Anda di halaman 1dari 11

KASUS PRIVATISASI INDOSAT

PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. Merupakan sebuah perushaan telekomunikasi


di Indonesia. Dimana pada saat itu Indosat ialah perusahaan telekomunikasi dan multimedia
terbesar kedua di Indonesia untuk jasa seluler (Satelindo, IM3, StarOne). Kasus ini dimulai pada
akhir tahun 2002 tepatnya 15 Desember dimana Pemerintah Indonesia memutuskan untuk
menjual 41,94% saham Indosat ke Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) yang
bernilai US$630 juta atau sekitar Rp. 5,62 triliun. Hal tersebut terjadi karena sebelumnya
pemerintah sudah tidak sanggup untuk menanggung hutang dan bunganya yang mencapai 30%
dari total APBN, pada saat itu kepemimpinan dipegang oleh Megawati karena melihat kondisi
ekonomi yang melemah maka Megawati segera melakukan privatisai pada Indosat dengan alasan
yang paling medasar dari kebijakan privatisasi tersebut ialah hanya untuk menutupi kebutuhan
defisit anggaran tambahan pemerintah tahun 2002-2003 sebesar Rp 6,2 triliun. Dengan demikian
keinginaan pemerintah untuk menutup kekurangan APBN yaitu dengan privatisasi dalam bidang
telekomunikasi tersebut akhirnya dilakukan.

saham yang Hasil bagi


Tahun Metode Sisa saham RI
dijual pemerintah
1994 10 % IPO Rp. 2.537 milyar 65 %
Strategic
2002 41,94 % 15 %
Sale USD 608.4 juta

Privatisasi PT Indosat membuat banyak pihak yang pro dan kontra terkait kasus ini,
karena penjualan saham yang dilakukan oleh pemerintah kepada STT yaitu dengan harga
perlembar sahamnya sebesar Rp 12.950,00. Harga yang ditetapkan oleh Pemerintah dianggap
tidak normal karena berada dibawah kisaran harga saham PT Indosat pada kondisi normal yaitu
Rp 18.000,00 perlembar saham. Sehingga Pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp. 5.050,00
untuk setiap lembar saham melalui proses privatisasi. Proses Privatisasi Indosat tahap ke 2 tahun
2002 menggunakan metode Strategic Sales, yakni salah satu metode dalam privatisasi dengan
cara mengajukan penawaran sebagian besar saham (dapat mencapai 100%) BUMN kepada pihak
lain dengan cara negosiasi. Strategic sale juga dikenal dengan nama penempatan langsung
(direct placement), private placement atau trade sale.

Dilihat dalam pasal 75 UU, 19/2003 pasal 3 ayat 3 PP. No 33/2005, seharusnya
privatisasi dilakukan dengan melihat prinsip transparansi, kemandirian, akuntanbilitas,
pertanggungjawaban dan kewajaran. Namun yang kemudian menjadi persoalan di sini,
privatisasi PT. Indosat banyak mengandung muatan politis, kepentingan praktis dan dilakukan
secara tidak transparan. Hal tersebut terlihat dari dengan adanya penjualan saham kepada STT
yang dikhawatirkan akan terjadinya monopoli di sektor telekomunikasi seluler, sebab selain
memiliki Indosat yang membawahi Satelindo dan IM3, induk perusahaan STT yaitu Temasek
juga telah mengakuisisi 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) lewat anak
perusahaan lainnya, Singapore Telecommunication (SingTel). Muatan politis terlihat dari adanya
sikap Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi yang tidak pernah memberitahukan kepada
publik bahwa yang sebenarnya menjadi investor dan menandatangani shareholder agreement
dengan pemerintah adalah Indonesia Communication Limited (ICL). ICL adalah sebuah entitas
bisnis yang dibentuk STT dan berpusat di Mauritus. Alasan dilakukannya privatisasi terhadap
Indosat adalah harapan dengan privatisasi tersebut dapat mengurangi beban anggaran yang
ditanggung APBN.

PT Indosat adalah perusahaan yang sehat. Indosat merupakan perusahaan pembayar pajak
terbesar dan pembayar deviden yang sangat besar secara rutin tiap tahun. Tahun 1999 Indosat
membayar pajak sebesar Rp 80 miliar dan membayar dividen sebesar Rp 120 miliar. Tahun 2000
membayar pajak sebesar Rp 480 miliar dan membayar dividen sebesar Rp 610 miliar dan tahun
2001 membayar pajak sebesar Rp 700 miliar dan membayar dividen Rp 705 miliar. Total
pembayaran pajak dan dividen dari tahun 1999-2001 sebesar 2,695 triliun, suatu jumlah yang
cukup signifikan. Di lihat dari fungsi sosialnnya. PT. Indosat juga memiliki derajat fungsi sosial
yang tinggi, dimana PT. Indosat merupakan satu-satunya BUMN yang diberi kewenangan untuk
melakukan monopoli penyediaan jasa telekomunikasi luar negeri di Indonesia. Melalui monopoli
ini, tentu tudak mungkin bagi kita untuk menjustifikasi bahwa PT. Indosat tidak mengusai hajat
hidup orang banyak di ranah komunikasi.
Program privatisasi terhadap BUMN bisa dibenarkan jika dapat menciptakan perusahaan-
perusahaan yang lebih efisien dan memberikan harga yang murah kepada konsumen. Kasus ini
menggambarkan kepentingan pragmatik dari pemerintah yang terkesan terburu-buru dalam
melakukan privatisasi. Proses privatisasi PT. Indosat banyak menimbulkan berbagai isu lain.
Salah satunya adalah adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis. Kasus
privatisasi yang terjadi menjelang pemilu 2004 banyak disinyalir memiliki kepentingan politis.
Timbulnya kecurigaan ini disebabkan begitu banyak pihak yang mengaku bisa mengatur
lancarnya proses divestasi. Ada mitra lokal (local partner) yang secara terang-terangan menjual
kedekatan mereka dengan pejabat tinggi. Ada juga pejabat pemerintah, anggota partai politik,
pejabat Indosat, anggota DPR, anggota serikat buruh, yang juga mencoba terlibat secara
langsung dalam kapasitas pribadinya di dalam proses divestasi ini. Meskipun mereka datang dari
latar belakang dan profesi yang berbeda, hampir semua menawarkan hal yang sama, yaitu
kemudahan dan konsesi pada calon investor untuk menjadi pemenang proses divestasi.

Isu yang kedua adalah isu karyawan. Di dalam negosiasi dengan investor, pihak
pemerintah atau manajemen berhasil mendapatkan suatu term yang sangat baik untuk karyawan.
Karyawan akan mendapatkan kompensasi yang jauh lebih tinggi dari yang ditentukan dalam
peraturan pemerintah (tiga kali dari yang diatur dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja), apabila
terjadi rasionalisasi pegawai dan juga coba meminimalisasi terjadinya pemecatan. Maraknya
tuntutan serikat pekerja, meskipun term sangat baik ini, sangatlah mengejutkan. Perjuangan yang
benar bagi serikat pekerja bukanlah semata-mata menolak divestasi, tetapi yang lebih penting
adalah menjamin kesinambungan perusahaan dan kesejahteraan karyawan itu sendiri.
PEMBAHASAN

Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari


pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan
berpindah ke pemegang saham swasta. Privatisasi adalah suatu terminologi yang mencakup
perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling
signifikan adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.
Privatisasi di Indonesia telah diatur dalam sebuah payung hukum yaitu UU No 19 tahun
2003 tentang BUMN pasal 74 yang tertera maksud dan tujuan privatisasi. Maksud privatisasi
dalam UU tersebut adalah memperluas kepemilikan masyarakat dalam persero, meningkatkan
efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur dan manajemen keuangan yang
baik, menciptakan struktur industri yang kompetitif, menciptakan persero yang memiliki daya
asing dan berorientasi global, serta menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas
pasar. Sedangkan tujuan dilakukan privatisasi menurut UU tersebut adalah meningkatkan kinerja
dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan
saham persero.

Dalam UU No 19 tahun 2003 pasal 76 dinyatakan perusahaan yang dapat diprivatisasi


yaitu perusahaan yang sektor usahanya kompetitif dan perusahaan yang unsur teknologinya cepat
berubah. Dalam UU tersebut pada pasal 77 juga dijelaskan kriteria BUMN yang dapat
diprivatisasi yaitu persero yang dalam ketentuan UU bahwa pengelolaannya hanya boleh
dilakukan oleh BUMN, persero yang berkaitan dengan keamanan atau pertahanan serta persero
yang bergerak dalam bidang sumber daya alam yang secara tegas dalam peraturan UU dilarang
diprivatisasi. Metode privatisasi dapat dilaksanakan dengan cara penjualan saham berdasarkan
ketentuan pasar modal, penjualan saham langsung kepada investor, dan penjualan saham kepada
manajemen atau karyawan perusahaan yang bersangkutan (pasal 78). Sedangkan untuk
membahas dan memutuskan kebijakan privatisasi, pemerintah juga membentuk komite
privatisasi sebagai wadah koordinasi yang dipimpin oleh menteri koordinator yang membidangi
perekonomian yaitu termuat dalam pasal 79 dalam UU tersebut.
Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk memperjelas
landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta
sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN. Privatisasi
bukan semata-mata kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur
aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu
pemerintah dalam menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN sekaligus
menjadikan BUMN lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam
pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.

Metode Privatisasi BUMN di Indonesia

Agar suatu Privatisasi dapat berjalan dengan baik dan tepat tujuan, tentu harus diatur
ketentuan mengenai bentuk-bentuk Privatisasi yang dapat dilakukan oleh BUMN. Hal tersebut
diatur dalam Bab IV huruf B angka 28 dari TAP MPR No. IV/MPR/1999 TAP MPR No.
IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999–2004 telah ditentukan arah kebijakan ekonomi sebagai
berikut: "Menyehatkan BUMN/BUMD terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan
umum. Bagi BUMN/BUMD yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong
untuk privatisasi melalui pasar modal".

Setelah adanya permasalahan seperti ISAT maka diatur kembali bentuk-bentuk


Privatisasi yaitu dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang
memberikan batasan bentuk Privatisasi yang dapat dilakukan oleh BUMN yang hendak
melakukan Privatisasi. Dalam Pasal 78 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Privatisasi
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal

Privatisasi dilakukan dengan penjualan saham melalui penawaran umum (Initial Public
Offering atau go public), penerbitan obligasi konversi, dan efek lain yang bersifat ekuitas.
Termasuk dalam pengertian ini adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct
placement) bagi BUMN yang telah terdaftar di bursa;
2. Penjualan saham langsung kepada investor

Privatisasi dilakukan dengan penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement)
atau kepada investor lainnya termasuk financial investor. Cara ini khusus berlaku bagi penjualan
saham BUMN yang belum terdaftar di bursa. Hal ini berarti saham milik suatu BUMN tersebut
dijual kepada pihak tertentu yang hendak menjadi mitra usaha BUMN tersebut sehingga mitra
usaha tersebut kemudian bertindak sebagai pemilik. Dengan kata lain, mitra usaha dapat juga
bertindak sebagai pemegang saham mayoritas yang kemudian juga sebagai pengendali
perusahaan;

3. Penjualan saham kepada menajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.

Privatisasi dilakukan dengan menjualan sebagian besar atau seluruh saham suatu
perusahaan langsung kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan yang bersangkutan.
Dengan kata lain, kepemilikan perusahaan beralih pada pihak yang terkait dengan perusahaan.

Dari ketiga metode maka dapat dilihat bahwa Employee Management Buy Out (EMBO)
digunakan jika tujuan yang hendak dicapai adalah peningkatan partisipasi dan sense of belonging
karyawan dan manajemen. Tapi metode ini kurang berdampak pada peningkatan akuntabilitas,
perbaikan kemampuan manajemen, serta perluasan kepemilikan oleh masyarakat. Kemudian,
Strategic Sales menjadi pilihan jika tujuannya adalah kemudahan mendapatkan harga optimal
dalam waktu singkat, akses cepat pada permodalan dan teknologi, dan perubahan postur
manajemen. Namun kurang membawa pengaruh pada perkembangan pasar modal dan perluasan
kepemilikan saham. Metode ini juga rentan transaksi di bawah meja oleh kelompok-kelompok
kepentingan. Dan yang terakhir penawaran umum atau Public Offering dinilai memiliki paling
banyak keunggulan. Di antaranya, kontribusi bagi perkembangan pasar modal, perluasan
kepemilikan publik, dan peningkatan akuntabilitas perusahaan. Protokol pasar modal yang ketat,
menyebabkan tingkat penerapan Good Corporate Governance (GCG) perusahaan terbuka lebih
baik dibanding perusahaan non-terbuka.
ANALISIS

Dalam kasus privatisasi PT Indosat, terdapat beberapa undang-undang yang dilanggar, yaitu:

1. Privatisasi BUMN yang masih menjadi kepentingan umum

UU No. 25/2000 tentang Propenas 2000-2004 poin 5.3 butir 2 disebutkan bahwa:
“privatisasi BUMN adalah untuk kegiatan usaha yang tidak lagi menjadi kepentingan umum dan
sangat strategis, dilakukan dengan prinsip sederhana, transparan, dan memiliki akuntabilitas
tinggi melalui divestasi dan penyebaran kepemilikan BUMN kepada terutama masyarakat baik
melalui pasar modal atau unit trust”. Berdasarkan ketentuan ini, diketahui bahwa ISAT
merupakan sektor usaha yang masih menjadi kepentingan umum dan sangat strategis. Hal ini
antara lain dipertegas oleh berbagai produk hukum berikut: (1) Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU
No. 36/1999 tentang Telekomunikasi yang mengemukakan: “Mengingat telekomunikasi
merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional,
maka penguasaannya dilakukan oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk
sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat”; (2) Pasal 6 UU No. 1/1967
tentang PMA menyebutkan: “telekomunikasi merupakan bidang-bidang usaha yang tertutup
penanaman modal asing secara pengusaha penuh karena dianggap bidang yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.”

2. proses divestasi ISAT tidak dilakukan dengan prinsip transparan.

Hal ini ditunjukkan oleh fakta berikut ini: sesuai dengan Laporan Manajemen ISAT,
bulan November 2002 "Pada tanggal 16 Desember 2002 secara resmi pemerintah RI
mengumumkan STT sebagai pemenang divestasi ISAT dengan nilai transaksi Rp5,62 triliun atau
setara dengan 434.250.000 lembar saham Indosat Seri B atau Rp12.950 per lembar saham.
Dengan demikian STT menguasai 41,94% kepemilikan di ISAT". Berdasarkan fakta, proses
divestasi ISAT tidak transparan, karena dalam dokumen due dillegence Danareksa dan negosiasi
antara pemerintah RI dan ST Telemedia tidak pernah disebut ICL sebagai pembeli ISAT.
3. Divestasi Indosat tidak sejalan dengan UU telekomunikasi yang menyatakan bahwa
sumber daya yang dimaksudkan didalam ketentuan harus dikuasai oleh Negara.

Hal tersebut berada dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Dalam Penjelasan
Umum UU Telekomunikasi dikemukakan bahwa “….hal-hal yang menyangkut pemanfaatan
spektrum frekwensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas
dikuasai oleh negara". Pada kasus ini divestasi ISAT yang mengakibatkan beralihnya status
pemegang saham pengendali dari Pemerintah RI kepada ICL/STT, maka jelas pelaksanaan
divestasi itu tidak sejalan dengan asas yang dituangkan dalam UU Telekomunikasi.
Dalam Pasal 3 UU Telekomunikasi disebutkan bahwa “Telekomunikasi diselenggarakan
dengan tujuan mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan
pemerintahan serta meningkatkan hubungan antar bangsa”.
Dari ketentuan Pasal 3 tersebut, maka seharusnya perusahaan telekomunikasi Indonesia
tidak sampai dikendalikan asing. Dalam RUPS Luar Biasa yang diselenggarakan pada 27
Desember 2002, telah disetujui ISAT diubah statusnya menjadi PMA. Dengan beralihnya
kedudukan pemegang saham pengendali dari pemerintah kepada ICL yang merupakan
perusahaan asing dan para pemegang saham pengendalinya adalah asing, itu berarti asas pada
Pasal 3 UU Telekomunikasi telah dilanggar. Hal tersebut dikarenakan pemegang saham
pengendali dari ISAT sudah berada ditangan ICL, maka akan sulit memperoleh jaminan bahwa
ISAT dapat diharapkan berfungsi sebagai pendukung persatuan dan kesatuan bangsa
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 3 UU Telekomunikasi tersebut.

4. Dampak privatisasi terhadap praktek monopoli dan persaingan tidak sehat

Kebijakan privatisasi atas ISAT juga melanggar UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Fakta menunjukkan SingTel yang satu grup
dengan STT sebelumnya telah mengakusisi 35% saham PT. Telkomsel. Dengan kepemilikan di
ISAT (41,94%) dan PT. Telkomsel (35%) oleh perusahaan perusahaan Singapura tersebut, maka
dengan sendirinya Satelindo dan IM3 ikut dimiliki oleh grup mereka.
Hal itu bukan saja bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) UU No. 5/1999, tetapi juga
melanggar Pasal 10 ayat (1) UU Telekomunikasi. Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU No.
5/1999 disebutkan “Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain
apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau usaha
persaingan tidak sehat”. Pasal 10 ayat (1) UU Telekomunikasi menentukan: “Dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara penyelenggara
telekomunikasi”.

Pasal 10 ayat (1) UU Telekomunikasi tersebut diatas, bukan saja sejalan dengan UU No.
5/1999 tentang, tetapi merupakan penegasan bahwa tidak dibenarkan adanya monopoli pada
penyelenggaraan privatisasi dalam sektor telekomunikasi.

5. Privatisasi tidak dilakukan ke publik

Proses divestasi ISAT tidak memenuhi ketentuan penyebaran kepemilikan BUMN kepada
publik atau masyarakat. Karena faktanya, divestasi ISAT kemudian dilakukan melalui strategic
sale, bukan melalui pasar modal. Karena salah satu tujuan privatisasi ialah memperluas
kepemilikan masyarakat, namun penjualan saham dengan metode strategic sale justru menutup
kemungkinan masyarakat untuk membeli sahamnya. Selain itu, hal tersebut juga melanggar Bab
IV huruf B angka 28 dari TAP MPR No. IV/MPR/1999 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang
GBHN 1999–2004.

REKOMENDASI

 Dalam menjalankan privatisasi pemerintah harus lebih transparan dan memastikan bahwa
BUMN yang diprivatisasi bukan merupakan usaha yang sangat strategis dan bukan
merupakan kepentingan umum.

 Seharusnya pemerintah tidak terburu-buru dalam bertindak dan harus melibatkan MPR,
DPR, Panglima TNI, Bappenas dalam pengambilan keputusan privatisasi.
 Negara harus mampu menjadi regulator yang baik dan tegas agar aktor-aktor (orang yang
memiliki kuasa) tidak melakukan penyimpangan terhadap kekuasaannya secara
berlebihan.

 Dalam pengambilan keputusan privatisasi pemerintah juga harus memikirkan kelanjutan


dimasa mendatang (jangka panjang) sebagai akibat dari privatisasi itu sendiri. Karena
dalam kasus ini pemerintah hanya mengutamakan kepentingan ekonomi tanpa dampak
jangka panjang dari privatisasi yang terburu-buru itu.

 Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam memberikan privilege (kekhususan) pada


BUMN untuk melakukan / menjadi monopoli, agar ketika BUMN tersebut ingin
diprivatisasi tidak menimbulkan monopoli yang menyebabkan persaingan tidak sehat.

 Penyediaan regulasi dan kebijakan yang lebih jelas.


http://sepatanpaper.blogspot.co.id/2009/04/analisa-artikel-privatisasi-ratusan.html

http://ratnadwipa.blogspot.co.id/2008/12/peran-negara-dan-pasar-dalam-kasus.html

http://sunarsip.com/index.php?option=com_content&view=article&id=198:privatisasi-bumn-
sebagai-pelanggaran-hukum&catid=37:bumn&Itemid=129

https://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/
http://www.kabarpajak.com/2013/07/initial-public-offering-ipo-vs.html

http://fredy-purnama.blogspot.co.id/2012/06/analisa-kasus-penjualan-saham-telkomsel.html

http://ratnadwipa.blogspot.co.id/2008/12/peran-negara-dan-pasar-dalam-kasus.html

http://sunarsip.com/index.php?option=com_content&view=article&id=198:privatisasi-bumn-
sebagai-pelanggaran-hukum&catid=37:bumn&Itemid=129

Anda mungkin juga menyukai