Anda di halaman 1dari 7

Daniel Jusuf Said Sembiring

1806156605

Ketentuan Subsidi dalam Perjanjian Multilateral

General Agreement on Tariffs and Trade 1994 atau Persetujuan Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan (“GATT”) merupakan perjanjian perdagangan multilateral yang berdasarkan
mukadimahnya, tujuan dari perjanjian ini adalah pengurangan substansial atas tarif dan hambatan
perdagangan lainnya dan penghapusan perlakuan diskriminasi dalam perdagangan internasional.

Salah satu prinsip perdagangan yang diatur dalam GATT adalah prinsip persaingan yang adil
(fairness principle). Untuk menciptakan persaingan yang adil, GATT menetapkan ketentuan-ketentuan
diantaranya adalah pembatasan pemberian subsidi terhadap produk ekspor.

Menurut Huala Adolf & A. Chandrawulan dalam Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan
Internasional, subsidi adalah sebuah pembayaran oleh pemerintah untuk produsen, distributor dan
konsumen bahkan masyarakat dalam bidang tertentu.

Andreas F. Lowenfield dalam International Economic Law mengatakan subsidi adalah transfer kekayaan
dari dana publik kepada suatu kelompok penerima manfaat tertentu, dimana dipercayai tidak dapat
bertahan, atau setidaknya tidak dapat mempertahankan kedudukan mereka, kalau hanya didasarkan
pada kekuatan pasar semata .

Menurut hemat kami, walaupun subsidi tersebut terjadi dalam suatu negara tertentu, perbuatan
tersebut dapat memiliki dampak yang buruk terhadap ekonomi atau sektor tertentu negara-negara lain,
karena subsidi ini mendistorsi arus barang yang terjadi.

Aturan mengenai subsidi diatur Pasal XVI GATT dan lebih lanjut dalam Agreement on Subsidies and
Countervailing Measures 1995 (“SCM”) yang mengatur lebih rinci mengenai subsidi dan tindakan yang
dapat diambil oleh negara anggota yang dirugikan akibat adanya produk ekspor yang disubsidi negara
lainnya.

Jenis-Jenis Subsidi

Pasal 1.1 SCM memberkan definisi umum mengenai subsidi yang akan menjadi acuan dalam penentuan
apakah subsidi tersebut diperbolehkan atau tidak, yaitu:

For the purpose of this Agreement, a subsidy shall be deemed to exist if:

a. (1) there is a financial contribution by a government or any public body within the territory of a
Member (referred to in this Agreement as "government"), i.e. where:

i. a government practice involves a direct transfer of funds (e.g. grants, loans, and equity
infusion), potential direct transfers of funds or liabilities (e.g. loan guarantees);
ii. government revenue that is otherwise due is foregone or not collected (e.g. fiscal
incentives such as tax credits)1;

iii. a government provides goods or services other than general infrastructure,


or purchases goods;

iv. a government makes payments to a funding mechanism, or entrusts or directs a private


body to carry out one or more of the type of functions illustrated in (i) to (iii) above which
would normally be vested in the government and the practice, in no real sense, differs
from practices normally followed by governments; or

(2) there is any form of income or price support in the sense of Article XVI of GATT 1994; and

b. a benefit is thereby conferred.

Berdasarkan uraian tersebut, maka subsidi dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

a. Hibah pemerintah (grant);

b. Pinjaman pemerintah (loan);

c. Pemasukan modal pemerintah (equity infusion);

d. Penjaminan pinjaman oleh pemerintah (loan guarantee);

e. Insentif fiskal seperti kredit pajak (tax credit);

f. Penyediaan barang dan jasa oleh pemerintah, serta pembelian barang oleh pemerintah diluar
infrastruktur umum;

g. Mekanisme pendanaan oleh pemerintah kepada lembaga privat yang melakukan tindakan a-f
diatas;

h. Dukungan pendapatan (income subsidy); dan

i. Dukungan harga (price subsidy).

Ketentuan diatas tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus memenuhi ketentuan bahwa subsidi
tersebut harus bersifat “spesifik” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2.1 SCM:

In order to determine whether a subsidy, as defined in paragraph 1 of Article 1, is specific to an


enterprise or industry or group of enterprises or industries (referred to in this Agreement as
"certainenterprises") within the jurisdiction of the granting authority, the following principles shall apply:

a. Where the granting authority, or the legislation pursuant to which the granting authority
operates, explicitly limits access to a subsidy to certain enterprises, such subsidy shall be
specific.
b. Where the granting authority, or the legislation pursuant to which the granting authority
operates, establishes objective criteria or conditions governing the eligibility for, and the
amount of, a subsidy, specificity shall not exist, provided that the eligibility is automatic and
that such criteria and conditions are strictly adhered to. The criteria or conditions must be clearly
spelled out in law, regulation, or other official document, so as to be capable of verification.

c. If, notwithstanding any appearance of non-specificity resulting from the application of the
principles laid down in subparagraphs (a) and (b), there are reasons to believe that the subsidy
may in fact be specific, other factors may be considered. Such factors are: use of a subsidy
programme by a limited number of certain enterprises, predominant use by certain
enterprises, the granting of disproportionately large amounts of subsidy to certain enterprises,
and the manner in which discretion has been exercised by the granting authority in the decision
to grant a subsidy. In applying this subparagraph, account shall be taken of the extent
of diversification of economic activities within the jurisdiction of the granting authority, as well
as of the length of time during which the subsidy programme has been in operation.

Berdasarkan ketentuan tersebut, subsidi yang dimaksud adalah subsidi yang spesifik penerimanya,
yaitu subsidi yang diberikan kepada suatu perusahaan, industri, kelompok perusahaan atau kelompok
industri. Sedangkan, subsidi yang sifatnya umum tidak termasuk subsidi yang dimaksud dalam SCM.

Subsidi yang diberikan kepada semua pihak sepanjang memenuhi kriteria atau persyaratan yang diatur
dalam suatu perundang-undangan, bukan merupakan subsidi yang spesifik, sehingga tidak termasuk
dalam ruang lingkup yang diatur dalam SCM. Faktor-faktor lain yang harus diperhatikan adalah apakah
kegiatan ekonomi negara yang dimaksud bervariasi atau tidak dan lamanya waktu program subsidi
berlangsung.

Tolok Ukur Subsidi yang Dilarang

Menurut Mithuo Mathushita, et.al dalam The World Trade Organization, Law, Practive, and Policy,
berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 SCM, maka terdapat tiga elemen dasar dalam menentukan
subsidi berdasarkan SCM, yaitu (hal. 305):

1. Subsidi harus merupakan suatu kontribusi keuangan dari pemerintah atau badan publik;

2. Subsidi tersebut harus memberikan manfaat

3. Subsidi harus spesifik kepada penerima tertentu.

SCM kemudian membagi subsidi kedalam 2 (dua) kategori utama, yaitu:

1. Subsidi yang dilarang (prohibited subsidies) sebagaimana diatur dalam Bagian II SCM; dan
2. Subsidi yang dapat dikenakan tindakan (actionable subsidies) sebagaimana diatur
dalam Bagian III SCM.

Sebenarnya, terdapat satu lagi kategori subsidi, yaitu subsidi yang tidak dapat dikenakan tindakan (non-
actionable subsidies), seperti bentuk bantuan penelitian dan pengembangan dari pemerintah
sebagaimana diatur dalam Bagian IV SCM. Namun, karena tidak ada negara anggota yang menyetujui
perpanjangan keberlakuan ketentuan ini sesuai dengan jangka waktu yang dipersyaratkan, maka sejak
31 Desember 1999 ketentuan Bagian IV SCM sepanjang mengenai non-actionable subsidies berakhir dan
menjadi tidak berlaku.

Prohibited subsidies adalah subsidi yang diberikan oleh pemerintah yang pada dasarnya terdiri dari
subsidi produk ekspor subsidi dan produk substitusi impor sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 SCM,
yang berbunyi:

1.

1. Except as provided in the Agreement on Agriculture, the following subsidies, within the
meaning of Article 1, shall be prohibited:

1.

a. subsidies contingent, in law or in fact, whether solely or as one of several other


conditions, upon export performance, including those illustrated in Annex I;

b. subsidies contingent, whether solely or as one of several other conditions, upon the use
of domestic over imported goods.

1.

2. A Member shall neither grant nor maintain subsidies referred to in paragraph 1.

Subsidi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3.1 SCM adalah per se illegal, yaitu sama sekali
dilarang tanpa mewajibkan negara pelapor membuktikan adanya dampak kerugian ekonomi yang
dialami negaranya akibat adanya suatu produk impor bersubsidi dari negara lain.

Subsidi kategori prohibited subsidies otomatis memenuhi unsur spesifik sebagaimana


dipersyaratkan. Annex 1 SCM memberikan daftar bentuk subsidi produk ekspor yang dilarang yang
bersifat non-exhaustive, artinya dimungkinkan bentuk-bentuk lain di luar daftar tersebut.
Mithuo Mathushita, et.al dalam buku yang sama menyatakan bahwa daftar bentuk-bentuk subsidi
produk ekspor yang dilarang berdasarkan Annex 1 SCM (hal. 330 – 331):

a. Pemberian subsidi langsung untuk kinerja ekspor.

b. Skema retensi mata uang atau praktik-praktik serupa.

c. Biaya transportasi dan pengangkutan internal pada pengiriman (shipment) ekspor, yang
dberikan atau disyaratkan oleh pemerintah, dengan ketentuan-ketentuan yang lebih mudah
dibandingkan untuk pengiriman domestik.

d. Ketentuan dengan tata cara dan persyaratan yang lebih mudah bagi produk impor atau
domestik, atau jasa dalam penggunaan produksi barang ekspor, dibandingkan ketentuan untuk
produk sejenis atau yang berkompetisi secara langsung, atau jasa untuk penggunaan produksi
barang konsumsi domestik.

e. Pengecualian pengurangan, atau penangguhan pajak-pajak langsung atau biaya kesejahteraan


sosia yang berhubungan dengan ekspor.

f. Tunjangan (allowance) untuk pengurangan khusus yang secara langsung berkaitan untuk ekspor
atau kinerja ekspor, melebihi dan diatas yang diberikan terhadap produksi untuk konsumsi
domestik.

g. Pengecualian atau pengurangan pajak tidak langsug untuk produksi dan distribusi produk-
produk ekspor, melebihi yang dikenakan pada produksi dan distribudsi produk sejenis ketika
dijual untuk konsumsi domestik.

h. Pengecualian, pengurangan atau penanguhan dari pajak tidak langsung kumulatif pada barang
atau jasa dalam produksi produk-produk ekspor.

i. Pengurangan biaya-biaya impor melebihi yang dibebankan pada barang input yang diimpor yang
dikonsumsi dalam produksi produk ekspor.

j. Pemberian program penjaminan ekspor kredit atau asuransi oleh pemerintah atau lembaga
khusus yang dikontrol pemerintah.

k. Hibah (grant) kredit ekspor oleh pemerintah (atau lembaga khusus yang dikendalikan oleh
dan/atau bertindak di bawah wewenang pemerintah) dengan harga di bawah yang sebenarnya
yang harus mereka bayar untuk dana yang digunakan (atau jika mereka meminjam pada pasar
modal internasional guna memperoleh dana dengan jangka waktu dan persyaratan kredit yang
sama dan dalam mata uang yang sama sebagaimana dalam kredit ekspor).

Dalam actionable subsidies, komplain yang ditujukan tidak harus terhadap subsidi produk ekspor atau
subsidi produk substitusi impor. Negara anggota dapat melakukan komplain terhadap setiap jenis
subsidi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1.1 SCM sepanjang yang bersangkutan dapat
membuktikan adanya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari produk bersubsidi tersebut.
Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Article 5 SCM yang menyebutkan:

No Member should cause, through the use of any subsidy referred to in paragraphs 1 and 2 of Article 1,
adverse effects to the interests of other Members, i.e.:

a. injury to the domestic industry of another Member;

b. nullification or impairment of benefits accruing directly or indirectly to other Members under


GATT 1994 in particular the benefits of concessions bound under Article II of GATT 1994;

c. serious prejudice to the interests of another Member.

Berdasarkan ketentuan diatas, terhadap actionable subsidies, negara pelapor harus menunjukan bahwa
subsidi berdampak buruk pada kepentingannya. Kalau tidak, subsidi diizinkan.

Ketentuan tersebut juga mendefinisikan tiga jenis kerusakan yang terjadi akibat subsidi. Pertama,
subsidi suatu negara dapat merugikan industri dalam negeri di negara pengimpor. Kedua, subsidi dapat
merugikan eksportir saingan dari negara lain ketika keduanya bersaing di pasar ketiga. Ketiga, subsidi
domestik di suatu negara dapat merugikan eksportir yang mencoba bersaing di pasar domestik negara
yang memberikan subsidi.

Dengan demikian, subsidi yang dilarang dalam rangka perjanjian perdagangan


internasional adalah subsidi dari pemerintah kepada perusahaan atau industri tertentu, dengan jenis
utamanya adalah subsidi produk ekspor atau subsidi produk substitusi impor.

Selain subsidi produk ekspor atau produk substitusi impor, pelarangan subsidi juga dimungkinkan
sepanjang negara pelapor dapat membuktikan adanya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan.

Kemudian, terhadap produk bersubsidi, negara yang dirugikan dapat menempuh dua tindakan, yaitu:

1. Menetapkan bea perimbangan (contervailing duty) terhadap produk bersubsidi tersebut dengan
terlebih dahulu melakukan inisiasi investigasi sendiri sebagaimana diatur dalam Bagian V SCM;
dan/atau

2. Menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa WTO untuk memaksa negara pelanggar


menyesuaikan perilaku kebijakannya sesuai dengan nilai-nilai WTO sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 dan Pasal 7 SCM.
Negara pelapor dapat menggunakan salah satu atau kedua jalur tersebut secara bersamaan, namun
hasilnya hanya boleh ada satu tindakan pemulihan yang diambil berdasarkan ketentuan Pasal 10 SCM,
yaitu bea penyesuaian (contervailing duty) berdasarkan Bagian V SCM atau tindakan balasan
(countermeasure) berdasarkan Pasal 4.10 atau Pasal 7.9 SCM.

Inisiasi investigasi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Aturan prosedur dan pembuktian dalam
melakukan investigasi diatur dalam dan harus sesuai dengan ketentuan dalam Bagian V SCM untuk
dapat membebankan bea penyeimbang (countervailing duty) terhadap produk impor dimaksud.

Sedangkan, dalam penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa WTO, jika terbukti, negara pelanggar
dapat diminta untuk mencabut subsidi tersebut. Jika negara pelanggar tersebut tidak mematuhinya,
maka Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) memberikan otorisasi kepada negara
pelapor untuk mengambil tindakan balasan (countermeasure).

Berdasarkan penelusuran kami, dalam kasus Uni Eropa-Indonesia terkait minyak kelapa sawit atau
biodiesel, Uni Eropa menggunakan jalur investigasi sendiri untuk mengenakan bea perimbangan
(contervailing duty) terhadap impor minyak kelapa sawit dari produsen Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai