hal yang suci disisi Allah maupun pada sisi manusia. Tujuan pernikahan ini

adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah dan membentuk rumah tangga
8
Rahma Khairani, Dona Eka Putri, Kematangan Emosi Pada Pria Dan Wanita Yang
Menikah Muda,Jurnal Psikologi volume 1, No. 2, Juni 2008, h. 137.
9
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, juz 1 (Kairo: Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.), h. 592.
5

yang bahagia,sehat, sejahtera, sehat lahir dan batin. Rumah tangga yang

sakinah, mawadah wa rahmahdimulai dengan memilih pasangan hidup yang

berkualitas tinggi baik dari kapasitas, sosioekonomi maupun dari

pendidikannya.

Memilih pasangan merupakan fase penting dalam proses kehidupan

manusia yang arahnya ke pernikahan. Oleh sebab itu perlu adanya suatu

proses pemilihan pasangan dengan matang, agar tidak terjadi penyesalan pada

masa menjalani pernikahan. Proses pemilihan tersebut bukan hal yang

mudah, karena banyaknya aspek yang harus diperhatikan oleh kedua belah

pihak.10 Terlebih pada masa sekarang sudah banyak yang sudah tidak lagi

mengindahkan norma-norma agama, serta pergaulannya yang sudah

melampaui batas dari kewajaran. Menuntut kebebasan akan hal apa yang

diinginkan tanpa lagi memperhatikan norma yang berlaku. Sehingga

mempengaruhi pola pikir serta gaya hidup yang serba bebas, seperti halnya

free sex yang sudah menjadi hal lumrah dilakukan oleh remaja zaman

sekarang ini.11 Padahal hubungan pra nikah adalah hal yang paling ditakuti

oleh semua orang tua. Karena akan menimbulkan rasa malu dan aib, baik bagi

kedua pasangan maupun dari kedua keluarga.12 Bahkan dalam realitas dapat

dilihat dari kasus yang menimpa salah satu Miss Filipina, Maria Venus Raj

(21 tahun). Ia harus rela melepas mahkota yang telah diraih lantaran diketahui

10
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, h. 6.
11
Sadam Husein, Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Seks Bebas (Free Sex) Studi
Kasus Pada Remaja Di Desa Benua Baru Kecamatan Muara Bengkal Kabupaten Kutai Timur,
ejournal Sosiatri-Sosiologi 2015, 3 (4). H. 86.
12
Syukri Himyun, Segi Tiga Emas (The Golden Triangle Of Family) Kiat Kawula Muda
Memasuki Gerbang Rumah Tangga bahagia dan Menjadi Orangtua Bijak, Gaung Persada Press:
Jakarta, 2010, h. 15.
6

bahwa Maria merupakan anak hasil hubungan kedua orang tuanya pra nikah13

kasus ini membuktikan bahwa hasil hubungan pra nikah dapat menimbulkan

rasa malu bukan hanya saat kejadian namun juga dikemudian hari.

Fenomena lain mengatakan bahwa kedua pasangan yang telah

menikah pun juga mengalami permasalahan, yakni perceraian. Hal ini terjadi

karena berbagai faktor, antara lain tidak memiliki rasa tanggung jawab. Dari

sini perlu untuk menumbuhkan pengetahuan dan wawasan terkait pernikahan,

agar ketika pasangan telah menikah akan mengerti keadaan yang akan

dihadapi tiap pasangan. Suatu penelitian di wilayah Kuningan mengatakan

bahwa sebab perceraian dengan sebab tidak memiliki rasa tanggung jawab

sebanyak 630 (tahun 2015).14

Realitas di atas kemudian menimbulkan kesulitan bagi remaja dalam

menjalani fase pra-nikah, sebelum ia memasuki pernikahan dalam rangka

menyempurnakan keimannya. Ini menunjukkan bahwa perlu adanya

bimbingan agama dalam menjalani fase pra-nikah. Di sinilah pentingnya

agama hadir untuk membimbing para remaja pada masa pra-nikah termasuk

di dalamnya terkait memilih calon pasangan hidup dan tuntunan lainnya.

Ketika berbicara tentang bimbingan agama, maka sudah seharusnya merujuk

pada al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’anlah petunjuk Allah terkandung,

petunjuk yang bisa mengantarkan umat manusia meraih kebahagiaan di dunia

dan di akhirat, tidak terkecuali dalam masalah pernikahan khususnya pada


13
mviva.co.id. diakses kamis, 1 April 2010, 17:03.
14
Syafaat Muhammad, Fenomena Cerai Gugat di Kabupaten Kuningan: Sebuah Kajian
Perubahan Sosial dalam Masyarakat dan Keluarga, Jurnal BIMAS ISLAM, Vol. 9. No. 4 Jakarta,
2016h. 618.
7

fase pra-nikah. Berdasarkan latarbelakang di atas penulis akan melakukan

penelitian dengan judul “Konsep pra-Nikah dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir

Tematik)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis membatasi penelitian ini

pada ayat-ayat tentang konsep pra-nikah dalam al-Qur’an yaitu, QS. al-

baqarah :221, al-baqarah 234, al-baqarah: 235, yaasin : 36, an-Nisa: 9, an-

Nisa: 22-23, dan an-Nisa: 34. Pertanyaan yang timbul sebagai rumusan

masalah adalah bagaimana konsep pra-nikah dalam al-Qur’an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penyusunan skripsi ini untuk mengetahui pandangan

al-Qur’an tentang konsep pra-nikah yang mencakup dua hal yakni, kriteria

pasangan ideal menurut al-Qur’an dan tuntunan al-Qur’an dalam masa pra-

nikah.

Adapun secara teoritis hasil penelitan ini diharapakan dapat

memperkaya khazanah keilmuan khususnya produk tafsir tematik tentang

konsep pra-nikah. Secara praktik untuk memberikan pemahaman tentang

konsep pra-nikah dalam al-Qur’an.


8

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi tinjauan pustaka sangatlah perlu guna

menambah wawasan dan khazanah keilmuan terhadap masalah yang akan

dibahas oleh penyusun skripsi. Ada beberapa skripsi yang membahas masalah

yang sama dengan substansi yang berbeda, diantaranya adalah sebagai

berikut:

Pertama Skripsi Indra Purnama, yang berjudul Pertimbangan Guru-

Guru MI Nurul Yaqin dalam Memilih Pasangan Hidup (Analisis Terhadap

Hadits Memilih Pasangan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Skripsi ini

menjelaskan mengenai pemahaman guru-guru MI Nurul Yaqin terhadap

hadist tentang memilih pasangan hidup dan penerapannya serta adakah

keterkaitan anatar agama dan pernikahan. Hasil dari penelitian in menjelaskan

bahwa sebagian besar guru MI Nurul yaqin setuju mengenai nilai-nilai islami

menjadi pegangan dalam memilih pasangan yang ideal. Tema penelitian ini

merupakan salah satu bagian pembahasan penelitian yang akan penulis

lakukan, hanya saja penelitian penulis berbeda dengan penelitian ini, karena

penelitian ini memfokuskan pada aspek hadits, sedangkan penelitian yang

akan penulis lakukan memfokuskan pada kajian ayat-ayat al-Qur’an dan

tafsirnya.

Kedua Jurnal Masthuriyah Sa’dan, yang berjudul Memilih Pasangan

Bagi Anak Perempuan Kajian Fikih dan HAM, IAIN Manado: Jurnal Ilmiah

al-Syir’ah Vol. 14 No. 01 Tahun 2016. Jurnal ini menjelaskan bahawa fikih
9

sangatlah diskriminatif terhadap perempuan dalam memilih pasangan yang

keputusannya dan persetujuannya ada ditangan wali atas nama hukum Islam.

Sedangkan laki-laki hak menentukan calon pasangannya dengan haknya

sendiri. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konferensi dunia tentang

kependudukan dan perempuan di Kairo 1994 mengenai hak perempuan untuk

reproduksi yang dijaga dan dipelihara yang salah satu haknya adalah

menentukan calon pasangannya sendiri.

Penelitian masthuriyah ini berbeda dengan dengan penelitian yang

penulis lakukan. Perbedaannya adalah penulis lebih mengarah kepada ayat-

ayat al-Qur’an yang membahas mengenai tata cara memilih pasangan sesuai

dengan tuntunan al-Qur’an. Sedangkan Masthuriyah membahas hak memilih

calon suami bagi perempuan dalam perspektif hukum Islam dan hukum

internsiaonal tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketiga, Jurnal Ahmad Atabik yang berjudul Dari Konseling

Pernikahan Menuju Keluarga “SAMARA”, KONSELING RELIGI: Jurnal

Bimbingan Konseling Islam, Vol. 6 No. 1, Juni, 2015. Jurnal ini menjelaskan

mengenai upaya untuk membantu calon mempelai untuk mendapatkan

pasangan yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam melalui cara konseling

perkawinan (marriage counseling). Melalu konseling ini diharapkan para

calon pasangan dapat mengembangkan dan menyelesaikan masalahh mereka

dengan cara saling menghargai, toleransi, dan komunikasi dengan penuh

pengertian. Sehingga tercapai motivasi keluarga, kemandirian dan

kesejahteraan seluruh anggota keluarga.


10

Penelitian Ahmad Atabik ini berbeda dengan penelitian yang penulis

lakukan. Perbedaannya adalah penulis lebih mengarah kepada ayat-ayat al-

Qur’an yang membahas mengenai tata cara memilih pasangan sesuai dengan

tuntunan al-Qur’an. Sedangakan Ahmad atabik ini membahas pemilihan

pasangan berawal dengan konsling.

Keempat Skripsi Dedi Irawan yang berjudul Pernikahan Beda

Keyakinan dalam al-Qur’an (Analisis Penafsiran al-Maraghi atas QS. al-

Baqarah 2:221 dan QS, al-Maidah 5:5), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2011. Skripsi ini menjelaskan mengenai penafsiran al-Maraghi terhadapap

pernikahan beda keyakinan pada QS. al-Baqarah 2:221 dan QS, al-Maidah

5:5. Penelitian ini penyimpulkan bahwa: 1). Laki-laki muslim tidak boleh

menikah dengan wanita musyrik, namun boleh menikahi wanita ahli kitab

dengan catata bisa menjaga kehormatan dan tetap berpegang teguh kepada

kitab suci yang wanita itu pegang, 2). Wanita muslim tidak

diperbolehkanmenikah dengan laki-laki non muslim (musyrik dan ahlul kitab)

karena di takutkan wanita tersebut mengikuti agama suaminya.

Tema penelitian ini merupakan salah satu bagian pembahasan

penelitian yang akan penulis lakukan, hanya saja penelitian penulis berbeda

dengan penelitian ini, karena penelitian ini memfokuskan pada penafsiran al-

Maraghi terkait nikah beda agama. Sedangkan penulis membahas

permasalahan terkait pra-nikah dengan sumber al-Qur’an.


11

Kelima, Skripsi Moh. Shulbi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Sunan Kalijaga tahun 2014 dengan judul Mitos Tiba Rampas Dalam

Pemilihan Calon Pasangan Menurut Pernikahan Adat Jawa Di Desa

Cengkok Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk (Studi Komparasi

Hukum Islam Dengan Hukum Adat. Dalam skripsi ini menjelaskan mengenai

mitos tiba rampas di daerah nganjuk dalam pemilihan pasangan ditinjau dari

hukum Islam dan hukum adat jawa. Ternyata setelah diteliti tidak ada yang

menyalahi nash alqur’an maupun hukum fikih. Karena hal ini sudah menjadi

adat turun temurun dari nenek moyang sebelumya. Islam memberikan

kriteria berdasarkan hadis Nabi sedangkan masyarakat desa cenggok

berdasarkan nebtu (hari kelahiran). Ini berbeda dengan yang dilakukan

penulis karena penelitian penulis fokus kajiannya pada konsep pra-nikah

berdasarkan al-Qur’an.

Keenam, Tafsir al-Qur’an Tematik “Etika Berkeluarga” yang

dikeluarkan Kementerian Agama RI tahun 2012 (terdapat pada Seri 3). Dalam

penelitian ini dibahas konsep etika berkeluargaa dengan rujukan al-Qur’an

dan penafsirannya. Jika dilihat penelitian ini sama dengan yang akan

dilakukan penulis, yakni dengan mengacu pada al-Qur’an dan tafsirnya,

hanya saja tema kajiannya berbeda, Tafsir Kemenag RI ini mengkaji petunjuk

al-Qur’an pada masa pasca nikah, sedangkan penulis akan mengkaji petunjuk

al-Qur’an pada masa pra- nikah,

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa penelitian yang akan

penulis lakukan belum pernah dilakukan para penulis sebelumnya. Dengan


12

demikian disimpulkan penelitian yang akan penulis lakukan adalah hal yang

baru dan penting untuk dilakukan.

E. Metode penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat

kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan merupakan sebuah

penelitian yang fokus penelitiannya menggnakan data dan informasi dengan

berbagai macam literatur yang terdapat di perpustakaan seperti: kitab, buku

naskah, catatan kisah sejarah, dokumen dan lain-lain.15

Sumber data pada penelitian ini terdiri dari sumber primer dan

sekunder. Sumber primer penelitian ini adalah al-Qur’an al-Karim, karena

memang yang penulis kaji dalam hal ini adalah mengungkapkan konsep al-

Qur’an tentang pra-nikah. Di samping menggunakan al-Qur’an sebagai

rujukan utama penulis juga menggunakan data primer berupa kitab-kitab

tafsir, karena dari kitab tafsir inilah dapat diketahui makna-makna ayat al-

Qur’an. Adapun kitab-kitab tafsir yang dijadikan rujukan penulis adalah

Tafsir Ahkam karya Ali Ashobuni, Tafsir al-Mizan karya al-Thaba’thaba’i,

Tafsir al-Sya’rawi karya al-Sya’rawi, Tafsir al-Azhar karya Hamka, Tafsir al-

Mishbah karya Quraish Shihab. Kitab-kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir

yang banyak membahas tentang sosial kemasyarakatan, sehingga sesuai

dengan tema yang dikaji penulis. Sedangkan sumber skunder berasal dari

15
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandarmaju, 1996, h. 33.
13

literatur lain yang mempunyai relevansi dengan penelitian yang penulis

lakukan.

Penelitian ini adalah kajian al-Qur’an maka penulis menggunakan

metode penafsiran al-Qur’an, dalam hal ini adalah metode maudhu’i. Sebuah

metode yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an atas masalah tertentu

dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan

masalah tertentu, untuk mengetahui pandangan al-Qur’an atas masalah

tersebut.16 Dengan demikian diharapakan diperoleh pandangan utuh al-

Qur’an tentang konsep pra-nikah.

Proses analisis data, penulis menggunakan pendekatan interpretasi,17

artinya, penulis menyelami maksud yang tersirat di balik teks atau penafsiran

para mufasir tentang penjelasan ayat-ayat yang berkaitan dengan penelitian

penulis. Pada prakteknya penulis akan mengacu pada langkah-langkah

metode maudhu’i.18 Adapun langkah-langkah penelitian yang akan ditempuh

penulis adalah sebagai berikut:

Pertama, menentukan tema, dalam hal ini tema yang dipilih adalah

konsep pra-nikah. Kedua, menghimpun ayat-ayatyang berkaitan dengan

16
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-tafsir al-mawdhu’i, Mesir: Maktabah al-
jumhuriyah, 1997, h. 52.
17
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, h. 63.
18
Menurut al-farmawi langkah-langkahmetode maudhu’i terdiri dari: 1). Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik), 2). Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut, 3). Menyusun runtutan ayat yang sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan
asbab buzunya, 4). Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing, 5).
Menyusun pembahsan dalam kerangka yang sempurna (outline), 6). Melengkapi pembahasan
dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan, 7). Mengkaji ayat-ayat yang dihimpun
secara komprehensif.Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-tafsir al-mawdhu’i, h. 52.
14

konsep pra-nikah, yang terkait kriteria pasangan ideal dan tuntunan pada

masa pra-nikah. Dalam hal ini penulis menggunakan kitab Tafsil Ayat al-

Qur’an al-Hakim suntingan Muhammad Fuad Abd al-Baqi, dengan mengacu

kata kunci tematik berupa lafazh “al-nikah dan al-zawaj”.19 Selain itu, dalam

menelusuri kata-kata al-Qur’an penulis juga menggunakan kitab al-Mu’jam

al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim yang jugakarya Muhammad Fuad

Abd al-Baqi.20

Ketiga, mengklasifikasikan ayat-ayat yang telah dikumpulkan

berdasarkan temanya. Keempat, melakukan kajian dan analisa terhadap ayat-

ayat yang telah dikumpulkan dengan merujuk penafsiran para mufasir, asbab

al-nuzul, hadits-hadits yang relevan dan mengungkapkan makna-makna yang

tersirat dari data-data tersebut untuk kemudian menuju pada proses

kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini, dibagi dalam empat bab, dimana setiap babnya

terdiri dari beberapa sub bab yang bermaksud untuk mempermudah dalam

penyusunan serta mempelajarinya. Adapun sistematikanya adalah sebagai

berikut:

19
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Tafsil Ayat al-Qur’an al-Hakim, Kairo: Dar Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyah, 1955, h. 331-333.
20
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim,
Kairo: Dar al-Fikr, 1981.
15

Bab pertama, merupakan pendahuluan. Pendahuluan ini berisi

penjelasan latar belakang, rumusan dan pembatasan masalah,kajian pustaka,

tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sitematika

penulisan.

Bab kedua, berisi mengenai landasan teori, dalam hal ini menjelaskan

seputar definisi pernikahan, hukum pernikahan, tujuan pernikahan, rukun dan

syarat sah pernikahan, jenis-jenis pernikahan pada zaman jahiliyah, dan

legalitas pernikahan dalam agama Islam dan UU negara.

Bab ketiga, masuk pada kajian utama penelitian penulis berupa

pengetahuan tentang konsep pra-nikah menurut al-Qur’an.

Bab empat, berisi kesimpulan dan saran. Setealah melakukan

pembahasan terhadap masalah yang menjadi fokus dalam skripsi ini, penulis

memberikan kesimpulan sebagi penutup. Bab ini berisi jawabn terhadap

rumusan masalah yang telah dipaparkan, dan berisi saran demi perkembangan

penelitian-penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS PERNIKAHAN

Pernikahan memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat yang

majemuk ini. Pernikahan merupakan fitrah manusia dalam penyaluran kebutuhan

naluri biologis manusia, yang bertujuan untuk melesatrikan keturunan jenis

manusia. Melalui pernikahan pula, sesuatu yang tadinya haram menjadi halal dan

menjadi ajang untuk mendapatkan pahala serta menyempurnakan setengah agama.

Pernikahan juga menimbulkan hal yang positif, diantaranya: menciptakan

generasi penerus bangsa yang berkarakter dan diharapkan berwawasan luas

sehingga bisa memahami fenomena yang ada serta bisa memberikan kemaslahatan

umat.

Pernikahan memiliki peranan penting dalam syariat islam yaitu mencegah

adanya kejahatan yang selama ini berkembang di masyarakat luas berupa

pelecehan seksual dan pemerkosaan hingga terjadinya kumpul kebo (free sex) atau

sering disebut zina. Agama Islammelarang perzinahan, seperti yang disebutkan

dalam firman Allah SWT dalam QS. al-Isra’: 32

         

“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Perzinahan memiliki dampak yang sangat negatif, diantara dampak

perzinahan adalah terputusnya garis keturunan, penyebaran penyakit, timbulnya

16
17

bentuk pelanggaran yang lain semacam pembunuhan, runtuhnya keutuhan rumah

tangga dan adanya hubungan biologis yang bersifat sementara seperti binatang.1

A. Definisi Pernikahan

Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai kata nikah dan kata yang

meiliki arti yang semakna dengan nikah. Terdapat dua kata dalam

literaturbahasa Arab yang menunjukkan makna nikah yaitu, nakaḥa dan

zawwaj.Kedua kata tersebut banyak dan sering digunakan dalam kehidupan

sehari-hari orang Arab. Selain itu kedua kata ini banyak ditemukan dalam al-

qur’an, seperti kata nakaḥa ditemukan sebanyak 17 ayat dan memiliki makna

nikah. Sedangkan kata zawwaj ditemukan pada 20 ayat.

Kata nikah berasal dari bahasa Arab nakaḥa“‫ﻧﻜﺢ‬, “yankiḥu” ‫ﻳﻨﻜﺢ‬,

“nikaḥan” ‫ﻧﻜﺤﺎ‬yang berarti mengawini.2 Dan merupakan masdar yang

memiliki dua makna yaitu menggauli dan melakukan (ijab dan kabul)3. Kata

nikah secara etimologi berarti al-jam’u dan ḍamu yang artinya kumpul.

Makna nikah (zauj) bisa diartikan dengan ‘aqdal-tazwij yang artinya nikah,

juga bisa diartikan (waṭ’u al-zawjah) yang bermakna menyetubuhi istri.4

1
Moch. Nurcholis, “Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menurut Filsafat Hukum Keluarga Islam”, Tafaqquh:
Vol. 2, No. 1 Juni 2014, h. 63
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah
Tafsir al-Qur’an,
3
Al-Quran dan Isu-Isu Kontemputer I (Tafsir Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2012, h.33
4
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Pres, 2009, h. 7
18

Sedangkan secara terminologi kata nikah memiliki banyak definisi.

Misalnya yang dijelaskan ke empat imam madzhab fiqh sebagai berikut:5

1. Madzhab Hanifah

‫ﺍ‬‫ﺪ‬‫ ﻗﹶﺼ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﳌﹸﺘ‬‫ﻠﹾﻚ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﻔ‬‫ ﻳ‬‫ﻘﹾﺪ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ ﹺﺑﺎﹶﻧ‬‫ﻜﹶﺎﺡ‬‫ﺍﻟﻨ‬


Nikah adalah suatu aqab dengan tujuan memiliki kesenangan secara
sengaja.

Madzhab hanafi memahami nikah dalamarti hakiki untuk melakukan

hubungan suami istri.

2. Madzhab Malik bin Anas

‫ﺔ‬ ‫ﻴﻐ‬‫ﻡﹴ ﹺﺑﺼ‬‫ﺮ‬‫ﻣﺤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺜﹶﻰ ﻏﹶﻴ‬‫ﺎﻉﹴ ﹺﺑﺎﹸﻧ‬‫ﺘ‬‫ﺘﻤ‬‫ﻞﹲ ﺇﹺﺳ‬‫ﻟﺤ‬‫ﺪ‬ ‫ ﹾﻘ‬‫ﻪ ﻋ‬ ‫ ﹺﺑﺎﹶﻧ‬‫ﻜﹶﺎﺡ‬‫ﺍﻟﻨ‬
Nikah adalah suatu akad untuk menghalakan kesenangan (jima’)
dengan perempuan yang bukan muhrimnya dengan sighat nikah

Mazhab maliki memahami pernikahan suatu akan penghalalan untuk

bersenang-senang dengan wanita yang bukan muhrimnya dalam hal

ini hubungan suami istri.

3. Madzhab Syafi’i

‫ﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ ﻣﻠﻚ ﻭﻁﺀ ﺑﻠﻔﻆ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻭﺗﺰﻭﻳﺞ ﺍﻭﻣﻌﻨﺎﳘﺎ‬ ‫ﻋﻘﹾ‬ ‫ﺡ‬


 ‫ﻜﹶﺎ‬‫ﺍﻟﻨ‬
Nikah adalah suatu aqad yang mengandung pemilikan“waṭ’i” dengan
menggunakan kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain
yang menjadi sinonim

Mazhab Sayafi’I memahami nikah merupakan suatu akad kepemilikan

waṭ’i dengan dengan menggunakan kata menikahkan atau

5
Sukron, Hukum Perempuan Memilih Pasangan Nikah dalam Pandangan Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i, Jakarta: Skripsi Perbandingan Mazhab Fiqih Syari’ah dan Hukum Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, h. 11-12
19

mengakawinkan atau yang sinonim dengan kata tersebut. Sehingga

menjadai halal hubungan pernikahan itu.

4. Madzhab Hanbali

‫ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻫﻮ ﻋﻘﺪ ﺑﻠﻔﻆ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻭﺗﺰﻭﻳﺞ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﺍﻻﺳﺘﻤﺘﺎﻉ‬


Nikah adalah suatu aqad dengan menggunakan lafadz nikah atau
kawin untuk manfaat (menikmati) kesenangan.

Mazhab Hanbali ini memahami nikah dengan akad yang diucapkan

dengan menggunakan kata ankaḥatau tazwij untuk mendapatkan

kesenangan seksual.

Berdasarkan beberapa definisi nikah diatas mayorita ulama’ fiqih

sependapat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agamauntuk

memberikan kepada priahak memiliki penggunaan farji (kemaluan) wanita

dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.6

B. HukumPernikahan

Pembahasan tentang nikah banyak dijelaskan dalam hukum

pernikahan yang merujuk kepada al-Qur’an dan hadis, diantaranya:

1. QS. ar-rum : 21

          

            
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nyaialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

6
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta : Pustaka firdaus,
2003, h. 116
20

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa


kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

2. QS. an-Nur: 32

  
 
         
 
  
 
  
   
 
  
 
  
   
 
  

          
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”

Dan hadis Nabi SAW menyebutkan :

‫ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ؛‬،‫ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ‬،‫ ﺛﻨﺎ ﻋﺴﻰ ﺑﻦ ﻣﻴﻤﻮﻥ‬.‫ ﺛﻨﺎ ﺍﺩﺍﻡ‬.‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﻻﺯﻫﺮ‬
.‫ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻻﷲ ﷺ "ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻣﻦ ﺳﻨﱵ ﻓﻤﻦ ﱂ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﺴﻨﱵ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﲏ‬:‫ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺫﺍﻃﻮﻝ ﻓﻠﻴﻨﻜﺢ ﻭﻣﻦ ﱂ ﳚﺪ ﻓﻌﻠﻴﻪ‬.‫ﻰ ﻣﻜﺎﺛﺮ ﺑﻜﻢ ﺍﻷﻣﻢ‬‫ ﻓﺈﻧ‬، ‫ﺟﻮﺍ‬‫ﻭﺗﺰﻭ‬
7
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ‬.‫ ﻓﺈ ﹼﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻟﻪ ﻭﹺﺟﺎﺀ‬.‫ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ‬
“Dari ‘Aisyah, Dia berkata Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu
sebagian dari sunahku, barang siapa yang tidak mau mengamalkan
sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku. Dan menikahlah
kalian semua, sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak
umat, dan barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuaan
atau persiapan (untuk menikah) maka menikahlah, dan barang siapa
yang belum mendapati dirinya (kemampuan atau kesiapan ) maka
hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan pemotong
hawa nafsu baginya.. (HR. Ibnu Majah)”

7
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Semarang:
Toha Putra, tt.), h, 592
21

Asal hukum melakukan pernikahan menurut pendapat sebagian besar

para fuqaha (para sarjanan Islam) adalah mubah, hal ini berdasarkan firman

Allah pada QS. an-Nisa:3

            

             

   


“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kebolehan menikah dengan

perempuan yang dicintai sebanyak dua, tiga dan empat. Jika tidak bisa adil

dengan menikahi 4 perempuan maka sebaiknya menikah dengan satu

perempuan saja.

Dalam kajian fikih para ulama’ telah mengklasifikasikan hukum

menikah menjadi beberapa bagian8, yaitu:

1. Pendapat pertama memandang bahwa menikah hukumnya wajib. Hal

ini berdasarkan pada dalil perintah mengawinkan baik dari al-Qur’an

(an-Nisa:3 dan an-Nur: 32) maupun hadis yang menunjukkan perintah

wajib dengan menggunakan dasar bahwa setiap sighat amar

menunjukkan wajib secara mutlak. Pendapat ini dipelopori oleh Daud

az-Zahiri, Ibnu Hazm, dan Imam Ahmad

8
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 132-134
22

2. Nikah dihukumi sunnah dengan dalil QS. an-Nisa: 3

            

 
"...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

Ayat ini menunjukkanbahwa nikah dan tassari (budak perempuan)

adalah sama yakni cara menghalalkan hubungan dengan perempuan,

keduanya adalah bukan suatu kewajiban. Oleh karena itu ayat ini

menjadi dasar bahwa hukum nikah adalah sunah.

3. Nikah dihukumi mubah (boleh) dengan alasan bahwa ayat 3 surat an-

Nisa, Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita

dengan jalan menikah atau dengan jalan tassari(budak perempuan).

Hal ini menunjukkan bahwa kedua jalan ini sama derajatnya. Menurut

Ijma’ tassari hukumnya mubah. Dus, menikah juga hukumnya mubah

(tidak sunnah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan mubah.

Hukum pernikahan merupakan hukum yang mengatur hubungan

antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut kebutuhan biologis antar

jenis dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat dari

pernikahan tesebut.9

9
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 9
23

Adapun para ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan

ini berdasarkan dari kondisi seseorang yang akan diperincikan sebagai

berikut:10

1. Wajib, jika seseorang meyakini bahwa dirinya akan terjerumus dalam

perzinahan seandainya tidak melakukan pernikahan. Adapun dalil yang

mewajibkan nikah adalah sebagai berikut:

           

           

      


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-
Nisa: 3)

2. Haram, jika seorang laki-laki meyakini bahwa akan mendzalimi dan

memberikan kemaḍarotan kepada istrinya. Syekh al-Usaimin

menjelaskan pernikahan yang haram adalah pernikahan yang

dilakukan di Dar al-Harb (negara yang memusuhi umat Islam), karena

dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-

anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan

darurat, maka dibolehkan.

10
Moch. Nurcholis, Pranata Perkawinan dalam Agama Islam dan Kristen: Sebuah Studi
Komparatif Integratif, Tafaqquh Volume 4, no 2 (Desember 2016): h. 38-41
24

3. Makruh, jika seorang laki-laki takut dirinya akan menzalimi seorang

wanita dan memberikan ke-maḍaratan kepadanya

4. Sunah, jika seorang laki-laki mampu menikah, yakni mampu memberi

nafkah istrinya, dan tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan

seumpama tidak menikah, dan jika menikah tidak akan menzalimi dan

memberikan ke-maḍorotan kepada istrinya.

5. Mubah (boleh), bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak

mempunyai harta, atau mempunyai harta tetapi tidak mempunyai

syahwat.

Perbedaan pandangan tentang hukum dasar pernikahan disebabkan

perbedaan pandangan tentang orientasi makna kalimat perintah dalam ayat al-

Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang pernikahan diatas.

C. Tujuan Pernikahan

Pernikahan merupakan naluri yang ada pada manusia. Naluri tersebut

diberikan Allah untuk manusia agar hidup saling berpasang-pasang dan

melestarikan keturunan manusia.Hubungan manusia yang begitu dekat

dengan manusia lain akan membantunya memperoleh kekuatan dalam

menghadapi tantangan. Rumah tangga kerap kali dilanda permasalahan yang

tidak menutup kemungkinan terjadi secara bertubi-tubi, yang mengakibatkan

hilangnya ketenangan ditengah rumah tangga. Sehingga harapan dan idaman


25

tidak selalu dapat diraih.11 Manusia berpasangan bukan hanya didorong oleh

naluri seksual saja melainkan dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih

ketenangan (sakinah).12Setiap rumah tangga baik suami maupun istri pasti

mendambakan ketenangan. Hal tersebut merupakan tujuan adanya suatu

pernikahan yang telah sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. ar-Rum:

21

         

          


“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.”

Sedangkan tujuan pernikahan menurut Faizah Ali Syibromalisi adalah

sebagai berikut:13

1. Fungsi Reproduksi

Berdasarkan QS. al-Baqarah ayat 223 yang artinya“istri-istri kamu

adalah tanah tempat kamu bercocok tanam...”. Menunjukkan fungsi nikah

untuk dapat memanen hasil yang baik, seorang petani tentu harus

menggarap ladangnya dengan baik, memilih benih yang baik dan memberi
11
Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan berpolitik (Tafsir al-Qur’an Tematik), Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012, h. 344
12
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku, Jakarta:
Lentera Hati, 2014, h. 81
13
Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan
Bahagia,disampaikan pada acara seminar Pendidikan Pra-Nikah: Membangun Keluarga Bahagia,
Mewujudkan Generasi Berkualitas, PSGA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17 September 2014
26

pupuk yang tepat, sehingga tanahnya jadi suburdan hasil pertaniannya

berlimpah. Pesan yang diperoleh dari ayat ini adalah seseorang itu harus

pandai-pandai memilih pasangan, kalau menginginkan keluarga yang baik,

harmonis dan memberi perasaan sakinah, mawaddah dan rahmah. Kalau

yang diharapkan dari petani adalah buah yang lezat, maka yang

diharapakan dari pasangan adalah anak yang sehat dan kuat, beriman dan

bertaqwa serta dapat menghadapi berbagai tantangan hidup.

2. Fungsi keagamaan

Menurut Quraish Shihab, tidak ada fondasi yang lebih kokoh untuk

kehidupan bersama melebihi nilai-nilai agama, karena itu nilai-nilai agama

harus menjadi landasan sekaligus menjadi pupuk yang menyuburkan hidup

berkeluarga. Hadis Nabi SAW: “siapa yang menikah, maka ia telah

menyempurnakan separuh imannya, maka hendaklah ia memelihara diri

pada setengah sisanya” (HR. At-Thabarani). Dalam pernikahan suami istri

harus saling menumbuh suburkan nilai-nilai agama dan saling berpesan

untuk tidak terjerumus dalam dosa. Bahkan kehidupan keluarga itu sendiri

harus menjadi perisai dari aneka kemungkaran. Melalui keluarga nilai-nilai

agama diwarisakan kepada anak cucunya.

3. Fungsi sosial budaya

Fungsi ini diharapakan dapat mengantar seluruh anggota keluarga

memelihara budaya bangsa dan memperkayanya. Ketahanan bangsa dan

kelestarian budaya, hanya dapat tercapai melalui ketahanan keluarga yang

antara lain diwujudkan dengan upaya semua anggota keluarganya untuk


27

menegakkan yang ma’ruf, mempertahankan nilai-nilai luhur masyarakat

serta kemampuan menyeleksi yang terbaik dari apa yang datang dari

masyarakat yang lain. Ajaran Islam secara tegas mendukung setiap hal

yang dinilai masyarakat sebagai suatu yang baik lagi sejalan dengan nilai-

nilai agama.Al-qur’an memerintahkan agar ada satu kelompok, bahkan ada

satu pribadi mengemban tugas menyebarluaskan ma’ruf dari keluarga

masing-masing, maka fungsi ini merupakan salah satu fungsi utama

keluarga.

4. Fungsi pembinaan lingkungan

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dari

lingkungannya. Lingkungan adalah satu kekuatan yang dapat menjadi

positif atau negatif yang mempengaruhi anggota keluarga. Keluargapun

dapat memberi pengaruhnya terhadap lingkungannya. Keluarga

diharapkan memiliki kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras

dan seimbang sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Keluarga

diharapkan dapat berpartisipasi dalam pembinaan lingkungan yang sehat

dan positif, sehingga lahir nilai dan norma-norma luhur yang sesuai

dengan nilai ajaran agama dan budaya masyarakat.

Sedangkan tujuan pernikahan menurut Mahmud Yunus adalah

mentaati perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam


28

masyarakat, dengan membina rumah tangga yang damai dan teratur

(1956:1)14

D. Rukun Nikah dan Syarat Sah Pernikahan

Islam menganggap pernikahanitu sah apabila telah memenuhi rukun

serta syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Khusus untuk makhluk

Allah yang mulia derajatnya yang bernama manusia maka syarat dengan nilai

dan norma kehidupan yang bermoral serta beradab. Orientasi kehidupan

berpasang-pasangnya dilakukan dengan melalui cara dan upacara tertentu

disamping ada keharusan-keharusan tertentu terutama yang dikenal dengan

sebutan rukun dan syarat sah nikah yang harus diketahui bersama.15Rukun

dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara

yang satu dengan yang lainnya.

Rukun adalah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum,

sedangkan syarat adalah unsur pelengkap yang harus ada dalam setiap

perbuatan hukum.16Dalam hal rukun dan syarat pernikahan para ulama’

memiliki perbedaan pendapat yang tidak bersifat substansial, perbedaan

tersebut disebabkan berbedanya pandangan dalam melihat fokus pernikahan.

14
Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Studi Tentang Pemutusan Perkawinan di
Kalangan Orang Islam Jawa, di terjemahkan oleh H. Zaini Ahmad Noeh, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1991, h. 30
15
Muhammad Amin suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, Tangerang: Lentera Hati, 2015, h. 35
16
Abdur Qodir, Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang dan Hukum
Islam, Depok: Azza Media, 2014, h. 48
29

Adapun rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagai

berikut:

1. Mempelai pria danwanita

Menurut A. Zuhdi Mudlor, syarat-syarat mempelai pria adalah

:Beragama Islam, laki-laki (bukan banci) jelas kelaminnya,

tertentu/jelas orangnya, tidak terkena halangan pernikahan, cakap

bertindak hukum untuk hidup berumah tangga,tidak sedang

mengerjakan haji atau umrah, belum mempunyai empat orang

isteri.17Ketika laki-laki ingin menikah dengan lebih dari satu

perempuan tentu memiliki persyaratan tertentu yang sesuai dengan

syariat Islam dan norma-narma yang berlaku dimasyarakat umum.

Menurut H.S.A. Al-Hamdani syarat-syarat mempelai wanita:

tidak ada halangan syara’yaitu: (tidak bersuami, bukan mahram,

tidak sedang dalam iddah), merdeka,atas kemauan sendiri, jelas

orangnya, tidak sedang berihram haji.18Selain dari syarat-syarat

mempelai pria dan wanita diatas ada lagi syarat yang mesti

dipenuhi seperti tidak melanggar larangan dalam pernikahan yang

sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis.

2. Wali

Keharusan adanya wali dalam pernikahan terdapat perbedaan

pendapat dikalangan ulama’ fikih. Perbedaan tersebut berkaitan

17
H. Ahmad Ainani, Itsbat Nikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Jurnal
Darussalam, Volume 10, No. 2, Juli-Desember 2010, h 113
18
H. Ahmad Ainani, Itsbat Nikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 114
30

dengak hak wali dalam pernikahan untuk menikahkan anaknya

yang sudah baligh dan barakal, dalam hal ini berhubungan dengan

seorang gadis atau janda. Jika seorang janda ia boleh menikahkan

dirinya sendiri tanpa wali. Sedangkan gadis tidak boleh menikah

kecuali dengan adanya wali.19Adapun syarat-syarat wali adalah

beragama Islam, baligh, laki-laki.20

3. Dua orang saksi

Untuk menilai sah atau tidaknya suatu pernikahan bergantung

pada adanya akad nikah yang oleh karenanya perlu diketahui oleh

orang lain sebagai pembuktian dalam hal ini adalah adanya dua

saksi, sebagai syarat nikah. Adapun syarat-syarat saksi dalam

pernikahan adalah sebagai berikut: Islam, laki-laki, baligh, berakal,

memahami perkataan kedua pengantin, adil, dan merdeka.21

4. Mahar

Mahar merupakan pemberian dari laki-laki untuk perempuan

dengan tujuan kesungguhan untuk menikahi perempuan tersebut.

Islam tidak menetapkan jumlahnya karena terdapat perbedaan

kemampuan laki-laki untuk memenuhinya. Karena itu Islam

menyerahkan masalah jumlah besar kecilnya maharberdasarkan

kemampuan yang dimiliki masing-masing orang atau mengikuti

tradisi yang berlaku di masyarakat asal tidak manyimpang dari

19
D. A . Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan (Fikih Munakahat Terkini),
Jogjakarta: Bening, 2011, h. 105
20
D. A . Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan (Fikih Munakahat Terkini), h. 106
21
D. A . Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan (Fikih Munakahat Terkini), h. 115-
119
31

norma-norma yang ditetapkan syariat agama.22 Pemberian mahar

ini wajib dilakukan laki-laki untuk perempuan sebagai pengikat

menjadi teman hidupnya kedepan. Pemberian mahar boleh berupa

uang dan harta benda. Kewajiban pemberian mahar ini berdasarkan

pada QS. an-Nisa’: 4

           

   


“berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pemberian mahar itu

wajib dan atas dasar kesepakatan diantara kedua belah pihak laki-

laki dan perempuan dengan penuh keikhlasan. Perlu ditegaskan

bahwa mahar itu merupakan hak mutlak perempuanyang akan

dinikahi, begitu juga penentuan besar kecilnya mahar bukan hak

wali.

5. Shighat ijab kabul

Adapun dari kelima rukun tersebut yang paling utama adalah

ijab kabul.Karena ijab dan kabul menunjukkan kerelaan hati kedua

belah pihak (suami dan istri) yang tersembunyi di dalam hati yang

harus diucapkan dan diungkapkan melalui ijab kabul. Perwujudan

22
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet 1, Yogyakarta:
Darussalam, 2004, h. 161-162
32

ijab kabul dalam suatu pernikahan dengan sebutan rukun yang

paling hakiki.23

Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagiannya pernikahan, jika

syarat-syarat pernikahan terpenuhi maka pernikahan menjadi sah. Dan yang

menimbulkan adanya segala kewajiban dan hak-hak pernikahan.

Sudah dijelaskan diatas mengenai rukun dan syarat pernikahan yang

harus dipenuhi, jika salah satu rukun dari rukun-rukun tersebut tidak

terpenuhi maka suatu perkawinan dinyatakan tidak sah. Jika yang tidak

terpenuhi itu adalah salah satu syarat dari syarat yang terdapat pada rukun itu,

maka nikahnya termasuk nikah yang fasid24dan dengan sendiri hukumnya

haram atau terlarang.25

E. Jenis-Jenis Pernikahan Pada Zaman Jahiliyah

Pernikahan merupakan suatu tradisi yang sejak dulu sudah

adasebelum Islam datang.AdapunJenis-jenis pernikahan pada zaman jahiliyah

antara lain:26

23
Muhammad Amin suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 41-42
24
Nikah fasid adalah nikah yang tidak sempurna pada syarat sah nikah. Menurut mazdhab
Syafi’iyah hukum nikah ini haram (Dr. Wahbah al-Zuhaili, 2001), sedangkan menurut mazdhab
hnafiyah akad nikah yang fasid masih mempunyai sedikit implikasi undang-undang sama seperti
yang terdapat pada nikah yang sahih yaitu anak yang dilahirkan tetap mendapat nasab bapaknya
(Dr. Wahbah al-Zuhaili, 2001). Melalui nikah fasid ini suami dan istri tidak mempunyai hak
seperti hak yang wajib diperoleh melalui nikah yang sah yaitu hak mahar, nafkah, musoharah,
iddah, dan pensabitan nasab. Lihat: Nabila Yusof, dkk., “Status Anak dalam Perkahwinan Sindiket
Menurut Perspektif Syarak dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah)
persekutuan 1984”, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), Proceeding of the International
Conference on Social Science Research, ICSSR 2013. 4-5 june 2013, (Penang, Malaysia:
worldConferences.net), h. 1435-1436
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, cet kedua, Jakarta: Kencana, 2007, h. 99-100
26
D. A . Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan (Fikih Munakahat Terkini), h. 16-17
33

1. Nikah Khudn, merupakan nikah yang dilakukan oleh orang laki-

laki dan perempuan secara sembunyi-sembunyi. Jika pernikahan

tersebut diketahui oleh orang lain, maka mereka akan dicela di

tengah-tengah masyarakat. Setelah Islam datang jenis pernikahan

ini dilarang dan diharamkan, hal ini sesuai dengan firman Allah :

        

         

        

      

        

         

           
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-
budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-
orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik
bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS. an-Nisa: 25)
34

2. Nikah badal, merupakan nikah yang dilakukkan dengan cara

seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lainnya “berikan istrimu

kepada saya, maka saya akan memberikan istriku kepadamu, serta

memberikan bonus lainnya”. Nikah dalam konteks ini adalah

dengan menukar istri yang satu dengan istri laki-laki lain.Setelah

Islam datang jenis pernikahan ini dilarang dan diharamkan.

3. Nikah istibdha’, merupakan nikah dengan cara seorang laki-laki

berkata kepada istrinya yang telah suci dari haid, “datangilah fulan

bin fulan, dan berhubungan badanlah dengannya”. Laki-laki

tersebut akan menjauhi istrinya dalam jangka waktu tertentu

sampai diketahui hamil atau tidaknya sang istri. Biasanya, ini

dilakukan untuk mendapatkan janin yang unggul.

4. Nikah raht-turunan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki

yang menggauli seorang perempuan. Sedangkan perempuan

tersebut sama sekali tidak menolak siapapun yang ingin

berhubungan dengannya. Ketika hamil maka ia akan menunjuk

salah seorang di atara laki-laki tersebut sebagai ayahnya, dan yang

ditunjuk tidak boleh menolak.

5. Nikah yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki dengan

menggauli seorang perempuan. Ketika perempuan tersebut hamil,

ia akan memanggil dukun untuk menentukan siapa ayah janin

yang dikandungnya. Jika sudah ditentukan maka anak tersebut

disematkan nama bapaknya.


35

Adapun jenis-jenis pernikahan yang diterima pasca islam datang

adalah sebagai berikut:27

1. Nikah syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada

seorang laki-laki dengan syarat pria tersebut menikahnya kepada

putrinya, saudara perempuannya, atau putri perwaliannya dengan

mahar atau tanpa mahar. Ulama’ sepakat tentang pengharaman

nikah shighar ini dengan sebab tidak adanya mahar dalam

perkawinan tersebut sedangkan mahar merupakan salah satu syarat

dalam pernikahan.28 Ketidah bolehannya pernikahan ini bukan

pada pernikahannya melainkan tidak adanya mahar.

2. Nikah Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk

jangka waktu tertentu, nikah ini yang disebut oleh sayyid sabiq

sebagai nikah sementara atau nikah terputus karena laki-lakinya

menikahi seorang perempuan hanya untuk sehari atau seminggu

atau sebulan. Jenis pernikahan ini dibolehkan pada zaman

Rasulullah ketika perang khaibar, fathul Mekkah, perang tabuk

dan haji wada’.29Namun setelah terjadinya Firqoh yang

menerapkan pernikahan mut’ah ini hingga sekarang adalah firqoh

syiah.

3. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria menyuruh/ membayar

(muhallal) seorang pria (muhallil) untuk menikahi wanita yang

27
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, Yogyakarta: Deepublish, 2015, h. 53-62
28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.108
29
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 102
36

pernah dinikahi dan ditalak sebanyak tiga kali agar dapat

dinikahinya setelah diceraikan oleh pria suruhannya tersebut.

Jumhur ulama mengenai jenis pernikahan ini merupakan

pernikahan yang rusak dan pernikahan yang dilaknat oleh Allah

SWT.

Setelah Islam datang, Islam menata rapi persoalan pernikahan yang

mengedepankan kemanfaatan bagi kedua belah pihak suami istri. Rasulullah

menghapus segala bentuk pernikahan di zaman jahiliyah itu yang sangat

merugikan salah satu pihak dan tidak memberikan pendidikan moral. Islam

memberikan beberapa aturan guna menjaga hubungan antar manusia yang

membawa nilai-nilai luhur. Dengan adanya pernikahan manusia dapat saling

mengasihi, menjalani hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan.30

Islam menerima bentuk pernikahan yang disyari’atkan oleh Rasulullah.

F. Legalitas Pernikahan dalam Agama Islam dan UU Negara

1. Pencatatan Nikah

Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan suami

istri yang secara sosial diakui dengan adanya pesta pernikahan untuk

pemberitahuan ke halayak umumbahwa telah resmi menikah. Sebelum

memutuskan untuk menikah yang harus diperhatikan adalah terkait segala hal

yang berkaitan dengan peraturan pernikahan baik dari segi agama maupun

30
https://ngawadul.wordpress.com/2011/03/22/macam-macam-perkawinan-zaman-
jahiliyah/ diakses pada tanggal 13 Mei 21017
37

perundang-undangan. Indonesia melegalkan dan mengakui adanya suatu

pernikahan yang sah berdasarkan undang-undang perkawinan No 1 tahun

1974 pasal 2:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agama dan kepercayaannya itu.31 Tiap-tiap perkawian dicatat
menurut peraturan undang-undang yang berlaku”32
Sedangkan dalam KHI pencatatan nikah tercantum dalam Bab II Pasal

5 dan 6 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat


Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan
tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo
Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2)
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.33
Dapat dipahami dari undang-undang di atas bahwa pernikahan dapat

diakui dan disahkan apabila sesuai dengan aturan hukum agama sebagai

sakralitas dalam perkawinan. Selain itu pelegalan pernikahan harus

dibuktikan dengan adanya pencatatan pernikahan tersebut dalam hal ini

adalah tercatat dalam KUA, dan agama Islam pun mengisyaratkan adanya

pencatatan segala hal yang berkaitan dengan akad termasuk dalam hal ini

adalah akad nikah, hal ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah: 282-283:

31
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1
32
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2
33
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab II, Pasal 5 dan 6
38

          

           

            

              

           

         

            

            

           

            

           


  

              

           

              

  

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
39

daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Baqarah: 282-283).
Dari ayat di atas diketahui bahwa perlu adanya pencatatan hutang

piutang karena memiliki kemanfaatan bagi kedua belah pihak sebagai bukti

atas adanya akad, begitu juga dalam hal pernikahan adanya kemanfaatan bagi

kedua belah pihak sebagai bukti atas adanya akad nikah. Oleh sebab itu antara

hutang piutang dan pernikahan memiliki kesamaan muamalah berupa adanya

akad dan saksi, maka perlu pencatatan supaya bukti telah terjadinya akad

pernikahan. Sehingga dengan adanya pencatatan nikah bisa menjadi penguat

disamping adanya saksi.

Ketika terjadi kasus pernikahan yang belum tercatat, maka dianjurkan

untuk melakukakan dan mengajukan permohonan iṡbat nikah ke Pengadilan


40

Agama agar dapat dikukuhkan dan dapat dibuatkan akta nikah sebagai bukti

otentik yang bersangkutan telah memiliki status pernikahan. Hal ini perlu

dilakukan guna mendapatkan perlindungan dari penyimpangan dan hak

sebagai warga negara Indonesia yang baik serta melengkapi administrasi

negara. Hal ini sesuai dengan undang-undang pada KHI pada pasal 7 ayat 2-4

yang berbunyi:

(2)Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah,


dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah
yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rabgka
penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya
keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d)
Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4) Yang berhak mengajukan
permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.34
Pentingnya suatu pencatatan nikah bertujuan untuk mendapatkan

perlindungan secara hukum dan legalitas pernikahan serta sebagai data

otentik suatu hubungan pernikahan secara administrasi kenegaraan. Sehingga

terhindar dari kesewenangan, penyimpangan dan kekerasan.

2. Batasan Usia

Penetapan kriteria sahnya nikah menurut negara juga didasarkan pada

usia calon pengantin, hal ini perlu dilakukan agar dikemudian hari tidak

munculpermasalahan yang bisa mengakibatkan perceraian yang disebabkan

34
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab II, pasal 7 ayat 2-4
41

adanya ketidakharmonisan berkaitan dengan kedewasaan serta kematangan

mental. Pembatasan usia calon pengantin ini perlu diperhatikan supaya tidak

merugikan salah satu pihak calon pengantin. Maka pemerintah membuat

batasan usia calon pengantin berdasarkan Undang-Undang perkawinan pasal

7 ayat 1:

“perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah menncapai 19


(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun”.35
Terlihat jelas dari Undang-Undang diatas mengenai batas usia calon

pengantin. Jika calon pengantin dibawah usia pernikahan lebih dominan

dalam situasi tertentumemiliki dampak negatif yang berujung pada perceraian

yang disebabkan kurang matangnya mental psikologi dan kurang siapnya

menghadapi problem rumah tangga. Peran pencatatan pernikahan adalah

untuk melindungi hak-hak yang ditimbulkan oleh suatu perkawinan.36

Sehingga dalam pernikahan terpenuhi semua hak-hak dari suami dan istri

secara baik dan menciptakan rasa aman bagi anggota keluarga.

3. Perjanjian pra-nikah

Sebelum kedua calon pengantin melakukan akad nikah sebaiknya

melakukan perjanjian sesuai dengan aturan yang berlaku pada uu perkawinan

maupun pada KHI. Perjanjian pernikahan merupakan suatu perjanjian yang

dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua pihak calon

35
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 1
36
Masruhan, Pembaharuan Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia Perspektif
Maqasid al-Shari’ahh, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 november, 2013, h. 234
42

yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan.37. Hal

tersebut berkiatan dengan nafkah, harta suami ada hak istri dan harta istri

hanya milik istri serta masa pendidikan anak. Seperti yang tersurat dalam

Undang-Undang Perkawinan, pada Bab V pada 29 ayat 1, 2, 3, dan 4 sebagai

berikut:

1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak


atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut. 2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 3). Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4). Selama
perkawinan berlangsung tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga
Sedangakan dalam KHI mengenai perjanjian perkawinan tercantum

pada Bab VII pasal 45-52 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 45 Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian


perkawinan dalam bentuk : 1. Taklik talak dan 2. Perjanjian lain yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 (1) Isi taklik talak
tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan
yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian,
tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh
jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali. Pasal 47 (1) Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam
ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan Islam. (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1)
dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan

37
Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar, “Perjanjian Pranikah :Solusi Bagi Wanita” Jurnal
Studi Gender & Anak, Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2008
43

masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi


dan harta bersama atau harta syarikat. Pasal 48 (1) Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. (2)
Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan
tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta
bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga. Pasal 49 (1) Perjanjian percampuran
harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa
masingmasing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-
masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan
tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran
harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh
selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 50 (1) Perjanjian
perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak
ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta
dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat
perkawinan dilangsungkan (3) sejak pendaftaran tersebut,
pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. (4) Apaila
dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan
tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian
perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang
telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri
untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai
alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Pasal 52 Pada saat
dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat,
boleh doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan
biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.38
Hal ini perlu dilakukan guna untuk menjamin hak-hak perempuan dan

perlindungan dari terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan.

Tidak menutup kemungkinan dikemudian hari terdapat konflik yang

38
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VII, Pasal 45-52
44

mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak baik yang

disebabkan permasalah harta gono-gini, nafkah dan lain sebagainya.


BAB III
TUNTUNAN PRA-NIKAH DALAM AL-QUR’AN BAGI
ORANG TUA DAN PASANGAN

Untuk membangun rumah tangga tidak cukup dengan modal perasaan dan

materi. Maka dari itu Islam memberikan tuntunan kepada umatnya untuk

membangun rumah tangga yang sakinah.1 Islam telah menganjurkan umatnya

untuk memilih pasangan yang sesuai dengan syariat Islam. Sehingga tercapainya

tujuan pernikahan dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Untuk mewujudkan

itu semua maka perlu adanya tuntunan dan pedoman bagi pasangan maupun orang

tua sebelum menjalani pernikahan tesebut.

Tuntunan orang tua dan pasangan dibagi dalam 4 sub tema yaitu, azaz

pasangan ideal, karakter pasangan ideal, keleluasaan memilih pasangan, dan

meminang sebelum pernikahan. Keempat hal tersebut merupakan azaz yang harus

diperhatikan menjelang pernikahan. Jika hal ini diabaikan akan berdampak kepada

kehidupan keluarga. Pembangun dan pembinaan keluarga erat kaitannya dengan

kebahagian dunia dan akhirat serta kwalitas anak yang akan dilahirkan dari

keluarga tersebut.2

1
Ahmad Atabik, Dari Konseling Perkawinan Menuju Keluarga “Samara”, Vol. G, No1,
Juni 20015, h. 107
2
Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, h.
4

45
46

A. Azas Pasangan Ideal

Terdapat tigal hal yang merupakan unsur penting yang harus dimiliki

oleh pasangan dalam menjalani pernikahan. Berikut adalah ketiga unsur

tersebut:

1. Kesamaan Iman

Fondasi pertama dalam pernikahan adalah pemilihan pasangan

yang harus kokoh agamanya seperti halnya sebuah bangunan yang tidak

kokoh fondasinya akan roboh dengan sedikit guncangan. Kekokohan

fondasi rumah tangga terletak pada besarnya keimanan seseorang

terhadap Tuhan dan agamanya.3 Agama Islam memberikan tuntunan bagi

manusia baik pria maupun wanita supaya menikah dengan orang yang

berpegang teguh kepada agama, terutama pemilihan calon pengantin

wanita. Sebagaimana firman Allah

           

           

            

        


“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke

3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Jilid 1,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 576
47

neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.


dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-baqarah :221)

Pernikahan adalah pintu gerbang untuk menjalani kehidupan,

sebuah proses yang menentukan kebahagiaan setiap manusia. Bagi umat

Islam pernikahan memiliki makna yang lebih jauh karena pernikahan

merupakan sarana membina keluarga ideal, yang di dalamnya

dilestarikan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, dasar persamaan keimanan

menjadi azaz yang sangat penting. Kriteria keimanan melebihi kriteria

lain, termasuk kecantikan dan keelokan rupa, karena kenikmatan yang

dirasakan dari keelokan rupa sifatnya sementara, sedangkan keimanan ia

akan tetap memberikan manfaat bagi kedua pasangan yang menjalani

pernikahan. Demikian tutur al-Sya’rawi.4 Tambahnya, terutama bagi

sang ibu, keimanannya sangat berpengaruh, bagaimanapun anak yang

lahir akan selalu bersama dengannya sejak dilahirkan. Maka tentu yang

akan menjadikannya tumbuh menjadi pribadi yang terpuji adalah

keimanan yang baik dari ibunya.5 Ibu merupakan seorang pendidik yang

baik untuk melahirkan keturunan yang berkualitas serta bisa membentuk

aqidah dan akhlak yang baik.

Begitu pula penafsiran ‘Ali aṣ-Ṣābūnī mengenai ayat di atas

menjelaskan diharamkannya menikahi perempuan musyrik kecuali

4
Al-Sya‘rawî, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 2, h. 958.
5
Al-Sya‘rawî, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 2, h. 962.
48

dengan ahli kitab.6 Perempuan ahli kitab lebih paham tentang agama

sehingga tidak dikhawatirkan menimbulkan bahaya untuk keluarga serta

anak keturunannya sehingga perempuan ahli kitab tidak akan murtad dari

pengetahuannya tersebut. Namun lebih aman dan lebih baik laki-laki

muslim menikahi perempuan budak yang muslimah dari pada perempuan

musyrik. Diharamkan Perempuan muslimah menikah dengan laki-laki

musyrik.7 Karena ditakutkan akan memaksa dan mempengaruhi

perempuan tersebut pada kemurtadan, sehingga mengakibatkan

masuknya perempuan muslimah dan anak-anaknya ke neraka. Begitu

besar pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh pernikahan dengan orang

yang tidak seiman. Seorang perempuan (ibu) akan terhambat menjadikan

anak-anaknya soleh dan solihah dikarenakan sang ayah memaksakan

untuk mengikuti ajaran agama ayahnya. Hal ini terjadi karena laki-laki

musyrik tersebut tidak paham dan tidak mempercayai segala hal yang

berkaitan dengan Islam. Sedangkan laki-laki muslim boleh menikah

dengan perempuan musyrik, karena laki-laki sebagai kepala keluarga bisa

membawa perempuan musyrik menjadi muslimah.

Hamka menambahkan laki-laki dan perempuan dilarang menikah

dengan orang yang masih musyrik sekalipun orang tersebut cantik dan

ganteng rupanya, kaya dan dari keluarga yang terpandang karena hal ini

akan membahayakan keutuhan rumah tangganya hingga memiliki

keturunan. Ketika sudah memiliki anak, anaknya tidak akan berkembang


6
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir-Tafsir Pilihan, jilid 1, Penerjemah: KH. Yasin, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2011, h. 287
7
M. Ali ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jilid 1, Depok: Keira, 2016, h. 293
49

baik karena dibawah asuhan orang tua yang berbeda keimanan.8

Sehingga ayat ini mengisyaratkan untuk menikahi orang yang sekufu

dalam keimanan, dengan adannya kesamaan keimanan maka hidup akan

lebih tentram dan harmonis hingga akhir hayat yang didambakan setiap

pasangan.

Quraish shihab menafsirkan ayat di atas diperuntukkan untuk

calon pengantin dan wali. Ayat diatas menujukkan larangan seorang

muslim menikahi wanita musyrik sampai wanita tersebut benar-benar

beriman kepada Allah SWT. Karena wanita musyrik ditakutkan akan

memberikan dampak buruk baik bagi suami maupun anaknya. Terlebih

dampak untuk pendidikan anak-anaknya, karena yang berperan untuk

perkembangan anak terkait keyakinan, etika, karakter, kecerdasan hingga

kemandirian anak adalah sang ibu. Terutama masalah keyakinan

merupakan fondasi awal untuk memberikan arahan berhubungan dengan

kehidupan sehari-hari. Seorang muslim lebih baik menikahi budak wanita

yang muslimah dari pada menikahi wanita musyrik, sekalipun wanita

musyrik tersebut lebih cantik dan lebih menarik serta berstatus sosial

yang lebih tinggi. Karena budak wanita muslimah memiliki keyakinan

yang diharapkan bisa memberikan hal yang baik untuk ketentraman

keluarga, Rasulullah bersabda:

8
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 2, h. 195
50

،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻴﺪ‬‫ﺳﻌ‬ ‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﺪ‬‫ﺳﻌ‬ ‫ﺛﹶﻨﹺﻲ‬‫ﺣﺪ‬ :‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﻳﺤ‬ ‫ﺎ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺣﺪ‬ ،‫ﺩ‬‫ﺴﺪ‬  ‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺣﺪ‬
،‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺟ‬ ،‫ﺎ‬‫ﺒﹺﻬ‬‫ﺴ‬‫ﻟﺤ‬‫ﻭ‬ ،‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻟﻤ‬ :" :‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺮﺓﹶ ﺭ‬ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
9
" ‫ﻙ‬ ‫ﺍ‬‫ﻳﺪ‬ ‫ﺑﺖ‬‫ﺮﹺ‬‫ﻳﻦﹺ ﺗ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﺮ ﹺﺑﺬﹶﺍﺕ‬ ‫ ﻓﹶﺎ ﹾﻇﻔﹶ‬،‫ﺎ‬‫ﻳﻨﹺﻬ‬‫ﻟﺪ‬‫ﻭ‬
“telah menveritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Yahya dari Ubaidillah ia berkatata: ia telah menceritakan
kepadaku sa’id bin abu sa’id dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. Dari
Nabi saw, beliau bersabda “Wanita umumnya dinikahi karena empat
hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, maka hendaklah
kamu pilih wanita yang bagus agamanya. Niscaya kalian akan
beruntung” (HR. Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan

pemilihan pasangan wanita. Tidak dipungkiri kebanyakan laki-laki

memandang calon wanitanya dari sisi kecantikan, dimana kecantikan

merupakan fitrah manusia yang diberikan oleh Allah SWT untuk setiap

wanita. Tidak mengherankan ketika sudah mengarungi kehidupan rumah

tangga banyak laki-laki tertipu akan kecantikan seorang wanita dan

berakhir pada runtuhnya rumah tangga dengan perceraian. Harta dan

nasab (keturunan) kerap kali menimbulkan kesombongan, dan

kesombongan tersebut bisa jadi mengantarkan pasangan kepada hal yang

menghancurkan rumah tangga. Seperti halnya dengan berlimpahnya harta

manusia menjadi berfoya-foya, sehingga ia lupa akan akhlak bagaimana

ia harus menggunakan harta yang dimiliki. Wanita yang memiliki

pengetahuan dan pemahaman agamanya bagus sudah pasti memiliki

akhlak yang mulia. Dengan pengetahuan dan pemahaman agama wanita

9
Abu ‘Abdullah Ibn Ismail al-Bukhari, Ṣhahih Bukhari, Kitab Nikah , Hadis No. 4700,
Beirut : Dar al-Fikr, tt, h. 72
51

tersebut senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan menjaga prilaku

dihadapan hal layak umum.10

Penggalan ayat selanjutnya diperuntukan untuk wali, wali

dilarang untuk menikahkan anak putrinya dengan laki-laki musyrik.

Quraish Shihab dalam tafsirnya menekankan 2 hal yang harus di garis

bawahi terkait dalam peran wali yaitu:11 pertama, peran wali sebagai

orang yang meminta perizinan dalam penentuan calon pasangan dan

sebagai pemberi restu dalam pernikahan putrinya. Kedua, pelarangan

wali untuk menikahkan putrinya dengan orang musyrik. Pelarangan ini

bertujuan untuk menjaga keharmonisan keluarga minimal antara suami

istri dan anak-anaknya.12 Islam memandang bahwa aqidah merupakan

nilai tertinggi untuk kehidupan harus dipegang teguh hingga anak cucu.

Ketika ada perbedaaan aqidah didalam sebuah keluarga dan berbeda

penerapan nilai-nilainya maka akan mempengaruhi keharmonisan

keluarga.

Begitu pentingnya keimanan untuk menuju pernikahan sampai-

sampai laki-laki yang memiliki keraguan menikahi perempuan muslim

yang merdeka lantaran takut tidak bisa mencukupi dan memenuhi

kebutuhan sehari harinya, maka laki-laki tersebut boleh menikahi budak

perempuan yang beriman. Seperti dalam firman Allah:

10
Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, h.
5
11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 579
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 580
52

         

          

        

        

         

             

  


dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara
kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menjelaskan boleh menikahi budak wanita yang

beriman ketika laki-laki takut menikahi perempuan yang merdeka,

lantaran tidak mampu untuk memenuhi mahar dan kebutuhan sehari-

harinya. Persoalan beriman diperbolehnkan hanya cukup mengetahui

zhahirnya saja, sedangkan segala sesuatu yang rahasia adalah urusan


53

Allah SWT.13 Keimana seorang budak perempuan bisa jadi lebih baik

dari pada perempuan merdeka. Sekali lagi keimanan merupakan hal yang

pokok dalam menentukan masa depan apalagi dalam persoalan

pernikahan yang akan melahirkan keturunan yang beriman pula.

Quraish shihab menambahkan mengenai syarat izin menikahi

budak yaitu tidak memiliki kecukupan biaya untuk mahar seorang

perempuan merdeka dan kebutuhan sehari-hari, khawatir terjerumus

dalam perbuatan zina, budak yang dinikahi haruslah seorang yang

merdeka.14 Bisa dipahami untuk menikahi budak tentu ada aturan dan

syaratnya, adanya syarat dan aturan ini menunjukan bahwa manusia

merupakan mahluk sosial dan beradab. Jangan sampai pernikahan dengan

budak perempuan ini mendatangkan kerugian dan menyakiti.

Sekian banyak hal yang sudah dipaparkan oleh para mufasir di

atas terkait pentingnya kesamaan iman dalam memilih pasangan penulis

sangat setuju karena sebagian besar manusia menentukan pasangan

dimulai dari harta, kedudukan, kecantikan dan agama. Ketika tolak

ukurnya adalah harta tidak mustalih akan segera lenyap dan tidak

bertahan lama. Ketika kedudukan yang dijadikan acuan itu juga tidak

akan menjamin sebuah rumah tangga bertahan, karena sampai kapan

kedudukan itu bertahan seiring berputarnya roda kehidupan, terkadang di

atas terkadang di bawah. Ketika kecantikan atau kegantengan yang

dijadikan acuan, itupun tidak akan bertahan, karena seiring

13
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir-Tafsir Pilihan, Jilid 1, h. 625
14
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2, h. 490
54

perkembangannya kecantikan dan kegantengan akan memudar dengan

bertambahnya usia semakin menua. Sedangkan ketika agama yang

dijadikan tolak ukur, maka seorang suami tidak akan berbuat sewenang-

wenang terhadap istrinya dan sebaliknya, seorang suami akan

memperhatikan hak istri dan sebaliknya, saling berbuat baik agar

terhindar dari perselingkuhan dan kedurhakaan diantara keduanya,

sehingga suami bisa menaungi dan melindungi istri dengan sebaik

mungkin. Adanya kesamaan iman hati akan merasa damai dan tentram

karena suami dan istri memiliki pengetahuan yang cukup untuk dijadikan

aturan dan pedoman unuk hidup bersama.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa hendaklah hati-hati dalam

memilih pasangan yang akan menjadi teman hidup yang melahirkan

keturunan yang soleh dan solehah. Sehingga dianjurkan untuk memilih

pasangan yang memiliki keimanan yang sama agar terwujud dari cita-cita

melahirkan keturunan yang berkualitas tinggi baik jasmani maupun

rohani.

2. Berpasangan (laki-laki dengan perempuan)

Salah satu azaz yang penting adalah pernikahan dilakukan oleh

dua orang yang berpasangan. Dalam Islam berpasangan merupakan

penggabungan dua jenis yang berbeda laki-laki dan perempuan. Sehingga

pernikahan yang dilakukan sesama jenis tidak disebut berpasangan ia

keluar dari fitrah manusia, karena fitrah manusia adalah berpasangan.


55

Maka Islam mensyariatkan dijalinnya hubungan dua jenis tersebut

melalui pernikahaN. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah SWT dalam

QS. Yaasin: 36

         

   


“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yaasin: 36)

Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa keberpasangan ada pada setiap

sesuatu yang wujud, ketenangan diperoleh karena adanya keberpasangan.

Keberpasangan menjadikan jenis dari sesuatu (dalam hal ini manusia)

menjadi berkembang dan langgeng.15 Jika melihat salah satu tujuan

pernikahan adalah untuk melahirkan keturunan dan melanggengkan

keberadaan manusia, maka benar bahwa keberpasangan adalah unsur

penting yang harus diperhatikan.

Al-Ṭaba’ṭaba’i menambahkan bahwa keberpasangan dalam

pernikahan adalah dua pasangan yang masing-masing berbeda (laki-laki

dan perempuan) yang keduanya terhimpun dan tersusun dan menyatu

sehingga melahirkan pihak ketiga/anak.16 Pihak ketiga ini diharapkan

bisa mengembangkan diri dengan potensi yang dimiliki dan menjadi

pihak yang berkualitas tinggi dan dapat mengelola apa yang ada dibumi

ini.

15
Muhammad Mutawalî al-Sya‘rawî, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 4 (T.tp.: Mutâbi‘ Akhbâr al-
yaum, 1991), h. 12655.
16
Muhammad Husain al-Ṭaba’ṭaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz 20 (Beirut:
Muassasah al-A‘lami li al-Mathbu‘at, 1997), h. 88-89.
56

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menambahkan bahwa menusia terdiri atas unsur

berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan yang masing-masing

memiliki daya tarik atau keistimewaan tersendiri untuk bersatu.17 Dalam

kebersatuannya ini dalah pernikahan, dimana pernikahan hanya

dilakukan oleh manusia dan inilah yang menjadi salah satu keistimewaan

dan kemulyaan manusia dibanding dengan mahluk-mahluk lain.

Hamka menjelaskan bahwa semua hal yang ada dialam ini

berpasangan seperti atom, tumbuhan, hewan dan manusia yang masing-

masing memiliki musim dan waktu untuk kawin. Allah menciptakan

manusia berupa laki-laki dan perempuan yang ditakdirkan memiliki sifat

aktif dan pasif, dan keduanya saling membutuhkan, saling merindukan

untuk bercinta, agar mepertahankan kehidupannya dan menciptakan

manusia.18 Setelah manusia baru terlahir hingga tersebar keseluruh

penjuru dunia diharapkan bisa menjadi mahluk yang berkualitas yang

bisa mengelola alam raya ini. Sehingga Allah melimpahkan semua

tanggung jawab pengelolaan alam ini kepada manusia. Dapat dipahami

bahwa dengan adanya unsur keberpasangan ini bertujuan untuk

melestarikan keturunan manusia yang menjadi cikal bakal pengelola

alam raya.

Quraish Shihab mentafsirkan ayat ini dengan memperhatikan

kata azwaj . sebagian ulama’ penggunakan kata azwaj terbatas pada

mahluk hidup saja. Sedangkan para pakar bahasa, penggunaan kata

17
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir-Tafsir Pilihan, jilid 4, h. 387
18
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 23, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 37
57

tesebut untuk menujukkan dua hal yang saling berdampingan, baik jantan

mupun betina, binatang (binatang berakal, yakni manusia’) dan dua hal

yang berpasangan.19 Para pakar bahasa juga menggunakan kata azwajan

tidak tebatas mahluk hidup saja, namun berlaku juga untuk benda mati

seperti sepasang sepatu dan sebagainya. Quraish shihab pun sependapat

dengan para pakar bahasa dan menurut beliau di dalam tafsirnya

menjelaskan penggunaan kata tersebut dalam al-qur’an dengan arti yang

umum.

Keberpasangan ini harus terdiri dari dua unsur yang berbeda

meliputi jenis kelamin yang berbeda. Sehingga dengan adanya jenis

kelamin yang berbeda besar kemungkinan akan berjalan sesuai dengan

fungsinya masing-masing. Perempuan berfungsi sebagai pemangku

keturunan dan penerus generasi, sedangkan laki-laki berfungsi sebagai

pangkal keturunan.20 Proses melahirkan keturunan baru akan berjalan

dengan baik ketika unsur kelaminnya yang berbeda. Walaupun berbeda

sifatnya saling melengkapi seperti halnya alat reproduksi perempuan dan

laki-laki berbeda dan memiliki fungsi yang berdeda, keduanya saling

membutuhkann untuk melengkapi dan memenuhi fungsi biologisnya.

Sehingga unsur ini menjadi satu kesatuan dalam berpasangan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan

berpasangan, sehingga manusia yang akan menikah haruslah tahu bahwa

pasangannya itu berbeda jenis kelamin dengannya agar tercapailah salah

19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 11, h. 150
20
Abdullah Qadi Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, h. 51
58

satu tujuan menikah untuk menyalurkan dan memenuhi kebutuhan seks

biologisnya sesuai dengan syariat dan norma-norma yang berlaku. Uraian

di atas menjelaskan bahwa Allah melarang adanya penyimpangan

seksual seperti adanya kelompok LGBT yang berkembang di kalangan

muda-mudi saat ini, kelompok ini melakukan pernikahan sesama jenis

kelamin atas dasar Hak Asi Manusia (HAM). Islam merupakan agama

yang beradab yang selalu memberikan perhatian secara maksimal

terutama perihal yang menyimpang seperti gay dan lesbian. Perbuatan

homosesksual tidak pernah dibenarkan dalam keadaan apapun. Seperti

yang di jelaskan dalam QS. an-Naml: 54-55

        

           


“dan (ingatlah kisah) Luth, ketika Dia berkata kepada kaumnya:
"Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu
memperlihatkan(nya)?" "Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk
(memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu
adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)

Ayat diatas Dari ayat di atas Nabi Muhammad Saw diingatkan

dengan perilaku umat Nabi Luth bahwa apakah kamu tidak berakal atau

tidak malu mengerjakan perbuatan fahisyah, yaitu sikap yang sangat

buruk dalam pandangan akal dan adat kebiasaan manusia. Kamu

menyaksikan manusia bahkan hewan melampiaskan hawa nafsu kepada

lawan jenisnya, laki-laki dengan perempuan dan jantan dengan betina.


59

Dampak yang dihasilkan dari perbuatan ini adalah penyakit yang belum

ditemukan obatnya.21 Islam mengatur hubungan menyaluran hasrat seks

manusia dalam ikatan berupa pernikahan. Melalui pernikahan fitrah

manusia menjadi terjaga dengan baik dan akan melestarikan keturunan

serta saling tolong menolong. Dengan adanya penyimpangan akan

mengakibatkan rusaknya fitrah manusia dalam hubungan seks dan

menyebabkan rusaknya kelestarian keturunan manusia.

3. Tidak Mahram

Dalam memilih pasangan dianjurkan agar memilih wanita dan

laki-laki yang tidak ada kaitannya dengan nasab dan keluarga. Jika ada

kaitannya dengan keluarga dianjurkan yang jauh, karena semakin jauh

hubungan kekeluargaan semakin bagus untuk menjalin hubungan

kekeluargaan dalam pernikahan. Sehingga bisa memperluas hubungan

antar masyarakat yang majemuk ini. Hal ini dilakukan dengan tujuan

untuk menghindari kecacatan fisik maupun mental pada keturunan

menjamin keselamatan jasmani dari penyakit menular dan cacat bawaan

akibat keturunan.22 Selain itu pernikahan merupakan ajang

21
M. Quraish Shihab, Tafsil al-Misbah, h. 241. Lhat juga Hasan Zaini, “LBGT dalam
Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Syari’ah, Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016, h. 70
22
Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, h.
6., Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil perkawinan endogami{perkawinan antar kerabat
atau perkawinan yang dilakukan antar sepupu (yang masih memiliki satu keturunan) baik dari
pihak ayah sesaudara (patrilineal) atau dari ibu sesaudara(matrilineal)} memlili resiko
dihasilkannya keturunan yang mengalami kecacatan fisik yang disebabkan oleh faktor keturunan
dan bawaan dari orang tua. Meskipun begitu dalam contoh kasus yang ditemui, tidak semua
perkawinan endogami tersebut menghasilkan keturunan yang lemah mental atau cacat fisik,
bahkan prosentasinya relatif kecil dibandingkan perkawinan endogami yang menghasilkan
keturunan norma, lihat: Duwi Nuryani, dkk., Latar Belakang dan Dampak Perkawinan Endogemi
60

mempersatukan dan menghubungkan dua keluarga atau lebih yang

berjauhan menjadi dekat, sehingga diantara keluarga tersebut bisa saling

tolong menolong dalam berbagai hal. Untuk tujuan di atas maka Allah

melarang menikah dengan orang yang masih ada hubungan mahram,

seperti dalam firman Allah QS. an-Nisa’ : 22-23

            

        

       


  

      

         

         

            

     


“dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak

di Desa Sidigede Kabupaten Jepara, Jurnal


https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ucej/article/view/1011/1038 diakses 10 Oktober 2017
61

kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua


perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. an-Nisa: 22-23)

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menjelaskan diharamkan untuk menikahi mantan

istri ayah, karena mantan istri ayah ini kedudukannya sama dengan ibu

kandung.23 Pelarangan ini juga ditinjau dari etika kepantasan sehingga

pada zaman jahiliyah dulupun hal ini dianggap perilaku yang buruk dan

keji. Sehingga Allah mengharamkan pernikahan yang seperti ini.

Diharamkan pula menikah dengan orang-orang yang masih ada

hubungan kerabat baik kerabat sebab pernikahan maupun sepersusuan,

pelarangan ini karena Allah memposisikan persoalan sepersusuan sama

halnya dengan nasab.24 Sehingga posisi seorang ibu yang menyusui sama

dengan ibu kandung dan saudara sepersusuan sama dengan saudara

kandung yang haram untuk dinikahi.

Qurais shihab menitik beratkan pada kata ‫ ﻣﺎﻧﻜﺢ‬yang berarti apa

yang dinikahi, penggunaan kata tersebut bermaksud melarang menikahi

mantan istri ayah. Menikahi mantan istri bapaknya merupakan hal yang

terjadi dimasa lampau dan sejak ayat ini turun hingga sekarang sudah

tidak diperbolehkan. Karena hal itu merupakan adat buruk yang dikecam

oleh masyarakat Jahiliyah.25 Secara etikapun kita tidak sepantasnya

menikahi perempuan yang pernah berstatus ibu walaupun itu ibu tiri,

23
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī , Tafsir-Tafsir Pilihan, jilid 1, h. 622
24
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir-Tafsir Pilihan, Jilid 1, h. 622
25
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 2, h. 469
62

karna namanya ibu itu haram untuk dinikahi. Kebiasaan buruk ini

merupakan suatu hal yang dibenci pada waktu jahiliah sampai-sampai

masyarakat pada waktu itu menjadi sangat amarah.

Ayat selanjutnya menjelaskan uraian siapa saja yang haram

dinikahi, pelarangan ini dikarenakan faktor ekstern dengan adanya

penyebutan sepersusuan. Persamaan keharaman ini berdasarkan semua

wanita yang pernah menyusui seorang anak dengan penyusuan yang

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul berkedudukan

sama dengan ibu kandung.26 Selain itu haramnya seseorang untuk

dinikah karena faktor pernikahan yang menimbulkan hubungan

kekerabatan. Seperti penjelasan Quraish Shibab yang menegaskan “Allah

mengharamkan pernikahan dengan siapa yang masih memiliki hubungan

kekeluargaan yang dekat kepadanya”.27 Hal ini bertujuan untuk

membentuk serta melahirkan keturunan yang berkualitas, terhindar dari

cacat dan kekurangan. Untuk terhindar terjadinya kecacatan maka

dianjurkan memilih pasangan yang tidak ada hubungan kekerabatan

dekat. Bebeberapa ulama’ memberikan berbagai penjelasan ketika

menikah dengan orang yang memiliki hubungan keluarga yang dekat

akan berakibat pada keturunan yang lemah jasmani dan rohaninya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin jauh hubungan

kekerabatan samakin bagus dan semakin berkualitas dalam melahirkan

keturunan yang dapat terhindar dari kecacatan biologis maupun mental.

26
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 2, h. 470
27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 2, h. 472
63

Sehingga melahirkan generasi berkualitas yang bisa membangun serta

memberi terobosan dan ide-ide cemerlang sebagai tuntutan menghadapi

zaman. Sehingga generasi penerus bisa saling membantu dan tolong

menolong dalam berbagai masalah.

B. Karakter Pasangan Ideal

Terdapat tigal hal penting yang harus diperhatikan calon oleh

pasangan sebelum masuk kepernihakan. Ketiga hal tersebut merupakan sikap

dan sifat masing-masing calon yang diharapkan bisa berjalan secara

harmonis, berikut adalah ketiga unsur tersebut:

1. Berkepribadian Baik

Berkepribadian baik juga merupakan unsur penting dalam diri

pasangan hidup dalam sebuah pernikahan. Hal tersebut harus ada dalam

diri tiap pasangan, sehingga keluarga yang akan dibina benar-benar

membawa rahmat dan berkah pada kedua belah pihak. Berdasarkan QS.

al-Nisa’: 34

          


 
 
 
  
     
 
 
 
 
   
 
 
    
 
     
   
 
 

 
  
    
 
  
 
   
 
   
   
     
      
 
64

            

 

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

Menurut al-Ṭaba’ṭaba’i, kata ṣālihāt berarti pribadi yang ia hanya

menerima hal yang baik, qānitāt berarti pribadi yang taat, sebagai pribadi

yang salih maka sudah semestinya ia taat, tunduk dan selalu menjaga hak

pasangannya, sedangkan ḥāfiẓātun lilgaibi bimā ḥāfiẓa Allah berarti

pribadi yang menjaga dan mentaati hak-hak yang sudah ditentukan

Allah.28 Pengertian tersebut dapat terlengkapi dari pengertian yang

diberikan al-Sya’rawi, menurutnya kata salihat juga menunjukkan arti

pribadi yang totalitas berada di jalan yang telah ditentukan untuknya,

qanitat berarti juga pribadi yang taat kepada Allah secara konsisten

(istiqamah), sedangkan ḥāfiẓātun lilgaibi bimā ḥāfiẓa Allah menunjukkan

harga diri seseorang yang bersih dari perbuatan buruk, sebagai

perempuan maka ia harus bisa menjaga harga dirinya ketika suaminya

sedang bepergian.29 Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

28
Al-Ṭaba’ṭaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz 4, h. 352.
29
Al-Sya‘rawi, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 2, h. 2195.
65

kepribadian yang baik adalah seseorang yang dalam dirinya terdapat tiga

sifat sekaligus, yakni melakukan kebaikan, totalitas dalam melakukan

kebaikan dan konsisten dalam melakukan kebaikannya dalam keadaan

apapun. Dengan kata lain berkeperibadian yang baik adalah pribadi yang

melakukan kebaikan secara totalitas dan konsisten.

Penyebutan kepribadian baik dalam ayat tersebut menggunakan

bentuk mu’annats/perempuan, tetapi penulis memahaminya sebagai sifat

yang umum bagi laki-laki dan perempuan, karena menurut penulis tiga

sifat tersebut merupakan dasar yang harus dimiliki oleh kedua pasangan,

dan jika sifat tersebut hanya dimiliki perempuan, maka belum tentu

pernikahannya akan memberikan kebahagiaan yang sempurna, dengan

kata lain, perempuan pun mendambakan memiliki pasangan dengan

keperibadian tersebut.

Jika demikian, maka hendaknya kedua pasangan (laki-laki dan

perempuan) adalah pribadi yang melakukan kebaikan secara totalitas dan

konsisten, khususnya dalam perjalanan kehidupan rumah tangga. Sebagai

pribadi yang baik, jika seorang istri diharuskan melaksanakan seluruh

kewajibannya kepada suami, maka suami yang berkepribadian baik pun

harus melaksanakan seluruh kewajibannya kepada istri. Sebagai pribadi

yang baik, ketika suami tidak berada di rumah istri harus menjaga harga

diri dan rumah tangganya, maka suami yang berkepribadian baik pun

harus menjaga harga diri dan rumah tangganya ketika ia sedang di luar

rumah tidak bersama istrinya. Dengan demikian pastilah akan tercipta


66

keharmonisan antara suami istri. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan

tersebut berkepribadian baik harus ada dalam diri pasangan yang akan

dipilih untuk sama-sama menjalani kehidupan rumah tangga.

Sedangkan ‘Ali aṣ-Ṣābūnī menjelaskan bahwa istri terbagi atas

dua kelompok yaitu, pertama istri shalihah adalah istri yang taat kepada

Allah dan bisa menjaga diri dan harta suaminya ketika suami tidak

berada dirumah, bisa menggunakan harta suaminya dengan baik dalam

artian tidak boros dan melaksanakan kewajiban seorang istri terhadap

suami, dan menyembunyikan kejelekan suami.30 Ali ash-shabuni

mengutip hadis:

‫ ﺍﻟﺮﺟﻞﹸ ﻳﻔﻀﻲ ﺇﱃ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻭﺗﻔﻀﻲ ﺍﻟﻴﻪ ﰒ‬،‫ﺍﻥ ﻣﻦ ﺷﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﻣﻨﺰﻟﺔﹰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ‬
‫ﻳﻨﺸﺮ ﺃﺣﺪﳘﺎ ﺳﺮ ﺻﺎﺣﺒﻪ‬
“Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari
kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan
istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari
keduanya menyebarkan rahasia pasangannya”

Dari hadis diatas dapat dipahami bersama terkait kepribadian baik

dalam rumah tangga, masing-masing pasangan (laki-laki dan perempuan)

dapat menyembunyikan aib agar keutuhan rumah tangga nya tetap terjaga

hingga menciptakan suasana yang harmonis.

Kedua istri yang durhaka dan pembangkang adalah istri yang

sombong, merasa lebih tinggi serta tidak taat kepada suami.31 Maka dari

itu suami diwajibkan untuk mengarahkan dan mendidiknya supaya

30
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Shafwat at-Tafsir, Jilid 1, Beirut: Darul qur’an al-karim, 1981, h.
274
31
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir-Tafsir Pilihan, Jilid 1, h. 637
67

kembali kepada kebaikan dan kesolehan. Sehingga tercapailah tujuan dari

pernikahan menciptakan serta melahirkan generasi yang berkualitas baik

dimulai dari komponen terkecil suatu negara yaitu keluarga.

Hamka menambahkan mengenai perempuan solehah merupakan

perempuan yang taat baik taat kepada Allah maupun taat kepada suami,

sehingga dengan ketaatannya dapat menjaga harta dan mendidik

anaknya.32 Dapat penulis pahami bahwa perempuan yag solihah

merupakan wanita yang mampu menjaga harta dan kehormatan suami

ketika suami tidak berada dirumah serta dapat menjadi pendidik bagi

anak-anaknya. Menyembunyikan rahasia atas aib dari suami baik dalam

hal hubungan intim maupun dalam kemampuan mencukupi kebutuhan

rumah tangganya. Hal ini dilakukan berkaitan dengan sopan santun istri

terhadap suami yang dianjurkan oleh Allah.

Quraish Shihab menjelasakan bahwa Allah memberikan anugrah

kepada laki-laki menjadi suami untuk tidak berbuat sewenang-wenang

terhadap istrinya, keistimewaan dari adanya pasangan suami istri adalah

mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia. Derajat tersebut

berupa kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan

sebagian kewajiban istri. Ketika terdapat suatau masalah suami harus

sabar dalam menghadapi segala prilaku istri dan istripun harus bisa

memahami suami. Maka penting adanya musyawarah untuk

penyelesaian permaslahan rumah tangga.

32
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 48
68

Sekian banyak para mufasir di atas menjelaskan pentingya

memperhatikan kepribadian calon pasangan dengan tujuan terciptakan

keluarga yang harmonis. Kepribadian baik seseorang bisa dilihat dari

berbagai sisi salah satunya dari unit terkecil yaitu kedua orang tuanya,

dari kedua orang tua bisa dilihat apakah calon tersebut benar-benar baik

dan dari kedua orang tuanya bisa terlihat bagaimana sikap dan

tingkahlaku bisa menjamin ketentraman kehidupan selanjutnya.

Dari uraian di atas menjelaskan bahwa memilih pasangan untuk

membangun rumah tangga yang sakinah haruslah yang memiliki

kepribadian yang baik, tidak berbuat sewenang-wenang, saling

menghargai dan menghormati dan saling memperlakukan baik terhadap

masing-masing pasangan.

2. Memiliki Sifat Tanggung Jawab

Sifat tanggug jawab menjadi hal penting untuk diperhatikan

ketika mencari pasangan. Karena ketika menjalani kehidupan rumah

tangga tidak lepas dari sifat dan sikap bertanggung jawab dalam berbagai

sektor. Sektor ekonomi yang memiliki peraan penting dalam hal

tanggung jawab demi keharmonisan rumah tangga. suami dituntut untuk

memberikan nafaqah kepada seluruh anggota keluarga baik sandang,

pangan, dan papan serta keperluan lain seperti biaya pendidikan yang
69

merupakan tanggung jawab dari suami.33 Untuk menjelaskan sifat

tanggung jawanb tersebut di atas, Allah berfirman dalam QS. an-Nisa: 34

          

         


         

            

 

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar.”

Kata qawwām dalam ayat 34 surah al-Nisa’ menjelaskan peran

laki-laki sebagai orang yang bertanggung jawab atas segala urusan

keluarga. Karena ia lebih kuat dalam bekerja dan lebih kuat menanggung

hal yang berat. Sedangkan perempuan adalah seorang penyayang

sehingga ia cocok dengan hal yang lembut, demikian al-Ṭaba’ṭaba’i.34 Ini

menunjukkan bahwa bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi

33
Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, h.
7
34
Al-Ṭaba’ṭaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz 4, h. 88-89.
70

pernikahan adalah hal yang penting, karena jika seseorang yang

menjalani pernikahan tidak memiliki sifat ini tentu akan terjadi

keburukan yang merugikan kedua belah pihak. Dengan demikian sifat

tanggung jawab adalah karakter penting sebagai pertimbangan dalam

menentukan calon pasangan. Bagi laki-laki maka hendaknya ia memiliki

kesadaran tentang tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, ia

harus siap mengayomi, mendidik dan menafkahi keluarga mereka. Bagi

perempuan, hendaknya dia menyadari tanggung jawabnya sebagai

seorang ibu dan istri dalam menjaga rumah tangga dan anak-anaknya.

Oleh karena itu, orang yang memasuki pernikahan hendaknya mereka

tidak lagi mementingkan ego masing-masing, karena dia sudah hidup

bersama dengan orang lain, sehingga apapun yang ia lakukan, akibatnya

tidak hanya kepada dirinya tetapi juga bagi pasangannya.

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menjelaskan mengenai laki-laki bertanggung

jawab atas perempuan yang dinikahinya dalam perintah dan larangan

nafkah dan mendidiknya. Tanggung jawab ini diberikan oleh Allah

dengan dasar bahwa laki-laki memiliki kelebihan berupa akal, pengaturan

dan mencari nafkah, sehingga dengan adanya kekuatan yang dimiliki

laki-laki bisa menjaga, memelihara dan memberikan nafkah serta

mendidik istrinya.35 Maka dari itu laki-laki bertanggung jawab atas

segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan keluarga dan

mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.

35
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Tafsir-Tafsir Pilihan, Jilid 1, h. 636
71

Hamka menambahkan bahwa salah satu syariat tanggung jawab

yang dibebankan kepada laki-laki yang ingin menikahi seorang

perempuan adalah membayar mahar, pembayaran mahar terdapat isyarat

bahwa istri menyerahkan pimpinan atas dirinya kepada suami.36 Sehinga

laki-laki berkewajiban untuk membela, mengayomi dan memimpin

perempuan yang menjadi istrinya hingga kebutuhannya tercukupi.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata qawwam dimaknai

dengan sesuatu yang dilakukan secara sempurna, berkesinambungan dan

berulang-ulang. Hal ini menjelaskan mengenai tanggung jawab dalam

keluarga yang dilakukan semaksimal mungkin yang berkesinambungan

dan berulang-ulang hingga anggota keluarga mendapatkan bagian

sebagaimana mestinya berupa, tercukupnya pemenuhan kebutuhan,

perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.37 Pemenuhan

mahar, kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara umum dibebankan

kepada laki-laki. Sedangkan pemeliharaan penjagaan harta dan kasih

sayang hatinya terhadap suami ketika suami tidak dirumah, pembelaan

dan pembinaan anak dibebankan kepada perempuan. Hal ini

menunjukkan adanya kesamaan dalam hal tanggung jawab di dalam

keluarga baik laki-laki dan perempuan. Ayat ini berbicara secara umum

tentang laki-laki dan perempuan serta sifat dan sikap keduanya yang

shalih dan shalihah.38 Dimana keduanya memiliki tanggung jawab

menjadikan diri masing-masing berkatakter baik sehingga dapat


36
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz V, h. 47
37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 2, h. 404
38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 2, h. 404
72

memberikan tanggung jawab pendidikan bagi keturunannya. Disisi lain

kedua pasangan laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki tangung

jawab dan hak terhadap masing-masing pasangannya.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa baik laki-laki dan

perempuan memiliki tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangganya

sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing. Laki-laki bertanggung

jawab atas kebutuhan nafkah keluarga, sedangkan perempuan sebagai

istri bertanggung jawab untuk menjaga harta dan kehormatan dirinya dan

keluarganya ketika suami tidak berada dirumah serta mendidik anak

keturunannya. Imbalan dari tanggung jawab seorang suami berupa istri

yang solehah dan taat kepada suami. Ketaatan seorang istri merupakan

buah dari tanggung jawab seorang suami atas tercukupinya kebutuhan

nafkah dan kebutuhan batiniyah secara merata dan adil terhadap seluruh

anggota keluarga. Maka dari itu sifat dan sikap tanggung jawab

merupakan salah satu hal terpenting diperhatikan dalam memilih calon

pasangan hidup.

3. Mempunyai Visi dalam Menjalani Pernikahan

Pernikahan bukan hanya sekadar membina hubungan antara dua

orang (laki-laki dan perempuan), tetapi lebih dari itu pernikahan adalah

sarana mewujudkan cita-cita agung, yakni melestarikan generasi yang

berkualitas. Oleh karena itu, seseorang yang menikah hendaknya ia

memiliki visi dari pernikahannya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa


73

salah satu visi pernikahan adalah melahirkan generasi penerus yang

berkualitas. Hal ini dapat dipahami dari QS. al-Nisa: 9

         

     

“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.”(QS. an-Nisa: 9)

Dalam ayat tersebut Allah memperingatkan agar takut/jangan

meninggalkan keturunan yang lemah. Keturunan yang lemah akan

dikhawatirkan tergerus/tersisihkan oleh perkembangan zaman. Oleh

karena itu sebagai orang yang akan menempuh pernikahan hendaknya

mempersiapkan strategi, hendaknya setelah memasuki pernikahan ia

mampu memberikan kekuatan/bekal hidup kepada keturunannya, bekal

yang sesuai dengan aturan Allah dan yang bisa menjaganya dari jatuh

dalam kelemahan, sehingga ketika ia meninggal, keturunan mereka tetap

hidup aman dengan berbekal kekuatan yang telah ia berikan.39 Penulis

memahami bahwa kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan berupa

petunjuk/pemahaman agama dan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali juga

dengan keterampilan. Hal tersebut akan selalu membimbing seseorang

dalam kehidupannya, akan menjadikannya mampu mencapai tujuan

hidup yang diinginkan secara benar, bisa membuatnya mandiri dan

39
Al-Sya‘rawi, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 4, h. 2021.
74

terbebas dari menggantungkan diri kepada orang, sehingga ketika itu ia

akan benar-benar menjadi orang yang kuat.

Al-Ṭaba’ṭaba’i menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan di atas

haruslah memberikan perhatian penuh kepada anak-anak, tidak

merampas hak-haknya dan hendaknya untuk menghindari jatuh dalam

kelemahan, maka hendaklah bekerja dengan giat.40 Dari sini terlihat

bahwa dalam mewujudkan keturunan yang berkualitas/tidak lemah,

dibutuhkan persiapan, mulai dari memberikan hak-hak anak, misalnya

pendidikan, pengajaran, ketrampilan dan termasuk juga hak berupa harta

sebagai salah satu pendukungnya.

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menambahkan dalam menjalani suatu pernikahan

orang tua harus bisa menjadi contoh yang baik, bisa mendidik anaknya

dengan baik, bisa memberikan pengetahuan agama dengan baik serta

memberikan bekal harta yang cukup ketika ditinggal.41 Sehingga

keturunannya menjadi kuat jasmani dan rohani serta kecukupan untuk

bertahan hidup. Tercapainya visi dalam pernikahan akan melahirkan

keturunann yang berkualitas sehingga dapat memberikan pengaruh yang

sangat besar terhadap generasi selanjutnya.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa untuk mewujudkan adanya

generasi yang berkualitas maka orang tua hendaknya memperlakukan

anak-ankanya dengan baik. Jika anak-anak itu berbuat salah maka

tegurlah dan kritiklah dengan berkataan yang baik dan tepat. Kritik yang

40
Al-Ṭaba’ṭaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz 4, h. 207.
41
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Shafwat at-Tafsir, Jilid 1, h. 260
75

disampaikan haruslah yang membangun, atau dalam arti informasi

disampaikan harus mendidik.42 Ayat ini berlaku untuk semua kalangan

masyarakat agar berbuat baik terhadap anak-anak terutama dalam hal

perkataan, karena perkataan yang didengar oleh anak-anak dapat

membangun karakter dan kualitas anak tesebut ketika tumbuh remaja

hingga dewasa. Sampaikanlah dengan kata-kata yang baik dan tepat

supaya tidak menimbulkan keruhnya hati anak.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ketika seseorang menikah

maka dia harus memiliki visi untuk melahirkan generasi yang kuat baik

kuat jasmani maupun rohani dengan cara mendidiknya dengan baik,

memperlakukannya dengan baik dan memberikan cukup harta ketika

ditinggal mati oleh orang tuanya. Sehingga dengan harta yang cukup

anak yang ditingkalkan akan bertahan hidup dengan baik dan

penggunaannya pun baik dengan cara selalu mendidik dan memberikan

pengetahuan yang baik serta berguna dikemudian hari. Bekal

pengetahuan terutama bekal agama akan menjadikan seorang anak lebih

tahu dan lebih kuat ketika ditinggalkan oleh orang tuanya. Seorang anak

dengan berbekal pengetahuan yang cukup diharapkan mampu

mempergunakan apa yang dimiliki dengan sebaik mungkin.

42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 2, h. 339
76

C. Memberikan Keleluasan Memilih Pasangan

Dalam pernikahan peran orang tua atau wali sangatlah penting, karena

ia bisa menjadi pelindung bagi keluarganya yang akan menikah. Salah satu

yang harus diperhatikan bagi orang tua ataupun wali adalah mereka

hendaknya memberikan keluasan bagi yang akan menikah dalam memilih

pasangan, tidaklah baik bagi mereka melarangnya terlebih lagi tanpa ada

alasan yang dibenarkan agama. Hal ini tampak dari QS. al-Baqarah: 234.

          

            

   

“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”(QS. al-Baqarah: 234)

Dalam hal ini al-Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat tersebut ditujukan

bagi para wali (termasuk orang tua) yang menjelaskan agar mereka tidak

melarang perempuan mereka yang telah melewati masa iddah untuk menikah

kembali. Bahkan hendaknya mereka memperhatikan perilakunya, misalnya

jika perempuan yang telah selesai masa iddahnya mulai senang berhias

kembali, maka hendaknya mereka bertanya dan memberikan izin baginya

untuk kembali menjalin hubungan. Dalam konteks ini diperlukan juga

pemberian nasihat oleh orang tua atau siapapun untuk dijadikan


77

pertimbangan.43 Hal ini perlu dilakukan guna kebaikan kehidupan selanjutnya

bersama pasangan barunya sehingga tidak terjerumus ke arah yang negatif

dan demi kehidupan anak-anaknya.

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menambahkan perempuan yang habis masa iddahnya

sebab ditinggal meninggal suaminya boleh menikah kembali dan wali tidak

boleh menghalangi keinginan perempuan tersebut selama yang dilakukannya

dengan cara yang baik dan tidak melanggar syariat.44 Sehingga

diperbolehkannya kembali berhias dan menerima pinangan yang menjadi

keinginnanya.

Hamka menuturkan jika perempuan yang telah habis masa iddahnya

maka perempuan diperbolehkan berhias kembali, memakai pakaian yang

bagus, memakai perhiasan emas perak asal dengan cara yang patut.45

Kepatutan tersebut merupakan hal yang tidak sampai mengundang dan

menimbulkan fitnah di masyarakat umum terhadap perempuan tesebut. Maka

dari itu perempuan yang telah habis masa iddahnya dianjurkan tetep menjaga

sopan santun dan menjaga kehormatannya terutama dalam menarik perhatian

laki-laki.

Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa seorang perempuan

yang ditinggal suaminya sebab meninggal, sebaiknya perempuan tersebut

dilarang terburu-buru untuk menikah lagi, hendaklah bersabar dan menunggu

beberapa waktu untuk menghormati pihak keluarga suami. Karena pada masa

tersebut tidak dibenarkan berdandan seakan-akan ingin menemui suami yang


43
Al-Sya‘rawî, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 2, h. 1010-1011.
44
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Shafwat at-Tafsir, Jilid 1, h. 151
45
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 2, h. 239
78

baru, tidak juga keluar rumah kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang amat

mendesak.46 Dari sisi kepantasan untuk zaman sekarang hal ini tergolong hal

yang tidak pantas untuk dilakukan. Mengingat banyak sanksi sosial yang di

dapat oleh seorang perempuan tersebut. Bisa jadi mendapat cemoohan atau

tuduhan bahwa ia merupakan perempuan yang nakal, dan tidak benar. Selain

itu untuk mengetahui apakah ia hamil atau tidak, hal ini bisa terlihat masa

iddah berupa 3 kali qurū’ (3 kali haid atau tiga kali suci).

Kematian suami tidak hanya diketahui oleh istri saja, melainkan sanak

keluarga, tetangga dan teman-teman. Sehingga semua elemen masyarakat

bisa memberikan kontrol meminimalisir terjadinya hal tersebut. Quraish

Shihab menjelaskan secara tegas ayat ini diperuntukkakn untuk semua

anggota masyarakat tidak hanya wali perempuan saja.47 Bahwa seorang

perenpuan yang telah habis masa iddahnya boleh menikah kembali. Anggota

masyarakatpun tidak boleh melarangnya selama hal itu tidak menyalahi

aturan yang berlaku dan sesuai dengan tuntunan adat yang dibenarkan agama.

Agama telah menetapkan bahwa wali dapat menikahkan perempuan

yang berada dalam kekuasaan kewaliannya dengan ketentuan:48 Jika janda,

hendaklah wali meminta perintahnya, atau dengan kata lain, meminta izinnya

yang keizinannya itu harus dinyatakan dengan lisan. Jika gadis, wali meminta

izinnya yang cukup dinyatakan dengan sikap diam. Maka dari itu peran orang

tua sebagai wali sangatlah penting dalam hal pernikahan.

46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 614
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 615
48
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, Jilid 1, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003, h. 193
79

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa peran orang tua pada masa

pra-nikah meliputi keterbukaan, tidak menutup diri dan selalu membimbing

anaknya dengan nasihat dan pertimbangan yang didasarkan pada pengalaman

dan pandangan obyektif. Dengan demikian diharapkan anak yang sedang

menjalani proses ini bisa menjalaninya dengan mudah dan sesuai tuntunan

agama. Sehingga anak yang akan menjalani pernikahan melepaskan dari

tanggung jawab orang tua bisa lebih siap dan menerima dalam menjalani

suatu pernikahan.

D. Meminang Sebelum Pernikahan

Setelah pembahasan sebelumnya berupa keluasan dalam memilih

pasangan bagi wanita yang ditinggal suaminya (janda) sebab meninggal, saat

ini penulis ingin mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan peminangan.

Sebelum dilakukannya akad nikah biasanya diadakan suatu tradisi lamaran

dari pihak calon laki-laki kepada calon perempuan. Meminang atau dalam

bahasa agama disebut dengan khitbah merupakan tahapan penting dalam

pernikahan. Meminang bertujuan memberitahukan perasaan dan keinginan

seorang laki-laki terhadap perempuan. Seperti dalam firman Allah SWT QS.

al-Baqarah: 235

           

           

            
80

      


        



“dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan
sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan
yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. al-
baqarah :235)
Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa meminang adalah urusan yang

penting, karena ia akan menjadi penentu dalam kehidupan, yakni antara

memutuskan untuk tidak menjalin hubungan atau memutuskan untuk hidup

terikat dengan keluarga baru dan segala peraturannya. Meminang dilakukan

dengan bahasa yang dimengerti, halus dan sopan sesuai kehormatan seorang

perempuan.49 Dapat dipahami dalam meminang haruslah menggunakan

perkataan yang mudah dipahami dan tidak membuat sakit hati atau salah

paham dari perempuan yang ingin dipinang.

‘Ali aṣ-Ṣābūnī menambahkan bahwa laki-laki boleh meminang

perempuan yang masih dalam masa iddahnya ketika ditinggal mati suaminya

dengan cara sindiran.50 Sindiran yang digunakan haruslah sindiran yang tidak

membuat hati perempuan terluka.51 Ibnu abbas berakata “seperti ucapan laki-

laki yang berkata “aku senang Allah membahagiakanku dengan wanita

49
Al-Sya‘rawi, Tafsir al-Sya‘rawî, juz 2, h. 1013.
50
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Shafwat at-Tafsir, Jilid 1, h. 151
51
M. ‘Ali aṣ-Ṣābūnī, Shafwat at-Tafsir, Jilid 1, h. 151
81

sholehah. Sindiran seperti ini harus dilakukan dengan cara yang baik yang

telah ditetapkan sesuai dengan syariat.

Quraish shihab menjelaskan bahwa laki-laki yang ingin menikah

dianjurkan untuk meminang perempuan yang disukainya. Peminangan

tersebut harus dengan cara yang baik, jangan sampai menimbulkan hal yang

terlarang. Dan ayat di atas menjelaskan batasan-batasan dalam meminang,

diantaranya:52 boleh meminang perempuan yang bercerai dengan cerai yang

bersifat ba’in, boleh meminang perempuan yang bermasa iddah dengan syarat

pinangan itu disampaikan dengan sindiran, tidak boleh meminang perempuan

yang bermasa iddah sebab suaminya meninggal karena perempuan tersebut

dituntut untuk berkabung, disarankan menyembunyikan keinginan hati untuk

menikahi perempuan yang bermasa iddah baik bercerai maupun suaminya

meninggal, jika ingin meminang maka dianjurkan untuk mengucapkan kata-

kata yang baik sopan.

Uraian di atas memberi banyak informasi mengenai etika dalam

meminang seorang perempuan. Sebaiknya meminang menggunakan kata-kata

yang baik dan tidak menyakiti hati perempuan tersebut. Sedangkan ketika

ingin meminang perempuan yang sedang bermasa iddah terutama karena

suaminya meninggal maka etika meminangnya dengan cara sindiran dan

menggunakan kata-kata yang baik.

Pada masa tunangan, hubungan perempuan dan laki-laki semakin

bertambah hangat dan mesra, sehingga menimbulkan godaaan syahwat lebih

52
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 616-617
82

besar. Karena itu, masing-masing pihak terutama perempuan harus menjaga

diri dan kesuciannya hingga hari pernikahannya.53 Pasangan yang

bertunangan harus tetap menjaga etika hubungan dengan calon suami/istrinya.

Keluarga yang terbina dengan ajaran agama biasanya akan lebih paham dan

bisa menjaga dirinya dengan baik, ketimbang keluarga yang awam dalam

beragama. Di sini perlu adanya peran orang tua untuk mengingatkan dan

menganjurkan anaknya agar tetap menjaga kesucian dirinya, dengan tidak

membiarkan hubungan bebas menerpa anaknya.

Sebelum meminang calon suami dianjurkan untuk melihat calon

istrinya dan sebaliknya seperti yang disabdakan Nabi Muhammad saw:

(‫ﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ ﻋﻦ ﺍﳌﻐﲑﺓ‬‫ ﹸﻜﻤ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻡ‬‫ﺩ‬‫ﺆ‬‫ﻱ ﺍﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﹶﺍﺣ‬‫ﻪ‬‫ﻧ‬‫ﺎ ﹶﻓﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺍﻟﹶﻴ‬ ‫ﻈﹸﺮ‬‫ﺍﹸﻧ‬
“Lihatlah calon istrimu, karena ia (melihatnya) akan mengundang
kelanggengan hubungan kalian berdua”

Hadis diatas dapat dipahami bahwa sebelum meminang kedua calon pasangan

hendaklah melihat satu sama lain agar dikemudian hari dapat memahami dan

mengerti kekurangan dari masing-masing supaya tetap langgeng. Sehingga

kehidupannya bisa berjalan secara harmonis dan memperkuat rasa kasih

sayang yang diberikan. Adapun batasan yang boleh dilihat dari bagian tubuh

perempuan para ulama’ fuqaha berbeda pendapat, imam Malik hanya boleh

melihat muka dan kedua telapak tangan perempuan tersebut, Abu Daud al-

Dhahiry membolehkan melihat seluruh tubuh kecuali dua kemaluan dan

sebagian yang lain melarangnya, sedangkan Abu Hanifah membolehkan

53
Hasbi Indra, dkk., Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, 2004, h. 132
83

melihat wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki.54 Penulis setuju

dengan batasan yang dikemukakan beberapa tokoh terlebih ke imam Hanafi,

batasan yang disampaikan cukup baik dan menghindari dari hal kesusilaan

untuk batasan tubuh yang boleh dilihat

Ada beberapa hak yang mesti diperhatikan dalam etika meminang,

diantaranya: pertama, perempuan yang dipinang hendaknya terlepas dari hal-

hal yang dilarang oleh syariat yang mengakibatkan perempuan itu tidak boleh

dinikahi seketika. Kedua, perempuan yang dipinang itu belum dipinang orang

lain dengan cara khitbah yang dibenarkan syariat.55 Hal ini perlu diperhatikan

untuk terhindar dari tersakitinya baik salah satu pasangan maupun kedua

keluarga calon pasangan. Selain itu hal ini merupakan etika dalam meminang.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa laki-laki dianjurkan untuk

meminang perempuan yang dicintainya supaya tidak terjerumus dalam

perzinahan. Peminangan tersebut haruslah dengan cara yang baik sesuai

dengan syariat dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Serta adanya

kebolehan meminang para janda yang ditinggal mati suami dengan cara

sindiran.

54
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Press, 2009, h. 25-26
55
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Ed. Revisi 2,
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, h. 90-91
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep pra-nikah menurut al-Qur’an, manusia wajib menimbang

dan memilih pasangan yang baik, dalam hal ini bertujuan agar tidak terjadi

penyesalan dikemudian hari dan agar terbentuk keluarga yang sakinah.

Proses pemilihan tersebut bukan hal yang mudah, karena banyaknya aspek

yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak.

Berikut aspek yang harus diperhatikan sebelum menikah bagi umat

Islam yang sesuai dengan tuntuna al-qur’an

1. Mencari pasangan hidup haruslah seiman, ini diartikan dengan

menikah dengan sesama penganut ajaran agama Islam. Tujuan

dianjurkannya menikah dengan yang seiman adalah agar terwujudnya

keturunan yang berkualitas tinggi baik dari segi lahiriah maupun

batiniah.

2. Menikahlah dengan berbeda jenis kelamin, dalam hal ini bertujuan

agar pernikahan ini dapat melahirkan dan melestarikan keturunan

manusia.

3. Menikah bukan dengan mahramnya, sangat dianjurkan tujuannya

adalah untuk menghindari terjadinya kecacatan dan agar keturunan

yang dihasilkan pun berkualitas.

84
85

4. Berkepribadian baik adalah termasuk suatu kriteria penting dalam

memilih pasangan hidup.

5. Memiliki sifat tanggung jawab juga menjadi hal penting untuk

diperhatikan ketika mencari pasangan hidup. Karena sejatinya laki-

laki sebagai imam wajib bertanggung jawab atas perempuan yang

dinikahinya baik secara lahiriah maupun batiniah.

Sebelum terlaksananya sebuah pernikahan, seorang laki-laki

diwajibkan untuk meminang wanita yang hendak dinikahinya hal ini

bertujuan agar tidak terjerumus dalam ranah perzinahan. Peminangannya

harus menggunakan kata-kata yang baik dan tidak menyakiti hati calon

istri.

B. Saran

Peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebuah

dasar dan rujukan untuk penelitian selanjutnya, dimana penelitian

selanjutnya dapat menggali lebih lanjut terkait poin-poin yang sudah

didapatkan diatas, apakah sudah diaplikasikan oleh masyarakat pada

umumnya dalam memilih sebuah pasangan untuk menikah.


DAFTAR PUSTAKA

Ainani, Ahmad. “Itsbat Nikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”, Jurnal


Darussalam, Volume 10, No. 2, Juli-Desember 2010.
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. Psikologi Remaja Perkembangan
Peserta Didik, cet ketujuh. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet 1,
Yogyakarta: Darussalam, 2004.
Atabik, Ahmad. “Dari Konseling Perkawinan Menuju Keluarga “Samara”, Vol.
G, No1, Juni 20015.
Al-Baihaqi, Ahmad bin ‘Ali bin Musa al-Khurasani. Syu’ab al-Iman. Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 2003.
Bakker, Anton, dan Ahmad Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah).
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-
Karim. Kairo: Dar al-Fikr, 1981.
_______. Tafsil Ayat al-Qur’an al-Hakim. Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, 1955.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdullah Ibn Ismail. Ṣhahih Bukhari, Juz 12 , Beirut: Darl al-
fikr, tt
Dahlan, Ahmad dan Firdaus Albar. “Perjanjian Pranikah: Solusi Bagi Wanita”
Jurnal Studi Gender & Anak, Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2008
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i. Mesir: Maktabah
al-jumhuriyah, 1997.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta : Pustaka
firdaus, 2003.
Husein, Sadam. Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Seks Bebas (Free Sex)
Studi Kasus Pada Remaja Di Desa Benua Baru Kecamatan Muara
Bengkal Kabupaten Kutai Timur. ejournal Sosiatri-Sosiologi 2015.
Indra, Hasbi. dkk., Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, 2004.

86
87

Irawan, Dedi. Pernikahan Beda Keyakinan dalam al-Qur’an (Analisis Penafsiran


al-Maraghi atas QS. al-Baqarah 2:221 dan QS, al-Maidah 5:5). Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Kartini, Pengantar Metodelogi Riset Sosial, Bandung: Mandarmaju, 1996.
Khairani, Rahma dan Dona Eka Putri. “Kematangan Emosi Pada Pria dan Wanita
Yang Menikah Muda”, Jurnal Psikologi volume 1, No. 2, Juni 2008.
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan
berpolitik (Tafsir al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur’an, 2012,
Masruhan, “Pembaharuan Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia Perspektif
Maqasid al-Shari’ahh”, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 november, 2013.
mviva.co.id kamis, 1 April 2010, 17:03.
Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa, Studi Tentang Pemutusan
Perkawinan di Kalangan Orang Islam Jawa, di terjemahkan oleh H. Zaini
Ahmad Noeh, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Nurcholis, Moch. “Pranata Perkawinan dalam Agama Islam dan Kristen: Sebuah
Studi Komparatif Integratif”, Tafaqquh Volume 4, no 2 (Desember 2016):
h. 38-41.
_______. “Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menurut Filsafat Hukum Keluarga
Islam”, Tafaqquh: Vol. 2, No. 1 Juni 2014.
Purnama, Indra. Pertimbangan Guru-Guru MI Nurul Yaqin dalam Memilih
Pasangan Hidup (Analisis Terhadap Hadits Memilih Pasangan. Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Al-Qazwaini, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah. Kairo:
Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.
_______. Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Semarang: Toha Putra, tt.).
Qodir, Abdur. Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang dan
Hukum Islam, Depok: Azza Media, 2014.
Al-Quran dan Isu-Isu Kontemputer I (Tafsir Tematik), Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012.
R, M. Dahlan. Fikih Munakahat, Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Rozan, muhammad. https://ngawadul.wordpress.com/2011/03/22/macam-macam-
perkawinan-zaman-jahiliyah/ diakses pada tanggal 13 Mei 21017.
Sa’dan, Masthuriyah. “Memilih Pasangan Bagi Anak Perempuan Kajian Fikih dan
HAM”, IAIN Manado: Jurnal Ilmiah al-Syir’ah Vol. 14 No. 01 Tahun
2016
88

Santrock, J.W. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid II. Alih
bahasa oleh Achmad Chusairi dan Juda Damanik. Jakarta: Erlangga, 2002.
Saraswati, Putri. “Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Otang Tua dalam
Pemilihan Pasangan Hidup dengan Kecenderungan Pemilihan Pasangan
Hidup Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Pada Dewasa Awal”. Jurnal
Psikologi vol. 6, no. 1, April 2011.
Sati, D. A . Pakih. Panduan Lengkap Pernikahan (Fikih Munakahat Terkini),
Jogjakarta: Bening, 2011.
Shabuni, M. Ali. Tafsir-Tafsir Pilihan, jilid 1, Penerjemah: KH. Yasin, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2011.
Al- Ṣābūnī M. Ali.Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jilid 1, Depok: Keira, 2016.
_______. Shafwat al-Tafsir, Jilid 1, Beirut: Darul qur’an al-karim, 1981.
Shihab, M. Quraish. Pengantin al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku,
Jakarta: Lentera Hati, 2014.
_______. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Jilid 1,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009
Shulbi, Moh, “Mitos Tiba Rampas Dalam Pemilihan Calon Pasangan Menurut
Pernikahan Adat Jawa Di Desa Cengkok Kecamatan Ngronggot
Kabupaten Nganjuk (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Hukum
Adat”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga,
2014.
Sukron, Hukum Perempuan Memilih Pasangan Nikah dalam Pandangan Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, Jakarta: Skripsi Perbandingan Mazhab
Fiqih Syari’ah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta 2005.
Suma, Muhammad Amin. Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, Tangerang: Lentera Hati, 2015.
Al-Sya‘rawî, Muhammad Mutawalî. Tafsir al-Sya‘rawî, juz 2, (T.tp.: Mutâbi‘
Akhbâr al-yaum, 1991).
Syafaat Muhammad, “Fenomena Cerai Gugat di Kabupaten Kuningan: Sebuah
Kajian Perubahan Sosial dalam Masyarakat dan Keluarga”, Jurnal BIMAS
ISLAM, Vol. 9. No. 4, Jakarta, 2016. h. 599-640.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet kedua, Jakarta:
Kencana, 2007.
Syibromalisi, Faizah Ali. Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan
Bahagia,disampaikan pada acara seminar Pendidikan Pra-Nikah:
89

Membangun Keluarga Bahagia, Mewujudkan Generasi Berkualitas, PSGA


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17 September 2014.
Al-Ṭaba’ṭaba’i Muhammad Husain. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz 20 (Beirut:
Muassasah al-A‘lami li al-Mathbu‘at, 1997).
Tafsir Tematik: Membangun Keluarga Harmonis. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2008.
Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: Rajawali Pres, 2009.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Tafsir al-Qur’an
Yusof, Nabila. dkk. “Status Anak dalam Perkahwinan Sindiket Menurut
Perspektif Syarak dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-
wilayah) persekutuan 1984”, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM),
Proceeding of the International Conference on Social Science Research,
ICSSR 2013. 4-5 june 2013, Penang, Malaysia: worldConferences.net.
Zaini, Hasan. “LBGT dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Syari’ah,
Vol. 15, No. 1, Januari-Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai