Anda di halaman 1dari 17

GANGGUAN NEUROLOGIS PADA ANAK

PERUBAHAN STATUS MENTAL DAN LIMP

Makalah

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Clinical Approach of Pediatry

Oleh:

Andaru Cahya Sekarini 165070107111059

Tito Sanjaya 165070107111061

Nia Uswanti Binti Usman 165070108121010

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

1
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan neurologis dapat meliputi gangguan pada sistem saraf pusat,

medula spinalis, atau pada saraf. Gangguan neurologis pada anak merupakan

salah satu penyumbang disabilitas pada anak. Epidemiologi dari gangguan

neurologis pada anak diukur dengan DALY (Disability-adjusted Life Year) yang

merupakan total mortaitas dan morbiditas dari penyakit per tahun. DALY dari

gangguan neurologis mencapai 28,6% dari total DALY.

Secara statistik, total beban penyakit global akibat gangguan neurologis

terbesar berada di Asia dan wilayah Sub-Sahara (Newton, 2018). Di Indonesia,

20–30% pasien rawat inap dan rawat jalan pada poli anak merupakan pasien

dengan kasus kelainan neurologis. Pada umumnya anak dibawa oleh orang tua

berobat akibat gangguan fungsional yang dialaminya, gangguan perkembangan,

gangguan kesadaran, kelumpuhan ekstremitas, kelumpuhan saraf otak, kejang

dan lain-lain (Mangunatmadja, 2016).

Perubahan status mental dan kelemahan ekstremitas merupakan sedikit

dari banyak kelompok penyakit pada gangguan neurologis. Gangguan status

mental merupakan perubahan status kesadaran pada anak yang merupakan

salah satu kasus kegawatan pada anak (Swan, 2018). Kelemahan ekstremitas

merupakan penyebab gangguan berjalan dan disebabkan oleh beragam faktor

(Sawyer dan Kapoor, 2009). Penemukenalan kasus-kasus perubahan status

mental dan kelemahan eksremitas dapat menjadi tantangan tersendiri karena

sebagian kelainan disebabkan oleh faktor maternal dan perinatal. Ditilik dari

faktor ini, seharusnya angka kejadian gangguan neurologis dapat diturunkan

dengan peningkatan standar dan mutu pelayanan obstetrik (Newton, 2018).


3

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja manifestasi klinis dari perubahan status mental dan kelemahan

ekstremitas pada anak?

2. Apa saja diagnosis banding dari perubahan status mental dan kelemahan

ekstreimtas pada anak?

3. Bagaimana penegakan diagnosis dari perubahan status mental dan

kelemahan ekstremitas pada anak?

4. Bagaimana penatalaksanaan dari perubahan status mental dan kelemahan

ekstremitas pada anak?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui manifestasi klinis dari perubahan status mental dan kelemahan

ekstremitas pada anak

2. Mengetahui diagnosis banding dari perubahan status mental dan kelemahan

ekstremitas pada anak

3. Mengetahui penegakan diagnosis dari perubahan status mental dan

kelemahan ekstremitas pada anak

4. Mengetahui penatalaksanaan dari perubahan status mental dan kelemahan

ekstremitas pada anak.


4

BAB 2

ISI

2.1. Perubahan Status Mental

2.1.1. Definisi

Perubahan status mental berkaitan dengan penurunan kesadaran.

Kesadaran adalah ketanggapan terhadap diri sendiri dan lingkungan

(tempat dan waktu). Arousal merupakan sistem yang membangkitkan

kesadaran. Kesadaran diperantarai korteks serebri, dan arousal

diperantarai sistem aktivasi retikuler (reticular activating system (RAS))

yang berjalan dari mid pons melalui midbrain dan hipotalamus hingga ke

thalamus. Kegagalan pada sistem kesadaran akan mengakibatkan

penurunan kesadaran (Marcdante et al., 2013). Penurunan kesadaran

merupakan salah satu kasus gawat darurat pediatri.

Tabel 1: Etiologi perubhana status mental

2.1.2. Etiologi

Klasifikasi untuk etiologi gangguan kesadaran dan koma pada anak dapat

dibagi secara praktis menjadi tiga kelompok, yaitu infeksi atau inflamasi,

struktural, dan metabolik, nutrisi, atau toksik. Gangguan-gangguan tersebut di

atas dapat timbul pada umur berapa saja, tetapi kondisi tertentu lebih sering

terjadi pada umur tertentu. Pada anak, penyebab koma tersering adalah infeksi,

hipoksia-iskemia, intosikasi, trauma kepala, dan kejang.

2.1.2. Manifestasi Klinis


5

Gangguan Kesadaran Akut

Derajat dari perubahan kesadaran akut dapat bervariasi mulai dari letargi

ringan dan bingung hingga koma dalam. penurunan kesadaran terbagi atas

enam stadium yaitu: (1) letargi; (2) kebingungan; (3) delirium; (4) obtundasi; (5)

stupor; (6) koma. Masing-masing dari stadium ini menunjukkan manifestasi klinis

yang berbeda-beda. Adanya lesi di tingkat anatomis yang berbeda juga

menimbulkan manifestasi yang berbeda sesuai dengan tabel 2.

Tingkat Penurunan Kesadaran Dengan Struktur Anatomis


Tanda Talamus Midbrain Medula
Kesadaran Kebingungan; Koma Koma
stupor
Pernapasan Mendesah; tipe Hiperventilasi Gasping tidak ada
Cheyne- Stokes neurogenic sentral
Pupils Kecil, reaktif 3-5 mm, terfiksir Tidak reaktif
Gerakan Bergerak-gerak Tidak penuh, Tidak ada
ekstraokular tanpa; tanpa diskonjugat
inhibisi
Respon motorik Spastik; Deserebrasi Flaksid
dekortikasi
Tabel 2: Tingkat Penurunan. Kesadaran dengan Struktur Anatomis
6

Secara umum gambaran adanya penurunan kesadaran pada anak

menurut Swan (2018) didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Adanya respon yang buruk pada lingkungan maupun pada orang terdekat;

kelemahan dan tidak menangis; deviasi mata; ukuran dan reaksi pupil yang

abnormal; pola respirasi abnormal (cheyne-stokes, takipnea, dan lain-lain);

pergerakan motorik abnormal dan ketiadaan respon terhadap stimulus nyeri.

Selain tanda-tanda tersebut, perubahan postur tubuh seperti dekortikasi dan

deserebrasi merupakan suatu penanda terjadinya penurunan kesadaran

(Marcdante, 2013).

Tanda-tanda spesifik seperti edema papil atau paralisis saraf kranial III

atau VI pada pasien dengan penurunan kesadaran merupakan bukti kuat

peningkatan TIK, suatu kedaruratan medis dan bedah saraf. Penurunan

kesadaran progresif disertai progresi khas tanda-tanda motorik, okulomotor,

pupil, dan respiratorik (Tabel 2) menunjukkan herniasi transtentorial insipient.

Herniasi unkus berarti lobus temporal mesial bergeser melewati tepi tentorium,

menghasilkan paresis saraf kranial ketiga unilateral dan hemiparesis

kontralateral.

Beberapa keadaan seperti hipoksia dan iskemia menunjukkan gejala

deteriorasi fungsional otak hanya dalam beberapa jam. Sekuele dari keadaan ini

antara lain spastisitas, ataksia, koreoatetosis, sindrom parkinsonian dan lain-lain.

Perdarahan subarakhnoid primer dan sindroma pascainfeksi dapat menimbulkan

manifestasi berupa kaku kuduk dan penurunan kesadaran.

2.1.2.2 Mati Batang Otak

Mati batang otak berarti berhentinya semua fungsi kortikal dan batang

otak secara ireversibel. Mati batang otak pada anak dapat dinilai dengan

ketiadaan fungsi-fungsi neurologis dengan penyebab koma ireversibel yang


7

diketahui. Koma dan apnea harus menyertai kondisi mati batang otak (Nakagawa

et al., 2011). Mati batang otak juga ditandai dengan ketiadaan refleks batang

otak: refleks cahaya; okulosefalik; okulovestibular; kornea; orofaring; dan trakea.

2.1.2.3 Penurunan Kesadaran Sementara yang Rekuren

Perubahan kesadaran tipe ini biasanya diakibatkan oleh kejang,

migren, sinkop, atau kelainan metabolik. Manifestasi klinis yang terjadi misalnya

keadaan paska-iktal yang memanjang setelah kejan; agitasi, ataksia, vertigo dan

sakit kepala akibat migren; atau letargi, kebingungan dan gejala otonomik seperti

berkeringat, gemetar dan lapar pada anak dengan kelainan metabolik terutama

hipoglikemia.

2.1.3. Diagnosis

Penilaian awal yang dilakukan pada pasien dengan gangguan kesadaran

akut adalah Airway, Breathing dan Circulation. Penilaian tanda vital termasuk

puls oksimetri harus dilakukan. Pemeriksaan fisik umum antara lain mencari

petunjuk penyebab penurunan kesadaran (dehidrasi, bau yang tidak biasa,

bekas tusukan jarum, trauma, atau tanda kegagalan multi organ). Pola

pernafasan seperti cheyne-stokes, hiperventilasi dan gasping pada disfungsi

batang otak bagian bawah-medulla.

Instrumen yang dapat digunakan adalah Skala Koma Glasgow (tabel 3)

juga dapat dipergunakan. Pemeriksaan neurologis yang dinilai meliputi refleks

saraf kranial terutama penilaian pada saraf II, III, IV, V, dan VI untuk menilai pupil,

gerakan bola mata dan refleks kornea. Postur tubuh seperti dekortikasi dan

deserebrasi dapat menunjukkan lokasi lesi dan dapat terjadi bilateral maupun

uniateral.

Pencitraan dan pemeriksaan tambahan yang dapat berguna untuk

mendeteksi adanya penurunan kesadaran antara lain:


8

 CT kepala: pilihan untuk keadaan gawat darurat, untuk

mengidentifikasi perdarahan, lesi desak ruang, edema, dan

pergeseran garis tengah. Dapat dilakukan dengan maupun

tanpa kontras.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal: untuk mengetahui

penyebab penurunan kesadaran. Adanya sel darah merah

menunjukkan perdarahan pada subarakhnoid, parenkim

maupun adanya infeksi hemoragik.

 Uji apnea: dilakukan pada keadaan mati batang otak. Positif

apabila tidak terdapat nafas spontan dengan PaCO2 > 60

mmHg.

 Elektroensefalogram: pada kasus mati batang otak

didapatkan sunyi elektroensefalogram (electrocerebral

silence). Pada kasus penurunan kesadaran sementara yang

rekuren terdapat gambaran yang bervariasi.

 Angiografi: dikerjakan untuk menilai adanya obstruksi atau

ketiadaan total aliran darah pada empat pembuluh darah dan

mungkin diperlukan untuk konfirmasi definitif mati batang

otak (Marcdante et al., 2013).

 Pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, serum

elektrolit, pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan kultur

baik cairan serebrospinal, darah maupun urin dapat

dilakukan untuk mengetahui etiologi penurunan kesadaran.

2.1.4. Tatalaksana

Penurunan kesadaran , apapun penyebabnya seringkali fatal karena

penurunan kesadaran menunjukan adanya penyakit yang serius dan seringkali,


9

saat pasien dengan penurunan kesadaran datang ke dokter sudah terjadi

kerusakan otak yang ireversibel misalnya karena hipoglikemia atau hipoksia.

Tujuan utama seorang dokter dalam penanganan penurunan kesadaran adalah

mendeteksi penyebabnya kemudian menghilangkan penyebab tersebut untuk

mencegah sequelae lebih jauh lagi. Tatalaksana penurunan kesadaran, dapat

dirangkum menjadi langkah-langkah berikut:

Jika terdapat nafas yang dangkal dan mengorok, berarti ada penyumbatan

jalan nafas. Pasien harus segera ditempatkan dalam posisi miring agar tidak

terjadi aspirasi. Lendir yang menyumbat harus segera di hilangkan dengan cara

suctioning. Tanda-tanda vital pasien dipantau dengan monitor. Bila ada alat yang

memadai pasien sebaiknya diintubasi untuk menjaga patensi jalan nafas.

1. Manajemen syok berupa resusitasi dengan 2 liter cairan kristaloid jika terjadi

syok derajat berat (3-4) harus didahulukan sebelum dilakukan pemeriksaan

diagnostik lain.

2. Pasang akses intravena untuk memasukan obat dan mengambil sampel darah

untuk mengecek kadar gula darah, zat-zat toksik pada kasus overdosis, fungsi

ginjal dan fungsi hati. Jika terjadi intoksikasi narkotika, dapat diberikan

naloxone 0,5 mg, jika terjadi hipoglikemia dapat diberikan D40 sebanyak 50 ml,

diikuti dengan infus D5.

3. Jika curiga adanya peningkatan TIK segera periksa CT scan cito.

4. Jika terdapat tanda peningkatan TIK dan dikonfirmasi oleh CT scan, segera

berikan mannitol 25-50 g IV bolus dilarutkan dengan konsentrasi 20%,

diberikan secara intravena selama 10-20 menit sambil dilakukan hiperventilasi.

Dapat diulang pemberian manitol sebanyak 0,25-0,5 g/KgBB IV bolus tiap 4-

6jam. Setelah terapi boleh dilakukan pemeriksaan CT scan ulang.


10

1. Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan jika dicurigai adanya meningitis atau

perdarahan subarakhnoid. Tetapi, jika terdapat CT scan lebih baik dilakukan

pemeriksaan CT scan untuk menyingkirkan massa atau perdarahan yang

menimbulkan efek tekanan. Perdarahan subarakhnoid juga dapat didiagnosis

dengan CT scan.

2. Dapat dilakukan bilas lambung dengan NaCl dapat menjadi alat diagnosis dan

terapi untuk kasus-kasus intoksikasi obat yang masuk melalui saluran

pencernaan. Obat-obatan seperti salisilat, opiat dan antikolinergik yang

menimbulkan atoni gaster dapat diamil sampelnya bahkan beberapa jam

setelah kejadian. Obat untuk menetralisir asam lambung dapat diberikan untuk

mencegah perdarahan lambung dari stress ucer.

3. Pasang kateter urin agar tidak terjadi retensi urin, dan agar pasien tidak buang

air di tempat tidur. Dapat juga dipasang kombinasi NGT dan ETT untuk

mencegah aspirasi. NGT juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

cairan lambung yang hitam akibat perdarahan

4. Jika pasien dapat bergerak dan memberontak sebaiknya kaki dan tangan

pasien diikat di tempat tidur.

5. Berikan lubrikan mata agar tidak kering, jaga oral hygiene untuk mencegah

aspirasi (Ropper AH, Samuels MA, 2014).

2.1.5 Prognosis

1. Penyembuhan dari koma akibat metabolik lebih baik jika dibandingkan dengan

kelainan struktural.

2. Pada pasien stroke yang mengalami koma kebanyakan akan meninggal.

Kecuali jika dilakukan kraniotomi atau etiologinya adalah hidrosefalus yang

disebabkan SAH
11

3. Jika satu hari setelah onset koma bentuk apapun, jika tidak ada reflek pupil,

kornea atau okulovestibular prognosis akan buruk baik secara kehidupan

maupun fungsi.

4. Setelah 1-3 hari setelah onset koma didapati reflek kornea negatif, pasien tidak

mau buka mata, dan atonia keempat ekstremitas merupakan penunjuk akan

terjadi outcome yang buruk secara ad vitam maupun fungsionam (Ropper AH,

Samuels MA, 2014).

2.2. Kelemahan Ekstremitas

2.2.1. Definisi

Kelemahan ekstremitas atau limp didefinisikan sebagai kelainan pola

berjalan anak dibandingkan dengan rentang umur normal usianya. Limp

merupakan suatu kondisi yang bervariasi dan dapat mengenai banyak

sistem karena proses berjalan merupakan proses biomekanik. Segala

proses yang mengenai upper motor neuron atau lower motor neuron,

motor end plates, otot skelet, struktur tulang, dan sendi dapat

bermanifestasi sebagai limp (Lin, 2019). Insiden dari kasus ini tidak

diketahui,namun beberapa pasien datang ke Unit Gawat Darurat akibat

limp akut atraumatik dengan proporsi sebesar 1.8 per 1000 anak di

bawah 14 tahun (Sawyer dan Kapoor, 2009)

2.2.2. Etiologi

Limp merupakan suatu manifestasi dari beberapa kelainan akibat

gangguan upper motor neuron (traktus kortikospinalis dan neuron korteks

serebri), lower motor neuron (sel-sel kornu anterior, akar saraf motorik,

saraf motorik perifer, taut neuromuskular, dan otot). Etiologi dari limp

dapat digali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik:

Tabel 3 dan 4: Etiologi Limp


12

2.2.3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari limp yang utama adalah perubahan pola

berjalan normal jika dibandingkan dengan anak seusianya. Kelemahan


13

ekstremitas yang terjadi pada lesi upper motor neuron berbeda dengan

lesi pada lower motor neuron.

Pembedaan klinis lesi upper motor neuron dan lower motor neuron
Tanda klinis UMN (traktus LMN

kortikospinalis) (neuromuskular)
Tonus Meningkat (spastik) Menurun
Refleks Meningkat menurun

Refleks Ada Tidak ada

babinski
Atrofi Tidak ada Mungkin
Fasikulasi Tidak ada Mungkin
Tabel 5: Perbedaan klinis lesi UMN dan LMN

American Family Physician mengkarakteristikkan limp dari pola

berjalan yang menjadi tanda klinis pasien. Pola berjalan pasien diklasifikasikan

menjadi pola berjalan nonantalgic dan antalgic. Pola berjalan antalgic

merupakan pola berjalan khas pada pasien yang mengalami nyeri pada saat

berjalan, sehingga pasien cenderung menghindari tumpuan pada sisi yang

mengalami nyeri. Sedangkan pola berjalan nonantalgic merupakan kebalikan

dari pola berjalan antalgic dan diklasifikasikan menjadi: 1) trendelenburg gait; 2)

circumduction gait; 3) steppage gait; 4) equinus gait. Pola-pola berjalan ini akan

khas sesuai dengan diagnosis klinis dari pasien (Sawyer dan Kapoor, 2009)

2.2.4. Diagnosis

Diagnosis etiologik dari limp dapat ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik sesuai dengan tabel 3 dan 4. Penilaian pola berjalan baik

antalgic maupun nonantalgic didasarkan pada algoritma yang dibuat oleh


14

Gambar 1: Algoritma diagnosis antalgic gait

Gambar 2: Algoritma diagnosis nonantalgic gait


American Family Physician. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis dan

anamnesis untuk kasus-kasus nonantalgic gait. Sedangkan beberapa modalitas


15

seperti pencitraan dengan CT maupun MRI dilakukan pada kasus-kasus antalgic

gait (Sawyer dan Kapoor, 2009).

Diagnosis banding dari limp mencakup banyak kondisi seperti adanya

neoplasma pada tulang, kondisi-kondisi yang melibatkan tulang, kondisi

intraabdominal, kondisi-kondisi yang melibatkan sendi dan lain-lain.

Mengingat luasnya cakupan dari limp pemeriksaan lab yang spesifik perlu

dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Misalnya ANA test untuk pasien-

pasien dengan kecurigaan Lupus Eritematosus Sistemik atau ASO test

untuk pasien-pasien dengan kecurigaan Artritis Reumatoid.

Tabel 6: diagnosis banding limp

2.2.5. Tatalaksana

Tatalaksana yang dilakukan untuk pasien dengan limp bervariasi

sesuai dengan manifestasi klinis dan etiologi dari limo. Terapi simptomatik dapat

diberikan untuk mencegah kontraktur, mencegah skoliosis, membantu

oksigenasi, mencegah aspirasi, dan memaksimalkan kemampuan sosial,

bahasa, dan intelektual. Pada anak-anak dengan autoimunitas dapat diberikan

kortikosteroid (prednison) untuk memperlambat laju perjalanan penyakit dan


16

menunda terjadinya disabilitas motorik (Marcdante et al., 2013). Penemukenalan

penyakit penyebab limp secara cepat dan akurat merupakan titik utama untuk

melakukan tatalaksana.

2.3 Kesimpulan

Penurunan kesadaran adalah suatu kegawatdaruratan pada bidang neurologi.

Meskipun penurunan kesadaran merupakan penyakit di bidang neurologi namun

sangat penting bagi dokter umum untuk mengetahui cara mendiagnosis dan

tatalaksana awal karena dokter umum akan banyak menjumpai kasus penurunan

kesadaran di Unit Gawat Darurat. Dari sekian banyak etiologi penurunan

kesadaran, diperlukan waktu yang cepat untuk mendiagnosis etiologinya, karena

itu pengetahuan untuk membedakan penurunan kesadaran karena etiologi

metabolik ataupun struktural sangat penting. Penurunan kesadaran karena

kelainan struktural biasanya disertai dengan kelainan pada pemeriksaan

neurologi seperti adanya lateralisasi, gejala fokal dan tanda rangsang meningeal

yang positif dan pemeriksaan CSF yang abnormal. Sedangkan pada kelainan

metabolik biasanya dijumpai pemeriksaan lab darah, urin yang abnormal sebagai

contoh hipoglikemia, namun tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik

neurologis.

Tujuan dari tatalaksana kasus penurunan kesadaran adalah untuk

mendiagnosa etiologi secepatnya kemudian melakukan tindakan life saving jika

diperlukan kemudian setelah pasien stabil baru dilakukan tatalaksana spesifik

untuk kausa dari penurunan kesadaran tersebut.

Daftar Pustaka

1. Ddivisi neuro pediatric ilmu kesehatan anak fk unair (2005) Bahan


17

pemeriksaan neurologis pada bayi dan anak.

2. JR., A. (2006) ‘Altered states of consciousness. Pediatrics in Review’, Altered


states of consciousness. Pediatrics in Review, pp. 27: 331–8.

3. Posner BJ, Saper CB, Schiff ND, P. F. P. and P. (2007) ‘No Title’, Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford: OXFORD University Press, pp. 4–34, 40-78,.

4. Ropper AH, Samuels MA, K. J. A. and V. (2014) PRINCIPLE OF


NEUROLOGY. New York: Mc Graw Hill Education.

5. Taylor DA, A. S. (2006) Impairment of consciousness and coma Dalam:


Swaiman KE, Ashwal S, penyunting. Pediatric neurology, principles & practice.
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby.

Anda mungkin juga menyukai