Anda di halaman 1dari 22

BAB II

Pembahasan

2.1 Hak Asasi Manusia

Tata pemerintahan demokratis (democratic governance) sering dipahami dalam


tiga komponen: pemerintahan yang baik (good governance), hak asasi manusia
(HAM), dan demokrasi. Indonesia sebagai negara yang tengah membangun budaya
demokrasi, berusaha memperbaiki ketiga komponen tersebut. Persoalannya adalah
memperbaiki ketiga komponen tersebut di era transisi menuju demokrasi bukan
persoalan mudah. Di dalam penguatan hak asasi manusia (HAM), Indonesia harus
menjalankan dua hal sekaligus, perlindungan dan peningkatan HAM serta kepatuhan
menjalankan mekanisme demokrasi yang akan memperkuat good governance untuk
mencapai democratic governance.

2.2 Pengertian HAM


Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa –
Bangsa (PBB), hak asasi manusia (HAM) adalah hak – hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup,
misalnya adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat
membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia
akan hilang.
Senanda dengan perngertian di tas adalah pertanyaan awal hak asasi manusia
(HAM) yang dikemukakan oleh Johnk Locke. Menurut Locke, hal asasi manusia
adalah hak – hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM

1
adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.
Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahnya- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah, dan setiap oraang demi kehormatan seta
perlindungan harkat dan martabat manusia

2.3 SEJARAH PERKEMBANGAN HAM


a. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari
kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban Eropa muncul, HAM
telat popular di masa kejayaan Islam seperti akan diuraikan dalam bagian lain bab ini.
Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi
kekuasaan absolut para penguasa atau raja – raja. Kekuasaan absolut raja, seperti
menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat, menjadi
dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak
lahirnya Magan Charta (1215), raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahan di hadapan parlemen. Sekalipun
kekuasaan raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan undang-undang, Magna
Charta telah menyulut ide tentang keterikatan penguasa kepada hukum dan
pertanggungjawabkan kekuasaan mereka kepada rakyat

Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional.


Keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada Pasal 21 Magna Charta yang
menyatakn bahwa “… para Pangeran dan Baron dihukum atau didenda berdasarkan atas
kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.” Adapun Pasal
40ditegaskan bahwa “… tak seorang pun menghendaki kita mengingkari atau menunda
tegaknya hak atau keadilan.”

2
Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional.
Keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada Pasal 21 Magna Charta yang
menyatakan bahwa ”…para Pangeran dan Baron dihukum atau didenda berdasarlan atas
kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.” Adapun Pasal 40
ditegaskan bahwa “… tak seorang pun mengkhendaki kita mengingkari atau menunda
tegaknya hak dan keadilan.”

Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang Hak Asasi
Manusia (HAM) di Inggris. Pada masa itu pula muncul istilah equality before the law,
kesetaraan manusdia di muka hukum. Pandangan ini mendorong timbulnya wacana
negara hukum dan negara demokrasi pada kurun waktu selanjutnya. Menurut Bill Of
Right, asas persamaan manusia di hadapan hukum harus diwujudkan betapa pun berat
rintangan yang dihadapi, karena hak persamaan, maka hak kebebasan mustahil dapat
terwujud. Untuk mewujudkan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga
negara tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan
perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan selanjutnya Amerika: kontrak sosial
(J.J. Rousseau)¸ trias politica (Monstesquieu), teori hukum alam kodrat (John Locke),
dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas Jefferson).

Teori kontak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara
penguasa (raja) dan rakyat disadari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuan
mengikat pada kedua belah pihak. Menurut kontak sosial, penguasa diberi kekuasaan
oleh rakyat untuk mnyelenggarakan ketertiban dan menciptakan keamanan agar hak
alamiah manusia terjami dan terlaksana secara aman. Pada saat yang sama, rakyat akan
menaati penguasa mereka sepanjang hak-hak alamiag mereka terjamin.

Trias Politica adalah teori tentang system politik yang membagi kekuasaan
pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintah (eksekutif), parlemen
(legislatif), kekuasaan peradilan (yudikatif).

Teori hukum kodrati adalah teori yang mnyatakan bahwa di dalam masyarakat
manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak
diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar ini bahkan harus dilindungi oleh

3
negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak-hak tersebut
terdiri dari hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, hak atas milik pribadi.

Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan bahwa
semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugerahi beberapa hak yang
tidak terpisah-pisah, di antaranya hak kebebasan dan tuntutan kesenangan. Teori ini
banyak dipengaruhi oleh Locke sekaligus menandai perkembangan HAM kemudian.

Pada 1789 lahir deklarasi Perancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum
yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan pengankapan
dan penahanan seseorang secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang. Prinsip
presumption of innocent adalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak
bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan ia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain,
seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, perlindungan hak
milik, dan hak-hak dasar lainnya.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak


kebebasan manusia (the four freedoms) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang
diproklamirkan oleh Presiden Theodore Roosevelt. Keempat hak ini yaitu: hak
kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan
beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak bebas dari miskinan; dan
hak bebas dari rasa takut.

Tiga tahun kemudian, dalam Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia


Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi Philadephia 1944 ini
memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan
perlindungan seluruh manusia apa pun ras, kepercayaan, dan jenis kelaminnya.
Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM yang menyerukan jaminan setiap orang untuk
mengejar pemenuhan kebutuhan material dan spiritual secara bebas dan bermartabat
serta jaminan kemanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut
kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang

4
dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada
1948.

Menurut DUHAM, terdapat luma jenis hak asasi yang dimiliki setiap orang
individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan
perlindungan hukum); hak sipil dan politik;hak subsitensi (hak jaminan adanya sumber
daya untuk menunjang kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legas, hak sipil , dan hak politik
meliputi:

a. Hak untuk hidup, kebasan, dan kemanan pribadi.


b. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan.
c. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan.
d. Hak untuk memproleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi.
e. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif.
f. Hak bebas dari pengankapan, penahanan, atau pembuangan yang sewenang –
wenang.
g. Hak untuk keadilan yang independen dan tidak memihak.
h. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.
i. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan
pribadi,keluarga,tempat tinggal,maupun surat-surat.
j. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan yang baik.
k. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu.
l. Hak bergerak.
m. Hak memproleh suaka.
n. Hak atas satu kebangsaan.
o. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
p. Hak untuk mempunyai hak milik.
q. Hak bebas berpikir, berkesadaran,dan beragama.
r. Hak bebas berpikir dan menyatukan pendapat.

5
s. Hak untuk bberhimpun serikat.
t. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama
terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi.
a. Hak atas jaminan sosial.
b. Hak untuk bekerja.
c. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
d. Hak untuk bergabung dalam serikat-serikat buruh.
e. Hak atas istirahat dalam waktu senggang.
f. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan.
g. Hak atas pendidikan.
h. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.

b. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948


Secara garis besar perkembangan pemikiran tentang HAM pasca-Perang Dunia
II dibagi menjadi empat kurun generasi.
Generasi pertama, merupakan generasi yang mendefinisikan HAM hanya
berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak Perang Dunia II sangat mewarnai
pemikiran generasi ini, di mana totaliterisme dan munculnya keinginan negara yang
baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum yang sangat kuat. Seperangkat hukum
disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak
menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan dan keadilan dalam
proses hukum, hak praduga tidak bersalah, dan sebagainya. Selain dari hak-hak tersebut,
hak nasionalitas, hak pemilikan, hak pemikiran, hak beragama, hak pendidikan, hak
pekerjaan, dan kehidupan budaya juga mewarnai pemikiran HAM generasi pertama ini.
Genrasi kedua,merupakan generasi yang berpikiran HAM tidak saja menuntuk
hak yuridis seperti dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini lahir dua kenvensi HAM
Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta kenvensi bidang sipil dan
hak-hak politik sipil (internasional cobenant on economic,social, and cultural right dan

6
rights dan internasional covenant on civil and political right). Kedua konvensi tersebut
disepakati dalam siding umum PBB 1966.
Genarasi ketiga, generasi ini menyuarukan wacana kesatuan HAM antara hak
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal
dengan istilah hak-hak melaksanakam pembangunan (the rights of development),
sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan Internasional (International commission
of justice). Pada era generasi ketiga ini perana negara tampak begitu dominan.
Generasi keempat, ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM. Pemikiran
HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun
1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration of the Basic Duties
of Asia People and Government. Lebih maju dari generasi sebelumnya, deklarasi ini
tidak saja mencakup tuntutran structural, tetapi juga menyerukan terciptanya tatanan
sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak asasi, dilakukan oleh setiap
negara. Secara positif deklarasi ini mengukuhkan keharusan imperatife setiap negara
untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam kerangka ini, pelaksana dan
penghormatan, atas hak asasi manusia bukan saja urusan orang perorang, tetapi juga
juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara.

2.4 PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA


Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara. Secara garis besar, perkembangan
pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan
(1908) dan sesudah kemerdekaan.

1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)


Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam
sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedo Oetomo (1908),
Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920),
Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya
organisasi pergerakan nasional ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh penguasa kolonial yang melakukan pemerasan hak-hak masyarakat

7
terjajah. Puncak perdebatan HAM yang dilontarkan oleh para tokoh pergerakan
nasional, seperti Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H.
Mas Mansur, K.H. Wahid Hasyim, dan Mr. Maramis, terjadi dalam sidang Badan
Persiapan Usaha – Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI
tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding merumuskan dasar-dasar
ketatanegaraan dan kelengkapan negara yang menjamin hak dan kewajiban negara dan
warga negara dalam negara yang hendak diproklamirkan.
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo mewakili organisasi
pergerakan nasional yang mula-mula yang menyuarakan kesadaran berserikat dan
mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial
maupun lewat tulisan di surat kabar. Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah
perjuangan akan kebebasan berserikat dann mengeluarkan pendapat melalui organisasi
massa dan konsep perwakilan rakyat. Sejalan dengan wacana HAM yang diperjuangkan
Boedi Oetomo, para tokoh Perhimpunan Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Nazir
Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM di
kalangan melaui wacana hak mentukan nasib sendiri (the rights of self determination)
masyarakat terjajah.
Diskursus HAM terjadi pula di kalngan tokoh pergerakan Sarekat Islam (SI)
seperti Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, dan Agus Salim. Mereka menyerukan
pentingnya usaha-usaha untuk memproleh penghidupan yang layak dan bebas dari
penindasan dan deskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda
dengan pemikiran HAM di kalangan tokoh nasionalitas sekuler, para tokoh SI
mendasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam ajaran Islam.

2. Periode Setelah Kemerdekaan


Perdebatan tentang HAM terus belajur sampai periode pasca kemerdekaan
Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1988, dan periode HAM Indonesia
kontemporernya (pasca Orde Baru).

8
a. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan
pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi
politik yang didirikan, serta hak kekebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di
parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirkan melalui:
1). Bidang sipil dan politik, pada: UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, pasal
27, pasal 28, pasal 29, pasal 20, penjelasan Pasal 24 dan 25); Maklumat
pemerintah 1 November 1945; KRIS khususnya Bab V, Pasal 7-33; dan
KUHP Pasal 99.
2). Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui: UUD 1945 (pasal 27, pasal
31, pasal 33, pasal 34, Penjelasan Pasal 31-32) KRIS Pasal 36-40.

b. Periode 1959-1966
Periode ini dikenal dengan masa Demokrasi Parlementer. Sejarah pemikiran
HAM pada masa inidicatat sebagaimasa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalan
HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana
kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional. Menurut catatan Bagir
Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercemin pada lima
indikator HAM:
1) Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi.
2) Adanya kebebasan pers.
3) Pelaksanaa pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis.
4) Kontrol parlemen atas eksekutif.
5) Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.
Berbagai partai politk yang berbeda haluan dan ideologi sepakatat tentang
substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan
diusulkan supaya kberadaan HAM mendahului bab-bab UUD.
Tercatat dalam periode ini Indonesia meratifikasi dua Konvensi Internsaional
HAM, yaitu:
1) Konvensi Genewa (1949) yang mencakup perlindungan hak bagi korban
perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil di waktu perang.

9
2) Konvensi tentang Hak Politik Perempuan yang mencakup hak perempuan
untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak
perempuan untuk menmpati jabatan publik.

c. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh
sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno.
Demokras Terpimpin (Guided Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan
Presiden Soekarno terhadap sistem Demokraasi Parlementer yang dinilainya sebagai
produk barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter
bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat.
Melalu sistem Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat di tangan presiden.
Presiden tidak dapat dikontrol pleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh
presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai
Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat
individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik
masyarakat diarahkan harus dengan kebijakan pemerintah yang otoriter. Dalam dunia
seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan
Lembaga Kebudayaan Rayat (Lekra) yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-satuny
lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, lembaga selain Lekra dianggap anti-pemerintah
atau kontra-revolusi.

d. Periode 1966-1988
Pada mulanya, kelahiran Orde Baru menjanjikan bangsa harapan baru bagi
penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan di Orde Baru.
Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran
HAM di Indonesia. Janji-janji Ored Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia
mengalami kemunduran sangat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980an. Setelag
mendapat mandate konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai

10
menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti-HAM yang dianggapnya
sebagai produk Barat. Sikap anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda prinsip
dan Pratik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis dengan cara
mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya
lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan
demokrasi sebagai produk Barat yang individualis dan bertentangan dengan prinsip
gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir
penolakan Pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM yaitu:
1) HAM adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
2) Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang
dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan
deklarasi universal HAM.
3) Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara barat untuk memojokkan
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Sikap opriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata surat dengan pelanggaran
HAM yang dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde Baru dapat dilihat dari kebijakan
politik Orde Baru yang bersifat sentralistis dan anti segala gerakan politik yang berbeda
dengan pemerintah. Sepanjang pemerintahan Presiden Soeharto tidak dikenal istilah
partai yang kritis atau bukan pendukung pemerintah, bahkan sejumlah gerakan yang
bersebrangan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti-pembangunan bahkan
anti Pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara
kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah Orde Baru tidak
segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan
dengan Orde Baru. Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lampung,
Aceh, adalah segelintir daftar pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh negara di
era Orde Baru.

Di tengah kuatnya peran negara, suatu perjuangan HAM dilakukan oleh


kalangan oerganisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Upaya
penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang

11
menggembirakan diawal tahun 90an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan
masyarakat mengubah pendirian Pemerintah Orde Baru untuk bersikap lebih
akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu diantara sikap akomodatif pemerintah
tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusi (KOMNAS HAM) melalui Keputusan Presiden (Keppres).

Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksaan


HAM, memberi pendapat,pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal
pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM
yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai lembaga bentukan
Pemerintah Orde Baru penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran-
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.

Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pmerintah meratifikasi


tiga konvensi HAM: (1) Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, melalui UU No. 7 Tahun 1984; (2) Konvensi anti Apartheid dalam
Olahraga, melalui UU No. 48 Tahun 1993; dan (3) Konvensi Hak anak melalui Keppres
No. 36 Tahun 1990.

Namun demikian, sikap akomodatif Pemerintah Orde Baru terhadap tuntutan


HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh
negara. Komitmen Orde Baru terhadap pelaksanaan HAM secara murni dan konsekuen
masih jauh dari harapan masyarakat. Masa pemerintahan Orde Baru masih sarat dengan
pelanggaran HAM yagn dilakukan oleh aparat negara atas warga negara. Akumulasi
pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundurnya
Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformis dan
mahasiswa pada 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai
tuntutan Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang dikenal sangat kritis
terhadap kebujakan Pemerintahan Orde Baru.

e. Periode Pasca-Orde Baru


Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia.
Lengsernya tumpuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer

12
di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih
terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini, Presiden Soeharto digantikan oleh
B.J.Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Menyusul berakhirnya
pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan
membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam
kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Tak kalah penting dari perubahan
perundangan, pemerintah di era Reformasi ini juga melakukan ratifikasi terhadap
instrument HAM Internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia.
pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap
pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifika. Lahirnya Tap MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan
pemerintahan era Reformasi akan penegakan HAM. Sejumlah konvensi HAM juga
diratifikasi di antaranya : konvensi HAM tentang kebebasan berserikat dan
perlindungan hak umtuk berorganisasi; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan
dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan pemerintahan B.J. Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM
ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana
Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat
pilar yaitu: (1) Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; (2)
Diseminasi informasi dan pendidikan bidang HAM; (3) Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM; dan (4) Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM
yang telah diratifikasi melalui perundang-udangan nasional.
Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukkan dengan
pengesahan UU tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM
yang kemudia digabung dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi
Departemen kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM
dalam Amandemen UUD 1945, penerbitan Inpres tentang pengarusutamaan gender
dalam pembangunan nasional, pengesahan UU tentang Pengadilan HAM. Pada tahun
2001, Indonesia juga menandatangani dua Protokol Hak Anak, yakni protokol yang
terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol

13
yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian,
pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya
tentang perlindungan anak, pengesahan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, dan penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia
Tahun 2004-2009.
Banyak putusn peninjauan terhadap produk hukum (judicial review) yang
dikeluarkan Mahkamah Konsitusi (MK) Republik Indonesia dalam rangka menjunjung
hak asasi manusia dan pelaksanaan UUD ’45 secara murni dan konsekuen. Di antara
putusan MK tersebut adalah penghapusan sistem tenaga kontrak (out sourching) tenaga
kerja Indonesia karena bertentangan dengan UUD ’45. Putusan MK dianggap penting
bagi pelaksanaan prinsip-prinsip HAM di Indonesia adalah terkait dengan judicial
review atas UU perkawinan tentang status anak di luar nikah yang selama ini
melanggengkan diskriminasi negara terhadap anak-anak yang lahir diluar pernikahan
yang sah.
Pada 17 Februari 2011, MK mengeluarkan putusan judicial review atas Pasal 43
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan yang menyatakan bahwa anak
diluar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dalam putusannya, MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan
HAM. MK menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang perkawinan diubag
dan menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ibunya.”
Dengan keluarnya putusan MK ini, maka setiap anak di luar nikah mendapatkan hak
yang sama dengan anak-anak lainnya, seperti berhak mendapatkan akta lahir dan akta
waris.

D. HAM: ANTARA UNIVERSAL DAN RELATIVITAS

Sekalipun sunstansi HAM bersifat universal, namun mengingat sifatnya sebagai


pemberia Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM.
Hamper semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki

14
perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Hal demikian kerap kali disebut
dengan istilah wacan universalitas dan lokalitas atau partikularitas HAM. Partikularitas
HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau universal. Kekhususan
tersebut bisa saja bersumber pada kekhasan nilai budaya, agam dan tradisi setempat.
Misalnya, hidup serumah tanpa ikatan nikah (kumpul kebo) atau berciuman di muka
umum dalam perpektif HAM universal diperbolehkan, tetapi dalam perspektif budaya
lokas suatu negara keduanya dipandang sebagai praktik yang mengganggu adat
kesusilaan setempat bahkan bisa dikenakan sanksi hukum.

Hal serupa dapat dianalogikan pada masalah prinsip kebebasan beragama bagi
setiap orang yang dijamin oleh HAM. Namun prinsip universal kebebasan berkeyakinan
ini sering kali digugurkan oleh pandangan keyakinan suatu komunitas agama yang
mengajarkan untuk menyebarkan dan mengamalkan ajaran agamanya kepada keluarga
dan anggota kelompoknya sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama yang
diyakininya.

Perdebatan antara universalitas dan partikular HAM tercermin dalam dua teori
yang saling berlawanan: teori relavitisme kultural dan teori universalitas HAM. Teori
relavitisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat
particular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang universal,
semua tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak-hak dasar bisa
diabaikan atau disesuaikan dengan praktik-praktik sosial. Oleh karenanya, ketika
berbenturan dengan nila-nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sehingga
nila-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik dan hanya berlaku khusu pada suatu
negara, tidak ada negara lain.

Para penganut ralativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM


cenderung melihat uviversalitas HAM sebagai imprealisme kebudayaan Barat. Hak
asasi, sebagaimana ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai produk politis Barat,
sehingga tak bisa diterapkan secara universal. Keengganan untuk menerapkan DUHAM
secara menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap pluralutas dengan

15
dasar bahwa kemerdekaan pertama-tama berarti kemerdekaan untuk berbeda, sehingga
penyeragaman HAM dipandang sebagai perampasan kemerdekaan itu sendiri.

Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori
radikal universalitas HAM berarguen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti
membenarkan perbedaan konsepi HAM. Perbedaan pengalaman historis dan sistem nilai
tidak meniscayakan HAM dipahami secara berbeda dan diterapkan secara berbeda pula
dari satu kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini semua nilai termasuk
nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk
mnyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok ini
menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM
berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang
mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian,
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku secara universal

E. PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAM

Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan HAM.
Secara jelas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan hal
tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mecabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan
tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memproleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian,
pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan, baik dilakukan oleh
individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu
lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu: (1) pelanggaran


HAM berat; (2) pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun, bentuk pelanggaran HAM ringan selain
dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut.

16
Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, dan agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara:

1. Membunuh anggota kelompok.


2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota
kelompok.
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagainya.
4. Mamaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok.
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Adapun kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan
serangan yang meluas dan sistematis. Sedangkan serangan yang dimaksud ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
1. Pembunuhan.
2. Pemusnahan.
3. Perbudakan.
4. Pengussiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan; pokok hukum
internasional.
6. Penyiksaan.
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain setara.
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum Internasional.

17
9. Penghinaan orang secara paksa.
10. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas
kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
Pelanggaran HAM dapat dilakukan baik oleh aparatur negara maupun warga
neagara. Untuk menjaga pelaksanaan HAM, penindakan terhadap pelanggaran HAM
dilakukan melalui proses peradilan HAM melalui tahap-tahap penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan pengadilan umum.
Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas
pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
diberlakukan asas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat dan
diadili dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan yang dibentuk atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan presiden dan berada
dilingkungan pengadilan umum.
Selain pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas
untuk menegakkan kebenaran untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif
kepentingan bersama sebagai bangsa.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat
II (kabupaten/kota) yang meliputi daerah hukum pengadilan umum yang bersangkutan.
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga
memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia oleh warga negara
Indonesia yang berada dan dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pengadilan Ham tidak berwenang memeriksa dan memutus perkasa pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang dilakukan seseorang yang berumur di bawah 18
tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan peradilan HAM, Pengadilan
HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara pengadilan HAM
sebagaimana terdapat dalam UU pengadilan HAM.

18
Upaya mengungkap pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta
masyarakat umum. Kepeduliaan warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat
dilakukan melalui upaya-upaya pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan
tribunal (forum kesaksian untuk mengungkap dan menginverstigasi sebuah kasus secara
mendalam) tentang pelanggaran HAM.

F. HAM, GENDER, KEBEBASAN LINGKUNGAN, DAN LINGKUGAN HIDUP


Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional anatara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga
melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu yang bersifat
kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara
laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang
kodrati tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik
dengan urusan rumah tanga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya, identik dengan
pengelola dan penaggung jawab urusan ekonomi.
Ketimpangan ini terjadi karena adanya aturan, tradisi dan hubungan timbal balik
yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan
adanya pembagian peran, dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam
kehidupan sosial misalnya, berkembang anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan, karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat , dan tidak
emosional. Semua anggapan superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya
belaka. Produk atau konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan
ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai berikut:
1. Marganalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan
akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya,
kesempatan perempuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi
cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki. Di sector pekerjaan, marganalisasi ini
biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan
tertentu; peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil,

19
berupa rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan perempuan
pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah
perempuan.
2. Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menempatkan
perempuan pada protitas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus sperti ini
kerap terjadi dalam hal pekrjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh
kesempatan mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki.
3. Stereotpisasi perempuan, yakni pencitraan atas perempuan yang berkonotasi
negatife. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnya perempuan sering
kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan
penggoda.
4. Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul akibat anggapan umum
bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan.
5. Beban kerja yang tidak proporsional, pandangan bahwa perempuan sebagai
makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya
memarginalkan peran perempuan yang seharusnya diperlakukan oleh manusia
yang memeiliki kesamaan hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja
meminggirkan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas
perempuan: selain menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan
menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestic lainnya seperti
memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya.
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender.
Pandangan-pandangan yang mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan sering
dinilai sebagai pandangan ajran Islam, adalah tidak lain bersumber dari budaya patriaki
yang menempatkan posisi sisoal politik laki-laki di atas perempuan, yang kemudian
menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legitimasi untuk mendomasi atas peran
perempuan. Dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan patriaki banyak dijumpai dalam
khazanah hukum Islam (fikih). Reorientasi pemahaman agama (Islam) harus dilakukan
supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada proporsi yang benar.
Dalam perspektif membangun toleransi antar-umat beragama, ada lima prinsip
yang bisa dijadikan pedoman semua pemeluk agam dalam kehidupan sehari-hari: (1)

20
Tidak satu pun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat; (2) Adanya
persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tenrang berbuat baik kepada
sesame; (3) Adanya perbdedaan mendasar yang diajarkan agam-agama. Diantranya,
perbedaan kitab suci, nabi, dan tata cara ibadah; (4) Adanya bukti kebenaran agama;
dan (5) tidak boleh memaksa seseorang menganut suatu agama atau suatu kepercayaan.
Bersandar pada lima prinsip ini, hal yang arus lebih ditunjukkan oleh semua umat
beragama adalah untuk melihat persamaan-persamaan agama yang diyakini seperti
dalam hal perdamaian dan kemanusiaan. Hal ini jauh lebih bermanfaat daripada berkutat
dadlam perdebatan akan hal-hal perbedaan dari ajaran agama dengan semangat menguji
kyakinan sendiri dengan keyakinan orang lain. Perbedaan, dalam hal apa pun, adalah
rahmat Tuhan yang harus disyukuri, karena jika Tuhan menghendaki keseragaman,
nisdaya Dia dapat melakukannya. Perdedaan hendaknya dijadikan media untuk
berlomba dalam lapangan kemanusiaan dan penegakkan keadilan.
Bumi dan segala isinya adalah titipan Tuhan kepada umat manusia yang harus
dipelihara kelestarian dan kemanfaatannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Sejalan
dengan pandangan ini, munculnya isu-isu tentang HAM dan lingkungan hidup, salah
satunya isu tentang perubahan iklim (climate change), adalah sangat selaras dengan
prinsip ajaran Islam tentang alam dan kehidupan. Hubungan antara perusakan
lingkungan dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu ekosistem bumi dapat
mengancam kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat. Penggundulan hutan,
kawasan dataran tinggi, dan hutan lindung yang dilindungi UU di suatu kawasan dapat
berakibat pada bencana alam banjir dan longsor yang sangat merugikan kehidupan
masyarakat yang berada di kawasan yang lebih rendah, khususnya masyarakat miskin.
Terkait dengan hubungan HAM dan lingkungan hidup, tindakan merusak
kelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Sayangnya
masih banyak pihak yang kurang menyadari bahwa perusakan alam, penggundulan
hutan, dan industrialisasi dalam skala besar misalnya, dapat berakibat pada perubahan
iklim dan cuaca dalam skala luas yang melampui batas-batas negara. Perubahan iklim
(climate change) yang disebabkan industrialisasi di negara-negara maju, misalnya, akan
sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi negara atau masyarakat yang hidup di
kawasan maritime. Hal ini tampaknya sejalan dengan keputusan Dewan HAM

21
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang pada Maret 2008 telah mengesahkan
perubahan iklim sebagai bagian isu hak asasi manusia.

22

Anda mungkin juga menyukai