Anda di halaman 1dari 11

Tugas

PENELITIAN SASTRA

OLEH:

DESSY TRESNAWATI

A1M316025

JURUSAN BAHASA INDONESIA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Karya sastra menceritakan beragam gambaran kehidupan manusia di masyarakat.
Banyak di antara karya sastra yang dihasilkan menampilkan citra atau gambaran perempuan di
dalamnya. Salah satu masalah yang sering muncul dalam karya sastra adalah subordinasi
perempuan, perempuan dikondisikan dalam posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Kondisi
ini membuat perempuan berada dalam posisi tertindas, inferior, tidak memiliki kebebasan
atas diri dan hidupnya. Hal tersebut berkaitan dengan masalah gender yang mempertanyakan
tentang pembagian peran serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Perempuan
dikondisikan sebagai makhluk yang lemah sedangkan laki -laki dikondisikan sebagai
makhluk yang kuat.
Anggapan negatif terhadap perempuan atau pendefinisian perempuan dengan
menggunakan kualitas yang dimiliki laki-laki sangat berhubungan dengan konsep gender.
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender terwujud
dalam berbagai bentuk, yaitu marginalisasi, subordinasi, kekerasan, pembentukan
stereotipe, beban kerja yang lebih lama dan banyak, serta sosialisasi nilai peran gender.
Berbicara tentang perempuan dan laki-laki berarti berbicara tentang feminisme.
Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan
dengan laki-laki di masyarakat. Feminisme adalah aliran pemikiran dan gerakan sosial yang
menginginkan adanya penghargaan terhadap kaum feminin (perempuan) dan kesetaraan
gender. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan
tersebut dan untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan
dan laki-laki dalam segala bidang sosial dengan potensi kita sebagai manusia. Salah satu
caranya adalah dengan menciptakan teori analisis mengenai nasib perempuan, yang
disebut kritik sastra feminis.
Menurut Wiyatmi (2012), kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra
(kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya
keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam
karya sastra-karya sastranya. Salah satu ragam kajian kritik sastra feminis terhadap sebuah
karya sastra adalah kritik sastra feminis ideologis. Kritik sastra ideologis adalah kritik sastra
yang memusatkan perhatian pada citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti
kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan,
bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra.
Dalam cerpen “Dua Wajah Ibu” merupakan sebuah cerita pendek karya Guntur Alam
yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2012. Dipilihnya judul cerpen ini bukan tanpa
alasan, sebab bagi saya pribadi cerpen. “Dua Wajah Ibu” memiliki keistimewaan sendiri
dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada tema yang tak
biasa namun begitu familier terdengar oleh telinga kita, tentang kehidupan perantau di kota
besar yang berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan si tokoh. Selain itu, penulisan
yang rapi dan pemilihan kata yang terasa begitu pas menambah nilai plus pada cerpen ini

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah “bagaimanakah citra perempuan dalam cerpen “Dua wajah ibu” karya Guntur Alam?

3. Landasan Teori
3.1 Pengertian Kritik Sastra Feminis
Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang
berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas
sosial (Ratna dalam Qomariyah, 2011). Feminis merupakan gerakan yang dilakukan
oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran
politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya. Adanya pemahaman yang keliru
tentang hakikat sex dan gender selanjutnya melahirkan berbagai ketidakadilan
terutama terhadap kaum perempuan yang berada dalam lingkungan masyarakat
yang menganut budaya patriarki. Ketidakadilan gender (gender inequalties) tersebut
merupakan sistem dan struktur dimana telah terjadi diskriminasi terhadap kaum
perempuan yang ada dalam sistem tersebut. Ketidakadilan gender tercermin dalam
bentuk marginalisasi, subordinasi, kekerasan, pembentukan stereotipe, beban kerja
yang lebih lama dan banyak, serta sosialisasi nilai peran gender.

Pemikiran feminis muncul dan menanggapi realitas kehidupan manusia. Pemikiran


ini menekankan pentingnya untuk mendengar suara perempuan dan belajar dari
pengalaman perempuan. Dengan perspektif yang kritis ini, penelitian feminis
mengubah perhatian dari konsep andosentris, yaitu suatu bentuk representasi yang
berpusat pada pria, dimana pria dipandang sebagai pusat atau penentu dalam
melihat segala sesuatu sehingga mengabaikan perempuan, dan mulai mendengarkan
suara perempuan. Menurut Sugihastuti dalam Jupriono (2012), kritik sastra feminisme
memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu
membuat banyak perbedaan dalam sistem kehidupan. Ada asumsi: wanita memiliki
persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam membaca sastra. Kritik sastra feminis
adalah salah satu disiplin ilmu sastra yang menekankan penelitian sastra dengan
perspektif feminis.

3.2 Tujuan Kritik Sastra Feminis


Flax mengemukakan bahwa, tujuan utama kritik sastra feminis adalah
menganalisis relasi gender, hubungan antara kaum perempuan dengann laki-laki yang
dikonstruksi secara sosial, yang antara lain mengambarkan situasi ketika perempuan
berada dalam dominasi laki-laki (dalam Nicholson dikutip Wiyatmi, 2012). Tujuan
feminis adalah keseimbangan interelasi gender. Kolodny dalam Djajanegara (Mozaik,
2012) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:
a. dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai
kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di abad silam;
b. membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan penulis
perempuan.
Endraswara (2011) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya
sastra dalam kajian feminisme yang difokuskan adalah:
a. kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
b. ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk
pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan,
c. memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap
emansipasi wanita dalam sastra.
Fokus tersebut tersebut merupakan sasaran dalam analisis feminisme sastra.
Sasaran penting dalam analisis feminisme sastra sedapat mungkin berhubungan
dengan hal-hal sebagai berikut ini.
(1) Mengungkapkan karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas
citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi budaya patriarkal harus
terungkap secara jelas dalam analisis.
(2) Mengungkapkan berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis
oleh pengarang pria.
(3) Mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang
diri sendiri dan kehidupan nyata.
(4) Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum
feminis. Apakah penulis wanita memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau
tidak.
(5) Mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh
maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih
sayang, dan sebagainya. (Endraswara, 2011)
3.3 Jenis Kritik Sastra Feminis
Untuk mencapai sasaran-sasaran dalam analisis kritik sastra feminis tersebut,
digunakan satu diantara beberapa jenis kritik sastra feminis. Sholwater (Sutrie, 2012)
membedakan adanya dua jenis kritik sastra feminis, yaitu: (1) kritik sastra feminis yang
melihat perempuan sebagai pembaca (the women as reader/ feminist critique), dan (2)
kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the women as writer/
gynocrirics). Kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca memfokuskan
kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan
kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah dalam
sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki.

Kritik sastra feminis ginokritik meneliti sejarah karya sastra perempuan


(perempuan sebagai penulis), gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan,
kreativitas penulis perempuan. Menurut Abrams dalam Wiyatmi (2012), membedakan
kritik sastra menjadi empat, yaitu kritik sastra ekspresif, kritik sastra objektif, kritik
sastra mimetik, dan kritik sastra pragmatik. Berkaitan dengan tujuan kritik sastra
feminis untuk menilai sebuah karya sastra, maka kritik sastra feminis dibedakan
menjadi enam jenis, yaitu sebagai berikut.
a. Kritik sastra feminis ideologis: kritik sastra yang memusatkan perhatian pada citra
serta stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti kesalahpahaman tentang
perempuan dan sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan
nyaris diabaikan dalam kritik sastra;
b. Kritik sastra feminis ginokritik: kritik sastra yang mencoba mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah para perempuan penulis
merupakan kelompok khusus, dan ada perbedaan antar tulisan perempuan dan
tulisan laki-laki;
c. Kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra feminis yang
meneliti tokoh-tokoh pertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas
masyarakat;
d. Kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung diterapkan pada
tulisan-tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena
para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi
dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang dibacanya;
e. Kritik sastra feminis lesbian: kritik sastra feminis yang hanya meneliti penulis dan
tokoh perempuan saja. Pengkritik sastra lesbian memiliki tujuan mengembangkan
definisi ioni dapat diterapkan pada diri penulis atau karyanya. Namun karena
beberapa faktor, kritik ini masih sangat terbatas kajiannya;
f. Kritik sastra feminis ras atau kritik sastra feminis etnik: kritik sastra feminis yang
ingin membuktikan kebenaran sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-
karyanya.
Selain enam jenis kritik sastra feminis tersebut, Wolf (dalam Sofia, 2011)
membagi pendekatan feminisme dalam dua hal, yaitu feminisme korban (victim
feminism) dan feminisme kekuasaan (power feminisme).
Feminisme korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan
mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan
kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut hak-hak
perempuan. Sementara, feminisme kekuasaan menganggap perempuan sebagai manusia
biasa yang seksual, individual, tidak lebih baik dan idak lebih buruk dibandingkan
dengan laki-laki yang menjadi mitranya dan meklaim hak-haknya atas dasar logika
yang sederhana, yaitu perempuan memang memiliki hak (Sofia, 2011). Menurut Wolf,
pendekatan feminisme kekuasaan merupakan pendekatan yang luwes yang
menggunakan dasar perdamaian, bukan dasar perang dalam perjuangan meraih hak
setara (Sofia, 2011).
Prinsip-prinsip pendekatan feminisme kekuasaan adalah (a) perempuan dan laki-
laki mempunyai arti yang sama besar dalam kehidupan manusia, (b) perempuan berhak
menentukan nasibnya sendiri, (c) pengalaman-pengalaman perempuan mempunyai
makna bukan sekadar omong kosong, (d) perempuan berhak mengungkapkan
kebenaran-kebenaran tentang pengalaman-pengalaman mereka, dan (e) perempuan
layak menerima lebih banyak segala sesuatu yang tidak mereka punya karena
keperempuanan mereka, seperti rasa hormat dari orang lain, rasa hormat terhadap diri
sendiri, pendidikan, keselamatan, kesehatan, kewakilan, dan keuangan (Wolf dikutip
Sofia, 2011).
3.4 Citra Perempuan
Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat
kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata.
Sementara itu pencitraan merupakan kumpulan citra (the collection of images) yang
dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang
dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi harfiah maupun secara kias
(Abrams dikutip Sofia, 2011). Menurut Sugihastuti (Tika, 2009 ) setiap gambaran
pikiran disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang
dimiliki orang banyak mengenai pribadi atau kesan mental (visual) yang ditimbulkan
oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam
karya prosa atau puisi. Menurut Pradopo dalam Sofia (2011), gambaran pikiran
adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan
oleh penangkapan pembaca terhadap sebuah objek yang dapat dilihat dengan mata,
syaraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan atau yang
bersangkutan.
Menurut Hewigg (Santoso, 2009) citra perempuan memiliki pengertian sebagai
semua wujud gamabaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan
yang menunjukkan “wajah” dan ciri khas perempuan. Citra perempuan adalah
gambaran pikiran yang dimiliki oleh banyak orang tentang manusia berjenis kelamin
betina (Tika, 2009). Citra perempuan merupakan wujud gambaran mental spiritual
dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan dalam berbagai
aspeknya yaitu aspek fisis dan psikis sebagai citra diri perempuan serta aspek
keluarga dan masyarakat sebagai citra sosial (Sugihastuti dalam Yuliastuti, 2005).
Citra perempuan dalam cerpen “Karna Aku Maria” adalah semua bentuk gambaran
mental spiritual dan tingkah laku keseharian Maria dan Khadijah yang menunjukkan
perwajahan dan ciri khas perempuan. Citra perempuan dapat dilihat melalui peran
yang dimainkan perempuan dalam kehidupan sehari-hari dan juga melalui tokoh-tokoh
lainnya yang terlibat dalam kehidupannya.
Secara umum, ada tiga citra perempuan dalam karya sastra yaitu (1) citra
perempuan sebagai individu, baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik,
perempuan bisa direpresentasikan dengan gambaran fisik yang memiliki hubungan
terhadap pengembangan tingkah lakunya. Secara psikis, perempuan merupakan
mahluk yang psikologis yaitu mahluk yang memiliki perasaan, pemikiran, aspirasi,
dan keinginan. Dalam citra psikis, dapat tergambar kekuatan emosional yang dimiliki
oleh perempuan dalam sebuah cerita. (2) citra perempuan sebagai keluarga, baik
perannya sebagai ibu, istri maupun anak. (3) citra perempuan sebagai warga
masyarakat yang memiliki peran positif dan negatif.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Citra Perempuan Sebagai Individu


2. Fisik : Perempuan Dewasa
Citra fisik perempuan yang terungkap dalam cerpen ini adalah perempuan
dewasa, perempuan yang sudah memasuki taraf kedewasaan. Hal ini digambarkan
oleh seorang perempuan tua bernama mak inang ibu dari jamal.

3. Psikis

Citra fisik perempuan tidak terlepas dari citra psikis sebagai komponen kesatuan
aspek perwujudan citra diri perempuan, seperti diketahui bahwa perempuan
sebagai sosok perempuan yang dibangun atas aspek fisik dan psikisnya.
Perempuan selain sebagai makhluk individu yang terbentuk dari aspek fisik juga
terbentuk dari aspek psikis. Citra psikis perempuan yang digambarkan dalam cerpen ini
adalah sosok perempuan yang mudah percaya, ingin mencoba-coba, suka
membanding-bandikan, dan penyayang citra pada tokoh mak inang.

a. Mudah Percaya
Ketika teman-temannya (Mak Rifah dan Mak Sangkut) bercerita tentang
keadaan anaknya yang serba mewah di Jakarta, Mak Inang langsung percaya.

b. Ingin Mencoba Coba


Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-
karibnya.

c. Suka Membanding Bandingkan


Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah,
mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.

d. Penyayang
Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal?
Ajak anak-binimu di kampung saja.
B. Citra Perempuan Sebagai Keluarga

Cita perempuan tokoh Mak Inang dalam cerpen ini adalah sebagai ibu dari Jamal yang
menikah dengan Mai,

”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan
mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara
anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat
mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.”
BAB III
KESIMPULAN
A. PENUTUP

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang
mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya
sastranya. Secara umum, ada dua ragam dari kritik sastra feminis yaitu: (1) kritik sastra
feminis yang melihat perempuan sebagai pembaca (the women as reader/ feminist critique),
dan (2) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the women as writer/
gynocrirics). Citra perempuan memiliki pengertian sebagai semua wujud gamabaran mental
spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan “wajah” dan ciri khas
perempuan.
Dari pembahasa dalam cerpen “ Dua Wajah Ibu” kritik sastra feminis dapat
disimpulkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dicitrakan sebagai individu dan keluarga.
Perempuan selain sebagai makhluk individu yang terbentuk dari aspek fisik juga terbentuk
dari aspek psikis. Citra psikis perempuan yang digambarkan dalam cerpen ini adalah sosok
perempuan yang mudah percaya, ingin mencoba-coba, suka membanding-bandikan, dan
penyayang citra pada tokoh mak inang.

Anda mungkin juga menyukai