Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH ATRESIA ANI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak II
Dosen Pengampu : Ns. Lilis Lusiani., S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
- Aditya Sunjaya - Nuraeni
- Della Neira - Poetri Heraldha M
- Dewi Ariyanti Puspita Sari - Rahayu Ciptaning Budi
- Friska Catur Wulandari - Ratna Komala
- Haryani - Tifani Dwiyanti
- Indah Sari - Vina Oktafia
- Jihan Nursantosa

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
KAMPUS II STIKKU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang
berjudul “ATRESIA ANI”. Di susun untuk memenuhi syarat salah satu tugas
Keperawatan Anak II.

Makalah ini berisikan tentang analisis asuhan keperawatan Atresia


Ani. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta
kami sampaikan rasa terimakasih kepada Dosen Pengampu Ibu Ns. Lilis Lusiani,
S.Kep., M.Kep. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Aamiin.

Cirebon, 8 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................... 2

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................... 2

1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................. 2

1.4 Sistematika Penulisan ............................................................ 3

BAB II TINJAUAN TEORI .................................................................... 4

2.1 Definisi Atresia Ani ............................................................... 4

2.2 Etiologi ................................................................................... 5

2.3 Klasifikasi .............................................................................. 6

2.4 Manifestasi Klinis .................................................................. 7

2.5 Komplikasi ............................................................................. 7

2.6 Patofisiologi ........................................................................... 8

2.7 Penatalaksanaan ..................................................................... 8

2.8 Pemeriksaan Penunjang ......................................................... 10

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ..................................................... 12

3.1 Pengkajian .............................................................................. 12

3.2 Diagnosa Keperawatan........................................................... 19

3.3 Intervensi ................................................................................ 19

ii
3.4 Implementasi .......................................................................... 23

3.5 Evaluasi .................................................................................. 23

3.6 Pendidikan Kesehatan Atresia Ani......................................... 23

3.7 Analisis Pemecahan Masalah Keperawatan ........................... 24

BAB IV PENUTUP .................................................................................... 26

4.1 Kesimpulan ............................................................................ 26

4.2 Saran ....................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang terbanyak pada
daerah anorektal. Insidensinya adalah 1 dari 4000 hingga 5000 kelahiran
hidup. Insidensi pada laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada
perempuan paling sering didapatkan fistula rektovestibuler. (Pena, 2009)
Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga
clausura. Dengankata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau
buntutnya saluranatau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak
lahir atau terjadikemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu Anusimperforata. Sampai sekarang atresia ani masih dalam
perdebatan, baik mengenai klasifikasi maupun penatalaksanaannya. Beberapa
ahli mencoba mengklasifikasikan atresia ani serta memperkenalkan teknik
operasi terbaik. Klasifikasi Wingspread pada pasien atresia ani, yaitu atresia
ani letak tinggi, intermediet, dan rendah saat ini banyak ditinggalkan karena
tidak mempunyai aspek terapetik dan prognostic. (Pena, 2009)
Klasifikasi Pena yang membagi atresia ani letak tinggi dan rendah
lebih banyak dipakai karena mempunyai aspek terapi. Penatalaksanaan atresia
ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan
kolostomi sebagai tindakan bedah awal untuk diversi dan dekompresi, pada
tahap berikutnya dilakukan anoplasti. Prosedur abdominoperineal pullthrough
yang beberapa waktu lalu dikembangkan dengan tujuan untuk memudahkan
identifikasi dan melindungi otot levator, saat ini banyak ditinggalkan karena
menimbulkan komplikasi. (Pena, 2009)
Pena dan de Vries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi
dengan pendekatan postero sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel. Keberhasilan

1
penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang,
meliputi anatomis, fungsi fisiologis, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma
psikis. Sebagai tujuannya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya
baik. Usia pasien saat menjalani operasi PSARP menjadi salah satu faktor
penting dalam keberhasilan penatalaksanaan atresia ani. Pena menyarankan
agar tindakan definitif PSARP dilakukan saat usia 8 – 12 minggu (3 bulan)
setelah dilakukan kolostomi, karena dapat dilakukan evaluasi kelainan
penyerta lain yang dapat mempengaruhi tindakan definitif. Leape (1987)
menyarankan untuk melakukan operasi definitif pada usia 3-12 bulan karena
memberi kesempatan kepada bayi untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan
Fonkalsrud mengatakan usia untuk operasi definitif 6-12 bulan pada saat berat
badan pasien telah mencapai 12-15 pound. (Pena, Levitt 2009)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan atresia ani?
2. Apa saja etiologi dari atresia ani?
3. Apa saja manisfestasi klinis pada atresia ani?
4. Apa saja klasifik asiatresi ani?
5. Apa saja komplikasi atresia ani?
6. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada atresia ani?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak dengan
gangguan system eliminasi yaitu atresia ani.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui yang dimaksud dengan atresia ani.
2. Mengetahui etiologi dari atresia ani.
3. Mengetahui manisfestasi klinis pada atresia ani.
4. Mengetahui klasifikasi atresia ani.
5. Mengetahui komplikasi atresia ani.

2
6. Memahami patofisiologi dari atresia ani.
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani.
8. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani.

1.4 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan ini disusun secara sistematis yang terdiri dari 4 BAB
yaitu :
BAB I PENDAHULUAN : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN MATERI : Definisi, Etiologi, Klasifikasi, Manifestasi
Klinis, Komplikasi, Patofisiologi, Penatalaksanaan, Pemeriksaan Penunjang.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN : Pengkajian, Diagnosa Keperawatan,
Intervensi, Implementasi, Evaluasi, Pendidikan Kesehatan, Analisi Pemecahan
Masalah Keperawatan.
BAB IV PENUTUP : Kesimpulan dan Saran.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Atresia Ani

Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani


yaitu „a‟ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau
nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung
dengan rektum. (Purwanto, 2010)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2010)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2012)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya
lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2013)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus
tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan
atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau
kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
yang terjadi pada masa kehamilan.

4
2.2 Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena :

1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi


lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter,
dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih
jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab
atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier
penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi
carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi
yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau
kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani
(Purwanto, 2011).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi
umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan
adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari
bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau
dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan
dengan malformasi anorektal adalah
1) Kelainan Kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten

5
ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular
septal defect.
2) Kelainan Gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan Tulang Belakang dan Medulla Spinalis
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan
adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan Traktus Genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%,
dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality)
dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular,
Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K,
2009).

2.3 Klasifikasi

Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:


1. Tinggi (Supralevator)
Rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan jarak
antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau
saluran genital.
2. Intermediate
Rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah
Rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rektum paling jauh 1 cm.

6
2.4 Manifestasi Klinis

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.

Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:

1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.


2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung.
(Ngastiyah, 2009)

2.5 Komplikasi

Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1. Asidosis hiperkloremik
2. Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4. Komplikasi jangka panjang
a. Eversi mukosa anus
b. Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c. Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d. Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e. Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f. Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g. Fistula kambuhan

7
2.6 Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal


secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur
kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi
dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada
uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah
dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel
menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila
kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektouretralis). (Faradilla, 2009)

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk

8
berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan
alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang
dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai
diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui
bayi menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses
yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), bagi penyidap kelainan tipe
I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan
mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara
pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan
karakter uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil.
Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan
jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang
lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi
mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan
diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan
pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti pcrincum,
kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus slama 23 bulan.
Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di
rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan
di rumah sampai tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III,
apabila jarak antara ujung rektum uang buntu ke lekukan anus kurang
dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui
anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya
perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi
bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan
pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum
yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi

9
dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon sigmoideum.
Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan
adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun,
anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan
sakrum menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan.
Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi dan
selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula
dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 23
bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan pada penanganan
tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan
dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada
megakolon congenital. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan
garamicin untuk mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian
vitamin C untuk daya tahan tubuh.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu
setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus
diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul
bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan
anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah
lekukan anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan
kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.

10
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.

11
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

a. Biodata Klien
b. Riwayat Biologis
1. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
Pada pengkajian keperawatan dapat ditemukan penyumbatan anus
(anus tidak normal), tidak adanya mekonium, adanya kembung dan
terjadi muntah pada 24-48 jam setelah lahir. Atau pada bayi laki-laki
dengan fistula urinaria didapatkan mekonium pada urin, dan pada
bayi perempuan dengan fistula urogenital ditemukan mekonium pada
vagina.
2. Riwayat kesehatan masa lalu
a. Riwayat Parental
Kesehatan ibu selama hamil, kapan hari pertama haid terakhir
(HPHT), imunisasi TT, nutrisi selama ibu hamil dan kebiasaan
atau perilaku ibu sewaktu hamil yang merugikan bagi
perkembangan dan pertumbuhan janin, seperti : kebiasaan
merokok, minum kopi, minum minuman keras, mengkonsumsi
narkoba dan obat obatan secara sembarang.
b. Riwayat Intranatal
Lamanya kehamilan, jenis dan lamanya partus, jenis pertolongan
persalinan, berat badan lahir, keadaan bayi lahir awal, awal
timbulnya pernafasan, tangisan pertama dan tindakan khusus.
c. Riwayat Neonatal
Skor APGAR (warna, sianosis, pucat, ikhterik), mucus yang
berlebihan paralisis, konvulsi, demam, kelainan congenital,
kesulitan menghisap, kesulitan pemberian makan atau ASI.
3. Penyakit keturunan
Mengkaji kemungkinan adanya anggota keluarga uang mengalami
gangguan seperti yang dialami klien atau gangguan tertentu yang
berhubungan langsung dengan gangguan system gastrointestinal.

12
4. BB lahir abnormal.
5. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh
kembang pernah mengalami trauma saat sakit.
6. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
7. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
c. Riwayat Psikologis
1. Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
2. Emosi yang dirasakan oleh anak.
d. Riwayat Sosial
1. Pendidikan terakhir orang tua.
2. Pekerjaan terakhir orang tua.
3. Ekonomi keluarga.
4. Hubungan anak dengan kelaurga.
5. Lingkungan tempat tinggal anak.
6. Budaya masyarakat sekitar.
e. Riwayat Spiritual
1. Agama yang dianut.
2. Kegiatan beribadah.
f. Komunikasi Terapeutik
1. Komunikasi Terapeutik Berdasarkan Tingkat Perkembangan Anak
a. Usia Bayi (0-1 tahun)
Komunikasi pada bayi yang umumnya dapat dilakukan
adalah dengan melalui gerakan-gerakan bayi, gerakan tersebut
sebagai alat komunikasi yang efektif, di samping itu komunikasi
pada bayi dapat dilakukan secara non verbal. Perkembangan
komunikasi pada bayi dapat dimulai dengan kemampuan bayi
untuk melihat sesuatu yang menarik, ketika bayi digerakkan
maka bayi akan berespons untuk mengeluarkan suara-suara
bayi. Perkembangan komunikasi pada bayi tersebut dapat
dimulai pada usia minggu ke delapan dimana bayi sudah mampu
untuk melihat objek atau cahaya, kemudian pada minggu kedua
belas sudah mulai melakukan tersenyum. Pada usia ke enam

13
belas bayi sudah mulai menolehkan kepala pada suara yang
asing bagi dirinya. Pada pertengahan tahun pertama bayi sudah
mulai mengucapkan kata-kata awal seperti ba-ba, da-da, dan
lain-lain. Pada bulan ke sepuluh bayi sudah bereaksi terhadap
panggilan terhadap namanya, mampu melihat beberapa gambar
yang terdapat dalam buku. Pada akhir tahun pertama bayi sudah
mampu mengucapkan kata-kata yang spesifik antara dua atau
tiga kata.
Selain melakukan komunikasi seperti di atas terdapat cara
komunikasi yang efektif pada bayi yakni dengan cara
menggunakan komunikasi non verbal dengan tehnik sentuhan
seperti mengusap, menggendong, memangku, dan lain-lain.
b. Usia Todler dan Pra Sekolah (usia kurang dari 5 tahun)
Perkembangan komunikasi pada usia ini dapat ditunjukkan
dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan anak
sudah mampu memahami kurang lebih sepuluh kata, pada tahun
ke dua sudah mampu 200-300 kata dan masih terdengan kata-
kata ulangan.
Pada anak usia ini khususnya usia 3 tahun anak sudah
mampu menguasai sembilan ratus kata dan banyak kata-kata
yang digunakan seperti mengapa, apa, kapan dan sebagainya.
Komunikasi pada usia tersebut sifatnya sangat egosentris, rasa
ingin tahunya sangat tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan
bahasanya mulai meningkat, mudah merasa kecewa dan rasa
bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi harus
berpusat pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu
diingat bahwa pada usia ini anak masih belum fasih dalam
berbicara.
Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan
adalah dengan memberi tahu apa yang terjadi pada dirinya,
memberi kesempatan pada mereka untuk menyentuh alat
pemeriksaan yang akan digunakan, menggunakan nada suara,

14
bicara lambat, jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas
dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap mendesak
untuk dijawab seperti kata-kata “jawab dong”, mengalihkan
aktivitas saat komunikasi, memberikan mainan saat komunikasi
dengan maksud anak mudah diajak komunikasi dimana kita
dalam berkomunikasi dengan anak sebaiknya mengatur jarak,
adanya kesadaran diri dimana kita harus menghindari
konfrontasi langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan.
Secara non verbal kita selalu memberi dorongan penerimaan dan
persetujuan jika diperlukan, jangan sentuh anak tanpa disetujui
dari anak, bersalaman dengan anak merupakan cara untuk
menghilangkan perasaan cemas, menggambar, menulis atau
bercerita dalam menggali perasaan dan fikiran anak si saat
melakukan komunikasi.
c. Usia Sekolah (usia 5-12 tahun)
Perkembangan komunikasi pada anak usia ini dapat
dimulai dengan kemampuan anak mencetak, menggambar,
membuat huruf atau tulisan yang besar dan apa yang
dilaksanakan oleh anak mencerminkan pikiran anak dan
kemampuan anak membaca disini sudah muncul, pada usia ke
delapan anak sudah mampu membaca dan sudah mulai berfikir
tentang kehidupan.
Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia sekolah ini
adalah tetap masih memperhatikan tingkat kemampuan bahasa
anak yaitu menggunakan kata-kata sederhana yang spesifik,
menjelaskan sesuatu yang membuat ketidakjelasan pada anak
atau sesuatu yang tidak diketahui, pada usia ini keingintahuan
pada aspek fungsional dan prosedural dari objek tertentu sangat
tinggi. Maka jelaskan arti, fungsi dan prosedurnya, maksud dan
tujuan dari sesuatu yang ditanyakn secara jelas dan jangan
menyakiti atau mengancam sebab ini akan membuat anak tidak
mampu berkomunikasi secara efektif.

15
d. Anak Usia Remaja
1. Mulai memiliki pola piker dan tingkah laku : peralihan dari
masa kanak-kanak menuju dewasa.
2. Saat mengalami stress, biasanya akan mendiskusikan
tentang teman sebaya atau orang dewasa di luar keluarga.
3. Menolak seseorang yang di asumsikan dapat menjatuhkan
harga dirinya : berikan support,penegrtian hindari ragam
bentuk pertanyaan yang berpotensi menimbulkan rasa malu
2. Sikap Perawat dalam Komunikasi
Menurut Egan (1995); menyampaikan sikap komunikasi merupakan
sesuatu apa yang harus dilakukan dalam komunikasi baik secara
verbal maupun non verbal.
a. Sikap berhadapan
Bentuk sikap dimana seseorang langsung bertatap muka atau
berhadapan langsung dengan anak (komunikator siap untuk
berkomunikasi).
b. Sikap mempertahankan kontak
Bertujuan menghargai klien dan mengatakan adanya keinginan
untuk tetap berkomunikasi dengan cara selalu memperhatikan
apa yang diinformasikan atau disampaikan dengan tidak
melakukan kehiatan yang dapat mengalihkan perhatian dengan
lainnya.
c. Sikap membungkuk kearah pasien
Menunjukan keinginan untuk mengatakan atau mendengar
sesuatu dengan cara membungkuk sedikit kearah klien.
d. Sikap terbuka
Bentuk sikap dengan memberikan posisi kaki tidak melipat
tangan menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi.
e. Sikap tetap relaks
Menunjukan adanya keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam member respon pada klien selama komunikasi

16
3. Sikap Komunikasi Terapeutik
a. Sikap kesejatian
Menghindari membuka diri yang terlalu dini sampai dengan
anak menunujukan kesiapan unutk merespon positif terhadap
keterbukaan, sikap kepercayaan kita pada anak.
b. Sikap empati
Bentuk sikap dengan cara menempatkan diri pada posisi anak
dan orang tua.
c. Sikap hormat
Bentuk sikap yang menunjukan adanya suatu
kepedulian/perhatian rasa suka dan menghargai klien. Misal :
senyum pada saat yang tepat, melakukan jabat tangan atau
sentuhan yang lembut dengan seizin komunikan.
d. Sikap konkret
Bentuk sikap dengan menggunakan terminologi yang spesifik
dan bukan abstrak pada saat komunikasi dengan klien, missal
gambar, mainan, dll.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Mata : fungsi penglihatan baik, ikterik (-), anemis(-)
2. Telinga : fungsi pendengaran baik, simetris, luka (-)
3. Hidung : fungsi penciuman baik, simetris
4. Mulut : mukosa bibir lembab, stomatis (-)
5. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
6. Thorax : fremitus seimbang, simetris
7. Abdomen : simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
bermasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilicus, usus
melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, pada auskultasi
terdengar hiperperistaltik.
8. Jantung : iktus kordi tidak nampak
9. Ekstremitas : oedem (-), lesi (-)

17
10. Genitalia: Pada bayi laki-laki dengan fistula urinaria didapatkan
mekonium pada urin, dan pada bayi perempuan dengan fistula
urogenital ditemukan mekonium pada vagina.
11. Anus : tidak terdapat anus, anus nampak merah,. Thermometer
yang dimasukan ke dalam anus tertahan oleh jaringan, tanpa
mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina.
h. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

18
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada kasus atresia ani menurut NANDA NIC-NOC
(2015).
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
2. Hambatan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik.
3. Inkontinensia defekasi berhubungan dengan abnormalitas sfingter rectal.
4. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
5. Hambatan rasa nyaman berhubungan dengan trauma jaringan post
operasi.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
7. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang
tidak sempurna.
8. Risiko infeksi berhubungan dengan perawatan luka tidak adekuat.

3.3 Intervensi
Intervensi pada atresia ani menurut NANDA NIC-NOC (2015).
Diagnosa 1 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
Tujuan : Tidak terjadi malnutrisi.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda- tanda malnutrisi.
b. Adanya peningkatan berat badan yang sesuai tujuan.
c. Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.
No Intervensi Rasional
1. Monitor BB anak dalam batas Untuk menegtahui pekembangan
normal. BB anak.
2. Monitor interaksi anak atau orang untuk mengtahui bagaimana
tua selama makan. interaksi anak dan orang tua saat
makan.
3. Berikan makanan sedikit tapi sering Agar asupan nutrisi tetap
pada anak. tercukupi.
4. Berikan makanan tinggi serat. Mencegah terjadinya konstipasi.
5. Berikan pendidikan kesehatan pada Agar orang tua tau kebutuhan
orang tua tentang kebutuhan nutrisi nutrisi anak.
pada anak.

19
Diagnosa 2 : Hambatan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi
anatomik.
Tujuan : Eliminasi urine dapat terjadi.
Kriteria hasil :
a. Kandung kemih kosong secara penuh.
b. Tidak ada residu urine.
c. Intake cairan dalam rentang normal
No Intervensi Rasional
1. Memantau intake dan output cairan. Untuk mengetahui jumlah intake
dan output cairan.
2. Memantau tingkat distensi kandung Untuk mengetahui jumlah urine
kemih dengan palpasi dan perkusi. residu.
3. Pemasangan kateter pada anak. Untuk membantu proses eliminasi
urine.

Diagnosa 3 : Inkontinensia defekasi berhubungan dengan abnormalitas


sfingter rectal.
Tujuan : Dapat mengatur defekasi.
Kriteria hasil :
a. BAB teratur, mulai dari setiap hari sampai 3-5 hari.
b. Pengetahuan orang tua tentang perawatan ostonomi.
c. Orang tua mampu melakukan perawatan ostonomi pada anaknya.
No Intervensi Rasional
1. Jaga kebersihan baju dan tempat Agar tidak bau dan kotor.
tidur.
2. Lakukan program latihan BAB. Agar mampu BAB secara teratur.
3. Berikan pendidikan kesehatan Agar tidak tidak terjadi infeksi
tentang perawatan ostonomi. dan kotoran tercecer.

Diagnosa 4 : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.


Tujuan : Skala nyeri menurun hingga hilang.
Kriteria hasil :
a. Anak tidak rewel.
b. Anak merasa nyaman.

20
No Intervensi Rasional
1. Kaji riwayat nyeri, lokasi frekuensi, Mengetahui tingkat nyeri pasien
durasi, intensitas, dan skala nyeri. dan menentukan tindakan yang
akan dilakukan selanjutnya.
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar: Mengurangi rasa nyeri.
distraksi : dengan menggunakan
mainan.
3. Berikan posisi yang nyaman. Memberikan rasa nyaman dan
membantu negurangi nyeri.
4. Kolaborasi pemberian analgetik. Mengontrol nyeri maksimum.

Diagnosa 5 : Hambatan rasa nyaman berhubungan dengan trauma jaringan


post operasi.
Tujuan : Pasien merasa nyaman.
Kriteria hasil :
a. Status lingkngan yang nyaman.
b. Status kenyamanan meningkat.
c. Dukungan dari orang tua.
d. Mengontrol nyeri.
No Intervensi Rasional
1. Gunakan pendekatan yang Agar anak tidak menolak
menenangkan. perawatan.
2. Ciptakan lingkungan yang nyaman Meningkatkan kenyamanan pada
anak.
3. Dorong keluarga untuk menemani Keterlibatan keluarga sebagai
anak. sosial support.
4. Lakukan teknik ditraksi pada anak Untuk mengurangi nyeri.
seperti memberikan mainan.

Diagnosa 6 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.


Tujuan : Karusakan integritas kulit tidak menyebar.
Kriteria hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan .
b. Perfusi jaringan baik.
No Intervensi Rasional
1. Jaga kebersihan kulit. Agar besih dan tetap kering.
2. Monitor proses kesembuhan area Untuk melihat tingkat
insisi. kesembuhan.
3. Monitor tanda dan geja infeksi. Untuk melihat ada tanda-tanda

21
infeksi.
4. Bersihkan area sekitar insisi Agar tidak terjadi infeksi.
menggunakan kapas steril.
5. Berikan pendidikan kesehatan Agar keluarga paham dan dapat
kepada keluarga tentang perawatan melakukan pearawatan kolostomi.
kolostomi.

Diagnosa 7 : Ansietas berhubungan dengan pembedahan.


Tujuan : Ansietas menurun.
Kriteria hasil :
a. Bahasa non- verbal menunjukan berkurangnya ansietas.
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
No. Intervensi Rasional
1. Temani pasien untuk memberikan Agar anak merasa takut
keamanan dan mengurangi takut. menghadapi pembedahan.
2. Monitor tanda-tanda vital. Untuk mengetahui tanda-tanda
vital.
3. Dorong keluarga untuk menemani Keterlibatan keluarga sebagai
anak. sosial support.

Diagnosa 8 : Risiko infeksi berhubungan dengan perawatan luka tidak


adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria Hasil :
a. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
b. Jumlah leukosit dalam batas normal.
No. Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan pada kulit yang Agar tidak terjadi infeksi.
terkena insisi.
2. Monitor tanda dan gejala infeksi. Untuk mengetahui tanda gejala
infeksi.
3. Mencuci tangan sebelum dan Menjaga agar tidak terajdi
sesudah tindakan. perpindadahan mikroorganisme
penyabab infeksi.
4. Inspeksi kondisi insisi bedah. Untuk melihat adanya tanda dan
gejala infeksi.
5. Berikan pendidikan kesehatan pada Agar keluarga bisa melaporkan
keluarga tentang tanda dan gejala jika terjadi tanda infeksi dan
infeksi serta cara mencuci tangan mencegah terjadinya perpindahan
dengan baik dan benar. mikroorganisme penyebab infeksi.

22
3.4 Implementasi
Pada tahapan implementasi ini diharapkan tindakan yang dilakukan
pada pasien adalah sesuatu yang tepat, tentunya sesuai dengan rencana
tindakan yang sudah disusun agar menghasilkan jawaban atas tujuan yang
diinginkan (Induniasih dan Sri Hendarsih, 2017).

3.5 Evaluasi
1. Sistem pencernaan dapat berfungsi dengan baik sehingga nutrisi anak
dapat terpenuhi.
2. Anak dapat mempertahankan pola eliminasi urine secara teratur.
3. Anak dapat mempertahankan pola eliminasi BAB secara teratur.
4. Rasa nyeri yang dirasakan dapat teratasi atau hilang.
5. Anak merasa nyaman.
6. Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
7. Anak mampu menurunkan ansietasnya.
8. Tidak terjadi infeksi pada luka setelah pembedahan.

3.6 Pendidikan Kesehatan Atresia Ani

Langkah mencuci tangan dengan baik dan benar menurut WHO:

1. Basuh tangan dengan air.


2. Tuangkan 3-5 cc sabun ke dalam tangan.
3. Ratakan dengan kedua telapak tangan.
4. Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan
sebaliknya.
5. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
6. Jari-jari dalam dari kedua tangan saling mencuci.
7. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan
sebaliknya.
8. Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan
kiri dan sebaliknya.
9. Bilas kedua tangan dengan air.
10. Keringkan dengan handuk/tissue sekali pakai sampai benar-benar kering.

23
11. Gunakan handuk/tissue untuk menutup kran.
Menurut Burch, J (2013) berikut langkah-langkah perawatan kolostomi di
rumah :

1. Cuci tangan.
2. Buka kantong kolostomi lama kemudian buang ke kantong plastik jika
kantong disposibel, atau buang feses melalui drainage kantong lalu buka
kantong kolostomi.
3. Bersihkan stoma dan kulit sekitar stoma dengan sabun yang tidak
mengandung minyak atau parfume dan air hangat.
4. Lindungi stoma dengan tisu atau kassa agar feses tidak mengotori kulit
yang sudah dibersihkan.
5. Keringkan kulit sekitar dengan tisu atau kassa bersih.
6. Beri vasline atau salep sekitar kulit apabila kantong stoma terlalu besar
7. Ukur lubang kantong kolostomi sesuai ukuran stoma, berikan kelonggaran
sekitar 0,3 cm dari stoma.
8. Pasang kantong kolostomi yang sudah dibersihkan/ kantong yang baru.
9. Cuci tangan.

3.7 Analisis Pemecahan Masalah Keperawatan (Hasil Penelitian)


1. Menurut hasil penelitian yang dibuat oleh Irfan Kurniawan (2018)
dengan judul : Pengaruh Terapi Bermain game (Puzzle) Terhadap
Tingkat Nyeri Usia Pra Sekolah Pasca Tindakan Operasi Tutup Stoma
Hari Ketiga Di Ruang Anak Lantai Dasar RSUP Dr. Kariadi Di Kota
Semarang.
Di dapatkan pengaruh tingkat nyeri sebelum diberikan terapi bermain
game (puzzle) pada usia pra sekolah pasca tindakan operasi tutup stoma
hari ketiga sebagian responden yaitu sebanyak 17 responden ( 53,12%)
berada pada skala nyeri ringan. Sedangkan pengaruh tingakt nyeri setelah
diberikan terapi bermain game (puzzle) pada usia pra sekolah pasca
tindakan operasi tutup stoma hari ketiga sebagian besar responden yaitu
sebanyak 28 responden (87,5%) berada pada skala nyeri ringan. Dapat
disimpulkan jika terapi bermain game (puzzle) dapat berpengaruh
terhadap rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien anak.

24
2. Menurut hasil penelitian yang dibuat oleh Atikah Fadhila Lubis (2010)
dengan judul : Efektifitas Pelatihan Perawatan Kolostomi Terhadap
Perilaku Orang Tua Yang Memiliki Anak Dengan Kolostomi Di Ruang
Rindu B2 Anak RSUP H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2010. Desain
penelitian ini menggunakan quasi eksperimen, dengan teknik
pengambilan sampel purposive sampling terhadap 12 orang tua yang
mempunyai anak yang mengalami kolostomi di ruangan Rindu B2 bedah
anak RSUP H.Adam Malik Medan. Analisis yang digunakan adalah t-
dependen. Perilaku terdiri dari 3 domain yaitu pengetahuan, sikap dan
tindakan. Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh pelatihan pada
orang tua. Pada pengetahuan diperoleh nilai P = 0,035 (P < 0,05) ada
pengaruh pelatihan perawatan kolostomi terhadap pengetahuan orang tua.
Pada sikap diperoleh nilai P = 0,014 (P < 0,05) menunjukan ada
pengaruh pelatihan perawatan kolostomi terhadap sikap orang tua. Dan
pada tindakan diperoleh nilai P = 0,000 (P < 0,05) menunjukan ada
pengaruh pelatihan kolostomi terhadap tindakan orang tua. Dapat
disimpulakan bahwa pelatihan perawatan kolostomi pada orang tua
efektif dan dapat mencegah infeksi sehingga tidak terjadi penyebaran
kerusakan integritas kulit.
3. Menurut hasil penelitian yang dibuat oleh Hastuti R.P.S (2005) dengan
judul : Peran Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kecemasan Anak
Pre Operasi Di RSU PKU Muhammadiyah.
Dengan menggunakan uji product moment (p) yang diperoleh adalah – 0,
753. Interpretasi angka korelasi adalah sebagai berikut 0,000 – 0, 199
korelasi rendah sekali 9hampir tidak ada hubungan), 0,200- 0,399
korelasi rendah, 0,400- 0,599 korelasi sedang, 0,600- 0, 799 korelasi
tinggi, 0,800- 1,00 korelasi tinggi sekali. Sehingga dapat disimpulkan
angka 0, 753 ada hubungan bermakna antara dukungan keluarga dengan
tingkat kecemasan klien preoperasi dan berarti semakin baik dukungan
keluarga pada anak preoperasi maka semakin ringan pula tingkat
kecemasan yang dirasakan.

25
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya


lubang atau saluran anus (Wong, D. L,2009). Atresia ani adalah kelainan
kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau
keduanya (Betz, C. L and Sowden, L.A, 2012). Etiologi secara pasti atresia
ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus
disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain :

1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan .
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down.
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.

4.2 Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat


mampu mendiagnosis secara dini mengenai penyakit hemia pada anak,
sehingga kita mampu memberikan asuhan keperawatan yang maksimal
terhadap anak tersebut.

Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak


kesalahan sehingga kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Lyn Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Edisi 5. Jakarta : EGC

Marlaim. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta : Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang. http://chocolateperfect.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta :
EGC
Marlaim. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus. Jakarta
: Trans Info Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta :
Trans Info Media
Induniasih dan Sri Hendarsih. 2017. Metodologi Keperawatan. Yogyakarta :
Pustaka Baru Press.

Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta : Media Action.

Burch, J. (2013). Care of Patients With a Sstoma. Nursing Standard: 27(32): 49-
56. 9 Juni 2013.

Hastuti. R.P.S. 2009. Peran Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kecemasan


Anak Pre Operasi Di RSU PKU Muhammadiyah. Skripsi FK UMY.
Yogyakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai