Anda di halaman 1dari 82

PERUBAHAN DALAM TRADISI PERAYAAN CENGBENG PADAETNIS

TIONGHOA DI ERA MODERNISASI

(Studi Pada Etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu)

(Skripsi)

Oleh:

CINDY JELIANA
1516011048

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK

PERUBAHAN DALAM TRADISI PERAYAAN CENGBENG PADA ETNIS


TIONGHOA DI ERA MODERNISASI
(Studi Pada Etnis Tionghoa di Kabupaten Prinsewu)

Oleh:
CINDY JELIANA

Tradisi Cengbeng (Qing Ming Jie) merupakan tradisi wajib masyarakat Tionghoa,
hari ini adalah hari dimana mereka melakukan tradisi menghormat kepada leluhur
yang dilakukan setidaknya sekali dalam setahun. Perayaan Cengbeng dilakukan
setengah bulan sebelum tanggal 5 April, karena pada tanggal 5 itu diyakini dan
dipercayai arwah-arwah sudah kembali lagi ke alam lain, dalam perayaan
Cengbeng sangat mempercayai untuk memilih hari baik dalam melakukan tradisi
ini, dan pada tanggal 5 tersebut menjadi penutupan biasanya Vihara, Klenteng
atau Yayasan mendoakan arwah-arwah yang tidak didatangi dan diurus oleh
keluarga mereka. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-
faktor yang melatarbelakangi perubahan dalam tradisi perayaan Cengbeng di Era
Modernisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode pengumpulan
data dengan observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan dalam
tradisi perayaan Cengbeng yaitu, faktor internal( Agama/Kepercayaan dan Sikap)
dan faktor eksternal (Invention dan Edukasi) dari kedua faktor tersebut faktor
terbesar yang merubah tradisi pada perayaan Cengbeng di Era Modernisasi ini
yaitu berasal dari Faktor Internal.

Kata kunci: Etnis Tionghoa, tradisi Cengbeng, Modernisasi, Perubahan

i
ABSTRACK

THE CHANGE IN THE TRADITION OF CENGBENG CELEBRATION


ON ETHNIC CHINESE IN THIS ERA OF MODERNIZATION
(Studies on Ethnic Chinese in Kabupaten Pringsewu)

By:
CINDY JELIANA

The tradition of Cengbeng (Qing Ming Jie) is a mandatory tradition of Chinese


society, today is a day where they carry out the tradition of honoring ancestors at
least once a year. The Cengbeng celebration was held half a month before April 5,
because on the 5th it was believed and believed the spirits had returned to another
world, in celebration of Cengbeng it was very trusting to choose a good day in
carrying out this tradition, and on the 5th it usually closes Vihara, Klenteng or
Foundation pray for spirits that are not visited and taken care of by their families.
This research was conducted with the aim of finding out the factors behind the
change in the tradition of Cengbeng celebrations in the era of modernization. This
study uses a qualitative method. Methods of collecting data by observation, in-
depth interviews and documentation. The results showed that: 1) The factors
behind the changes in the tradition of Cengbeng celebration, namely, internal
factors (Religion / Trust and Attitude) and external factors (Invention and
Education) of these two factors were the biggest factors that changed the tradition
of Cengbeng in Era This modernization is derived from internal factors.

Keywords:Ethnic chinese, Cengbeng tradition, Modernization, Change

ii
PERUBAHAN DALAM TRADISI PERAYAAN CENGBENG PADA ETNIS
TIONGHOA DI ERA MODERNISASI
(Studi Pada Etnis Tionghoa di Kabupaten Prinsewu)

Oleh
Cindy Jeliana

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


SARJANA SOSIOLOGI

Pada

Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018

iii
iv
v
vi
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Cindy Jeliana dilahirkan di Pringsewu pada


tanggal 13 Januari 1997. Penulis merupakan anak kedua dari
dua bersaudara, dari pasangan Bapak Husen dan Ibu Ernawati,
dan penulis memiliki satu kakak laki-laki.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis yaitu :


1. TK Fransiskus Pringsewu, diselesaikan pada tahun 2003
2. SD Fransiskus Pringsewu, diselesaikan pada tahun 2009
3. SMP Xaverius Pringsewu, diselesaikan pada tahun 2012
4. SMA Xaverius Pringsewu, diselesaikan pada tahun 2015

Selanjutnya pada tahun 2015 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan


Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, melalui
jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN). Pada Januari 2018
penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Kemuning, Kecamatan
Talang Padang, Kabupaten Tanggamus.

vii
MOTTO

Pada akhirnya, hanya tiga hal yang berarti: Seberapa banyak kau
mencintai,
Seberapa lembut kau menjalani hidup, dan seberapa ikhlas kau
melepaskan sesuatu yang tidak dimaksudkan untukmu.
(Buddha)

Seperti sebuah lilin yang tidak terbakar tanpa api, manusia tidak dapat
hidup tanpa kehidupan spiritual.
(buddha)

Jadilah bunga teratai, bunga yang memerlukan lumpur dan air untuk
tumbuh dan berkembang, akan tetapi ia tidak akan tenggelam ke
dalamnya
(Cindy Jeliana)

viii
PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Sanghyang Adi Budhha Tuhan Yang Maha
Esa dan rasa terimakasih yang tak terhingga,
karya sederhana ini saya persembahkan kepada orang yang saya cinta dan
sayangi

Kedua orang tuaku yang sangat kucintai, kusayangi dan kubanggakan,


Ibu Ernawati dan Bapak Husen, terimakasih telah membesarkan dan
merawatku dengan penuh kasih sayang, terimaksih selalu menyebut
namaku dalam setiap doa, terimakasih pula atas dukungan dan motivasi
kalian sehingga aku dapat menyelesaikan karya ini. Maaf bila karya ini
yang baru dapat kupersembahkan untuk kalian.

Kepada Kakakku yang sangat kusayangi, Ryan Afriyanto yang selalu


memberi semangat, dukungan serta doa, kuucapkan terimakasih kepadamu.

Dra. Yuni Ratna Sari, M.Si


Dr. Benjamin, M.Si
yang telah membimbingku dalam penelitian ini

Almamater tercinta
Universitas Lampung

ix
SANWACANA

Nammo Budhhaya, Puji syukur penulis ucapkan kepada Shangyang Adi Buddha

dan para Bodhisatva dan Mahasattva di alam surga, serta perlindungan dari

Buddha, Dhamma dan Sanggha karena berkat karunia dan penyertaan-Nya lah

penulis dapat menyelesaikan karya ini. Skripsi dengan judul “Perubahan Dalam

Tradisi Perayaan Cengbeng Pada Etnis Tionghoa Di Era Modernisasi (Studi

Pada Etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu)” ini merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Syarief Makhya, M.Si., selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Ikram, M.Si., selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Ibu Dra. Yuni Ratna Sari selaku dosen pembimbing, terimakasih bu atas

kesabaran dalam proses bimbingan dan waktu luang yang ibu berikan kepada

saya untuk berdiskusi mengarahan dalam penulisan skripsi ini, semoga Tuhan

YME memberikan ibu kesehatan, kemurahan rezeki, kebahagiaan dan umur

yang panjang.

x
4. Bapak Dr. Benjamin, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik

dan saran serta ketelitian dalam mengoreksi penulisan skripsi ini menjadi lebih

baik lagi. Semoga Tuhan YME melimpahkan berkah, kesehatan, dan rezeki

kepada bapak.

5. Drs. Hartoyo, M.Si. selaku dosen Pembimbing Akademik. Terimakasih pak

sudah menjadi orang tua kedua saya di kampus.

6. Seluruh dosen Jurusan Sosiologi yang telah membekali penulis dengan ilmu

dan pengetahuan selama manjalani masa perkuliahan.

7. Keluargaku kuku, kucong, asuk, sukme, cici dan koko semuanya terimakasih

atas doa dan dukungan baik moril dan materil selama ini kepada penulis.

8. Saudara-saudaraiku di UKM Buddha Unila, Silviaho, Alfiyando, Andrew,

Steven, Herbi, Dewi, Welly. Terima kasih atas dukungan dan semangat dari

kalian serta adik-adik UKM yang terkasih yang tidak bisa disebutikan satu-

satu semoga sukses dan selalu dalam lindungan Triratna.

9. Sahabatku Fanbase Ci Coco sabot dansinar love you guys so damn much ever

and kiting, ocha, claudya makasih udah jadi sahabat dari kecil doa, dukungan,

bantuan tenaga dan waktu untuk aku semoga kita semua bisa menjadi orang

sukses amin.

10. Untuk sahabatku SW (Strong Woman) yang enggak punya malu dan suka

malu-maluin, terimakasih telah membuat warna selama masa perkuliahan ini,

terimakasih karena sudah menerima ku sebagai sahabat kalian apa adanya,

terimakasih pula atas semangat dan dukungan kalian selama ini gengs. Buat

kalian maafin aku kalau sering marah-marah disaat kelaparan melanda hahaha.

Semoga kita tetap menjadi wanita yang kuat dan tangguh. Harapan ku semoga

xi
kita tidak pernah memutus tali silaturahim ya dan semoga kalian gak akan

lupa kalau kita pernah menangis dan tertawa bahagia bersamainget juga

pernah tidur ikan asin. Kalian luar biasa pokoknya, su sayang kalean Imelta

Loranisa(mbakjang), Novia Friska Anggraeni(nopek), Rosmaliya(rosmaini),

Rismawanti(YobQ).

11. Seluruh teman-teman Sosiologi 2015 terimakasih atas keseruannya selama

masa perkuliahan ini.

12. Hulk Managemen yayas, padilah, ledi makasih atas kerja keras dengan bapak

kost selama ini.

13. Mba Vivi dan mba Lina makasih atas bantuannya selama ini.

14. Keluarga Besar Universitas Lampung yang telah membantu saya selama saya

menimba ilmu di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, 20 Desember 2018


Penulis,

Cindy Jeliana

xii
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACK .......................................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vii
MOTTO .............................................................................................................. viii
PERSEMBAHAN ................................................................................................. ix
SANWACANA ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 9
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................................ 9
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................. 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 11


2.1 Tradisi ..................................................................................................... 11
2.2 Tradisi Perayaan Cengbeng .................................................................... 14
2.2.1 Fungsi dan Makna Tradisi Cengbeng ......................................... 17
2.2.2 Sejarah Perayaan Cengbeng ........................................................ 18
2.2.3 Tata Cara dan Proses Perayaan Cengbeng .................................. 21
2.3 Prosesi Pemakaman ................................................................................ 24
2.4 Etnis Tionghoa ........................................................................................ 25
2.5 Modernisasi dan Perubahan Sosial Kebudayaan .................................... 29
2.6 Fungsi Tradisi Cengbeng terhadap Kearifan Lokal ................................ 33
2.7 Teori Perubahan Sosial Budaya .............................................................. 35
2.8 Penelitian Terkait .................................................................................... 36

xiii
2.9 Kerangka Pikir ........................................................................................ 37

III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 39


3.1 Metode Penelitian Kualitatif ................................................................... 39
3.2 Sumber Data............................................................................................ 39
3.3 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 40
3.4 Fokus Penelitian ...................................................................................... 40
3.5 Teknik Penentuan Informan dan Informan Penelitian ............................ 42
3.6 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 43
3.7 Teknik Analisis Data............................................................................... 45
3.8 Teknik Keabsahan Data .......................................................................... 47

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 49


4.1 Kabupaten Pringsewu ............................................................................. 49
4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Pringsewu ....................................... 49
4.1.2 Kondisi Geografis Dan Topografi Kabupaten Pringsewu .......... 52
4.1.3 Wilayah Administratif ................................................................. 54
4.1.4 Jumlah Penduduk ........................................................................ 55
4.1.5 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin56
4.1.6 Jumlah Penduduk Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Tingkat
Pendidikan ................................................................................... 57
4.1.7 Proposisi Pemeluk Agama Menurut Kecamatan di Kabupaten
Pringsewu .................................................................................... 57
4.2 Perkumpulan Sosial Etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu............... 59

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 61


5.1 Deskripsi Penentuan Informan ................................................................ 61
5.2 Waktu Perayaan Cengbeng ..................................................................... 63
5.3 Tradisi Perayaan Cengbeng .................................................................... 66
5.3.1 Fungsi dan Makna Perayaan Cengbeng ...................................... 67
5.3.2 Prosesi Tata Cara Perayaan Cengbeng ........................................ 69
5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Dalam Perayaan Tradisi
Cengbeng ................................................................................................ 78
5.4.1 Faktor Internal ............................................................................. 79
5.4.2 Faktor Eksternal .......................................................................... 82
5.5 Upaya Pelestarian.................................................................................... 86
5.6 Pembahasan............................................................................................. 87
5.6.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Dalam Tradisi
Perayaan Cengbeng ..................................................................... 87

VI. PENUTUP ..................................................................................................... 93


6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 93
6.2 Saran ....................................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1. Jumlah masyarakat etnis Tionghoa di Provinsi Lampung ............................... 6

4 1. Banyak Kelurahan, Pekon, Dusun dan Rumah Tetangga Menurut Kecamatan


di Kabupaten Pringsewu, 2016 ...................................................................... 54

4.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Ratio Jenis Kelamin Tahun 2016 ................ 55

4.3. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2016
........................................................................................................................ 56

4.4. Penduduk Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2016 .... 57

4.5. Proporsisi Pemeluk Agama Menurut Kecamatan di Kabupaten Lampung


Barat, 2016 ..................................................................................................... 57

5.1. Profil Informan ............................................................................................... 63

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Kerangka Pikir ............................................................................................... 38

4.1. Peta Kabupaten Pringsewu ............................................................................. 58

xvi
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dimiliki dan dilakukan oleh kelompok

etnik, etnis atau suku bangsa tertentu secara turun-temurun yang berasal dari

leluhur untuk terus dilaksanakan perayaannya. Dalam perayaan tradisi tentu

memiliki ciri khusus, fungsi, dan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga

hal ini harus tetap dilakukan. Menurut Moh. Nur Hakim dalam Hanafi (2003: 29)

mendefinisikan tradisi merupakan segala warisan yang lampau dan masuk ke

dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Tradisi tetap harus dijaga dan

dilestarikan agar tetap lestari, karena tradisi masuk dalam sistem budaya, dan juga

menurut Suwarno, dkk. (2011 : 21) menyatakan sistem nilai budaya adalah

rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga

masyarakat yang dianggap penting dan bernilai. Bila sistem nilai budaya itu

memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedoman tegas dan

konkret. Hal ini nampak dalam norma-norma sosial, hukum dan aturan tradisi.

Masyarakat Tionghoa dikenal sebagai masyarakat yang memandang penting

tradisi mereka. Tradisi Tionghoa adalah sebuah kegiatan masyarakat yang

berhubungan dengan perayaan-perayaan atau kepercayaan yang dianut dalam

kebudayaan tersebut. Tradisi merupakan warisan nenek moyang yang sudah


2

terbentuk di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa dan menjadi identitas

mereka. Etnis Tionghoa mempunyai berbagai macam tradisi yang diwarisi sejak

masa lampau salah satunya tradisi dalam menyambut hari perayaan besar

masyarakat etnis Tionghoa yaitu Cengbeng.

Cengbeng (清明,Qingming) merupakan hari membersihkan kuburan, jatuh pada

hari ke 15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi yang

pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April. Hari Menyapu Kuburan (Hari

Pembersihan Pusara) dan Festival Bersih Terang adalah terjemahan yang paling

umum dalam mengartikan Qīngmíng. Untuk orang Tionghoa, hari ini merupakan

suatu hari untuk mengingat dan menghormati nenek moyang. Setiap orang berdoa

di depan nenek moyang, menyapu pusara dan bersembahyang dengan makanan,

teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai aksesoris, sebagai persembahan

kepada nenek moyang.

Tradisi Cengbeng ini berawal pada zaman Dinasti Ming ada seorang anak

bernama Cu Guan Ciong (Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming) yang berasal

dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Dalam membesarkan dan mendidik Cu

Guan Ciong, orangtuanya meminta bantuan kepada sebuah kuil. Pada saat Cu

Guan Ciong besar ternyata ia menjadi seorang kaisar, sepulangnya ke kampung

halaman ternyata keluarganya sudah tiada.

Cu Guan Ciong memberi titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah

dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing pada hari yang telah

ditentukan 5 April. Selain itu, diperintahkan juga untuk memberikan tanda kertas

kuning di atas makam-makam tersebut. Setelah semua rakyat selesai berziarah,


3

kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-

makam tersebut yang belum dibersihkan serta tidak diberi tanda. Kemudian kaisar

menziarahi makam-makam tersebut dengan berasumsi bahwa di antara makam-

makam tersebut pastilah merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan

leluhurnya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi Cengbeng atau ziarah kubur setiap

tahunnya.

Pada penyambutan tradisi Cengbeng tentu mempunyai fungsi, yaitu sebagai

pemersatu, karena pada hari tersebut menjadi hari seluruh anggota keluarga

berkumpul bersama, dan makna dari tradisi Cengbeng bagi keluarga agar dapat

mengingat jasa orang tua atau leluhur yang sudah tiada. Beberapa hal yang

biasanya dilakukan pada hari ziarah Cengbeng yaitu :

a. Sehari sebelum perayaan membersihkan kuburan, mencabuti rumput liar,

mengecat bagian kuburan yang luntur.

b. Memperbaiki bagian makam yang pecah dan rusak.

Maka dari itu, sebelum perayaan Cengbeng dilaksanakan, seluruh anggota

keluarga baik yang berada di luar daerah pulang kerumah atau ke daerah asalnya

masing-masing untuk membersihkan kuburan leluhur mereka.

Upacara Cengbeng adalah sebuah fenomena sosial pada aktifitas etnis Tionghoa

yang didasari oleh ajaran Khong Hu Cu, yaitu bakti dan menghormati orang tua

dan leluhur. Mereka akan mencukupi, melayani kebutuhan hidup orang tua

mereka, baik ketika masih hidup maupun setelah mereka meninggal. Hubungan

antara mereka yang masih hidup dengan yang meninggal adalah dengan
4

melakukan sembahyang, mempersembahkan makanan pada altar saat peringatan

hari meninggal, membersihkan kuburan dan mengirim doa.

Namun, pada jaman sekarang beberapa masyarakat etnis Tionghoa di Pringsewu

sudah jarang melakukan tradisi ini dan melupakan esensi proses-proses yang

seharusnya dilakukan, karena banyaknya masyarakat yang bekerja di luar kota dan

bermigrasi ke daerah lain, sehingga tidak menyempatkan waktu untuk melakukan

proses tradisi Cengbeng yang seharusnya dilakukan, dan juga adanya segi

pemakaman melalui kremasi, yang menimbulkan pergeseran dalam perayaan

tradisi Cengbeng sehingga mengurangi fungsi dan nilai-nilai yang terkandung.

Pada prosesi pemakaman jenazah sejatinya adalah melalui pemakaman, namun

tradisi pemakaman lenyap sejak pemerintahan komunis di Tiongkok. Dibawah

pemerintahan komunis Tiongkok di tahun 1940, para pejabat dilarang melakukan

penguburan tradisional dan mengamanatkan bahwa semua kematian harus

kremasi, karena melalui prosesi pemakaman di kuburan adalah pemborosan

ruang/lahan, berbahaya bagi lingkungan, dan lebih mahal daripada kremasi, dan

hal ini pun sampai juga pada prosesi pemakaman di Indonesia dengan sistem

kremasi (http://www.kompasiana.com diakses pada 20 Juni 2018).

Pada upacara pemakaman jenazah di kalangan etnis Tionghoa terdapat 2 cara

yaitu dengan melalui proses pemakaman atau proses kremasi di krematorium,

dimana pada proses pemakaman jenazah yang sudah meninggal dikuburkan dalam

liang kubur yang sudah disediakan, sementara proses kremasi merupakan prosesi

pengabuan jenazah dengan cara pembakaran dan abu jenazah dilarungkan ke laut
5

atau dititipkan di rumah penitipan abu jika ada, dan ada pula abu jenazah

dimasukkan ke dalam guci untuk disembahyangkan di rumah.

Begitu pula kalangan generasi muda Tionghoa di beberapa wilayah seperti di kota

Palembang yang sebagian sudah memeluk agama lain dari Buddha, terdapat dua

versi. Ada yang sama sekali tidak lagi mau memasang dupa untuk sembahyang

baik di altar maupun di kuburan, tapi sebagian besar masih tetap konsisten selama

tidak dianggap memuja. Selain itu tidak harus pergi ke kuburan sebagian

masyarakat Tinghoa hanya berdoa pada abu jenasah leluhur, karena ada sebagian

orang yang saat meninggal tidak dimakamkan, tetapi dikremasi.Abu jenasahnya

ada yang langsung dilarung (ditenggelamkan) ke laut, dan ada pula yang di

simpan dalam guci. Guci ini yang disimpan di rumah untuk disembahyangkan

dengan menaruh aneka makanan untuk sembahyang.

Menurut Soekanto dalam Suwarno, dkk (1990 : 109-110) perubahan sosial

disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor intern (bersumber dalam masyarakat itu

sendiri) dan faktor ektern (berasal dari luar masyarakat itu sendiri). Faktor intern

penyebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan yaitu bertambahnya atau

berkurangnya penduduk kelahiran, kematian, migrasi, modernisasi, sikap, dan

perubahan keyakinan. Sementara pada faktor penyebab yang berasal dari luar

masyarakat yaitu peperangan, perubahan alam, pengaruh kebudayaan seperti

difusi, akulturasi dan asimilasi.

Mengutip dalam jurnal Sugianta, Anita, dkk.(2005), bagi etnis Tionghoa pada

umumnya, religi mencakup kepercayaan terhadap dewa-dewa lokal dan roh-roh,

hal tersebut mempengaruhi kehidupan keseharian mereka. Seperti ajaran Agama


6

Konghucu dengan penerapan “Xiao” (Bakti), sangat erat kaitannya dengan

pemujaan leluhur atau meja-abu, begitu pula tradisi Cengbeng. Agama juga

menjadi pengaruh pada perubahan keyakinan, contoh kasus pada masyarakat Cina

Benteng yang sudah hidup modern serta generasi mudanya sudah mulai tidak

peduli lagi. Jadi dalam hal kepercayaan masyarakat Cina Benteng di Sewan Lebak

Wangi Tangerang ini juga sudah terjadi perubahan, dan banyak yang tidak

melakukan tradisi Cengbeng. Cina Benteng merupakan peranakan etnis Tionghoa

yang sudah berakulturasi dengan penduduk setempat di Tangerang.

Melihat beberapa perubahan yang ada, penulis juga merasa terjadi perubahan di

dalam perayaan tradisi Cengbeng di wilayah Pringsewu.Kabupaten Pringsewu

memiliki banyak masyarakat yang beretnis Tionghoa yang dapat dilihat dalam

tabel berikut.

Tabel 1.1. Jumlah masyarakat etnis Tionghoa di Provinsi Lampung


No Kabupaten/Kota Jumlah Orang
1 Pringsewu 1.094
2 Tanggamus 907
3 Lampung Selatan 1.002
4 Lampung Timur 752
5 Lampung Barat 907
6 Lampung Tengah 1.271
7 Lampung Utara 1.058
8 Way Kanan 32
9 Tulang Bawang 254
10 Pesawaran 434
11 Mesuji 16
12 Tulang Bawang Barat 55
13 Bandar Lampung 29.706
14 Metro 3.308
(Sumber : (bps.go.id akses pada 10 April 2017)

Pada tabel 1.1 maka dapat dilihat bahwa Kabupaten Pringsewu berada pada urutan

keempat setelah Bandar Lampung berada di posisi pertama, lalu Metro berada di
7

posisi kedua, danLampung Tengah di posisi ketiga. Hal ini menguatkan bukti

bahwa banyaknya masyarakat yang beretnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu.

Tabel 1.1 menjadi bukti konkrit banyaknya masyarakat yang beretnis Tionghoa di

daerah penelitian sehingga memudahkan dalam memperoleh data yang akan di

kumpulkan oleh peneliti.

Penulis sudah merasa adanya perubahan dalam tradisi inidi Pringsewu yang

terjadi sejak 5 tahun terakhir mulai dari segi penyambutannya tidak lagi semeriah

5 tahun sebelumnya, para keluarga yang datang berziarah pun hanya sedikit

bahkan hanya diwakilkan saja padahal sejatinya dalam tradisi Cengbeng ini

merupakan hari yang tepat dimana seluruh anggota berkumpul bersama-sama

mengenang jasa almarhum yang sudah meninggal dan sembari berkumpul

bersama keluarga, anak, dan para cucu, serta menjalankan tata cara perayaan

Cengbeng yang seharusnya dilakukan, sehingga hal ini menjadikan proses

Cengbeng tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan hasil wawancara kecil yang penulis lakukan oleh seorang informan

Sabtu, 23 Juni 2018 pukul 13.00 WIB di Pringsewu menyatakan bahwa adanya

faktor perubahan keyakinan, sehingga berpengaruh terhadap sikap masyarakat

yang sudah menganut kepercayaan yang berbeda tersebut, dimana beberapa

agama sudah tidak lagi menjalankan ritual perayaan Cengbeng yang seharusnya di

lakukan. Serta masih banyak lagi faktor-faktor yang ingin peneliti ketahui secara

mendalam, sehingga penulis membutuhkan wawancara lebih lanjut untuk

mendapatkan data penelitian ini secara lengkap.


8

Disamping itu, dibalikperayaan ritual Cengbeng terselip sebuah pesan, bahwa

perayaan Cengbeng ini tidak semata merupakan acara ritual belaka, tapi ada

makna tersirat di dalam nya, yakni sebuah cermin kearifan lokal di mana para

perantau yang sukses di perantauanya, akan membagi bagi angpau kepada kaum

miskin tanpa pandang bulu terhadap etnis dan agama si orang miskin yang di

bantunya, dan juga perputaran uang akan terjadi selama perayaan Cengbeng

berlangsung, sepulangnya tentu dia akan berbelanja makan makanan tradisional

yang ada di kampung halamannya untuk di bawa pulang, sehingga dengan adanya

perputaran uang ini akan membawa dampak positif pada perekonomian daerah

Pringsewu.

Melalui beberapa perubahan yang berhasil penulis dapatkan dari hasil wawancara

kecil di Pringsewu, beberapa perubahan yang terjadi pada tradisi ini akan

berdampak pula pada proses kearifan lokal yang seharusnya menjadi sisi positif

dalam tradisi Cengbeng.

Lauer (2003) “menyatakan tradisi itu sendiri bukanlah sesuatu yang statis. Tradisi

akan berubah, terlepas dari proses modernisasi”. Melalui pernyataan tersebut

penulis ingin mencari tahu apakah benar jika modernisasi memiliki hubungan

dalam perubahan pada tradisi?. Maka dari itu penulis tertarik untuk meneliti

faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dalam tradisi perayaan Cengbeng

pada etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu dalam penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Meninjau dari latar belakang yang telah dikemukakan oleh penulis, masalah yang

akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan pada :


9

Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dalam perayaan tradisi

Cengbeng pada etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dalam perayaan

tradisi Cengbeng pada etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian akan bermanfaat untuk menambah wawasan dalam kajian

kebudayaan dan dalam perubahan budaya khususnya pada perubahan tradisi

Cengbengdan memberikan kontribusi pada ranah Sosiologi khususnya pada

matakuliah Sosial Budaya dan Antripologi.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Penelitian ini berguna bagi masyarakat pada komunitas etnis Tionghoa di

Indonesia khususnya masyarakat etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat luas bahwa setiap tradisi yang

dijalankan memiliki fungsi dan makna yang harus dilestarikan.


10

c. Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa untuk mengadakan penelitian lebih

lanjut pada penelitian sejenis.

d. Penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan bagi para masyarakat

penganut agama Kristen.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tradisi

Menurut Sztompka (2007) mengatakan bahwa tradisi adalah kesamaan benda

material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini

dan belum dihancurkan atau dirusak.Tradisi dapat diartikan sebagai warisan yang

benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang

bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja.Dari pemaham tersebut maka

apapun yang dilakukan oleh manusia secara turun temurun dari setiap aspek

kehidupannya yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat

dikatakan sebagai “tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian

dari kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh C.A. van Peursen diterjemahkan

sebagai proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-

kaidah, harta-harta. Tradisi dapat dirubah diangkat, ditolak dan dipadukan dengan

aneka ragam perbuatan manusia (Peurseun, 1988 : 11) dan juga Mattulada (1997)

lebih khusus tradisi yang dapat melahirkan kebudayaan masyarakat dapat

diketahui dari wujud tradisi itu sendiri.

Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya,

wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang terstruktur.

Masyarakat mewariskan masa lalunya melalui:


12

1. Tradisi dan adat istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku dan hubungan

antar individu dalam kelompok). Adat istiadat yang berkembang di suatu

masyarakat harus dipatuhi oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Adat

istiadat sebagai sarana mewariskan tradisi terkadang yang disampaikan tidak

sama persis dengan yang terjadi di masa kinidan mengalami berbagai

perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk terus

dikembangkan dan diperbaharui.

2. Nasehat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasehat tersebut

melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan kemudian disampaikan

secara lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

3. Peranan orang yang dituakan (pemimpin kelompok yang memiliki

kemampuan lebih dalam menaklukkan alam) dalam masyarakat. Contoh:

Adanya keyakinan bahwa roh-roh harus dijaga, disembah, dan diberikan apa

yang disukainya dalam bentuk sesaji. Pemimpin kelompok menyampaikan

secara lisan sebuah ajaran yang harus ditaati oleh anggota kelompoknya.

4. Membuat suatu peringatan kepada semua anggota kelompok masyarakat

berupa lukisanperkakas sebagai alat bantu hidup serta bangunan tugu atau

makam. Semuanya itu dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya hanya

dengan melihatnya. Contoh: Benda-benda (kapak lonjong) dan berbagai

peninggalan manusia purba dapat menggambarkan keadaan zaman masyarakat

penggunanya.

5. Kepercayaan terhadap roh-roh dan arwah nenek moyang dapat termasuk

sejarah lisan sebab meninggalkan bukti sejarah berupa benda-benda serta

bangunan yang mereka buat.


13

Menurut Sztompka (2007) arti yang lebih lengkap bahwa tradisi mencakup

kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang sekedar menunjukkan fakta bahwa

masa kini berasal dari warisan lampau agar tidak dibuang atau dilupakan. Maka di

sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu.

Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian yang

tersembunyi tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa kini.Ia menunjuk

kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan

berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota

masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun

terhadap hal yang gaib atau keagamaan.

Di dalam suatu tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia

lain atau satu kelompok dengan kelompok lain, bagaimana manusia bertindak

terhadap lingkungannya dan bagaimana manusia berperilaku terhadap alam yang

lain. Ia berkembang menjadi suatu sistem yang memiliki pola dan norma dan

sekaligus juga mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran

dan penyimpangan.

Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk bertingkah

laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Tradisi juga merupakan

suatu sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari cara aspek yang pemberian arti

perilaku ajaran, perilaku ritual dan beberapa jenis perilaku lainnya dari manusia

atau sejumlah manusia yang melakukan tindakan satu dengan yang lain. Unsur

terkecil dari sistem tersebut adalah simbol. Simbol meliputi simbol konstitutif
14

(yang berbentuk kepercayaan), simbol penilaian norma, dan sistem ekspresif

(simbol yang menyangkut pengungkapan perasaan).

Jadi yang menjadi hal penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau orientasi

pikiran atau benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu yang

dipungut orang dimasa kini.Sikap dan orientasi ini menempati bagian khusus dari

keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi.Arti penting

penghormatan atau penerimaan Sesuatu yang secara sosial ditetapkan sebagai

tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu.Maka dari itu suatu

tradisi sangatlah penting seperti tradisi perayaan Cengbengyang sangat penting

bagi etnis Tionghoa.

2.2 Tradisi Perayaan Cengbeng

Hari Perayaan Cengbeng atau Qing Ming dalam pengertian “Cerah dan

Cemerlang“ dilaksanakan lima belas hari setelah Chunhun, atau Cap Gomeh, atau

tiga puluh hari setelah perayaan Imlek Tahun Baru masyarakat Tionghua.

Biasanya setelah Chunhun masyarakat Tionghua meyakini merupakan hari yang

baik dan cerah, dan cocok untuk melaksanakan ziarah kubur atau ziarah

makam.Tradisi Cengbeng (Qing Ming Jie) adalah tradisi wajib masyarakat

Tionghoa.Ini adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan

setidaknya sekali dalam setahun.

Cengbeng selalu jatuh antara tanggal 4-6 April (kalender masehi) setiap

tahun.Sebelum dan sesudah peringatan Cengbeng orang-orang pergi ke makam,

rumah abu atau pantai untuk berdoa bagi para leluhur yang telah
15

meninggal.Semasa peringatan Cengbeng inilah, makam-makam dibersihkan dan

diperbaiki.Bagi sebagian besar orang Tionghoa, memperbaiki makam atau

sekedar membersihkannya diluar masa Cengbeng sangat tidak dibenarkan.

Perayaan Cengbeng adalah saat yang paling ideal untuk berziarah dan

membersihkan makam karena upacara ini diadakan bertepatan pada bulan april

dimana cuaca cerah dan terang.

Apalagi pada zaman dahulu lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat

pemukiman. Dan bahkan bila seseorang yang tinggal jauh dari kampung

halamannya, mereka akan berusaha pulang kekampung halamannya, khusus untuk

melakukan upacara Cengbeng atau upacara penghormatan para leluhur. Makam

leluhur sangat penting artinya bagi masyarakat Tionghoa.Penentuan letak makam

dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi fengshui, termasuk

juga masa untuk berkunjung ke makam. Hal ini dipercaya sangat berhubungan

erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan anggota keluarga lain yang

ditinggalkan. Anggota keluarga yang meninggal dunia biasanya dimakamkan atau

diperabukan.Jika diperabukan, abunya dapat dititipkan ke rumah-rumah abu, di

tempatkan dirumah dengan altar khusus atau disebar kelaut. Sehingga bagi

keluarga yang ditinggalkan, peringatan Cengbeng dapat dilakukan di rumah abu

jika abunya dititipkan di sana.

Mengutip dalam jurnal Hartai Dewi, Gunawan.(2016), mengatakan bahwa pada

hari itu, warga Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa

batang dupa, lilin, kertas sembahyang dan sesajen.Orang tua biasanya

mengajarkan anak-anaknya untuk tetap menjalankan tradisi dan budaya


16

khususnya dalam menjalankan upacara Cengbeng karena dengan menjalankan

tradisi ini dapat menjaga hubungan dengan leluhur sekaligus menunjukkan bakti

kepada orang tua.Upacara Cengbeng yang dilaksanakan setiap tanggal 4 dan 5

April setiap tahunnya adalah upacara berdoa kepada leluhur yang dilaksanakan di

rumah-rumah dan di kuburan. Orang Tionghoa biasanya mengadakan sembahyang

kecil (tuang teh) setiap Che It 初一(tanggal satu) dan Cap Go十五(tanggal 15)

setiap bulannya dalam penanggalan Imlek di rumah.Selain sembahyang kecil, ada

juga sembahyang besar (sembahyang leluhur) yang merupakan suatu kewajiban

bagi yang masih memegang teguh ajaran leluhur.Sembahyang besar ini biasanya

memakai san sheng 三牲(menggunakan tiga hewan bernyawa).Karena itu

sembahyang ini juga biasa disebut dengan sembahyang Sam Seng/sembahyang

bernyawa. Sembahyang besar ini biasanya dilakukan setahun tiga kali, yaitu pada

saat sembahyang Cengbeng (berziarah ke kuburan orang tua/saudara),

sembahyang qi yue (bulan tujuh tanggal lima belas), atau yang biasa disebut juga

sembahyang rebutan dan sembahyang sincia (Perayaan tahun baru Imlek).

Sembahyang Cengbeng biasanya dilakukan pada pagi hari di makam/kuburan

orang tua/saudara, sembahyang rebutan biasanya dilakukan pada siang hari di

rumah dan sembahyang Sin Cia biasanya dilakukan pada pagi/siang hari dirumah,

sedangkan pada malam harinya seluruh sanak saudara biasanya akan berkumpul

bersama untuk makan malam sebelum tahun baru Imlek. Menerbangkan layang-

layang juga menjadi tradisi penting yang sangat dinikmati oleh seluruh

masyarakat, baik tua dan muda, selama perayaan berlangsung.Layang-layang

dengan berbagai bentuk yang unik diterbangkan selama Festival Qingming

(Cengbeng) tidak hanya pagi dan siang hari, bahkan malam hari juga.Tradisi ini
17

diyakini dapat membawa keberuntungan dan melenyapkan penyakit, maka dari itu

setiap tradisi memiliki arti, fungsi, dan makna yang penting masing-masing.

2.2.1 Fungsi dan Makna Tradisi Cengbeng

Menurut Shil manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa

tidak puas terhadap tradisi mereka. Shil (1981) dalam Piotr Sztompka, (2007 :

74).

Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan Shil diatas, maka suatu tradisi

memiliki fungsi bagi masyarakat yaitu :

a. Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun menurun.

Tradisi yang diwariskan dapat menciptakan fragmen historis yang dipercaya

bermanfaat bagi masa depan.

b. Memberikan legitimasi terhadap keyakinan, pandangan hidup, pranata dan

aturan yang sudah ada.

c. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat

loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok.

d. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan atau ketidakpuasan

dalam kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih

bahagia menyediakan sumber pengganti kebahagiaan bila masyarakat berada

dalam kondisi krisis(Piotra Sztompka, 2007 : 76 ).

Pada tradisi Cengbeng sendiri memiliki fungsi sebagai penyatu, dimana pada saat

perayaan Cengbeng menjadi hari dimana seluruh anggota keluarga berkumpul

beramai-ramai dengan sanak saudara. Hornby dalam (Pateda, 1989 : 45 )


18

berpendapat bahwa makna ialah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud.

Harimurti (2008 : 148) berpendapat makna (meaning, linguistic meaning, sense)

yaitu : (1) maksud pembicara, (2) pengaruh suatuan bahasa dalam pemahaman

persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam

artikesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa,

atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya, (4) cara menggunakan

lambing-lambang bahasa, Berdasarkan pendapat diatas dapat dinyatakan bahwa

makna merupakan arti dari suatu kata atau maksud pembicaraan yang membuat

kata tersebut berbeda dengan kata-kata lain. Makna tradisi merupakan suatu pesan

tersirat, nilai dan maksud yang terdapat di dalam setiap ritual-ritual hasil warisan

dari nenek moyang yang diwariskan dari generasi ke generasi.Dengan demikian

makna dalam perayaan tradisi Cengbeng sendiri yaitu untuk mengenang dan

mengingat jasa-jasa kebaikan para leluhur yang sudah meninggal semasa

hidupnya. Suatu tradisi memiliki sejarah yang akan menjelaskan pula apa isi dari

tradisi tersebut sehingga kita dapat mempelajarinya.

2.2.2 Sejarah Perayaan Cengbeng

Hari Cengbeng telah menjadi hari penting peringatan nenek moyang bagi

masyarakat Tionghoa Indonesia. Tidak peduli seberapa jauh, tidak peduli seberapa

sibuk bekerja, masyarakat Tionghoa Indonesia semuanya akan membawa seluruh

anggota keluarga pergi berziarah. Masyarakat berharap dapat mengikuti adat

kebiasaan orang tua dengan penuh rasa hormat, mengenali dan melaksanakan adat

nenek moyang, mengingat asal usul, melanjutkan tradisi baik leluhur dan

mengajarkan budaya tradisional kepada generasi berikutnya.


19

Vistari (2017) mengatakan tradisi Cengbeng ini bermula pada zaman Dinasti

Ming ada seorang anak bernama Cu Guan Ciong (Zhu Yuan Zhang, pendiri

Dinasti Ming) yang berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Dalam

membesarkan dan mendidik Cu Guan Ciong, orangtuanya meminta bantuan

kepada sebuah kuil agar anaknya menjadi seorang anak yang baik.Semakin

dewasa, karma Cu Guan Ciong semakin baik.Sehingga ketika dewasa, beliau

menjadi seorang kaisar dan Cu Guan Ciong kembali ke desa untuk menjumpai

orangtuanya.Sesampainya di desa ternyata orangtuanya telah meninggal dunia dan

tidak diketahui keberadaan makamnya.Kemudian untuk mengetahui keberadaan

makam orangtuanya, sebagai seorang kaisar.Cu Guan Ciong memberi titah kepada

seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur

mereka masing-masing pada hari yang telah ditentukan (5 April).

Selain itu, diperintahkan juga untuk memberikan tanda kertas kuning di atas

makam-makam tersebut.Setelah semua rakyat selesai berziarah, kaisar memeriksa

makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam tersebut yang

belum dibersihkan serta tidak diberi tanda.Kemudian kaisar menziarahi makam-

makam tersebut dengan berasumsi bahwa di antara makam-makam tersebut

pastilah merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan leluhurnya.Hal ini

kemudian dijadikan tradisi Cengbeng atau ziarah kubur setiap tahunnya (Sugeng,

dkk. 2018).

Menurut penanggalan masehi, hari Cengbeng diperingati setiap tahun antara

tanggal 4 sampai 6 pada bulan April, atau bertepatan dengan waktu munculnya

dedaunan berwarna hijau zamrud sebagai penanda dimulainya musim semi yang
20

cerah, juga bertepatan dengan waktu yang baik untuk mulai bertamasya, maka

zaman dahulu ada kegiatan tamasya Cengbeng, serta serangkaian kegiatan olah

raga mulai dilaksanakan. Ketika berziarah, kita harus membawa makanan,

minuman, buah-buahan, kertas uang, dupa, lilin dan barang-barang lain ke

pemakaman.

Makanan dipersembahkan di depan makam keluarga, lalu kertas uang dibakar.

Kemudian seluruh keluarga berkumpul bersembahyang dan bersujud memberi

hormat.Terakhir, pulang ke rumah setelah makanan dihabiskan.Dilihat dari

sejarah, awal mulanya Tradisi Cengbeng di China diperkirakan dimulai sejak

Dinasti Zhou, memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun.Perayaan Cengbeng adalah

perayaan yang sangat penting, karena begitu mulai perayaan Cengbeng, suhu

udara meningkat, waktunya yang tepat untuk petani bercocok tanam di musim

semi. Pada mulanya, jika ditelusuri tahun terjadinya, maka cerita atau kisah

mengenai Jie Zi Tui yang terjadi sekitar tahun 600-an sebelum Masehi pada

zaman Musim Semi Gugur merupakan tahun yang paling awal mengenai Festival

Qing Ming (hari Cengbeng).

Seperti agama Buddha, Kong Hu Chu, dan Tao mereka sangat menganggap

perayaan Cengbeng sangatlah penting.Mereka semua menyarankan orang yang

masih hidup untuk mencari pahala yang gunanya untuk diberikan kepada orang

yang telah meninggal, karena dapat mengurangi penderitaan mereka di akhirat.

Tradisi Cengbeng merupakan tradisi orang keturunan Tionghoa turun-temurun,

dimana ada orang keturunan pasti disitulah tradisi Cengbeng masih dilakukan

dengan serangkaian prosesi dan tata cara.


21

2.2.3 Tata Cara dan Proses Perayaan Cengbeng

Dalam melaksanakan upacara perayaan Cengbeng, etnis Tionghoa

mempersiapkan barang-barang dan segala keperluan yang dibutuhkan, seperti

memasak makanan untuk dipersembahkan kepada para leluhur sehari sebelum

mengunjungi makam.Agung, dkk (2018) mengatakan semua makanan yang

dipersembahkan tidak boleh dalam kondisi hangat/panas, harus dalam suhu yang

dingin/normal. Peralatan lain, seperti lilin, dupa (hio), tempat dupa, kertas lima

warna (go sek cua), uang akhirat Kimcua dan Gincua, barang-barang untuk

dipersembahkan, barang barang yang akan dibakar dan lain-lain.

Sesampainya mereka di lokasi, makam leluhur dibersihkan, yang esensinya agar

leluhur melihat bakti serta penghormatan dari si peziarah, yang merupakan

refleksi dari rumah leluhur di akhirat.Mereka lebih mengutamakan generasi

mereka (anak-anak) untuk membersihkan kuburan sebagai sebuah pembelajaran

dan pewarisan tradisi, agar mereka terbiasa dan dapat mengenang jasa leluhur

yang sudah meninggal.

Proses selanjutnya adalah menyusun lilin (lak cek), tempat dupa (hiolo), dupa

(hio), makanan dan minuman serta buah-buahan sebagai sesajian persembahan

kepada para leluhur.Persembahan ini dahulunya adalah makanan yang sangat

disukai oleh leluhur dan ditata sedemikian rupa agar terlihat elok dan senang hati

memakannya.Diletakkan di belakang lilin dan disejajarkan berdasarkan jenisnya

serta disesuaikan letaknya dengan bentuk makam. Kertas lima warna (go sek cua)

ditancapkan di sekeliling makam, yang warna-warna tersebut mempunyai makna.

Merah (melambangkan kebahagiaan), Kuning/emas (melambangkan


22

keberuntungan), Hijau (melambangkan kesehatan, kemakmuran), Biru

(melambangkan kematian), dan Putih/Perak (melambangkan

kemurnian).Keindahan makam di bumi mencerminkan wujud rumah leluhur di

alam baka.Hal ini menjadi kepercayaan etnis Tionghoa di Indonesia, bahkan

seluruh etnis Tionghoa di seluruh dunia. Proses menghias makam ini juga

memiliki makna sebagai penghormatan kepada leluhur dalam wujud fisik

kuburan. Setelah semua selesai dilakukan maka selanjutnya masuk ke proses

berikutnya, yaitu proses untuk melakukan sembahyang.

Setelah selesai menghias, semua anggota keluarga yang datang, berkumpul di

depan makam leluhur dengan kondisi yang khusuk untuk melakukan sembahyang.

Pada tahap ini, masing-masing anggota keluarga memanjatkan doa dengan

menyalakan dupa (hio), untuk keselamatan agar arwah leluhur tenang di alam

baka. Mereka menghormat sebanyak tiga kali lalu berdoa dan kembali

menghormat tiga kali dan menancapkan dupa di tempat dupa (hiolo) di depan

makam. Mereka melakukannya berdasarkan tingkatan umur dalam keluarga,

dimulai dari anggota keluarga yang paling tua kemudian disusul oleh yang lebih

muda dan seterusnya.Doa yang dipanjatkan kepada para leluhur agar diberikan

kemurahan rezeki, kesejahteraan, umur yang panjang dan roh-roh leluhur tetap

bersama mereka selamanya untuk menjaga dan memberi berkat yang melimpah.

Selanjutnya mempersembahkan barang-barang duplikasi dari kertas seperti baju-

bajuan, sepatu dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya seperti uang akhirat

yang disebut Kimcua (uang emas) dan Gincua (uang perak) kepada roh leluhur

dengan cara dibakar. Mereka percaya bahwa barang-barang tersebut nantinya


23

akan dipakai dan digunakan oleh roh leluhur untuk memenuhi kebutuhannya di

akhirat selama setahun, artinya sampai kepada perayaan Cengbeng berikutnya.

Bagian akhir dari tradisi Cengbeng adalah tahap penutupyang dilakukan dengan

cara berpamitan di depan makam leluhur. Sama halnya dengan tahap sembahyang,

masing-masing anggota keluarga akan berpamitan secara bergantian di depan

makam leluhur dengan memanjatkan doa bahwa mereka telah melaksanakan

kewajibannya dan sekarang hendak pulang ke rumah masing-masing dan agar roh

leluhur sudi untuk datang mengunjungi rumah mereka masing-masing pada saat

hari “H” dari perayaan Cengbeng. Hal ini dilakukan karena biasanya etnis

Tionghoa pergi ke makam pada rentang waktu 10 hari sebelum perayaan

Cengbeng dimulai.

Perlengkapan-perlengkapan/benda-benda yang menjadi media dalam proses ritual,

seperti: Dupa (hio), Tempat hio (hiolo), Lilin (lak cek), Kertas Lima Warna (go

sek cua), Makanan-Minuman dan Buah-Buahan, Uang Akhirat dan Barang-

Barang Persembahan, mempunyai fungsi masing-masing. Dupa (hio) berfungsi

sebagai alat untuk memanggil arwah leluhur pada saat-saat tertentu juga sebagai

persembahan kepada orang yang telah meninggal dunia.Dupa yang dibakar dalam

sembahyang masyarakat Tionghoa melambangkan keharuman yang diharapkan

tersebar ke seluruh penjuru alam.Tempat dupa (hiolo) berfungsi sebagai tempat

penancapan dupa setelah selesai melakukan sembahyang.

Lilin (lak cek) memiliki makna sebagai lambang dari penerangan, yang dipercaya

akan menerangi roh para leluhur di dunia akhirat. Lilin tersebut harus tetap dalam

kondisi hidup disaat keluarga sedang melakukan sembahyang Cengbeng. Kertas


24

lima warna (go sek cua) berfungsi sebagai tanda bahwasanya makam para leluhur

tersebut telah dikunjungi oleh keturunannya. Makanan, minuman dan buah-

buahan digunakan sebagai persembahan atau sesajian adalah makanan yang

disukai oleh leluhur sewaktu mereka masih hidup.Biasanya makanan yang

dipersembahkan berupa nasi, mie, daging, dan kue apem.Minuman yang

dipersembahkan biasanya berupa teh dan arak (arak merah/arak putih).Jika

makanan yang dipersembahkan adalah daging maka minumannya harus

arak.Buah-buahan yang dipersembahkan biasanya berupa jeruk, anggur, pir, apel

dan nanas.

Uang akhirat Gincua (uang perak) dan Kimcua (uang emas) adalah uang yang

akan dipergunakan oleh para leluhur di akhirat dengan media api, yaitu dengan

melalui proses pembakaran. Demikian juga barang-barang persembahan berupa

pakaian, sepatu dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari kertas yang dipercaya

bahwa di akhirat akan menjadi barang nyata dan dipergunakan oleh para leluhur

sebagai alat untuk mejalani hidup di akhirat.

Cara sembahyang Cengbeng, yang pertama adalah sembahyang kepada langit dan

bumi terlebih dahulu, kemudian kepada Dewa pendamping, yaitu Dewa bumi

(Fude Zhengshen), kemudian kepada leluhur. Berdoa kepada mereka bahwa hari

ini sembahyang Cengbeng.

2.3 Prosesi Pemakaman

Pada prosesi pemakaman pada etnis Tionghoa terdapat 2 cara prosesi yaitu

melalui prosesi pemakaman jenazah dan prosesi kremasi atau pengabuan jenazah
25

melalui pembakaran. Dalam proses penguburan dan kremasi keduanya

menjalankan ritual terlebih dahulu, yaitu upacara pemakaman dimana jenazah di

semayamkan di rumah duka selama beberapa hari untuk di doakan oleh para

pelayat, sampai pada proses akhir apakah jenazah akan di kubur atau di kremasi.

Pada prosesi pemakaman jenazah kuburan Tionghoa umumnya terletak di lereng

bukit karena hal ini diduga untuk meningkatkan Fengshui.Lebih tinggi bukit

kuburan, situasi di anggap semakin baik. Prosesi pemakaman belangsung dengan

sedikit upacara yang dilakukan di kuburan dengan menaburkan bunga dan

menghantarkan doa-doa agar arwah yang meninggal dapat tenang, lalu prosesi

penguburan pun dilakukan dengan menutup liang kubur dengan pasir seperti pada

umumnya. Sedangkan pada prosesi kremasi, jenazah di masukkan ke dalam mesin

pembakaran jenazah lalu mayat dibakar dan akan hancur sampai menjadi abu.

Abu inilah yang akan dibawa ke rumah abu untuk dititipkan, dan jika tidak ada

rumah abu maka abu jenazah dilarungkan (dibuang) ke lautaan.

Proses kremasi ini berawal dari pemerintahan komunis di Tiongkok pada tahun

1940, para pejabat dilarang melakukan penguburan tradisional dan

mengamanatkan bahwa semua kematian harus kremasi. Pemerintah komunis

mengatakan, pemakaman di kuburan adalah pemborosan ruang, berbahaya bagi

lingkungan, dan lebih mahal daripada kremasi.

2.4 Etnis Tionghoa

Secara etimologis, kata etnis (ethnic) berasal dari Bahasa Yunani ethnos, yang

merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Acap kali ethnos diartikan sebagai

setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan
26

norma budaya, dan lain-lain yang pada gilirannya mengindikasikan adanya

kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat.

Istilah etnis mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi

kelompoknya dan tidak mau tahu dengan ideologi kelompok lain. Dalam

perkembangannya makna ethnos berubah menjadi etnichos yang secara harfiah

digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok “penyembah berhala” atau

orang kafir yang hanya berurusan dengan kelompoknya sendiri tanpa peduli

kelompok lain (Sanjaya, 2017).

Etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari

kesatuanyang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa.

Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan

identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007).

Meninjau dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya

kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan

asal-usul. (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin

mencakup dari warna kulit sampai asal usus acuan kepercayaan, status kelompok

minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar, dan juga

menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang

merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakankan bahwa etnis atau suku

merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat membedakan kesatuan berdasarkan

persamaan asal-usul seseorang sehingga dapat dikategorikan dalam status

kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini digunakan untuk mengacu pada
27

satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria

kebudayaan.

Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia bukan berasal dari satu kelompok saja,

tetapi terdiri dari berbagai suku bangsa dari dua propinsi di negara Tionghoa

yaitu, Fukian dan Kwantung.Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting di

dalam perdagangan orang Tionghoa.Sebagian besar dari mereka adalah orang-

orang yang sangat ulet, tahan uji dan rajin (Koentjaraningrat, 2007).

Koentjaraningrat (2007) lebih lanjut berpendapat bahwa Tionghoa dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Tionghoa Totok dan Tionghoa

Keturunan.Tionghoa Totok adalah orang Tionghoa yang lahir di Tionghoa dan

Indonesia, dan merupakan hasil dari perkawinan sesama Tionghoa.Tionghoa

keturunan adalah orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan merupakan hasil

perkawinan campur antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia.Haryono

(2006) menambahkan, masyarakat Tionghoa di pulau Jawa umunya adalah suku

Hokkian.

Menurut Haryono (2006) orang Tionghoa Totok dimaksudkan sebagai orang

Tionghoa yang dilahirkan di negeri Tionghoa yang menetap di Indonesia dan

generasi anaknya yang lahir di Indonesia. Anak dari TionghoaTotok masih tetap

dianggap Tionghoa Totok karena kultur dan orientasi hidup cenderung masih pada

negeri Tionghoa. Orang Tionghoa keturunan dimaksudkan sebagai orang

Tionghoa yang lahir dan telah lama menetap di Indonesia selama generasi ketiga

atau lebih.Perbedaan lama menetap ini pada umunya berpengaruh pada kuat

lemahnya tradisi Tionghoa yang dianut.


28

Orang Tionghoa Totok cenderung lebih kuat memegang tradisi Tionghoa yang

berasal dari nenek moyangnya, sehingga segala perbuatannya memiliki kekhasan

dibandingkan dengan Tionghoa Keturunan.Pada orang Tionghoa keturunan nilai

tradisi Tionghoa yang berasal dari nenek moyang telah meluntur, sehingga dalam

hal-hal tertentu segala sepak terjangnya kurang menonjol kekhasannya sebagai

orang Tionghoa.Namun demikian pada saat-saat tertentu kekhasannya sebagai

orang Tionghoa masih tampak juga.

Meskipun di antara dua kelompok etnis Tionghoa ini ada bedanya, tetapi

keduanya memiliki akar yang sama yang dapat dibedakan dengan kebudayaan

setempat. Jadi, dapat dinyatakan bahwa Etnis Tionghoa adalah seseorang yang

berasal dari negara Tionghoa yang tinggal di Indonesia baik dari kelompok

Tionghoa Totok maupun Tionghoa Keturunan.

Masyarakat Tionghoa Indonesia atau yang biasanya disebut tenglang (dalam ejaan

bahasa Hokkian, 唐人(Tangren)) merupakan masyarakat yang datang dari negeri

Tiongkok dengan alasan faktor perekonomian Tiongkok (berdagang), ingin

mencari nasib dan penghidupan yang lebih baik (imigrasi), juga dikarenakan

kekacauan politik dan keamanan (peperangan) di Tiongkok (pengungsi).

Perpindahan orang-orang Tionghoa ke Indonesia membawa beragam perubahan

bagi Indonesia, misalnya makanan, adat istiadat, budaya, dsb.Semakin

melonjaknya perpindahan masyarakat Tionghoa ke Indonesia menjadi salah satu

penyebab bertambah banyaknya budaya di Indonesia, karena para imigran

membawa budaya asli mereka yang masih mereka lakukan disini.Mereka yang

bermigrasi ke Indonesia seperti, Hokkian (福建), Teochiu (潮州), Hakka(客家


29

), Hokcia (福清), dll.Etnis Tionghoa yang di maksud dalam penelitian ini

adalah etnis Tionghoa yang berada di Kabupaten Pringsewu.

2.5 Modernisasi dan Perubahan Sosial Kebudayaan

Pada dasarnya semua bangsa dan masyarakat di dunia ini senatiasa terlibat dalam

proses modernisasi, meskipun kecepatan dan arah perubahannya berbeda-beda

antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Proses modernisasi itu

sangat luas, hampir-hampir tidak bisa dibatasi ruang lingkup dan masalahnya,

mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan seterusnya. Konsep

modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi modernisasi di tahun

1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara: historis, relatif, dan

analisis. Menurut definisi historis, modernisasi sama dengan westernisasi atau

Amerikanisasi.

Modernisasi dilihat sebagai gerakan menuju cita-cita masyarakat yang dijadikan

model.Menurut pengertian relatif, modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk

menyamai standar yang dianggap moderen baik oleh masyarakat banyak maupun

oleh penguasa.Definisi analisis berciri lebih khusus dari pada kedua definisi

sebelumnya yakni melukiskan dimensi masyarakat moderen dengan maksud

untuk ditanamkan dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra moderen.

(Piotra Sztompka, 2004 : 152-153 ).

Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan ke arah

yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan

masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses


30

perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju, dimana

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Abdulsyani, 1994 :

176-177 ). Seiring dengan pendapat Wilbert E. Moore yang mengemukakan

bahwa modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang

tradisional atau pra moderen dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah

pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil (Moore,

1965 : 129).

Berbicara mengenai perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi setelah

jangka waktu tertentu, kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati

antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu, untuk dapat mengetahuinya

harus diketahui dengan cermat meski terus berubah (Piotra Sztompka, 2004 : 3 ),

Konsep Perubahan Sosial Rogers et.al. mengemukakan bahwa perubahan sosial

adalah suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan didalam struktur dan

fungsi dari suatu sistem kemasyarkatan (Sugihen, Bahrein T, 1997 : 55).

Perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah

diterima, baik karena perubahan-peubahan kondisi geografis, kebudayaan

material, komposisi penduduk, idiologi, maupun karena adanya difusi atau

penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut (Soerjono Soekanto, 1994 :

384). Soerjono Soekanto merumuskan bahwa perubahan sosial adalah segala

perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu

masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-

nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam

masyarakat (Soerjono Soekanto, 2001 : 89).


31

Menurut Suwarno, dkk (2011 : 101) mengatakan perubahan budaya adalah suatu

proses terjadinya disfungsi kehidupan masyarakat karena ketidaksesuaian dan

saling berbeda antara unsur-unsur kebudayaan. Kingsley Davis (dalam Soerjono

Soekanto, 1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari

perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua

bagiannya yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya,

bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.

Masyarakat menurut Kingsley Davis, adalah sistem hubungan dalam arti

hubungan antara organisasi-organisasi, dan bukan hubungan antara sel-sel.

Kebudayaan dikatakannya mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku,

yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan

buah fikiran secara simbolis dan bukan oleh karena warisan yang berdasarkan

keturunan. Apabila diambil definisi kebudayaaan dari Tylor dalam Manan (1989)

yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap

kemampuan serta kebiasaan sebagai warga masyarakat maka perubahan-

perubahan kebudayaan adalah setiap perubahan dari unsur-unsur tersebut.

Sehingga hal inilah yang menyebabkan adanya perubahan dalam tradisi dengan

mengkaitkannya dari perubahan unsur-unsur kebudayaan.

Modernisasi dan Perubahan Sosial Kebudayaan memang saling berhubung karena

keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Perubahan sosial kebudayaan

terjadi akibat adanya modernisasi yang menjadikan hal ini saling berhubungan.
32

Menurut Suwano, dkk (2011) terdapat macam-macam proses perubahan sosial

budaya. Proses perubahan sosial budaya pada dasarnya dapat dibedakan dalam

beberapa macam anatara lain :

a. Akulturasi : proses pertemuan unsur-unsur budaya dan terjadi pencampuran

unsur-unsur tersebut.

b. Asimilasi : peleburan sifat-sifat asli budaya yang berbeda masing-masing

masyarakat.

c. Difusi : proses penyebaran unsur-unsur budaya kepada orang dan kelompok

masyarakat lain;

Ada dua macam difusi yaitu : difusi primer dan difusi sekunder. Difusi primer

adalah penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan baru dalam masyarakat asal

kebudayaan tersebut. Difusi sekunder adalah proses penyebarluasan unsur-

unsur kebudayaan masyarakat ke dalam masyarakat lain.

d. Discovery : penemuan baru berupa alat atau ide baru

e. Invention : discovery yang sudah diterima dan diterapkan

f. Inovasi : penemuan baru

g. Migrasi : perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain untuk

menetap.

h. Modernisasi : proses perubahan tradisi, sikap, keyakinan dan system nilai

untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan bangsa lain. Sikap merujuk kepada

perseorangan dalam menjalankan suatu hal, bagaimana individu itu

menjalankan sesuatu. Sementara keyakinan masuk dalam faktor perubahan

dalam suatu perubahan budaya karena agama/kepercayaan memiliki

pandangan masing-masing dalam suatu tradisi.


33

Melihat dari macam-macam proses perubahan sosial budaya oleh Suwarno, dkk.

Maka Soerjono Soekanto (1990) mengkategorikan macam-macam proses

perubahan sosial budaya tersebut menjadi suatu bentuk faktor-faktor perubahan

dalam budaya yang isinya menganut macam-macam proses perubahan sosial

tersebut. Faktor-faktor perubahan dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor intern

(bersumber dalam masyarakat itu sendiri) dan faktor ekstern (berasal dari luar

masyarakat itu sendiri).

Faktor ekstern perubahan sosial budaya tersebut yaitu :difusi, asimilasi, akulturasi,

discovery, invention, inovasi. Sedangkan faktor intern yang menyebabkan

perubahan sosial budaya yaitu :modernisasi, perubahan tradisi, sikap, keyakinan,

dan migrasi.

Maka dari itu modernisasi dan perubahan sosial kebudayaan sangat erat

berkaitannya karena di dalam perubahan kebudayaan terdapat unsur

modernisasi.Modernisasi menjadi suatu keadaan yang dapat merubah system,

nilai, dan tradisi suatu kebudayaan.Modernisasi juga masuk dalam suatu faktor

perubahan sosial budaya.

2.6 Fungsi Tradisi Cengbeng terhadap Kearifan Lokal

Satu hal penting yang patut diketahui, tentang ritual Cengbeng yang dilakukan

oleh masyarakat Tionghua tidak saja berkisah tentang puja-puji terhadap orang

tua dan leluhur yang juga dipercaya bahwa arwah para orang tua dan leluhurnya

yang senantiasa mendampingi nya dalam mengarungi kehidupannya di dunia, baik

dan buruk, suka-duka, serta rezeki dan bencana.


34

Akan tetapi perayaan Cengbeng juga berkisah, tentang berbagi cerita, tentang

kisah-kisah sukses mereka di perantauan kepada sanak saudara dan teman sejawat

serta kerabat yang berada di kampung halamam.Perayaan Cengbeng juga mereka

jadikan sebagai spirit terbangunnya hubungan sosial yang tetap terjaga di

manapun mereka berada.Disamping itu di balikPerayaan ritual Cengbengterselip

sebuah pesan, bahwa perayaan Cengbeng ini tidak semata merupakan acara

Ritual belaka, tapi ada makna tersirat di dalam nya, yani sebuah cermin kearifan

lokal di mana para perantau yang sukses di perantauaanya, akan membagi bagi

angpau kepada kaum miskin tampa pandang bulu terhadap etnis dan agama si

orang miskin yang di bantunya.

Di Indonesia Perayaan Cengbeng mencerminkan kerukunan antar ummad

beragama terlihat di sana. Bagi bagi rezeki terhadap agama lain juga terjadi dalam

perayaan Cengbeng. Setidaknya banyak warga yang mendapat rezeki dari

perayaan Cengbeng.Mulai dari membersihkan kuburan, sampai kepada pedagang

musiman yang menggelar dagangannya pada saat perayaan Cengbeng

datang.Bahkan tukang parkir kendaraanpun kecipratan rejeki.

Sebagai mana perayaan Cengbeng diperingati bukan hanya karena menjadi satu-

satunya tradisi masyarakat Tionghoa yang tak dimiliki oleh masyarakat lain. Tapi

Lebih dari itu, dalam prosesi ritualnya, Cengbeng banyak memberikan pelajaran

terhadap menghormati orang tua dan leluhurnya.

Di samping itu perayaan Cengbeng, juga mendatangkan rezeki bagi masyarakat

local. Setidaknya dalam melaksanakan Cengbeng para perantau yang pulang

kampung yang tidak lagi memiliki sanak saudara di kampungnya, tentu


35

akanmenginap di hotel, selama dia melaksanakan ritual Cengbeng. Selama di

kampung tentu dia akan menyinggahi rumah-rumah makan, atau warung warung

kopi untuk ngobrol sekedar melepas rindu dengan teman teman nya yang masih

tinggal di kampung halamannya.

Perputaran uang akan terjadi selama perayaan Cengbeng berlangsung.

Sepulangnya tentu dia akan berbelanja makan-makanan tradisional yang ada di

kampung halaman untuk dibawa pulang ke tempat tinggalnya di daerah berbeda,

dan untuk sekedar memberikan buah tangan kepada para tetangganya atau rekan

kerjanya. Inilah sisi lain yang dapat dilihat dari perayaan Cengbeng.

2.7 Teori Perubahan Sosial Budaya

Perubahan budaya adalah suatu proses terjadinya disfungi kehidupan masyarakat

karena ketidaksesuaian dan saling berbeda antara unsur-unsur kebudayaan.

Perubahan sosial dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan struktur dan fungsi

masyarakat.Perubahan sosial budaya adalah perubahan struktur dan fungsi

masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur budaya dengan

perkembangan kebutuhan hidup (Suwarno, dkk.2011 : 101)

Dalam perubahan sosial budaya terdapat beberapa teori yaitu Teori Evolusi, Teori

Konflik, Teori Fungsionalis, dan Teori Siklis, dari beberapa teori tersebut peneliti

memilih Teori Evolusi milik Emile Durkheim yang cocok untuk digunakan

sebagai teori dalam penelitian ini. Menurut Lauer (2003) teori evolusi Durkheim

menjelaskan tentang perubahan-perubahan, dimana perubahan tersebut tidak

selalu membawa pada kemajuan dan terkadang membawa pada perpecahan dalam
36

masyarakat, individu menjadi terasing, dan lemahnya ikatan sosial masyarakat,

seperti tidak berjalannya suatu tradisi dalam masyarakat dan kelompok.

Perubahan sosial dan budaya yang terjadi dalam masyarkat saling berkaitan,

karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tak

mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat.Hal ini menunjukkan bahwa manusia

selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan.Perubahan-perubahan

masyarkat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola

perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam

masyarakat, kekuasaan, wewenang dan interaksi sosial.

2.8 Penelitian Terkait

Tabel 2.1. Penelitian Terkait


No. Penelitian/tahun Judul Hasil Penelitian

ffdd 1 Dedy Nurhayadi Nilai-Nilai Moral Nilai-nilai tradisi


Ateng (2016) Tradisi Cengbeng Cengbeng yang
Dalam Penumbuhan dapat dijadikan
Sikap Bakti Anak sebagai sarana oleh
Usia Dini orangtua Buddhis
dalam penumbuhan
sikap bakti anak
usia dini
diantaranya adalah
sikap menghormat
kepada
leluhur/asal-muasal
keluarga yang tidak
terputus, penguatan
komunitas
keluarga, sikap
rendah hati, dan
nilai berderma.
37

2.9 Kerangka Pikir

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi,

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai berbagai macam budaya

tidak hanya budaya lokal, budaya luar Nusantara pun terdapat di berbagai wilayah

Indonesia salah satunya adalah Tionghoa. Etnis Tionghoa masuk melalui jalur

perdagangan hingga bisa masuk ke tanah air Indonesia.

Etnis Tionghoa cukup dikenal sebagai masyarakat yang memiliki cukup banyak

tradisi.Tradisi-tradisi tersebut berasal dari warisan nenek moyang mereka.Tradisi

Tionghoa adalah sebuah kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan

perayaan-perayaan rakyat atau kepercayaan yang dianut dalam kebudayaan

tersebut.Salah satunya adalah tradisi dalam perayaan Cengbeng.Perayaan

Cengbeng dimaknai sebagai hari menghormati dan memperingati leluhur yang

sudah tiada. Setiap orang berdoa di depan nenek moyang, menyapu pusara dan

bersembahyang dengan makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan

berbagai aksesoris, sebagai persembahan kepada leluhur.

Di era modernisasi seperti sekarang ini beberapa tradisi mengalami pergeseran

makna dan nilai-nilai dalam tradisi Cengbeng, serta beberapa agama yang

berbeda-beda dalam melaksanakan proses perayaan Cengbeng, tidak sedikit dari

etnis Tionghoa yang berada di Kabupaten Pringsewu terbawa arus modernisasi

tersebut sehingga banyak mengalami beberapa perubahan. Serta fungsi perubahan

itu sendiri yang akan menjadi tolak ukur pada perubahan dalam perayaan tradisi

Cengbeng ini, apakah harus di lakukan atau tidak karena pada dasarnya tradisi
38

merupakan suatu warisan yang dilakukan secara turun-temurun, dan tergantung

bagaimana perseorangan atau suatu kelompok menyikapi suatu tradisi.

Adapun bagan kerangka berpikir pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Perubahan dalam Perayaan Tradisi


Cengbeng pada Etnis Tionghoa di
Era Modernisasi

Faktor-Faktor Perubahan Pada


Perayaan Tradisi Cengbeng

Faktor Intern Faktor Ekstern


· Sikap · Difusi
· Kepercayaan · Akulturasi
· Moderenisasi · Asimilasi
· Migrasi · Discovery
· Invention

Gambar 2.1. Kerangka Pikir


III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Pada penelitian ini penulis memilih metode penelitian kualitatif sering disebut

dengan naturalistic inquiry (inkuiri alamiah). Karena menurut penulis metode ini

cukup relevan dengan kajian yang akan diteliti dengan data kualitatif berada

secara tersirat di dalam sumber datanya. Sumber data kualitatif adalah catatan

hasil observasi, transkrip interview mendalam, dan dokumen-dokumen terkait

berupa tulisan ataupun gambar.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan

pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono (2005 : 21) metode deskriptif adalah

Metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil

penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.

3.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang dipakai pada

perayaan Cengbeng bagi masyarakat Tionghoa di Kabupaten Pringsewu.Data-data

yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Sumber data primer

Data yang diperoleh dari informan yang berpengaruh dalam proses

pengambilan data, informan yang merayakan perayaan Cengbeng dan


40

informan yang lebih mengerti mengenai makna dan fungsi perayaan Cengbeng

di Kabupaten Pringsewu.

2. Data sekunder

Data yang dilakukan dengan menelusuri dokumen – dokumen yang

diperlukandalam penelitian ini.Seperti dokumen atau arsip tentang Cengbeng

di Kabupaten Pringsewu.

3.3 Lokasi Penelitian

Peneliti memilih lokasi di Kabupaten Pringsewu sebagai tempat penelitian, karena

berdasarkan data BPS Kabupaten Pringsewu merupakan wilayah terbesar ketiga di

Provinsi lampung yang memiliki masyarakat etnis Tionghoa terbanyak di

dalamnya. Dalam menentukan lokasi penelitian Moleong (2004:86) menyatakan

cara terbaikditempuh dengan jala mempertimbangkan teori subtantif dan

menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di

lapangan sementara itu keterbatasan geografi dan praktis seperti waktu, biaya,

tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.

Lokasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten Pringsewu.

3.4 Fokus Penelitian

Fokus penelitian masalah pada penelitian kualitatif bertumpu pada suatu

fokus.Adapun maksud dalam merumuskan masalah penelitian dengan

jalanmemanfaatkan fokus yaitu pertama, penetapan fokus dapat membatasi

studi;kedua, penetapan fokus berfungs iuntuk memenuhui inklusi-inklusi atau

kriteriamasuk-keluar (inclusion- exlusion criteria) atau informasi baru yang


41

diperoleh dilapangan sebagaimana dikemukakan Moleong (2004:93-94).Dalam

metodekualitatif, fokus penelitian berguna untuk membatasi bidang inquiry.

Tanpaadanya fokus penelitian, peneliti akan terjebak oleh banyaknya data

yangdiperoleh dilapangan. Oleh karena itu fokus penelitian akan berperan

sangatpenting dalam memandang dan mengarahkan penelitian.Fokus dalam

penelitian ini yaitu terhadap :

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pada perayaan tradisi Cengbeng di

Kabupaten Pringsewu.

a. Faktor Intern :

Sikap :Sikap masyarakat etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu

dalam tradisi perayaan Cengbeng.

Kepercayaan : Seberapa besar pengaruh agama/kepercayaan terhadap

tradisi perayaan Cengbeng di Kabupaten Pringsewu.

Modernisasi : Proses perubahan tradisi, sikap dan keyakinan terhadap

tradisi perayaan Cengbeng di kabupaten Pringsewu.

b. Faktor Ekstern :

Difusi : Peleburan unsur-unsur budaya kepada orang dan kelompok

masyarakat etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu.

Akulturasi :Akibat pertemuan unsur-unsur budaya dan terjadi

percampuran dari suku Tionghoa dan suku asli daerah

tertentu sehingga berdampak terhadap tradisi perayaan

Cengbeng.
42

Asimilasi : Peleburan sifat-sifat asli budaya yang berbeda dari masing-

masing masyarakat terhadap tradisi perayaan Cengbeng di

Kabupaten Pringsewu.

Migrasi : Pengaruh perpindahan penduduk dari suatu tempat ke

tempat lain sehingga berpengaruh terhadap tradisi perayaan

Cengbeng di Kabupaten Pringsewu.

3.5 Teknik Penentuan Informan dan Informan Penelitian

Dalam menentukkan informan penelitian digunakan tehnik purposive

samplingdilanjutkan dengan tehnik snow ball.Tehnik purposive sampling adalah

teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.

Perkembangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap tahu tentang

apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan

memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi yang diteliti. Atau dengan

kata lain pengambilan sampel diambil berdasarkan kebutuhan penelitian. Tehnik

snow ball adalah ketika populasi penelitian tidak jelas keberadaannya, dan tidak

pasti jumlahnya, temuan satu sampel saja sudah sangat amat berarti.Dari sampel

pertama itu dicarilah (diminta informasinya) mengenai “teman-teman” sampel

lainnya.

Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi

tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong 2000 :

97).Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang

akan diteliti.
43

Informan dalam penelitian ini adalah:

1. Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kabupaten

Pringsewu.

2. Sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kabupaten

Pringsewu.

3. Ketua Vihara Bodhicitta Kabupaten Pringsewu.

4. Satu Umat Katholik etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di Kabupaten

Pringsewu.

5. Satu Umat Kristen etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di Kabupaten

Pringsewu.

6. Enam orang etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di Kabupaten Pringsewu.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif tehnik pengumpulan data sangat diperlukan bagi

peneliti dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini pengumpulan data

digunakan dengan cara wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi.

1. Wawancara Mendalam

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik

wawancara mendalam, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara

langsung kepada responden atau subyek penelitian untuk mendapatkan

informasi yang diinginkan.Dalam penelitian penulis melakukan penelitian

terhadap Ketua PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)

Kabupaten Pringsewu, Sekretaris PSMTI(Paguyuban Sosial Marga Tionghoa


44

Indonesia) Kabupaten Pringsewu, Ketua Vihara Bodhicitta Kabupaten

Pringsewu, satu umat Katholik etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di

Kabupaten Pringsewu, satu umat Kristen etnis Tionghoa yang bertempat

tinggal di Kabupaten Pringsewu, enam orang etnis Tionghoa yang bertempat

tinggal di Kabupaten Pringsewu. Penulis akan melakukan metode wawancara

dengan informan guna mendapatkan data yang diinginkan.

2. Observasi

Observasi adalah cara pengumpulan data dengan melakukan pengamatan

langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti.

Menurut Spradley (1980) Tujuan observasi adalah memahami pola, norma dan

makna dari perilaku yang diamati, serta peneliti belajar dari informan dan

orangorang yang diamati.

3. Studi Dokumentasi

Suharsimi Arikunto (2002:206) metode dokumentasi adalah mencari data

yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, legger, agenda dan sebagainya. Kegiatan ini dilakukan untuk

menemukan literature atau sumber bacaan, guna melengkapi apa yang

dibutuhkan dalam penulisan danpenyesuaian data dari hasil wawancara.

Sumber bacaan atau literatur ini dapatberasal dari penelitian yang sudah

pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan

yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku,

jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.


45

3.7 Teknik Analisis Data

Data kualitatif yang diperoleh dari lapangan tentang etnis Tionghoa dalam

perayaan Cengbeng di Kabupaten Pringsewu ini kemudian diolah sehingga

memperoleh keterangan yang bermakna, kemudianselanjutnya dianalisis. Proses

analisis komponen utama yang perlu diperhatikan setelah pengumpulan data

adalah :

1. Pengumpulan Data

Dalam tahap pengumpulan data, semua data dicatat secara objektif dan

apaadanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.

Pengumpulan data sudahdimulai dari bulan April2018 pada saat tahun

perayaan Cengbeng .Kelengkapan data penelitian di peroleh dari dokumen-

dokumen, dan foto-foto penelitian tentang interaksi sosial yang terjadi di

lapangan.

2. Reduksi Data

Reduksi data digunakan untuk menganalisis, menggolongkan, mengarahkan,

membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data tentang etnis Tionghoa

dalam perayaan Cengbeng di Kabupaten Pringsewu hingga dapat ditarik

kesimpulan dan diverifikasi. Reduksi akan dilakukan setelah mendapatkan

data hasil wawancara dan data berupa dokumentasi yang terkait dengan fungsi

dan makna penyambutan Imlek. Reduksi sangat diperlukan untuk

menggolongkan data yang diperoleh berdasarkan konsep yang sudah dibuat

sebelumnya. Hasil wawancara baik dari subjek penelitian dan informan

penelitian akan di kelompokkan berdasarkan konsep awal penulisan skripsi


46

dan untuk data yang kurang mendukung penulis akan dibuang dengan tujuan

agar tidak menggangu proses pembuatan tulisan akhir.

3. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang telah tersusun dan memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan.Penyajian data dilakukan setelah melakukan reduksi data yang

digunakan sebagai bahan laporan.Setelah itu data kemudian dimasukkan ke

dalam pembahasan karena dianggap penting dan relavan dengan permasalahan

penelitian.

4. Verifikasi Menarik Kesimpulan

Menarik kesimpulan atau verifikasi yaitu suatu kegiatan yang berupa

pengambilan intisari dan penyajian data yang merupakan hasil dari analisis

yang dilakukan dalam penelitian/kesimpulan awal yang sifatnya belum benar-

benar matang.Verifikasi dilakukan setelah penyajian data selesai, dan ditarik

kesimpulannya berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dianalisis

dengan konsep tradisi penyambutan Imlek .Verifikasi yang telah dilakukan

dan hasilnya diketahui, memungkinkan kembali menyajikan data yang lebih

baik. Hasil dari verifikasi tersebut dapat digunakan sebagai data penyajian

akhir, karena telah melalaui proses analisis untuk yang kedua kalinya,

sehingga kekurangan data pada analisistahap pertama dapat dilengkapi dengan

hasil analisis tahap kedua. Maka akandiperoleh data penyajian akhir atau

kesimpulan yang baik.


47

3.8 Teknik Keabsahan Data

Penelitian ini menggunakan empat teknik mencapai keabsahan data, yaitu:

kredibilitas, transferabilitas, auditabilitas(dipendabilitas), konfirmabilitas dan

triangulasi. Berbagai teknik ini akan digunakan untuk mencapai keabsahan data

ini, karena yang paling tahu hanya peneliti sendiri, maka peneliti seharusnya

menampilkan kejujuran. Manipulasi data akan berakibat keabsahan data juga

menjadi berkurang kadar keilmiahannya.

Kredibilitas, meliputi aneka kegiatan, yaitu:

a. Memperpanjang cara observasi, agar cukup waktu untuk mengenal informan,

lingkungannya dan kegiatan serta peristiwa-peristiwa yang terjadi. Hal ini juga

sekaligus mengecek informasi, agar dapat diterima sebagai orang dalam.

Kalau peneliti telah diterima oleh keluarga informan, kewajaran data akan

terjaga.

b. Pengamatan terus-menerus, agar penelitian dapat melihat sesuatu secara

cermat, terinci dan mendalam, sehingga dapat membedakan mana yang

bermakna dan tidak;

c. Triangulasi berupa pengumpulan data yang lebih dari satu sumber, yang

menunjukkan informasi yang sama;

d. Peer debriefing dengan cara membicarakan masalah penelitian dengan orang

lain, tanya jawab pada teman sejawat, tentunya harus dicari orang- orang yang

respek;

e. Member-check artinya mengulangi setiap akhir wawancara, agar diperiksa

subjek
48

f. Transferabilitas, yaitu merupakan validitas eksternal berupa keteralihan.

Yakni sejauh mana hasil penelitian dapat diterapkan atau disejajarkan pada

kasus daerah lain. Kemiripan antar subyek dan data penelitian merupakan

indikator adanya kemungkinan transferabilitas. Berarti di antara dua budaya

atau lebih memiliki kesamaan tertentu.

g. Auditabilitas dan Dependabilitas (reliabilitas) merupakan konsistensi, atau

sekurang-kurangnya ada kesamaan hasil bila diulang oleh peneliti lain. Cara

yang ditempuh bisa dengan audit trail, dilakukan oleh pembimbing untuk

memeriksa proses.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kabupaten Pringsewu

4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Pringsewu

Kabupaten Pringsewu adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung yang

terbentuk sermula pada berdirinya sebuah perkampungan (tiyuh) bernama

Margakaya pada tahun 1738, yang dihuni oleh masyarakat asli Lampung-Pubian

yang berada di tepi aliran sungai Way Tebu (4 km dari pusat kota Pringsewu ke

arah selatan saat ini). Kemudian 187 tahun berikutnya, tepatnya pada tanggal 9

November 1925, berdirilah Desa Pringsewu, yang sebelumnya didahului dengan

kedatangan sekelompok masyarakat dari Pulau Jawa serta sebagian berasal dari

para kolonis Desa Bagelen, Gedongtataan. Melalui program kolonisasi oleh

pemerintah Hindia Belanda, yang ingin membuka areal permukiman baru dengan

membabat hutan bambu yang cukup lebat di sekitar tiyuh Margakaya tersebut.

Karena begitu banyaknya pohon bambu di hutan yang mereka buka tersebut,

maka oleh masyarakat desa yang baru dibuka tersebut maka dinamakannya

Pringsewu, yang berasal dari bahasa Jawa artinya yaitu Bambu Seribu atau

bermakna wilayah yang banyak terdapat pohon bambu.

Pada tahun 1936 berdiri pemerintahan Kawedanaan Tataan yang berkedudukan di

Pendopo Pringsewu, dengan wedana pertama yakni Bapak Ibrahim yang menjabat
50

hingga tahun 1943. Selanjutnya Kawedanaan Tataan berturut-turut dipimpin oleh

Bapak Ramelan pada tahun 1943, Bapak Nurdin pada tahun 1949, Bapak Hasyim

Asmarantaka pada tahun 1951, Bapak Saleh Adenan pada tahun 1957, serta pada

tahun 1959 diangkat sebagai Wedana yaitu Bapak R.Arifin Kartaprawira yang

merupakan Wedana terakhir hingga tahun 1964, saat pemerintahan Kawedanaan

Tataan dihapuskan. Pada tahun 1964, dibentuk pemerintahan Kecamatan

Pringsewu yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II

Lampung Selatan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964, yang

sebelumnya Pringsewu juga pernah menjadi bagian dari Kecamatan Pagelaran

yang juga berkedudukan di Pringsewu.

Dalam sejarah perjalanan berikutnya, Kecamatan Pringsewu bersama sejumlah

kecamatan lainnya di wilayah Lampung Selatan bagian barat yang menjadi bagian

wilayah administrasi Pembantu Bupati Lampung Selatan Wilayah Kota Agung,

masuk menjadi bagian wilayah Kabupaten Dati II Tanggamus berdasarkan

Undang-undang No.2 Tahun 1997, hingga terbentuk sebagai daerah otonom yang

mandiri bernama Kabupaten Pringsewu, melalui Undang-undang No.48 tahun

2008, dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Hi.Mardiyanto pada tanggal 3

April 2009 di Gedung Sasana Bhakti Praja Departemen Dalam Negeri di Jakarta,

sekaligus pelantikan Penjabat Bupati Pringsewu pertama Bapak Ir.Hi.Masdulhaq.

Sejak itulah Kabupaten Pringsewu berdiri sampai sekarang.

Berikut ini nama-nama bupati dari awal diresmikannya Kabupaten Pringsewu

terbentuk sampai sekarang:

1. Ir. H Masdulhaq : 3 April 2009 – 24 Oktober 2009


51

2. Ir. H. Helmi Machmud : 24 Oktober 2009 – 31 Agustus 2010

3. H. Sudarno Eddi, SH., MH. : 31 Agustus 2010 – 23 November 2011

4. H. Sujadi Saddat : 23 November 2011 – 23 November 2016

5. Drs. Yuda Setiawan, M.M : 23 November 2016 – 22 Mei 2017

6. H. Sujadi Saddat : 22 Mei 2017 – 2022

Dalam masa pemerintahan Bupati H. Sujadi Saddat dengan wakilnya Dr. Hi.

Fauzi, S.E., M.Kom., Akt tentunya memiliki Visi dan Misi. Visi pembangunan

daerah tahun 2017-2022 adalah “Pringsewu Berdaya Saing, Harmonis dan

Sejahtera”. Makna dari visi pembamgunan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Berdaya Saing : Berdaya Saing mengandung makna suatu kemampuan dan

ketangguhan terhadap tatanan dasar masyarkat Pringsewu yang memiliki

keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan global dimasa yang akan

datang.

b. Harmonis : Harmonis mengandung makna kondisi atau terjalin tata hubungan

masyarakat Kabupaten Pringsewu yang serasi dan selaras berdasarkan nilai-

nilai agama (religius), kearifan lokal dan hukum, sehingga dapat tercipta

sinergisitas kerja yang optimal dalam rangka membangun Kabupaten

Pringsewu.

c. Sejahtera : Sejahtera mengandung makna kondisi masyarakat Kabupaten

Pringsewu yang dapat terpenuhi kebutuhan dasar dan pelayanan dasarnya

sehingga dapat hidup nyaman, tenteram, damai, sentosa dan makmur lahir

batin.
52

d. Bersahaja : Bersahaja mengandung makna bahwa Kabupaten Pringsewu yang

berdaya saing, harmonis dan sejahtera tersebut, dibingkai dalam pola hidup

yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan.

Berdasarkan visi di atas, maka misi pembangunan Kabupaten Pringsewu dalam

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, yaitu:

a. Peningkatan pembangunan infrastruktur pelayanan dasar masyarakat

secara merata.

b. Peningkatan kualitas SDM yang sehat, cerdas, dan berkarakter melalui

pelayanan kesehatan, pendidikan, keagamaan dan sosial kemasyarakatan.

c. Meningkatkan perekonomian masyarakat yang berdaya saing dan

berwawasan gender.

d. Mempertahankan dan meningkatkan ketahanan pangan secara berkualitas

dan berwawasan lingkungan.

e. Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang profesional dan bersih

dalam situasi yang kondusif.

4.1.2 Kondisi Geografis Dan Topografi Kabupaten Pringsewu

Kabupaten Pringsewu mempunyai luas wilayah daratan 625 km2,yang hampir

seluruhnya berupa daratan, dengan keberadaan wilayah dataran maka potensi

sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Pringsewu sebagian besar

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian.

Secara geografis Wilayah Kabupaten Pringsewu terletas pada posisi 104º42’ -

105º8’ Bujur Timur dan antara 5º8’ - 6º8’ Lintang Selatan. Saat ini Kabupaten

Pringsewu disetujui menjadi Kabupaten karena perkembangannya bagus.


53

Batas-batas wilayahadministratif Kabupaten Pringsewu sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pesawaran.

Kabupaten Pringsewu saat ini terdiri dari 9 (sembilan) Wilayah Kecamatan.

Kecamatan- kecamatan di Kabupaten Pringsewu yaitu :

1. Pardasuka

2. Ambarawa

3. Pagelaran

4. Pagelaran Utara

5. Pringsewu

6. Gadingrejo

7. Sukoharjo

8. Banyumas

9. Adiluwih

Wilayah Kabupaten Pringsewu mulai tahun 2013 terdiri dari 5 Kelurahan serta

126 Pekon (desa).Pada tahun 2013, jumlah kecamatan di Kabupaten Pringsewu

menjadi sembilan kecamatan.

Akhir tahun 2013, wilayah administrasi Kabupaten terdiri dari 9 wilayah

kecamatan dengan memiliki luas Wilayah menurut masing-masing kecamatan

yaitu :
54

a. Kecamatan Pardasuka ( 94,64km²)

b. Kecamatan Ambarawa ( 30,99 km²)

c. Kecamatan Pagelaran ( 72,47km²)

d. Kecamatan Pagelaran Utara (100,28km²)

e. Kecamatan Pringsewu (53,29km²)

f. Kecamatan Gadingrejo (85,71km²)

g. Kecamatan Sukoharjo (72,95km²)

h. Kecamatan Banyumas (39,85km²)

i. Kecamatan Adiluwih (74,82km²)

4.1.3 Wilayah Administratif

Tabel 4 1.Banyak Kelurahan, Pekon, Dusun dan Rumah Tetangga Menurut


Kecamatan di Kabupaten Pringsewu, 2016

Ibukota
No. Kecamatan kecamatan Kelurahan Desa Dusun RT
Subdistrict Capital
Subdistrict
1 Pardasuka Pardasuka - 13 88 155
2 Ambarawa Ambarawa - 8 31 104
3 Pagelaran Pagelaran - 22 76 227
4 Pagelaran Fajar - 10 44 68
Utara Mulya
5 Pringsewu Pringsewu 5 10 33 260
6 Gadingrejo Gadingrejo - 23 85 227
7 Sukoharjo Sukoharo - 16 80 171
8 Banyumas Banyumas - 11 35 95
9 Adiluwih Adiluwih - 13 61 167
Pringsewu 5 126 533 1.452
(Sumber: BPS Kabupaten Pringsewu, 2017)

Berdasarkan Tabel 1.2 tersebut dapat diketahui banyak Kelurahan, Pekon, Dusun

dan Rumah Tetangga (RT) Menurut Kecamatan di Kabupaten Pringsewu tahun

2016 ada sebanyak 5 Kelurahan, 126 Pekon, 533 Dusun, dan 1.452 Rumah
55

Tetangga dengan jumlah terbanyak Rumah Tetangga berada di Kecamatan

Pringsewu.

4.1.4 Jumlah Penduduk

Berdasarkan UU Pembentukan Kabupaten Pringsewu Jumlah Penduduk

Pringsewu jumlah penduduk pada tahun 2008 berjumlah 351.093 jiwa.

Banyaknya Kabupaten Pringsewu terus mengalami peningkatan dan pada tahun

2016 tercatat sebanyak 390.486 jiwa yang terdiri dari laki-laki 200.092 jiwa dan

perempuan 190.394 jiwa. Berikut tabel rinci jumlah penduduk berdasarkan ratio

jenis kelamin adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Ratio Jenis Kelamin Tahun 2016
Jenis Kelamin (ribu)
Kecamatan
Subdistict Ration Jenis
Laki-laki Perempuan Jumlah Kelamin Sex
Total Ratio
1 Pardasuka 17.932 16.509 34.441 109
2 Ambarawa 17.504 16.817 34.323 104
3 Pagelaran 24.066 22.531 46.597 107
4 Pagelaran 8.037 7.498 15.535 107
Utara
5 Pringsewu 41.624 40.703 82.327 102
6 Gadingrejo 37.730 35.701 73.431 106
7 Sukoharjo 24.652 23.650 48.302 104
8 Banyumas 10.612 9.916 20.528 107
9 Adiluwih 17.933 27.069 35.002 105
Pringsewu 200.92 190.394 390.486 105
(Sumber: BPS Kabupaten Pringsewu, 2017)

Berdasarkan Tabel 1.3 jumlah penduduk berdasarkan ratio jenis kelamin di

Kabupaten Pringsewu berjumlah 390.486 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki

sebanyak 200.92 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 190.394 jiwa.

Penduduk terbanyak berada di Kecamatan Pringsewu dengan total penduduk


56

berjumlah 82.327 jiwa dimana jumlah penduduk laki-laki yaitu sebanyak 41.624

jiwa dan perempuan sebanyak 40.073 jiwa.

4.1.5 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Tahun 2016

Kelompok Umur Jenis Kelamin


Laki-Laki Perempuan Jumlah
0-4 18.208 17.290 35.497
5-9 18.909 17.814 36.723
10-14 18.109 17.142 35.251
15-19 17.266 16.617 33.883
20-24 15.266 13.675 28.941
25-29 14.839 13.542 28.381
30-34 15.114 14.282 29.396
35-39 15.434 14.933 30.367
40-44 15.274 14.397 29.671
45-49 13.172 12.521 25.693
50-54 11.165 10.785 21.950
55-59 9.056 8.845 17.901
60-64 7.050 6.112 13.162
65+ 11.230 12.439 23.669
Jumlah/Total 200.92 190.394 390.486
(Sumber: BPS Kabupaten Pringsewu, 2017)

Berdasarkan Tabel 1.4 jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis

kelamin di Kabupaten Tanggamus seluruhnya berjumlah 390.486 jiwa dengan

jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 200.92 dan jumlah

penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 190.394 jiwa. Jumlah

Peduduk dengan usia terbesar yaitu kelompok usia 5-9 tahun dan jumlah

penduduk dengan usia terendah yaitu kelompok usia 60-64 tahun.


57

4.1.6 Jumlah Penduduk Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Tingkat


Pendidikan

Tabel 4.4. Penduduk Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Tingkat


Pendidikan, 2016

No Kecamatan SD SMP SMA


1 Pardasuka 3.780 1.255 356
2 Ambarawa 3.685 1.867 924
3 Pagelaran 4.911 1.816 1.337
4 Pagelaran Utara 1.647 167 -
5 Pringsewu 4.683 4.174 2.606
6 Gadingrejo 7.979 2.134 766
7 Sukoharjo 4.760 1.857 820
8 Banyumas 2.150 942 271
9 Adiluwih 3.236 1.265 315
Pringsewu 33.051 14.222 7.039
(Sumber: BPS Kabupaten Pringsewu, 2017)

Berdasarkan Tabel 1.5 jumlah penduduk berdasarkan jenjang pendidikan mulai

dari SD, SMP, dan SMA yaitu SD berjumlah 33.051 jiwa, SMP berjumlah 14.222

jiwa dan SMA berjumlah 7.039 jiwa. SD merupakan tempat terbesar jumlah

penduduk di Kabupaten Pringsewu.

4.1.7 Proposisi Pemeluk Agama Menurut Kecamatan di Kabupaten


Pringsewu

Tabel 4.5. Proporsisi Pemeluk Agama Menurut Kecamatan di Kabupaten


Pringsewu, 2016

Agama
No Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Budh
(%) (%) (%) (%) a (%)
1 Pardasuka 99,62 0,08 0,22 0,04 0,04
2 Ambarawa 98,29 0,03 0,44 0,73 0,50
3 Pagelaran 98,09 0,42 0,81 0,52 0,16
4 Pagelaran 91,73 2,00 0,07 0,15 6,05
Utara
5 Pringsewu 94,16 1,31 3,99 0,25 0,30
6 Gadingrejo 98,57 0,36 0,37 0,66 0,04
58

Tabel 4.5 Proporsisi Pemeluk Agama Menurut Kecamatan di Kabupaten


Pringsewu, 2016 Lanjutan

7 Sukoharjo 94,87 1,18 2,66 1,20 0,08


8 Banyumas 93,56 1,05 3,38 1,95 0,05
9 Adiluwih 94,14 1,37 3,09 1,10 0,31
Pringsewu 96,19 0,83 1,90 0,67 0,41
(Sumber: BPS Kabupaten Pringsewu, 2017)

Berdasarkan Tabel 1.6 jumlah proposisi pemeluk agama menurut Kecamatan di

Kabupaten Pringsewu yaitu pemeluk agama Islam 96,19 %, Protestan 0,83 %,

Katolik 1,90 %, Hindu 0.67 %, Buddha 0,41 %. Proposisi pemeluk agama terbesar

di Kabupaten Pringsewu yaitu agama Islam sebesar 96 %.

4.1.8 Peta Kabupaten Pringsewu

Gambar 4.1. Peta Kabupaten Pringsewu


Sumber: BPS Pringsewu
59

4.2 Perkumpulan Sosial Etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu

Perkumpulan sosial adalah suatu kelompok yang sengaja dibentuk oleh

masyarakat sebagai tempat melaksanakan aktivitas dan mencapai tujuan

bersama.Perkumpulan sosial disebut juga sebagai kelompok asosiasi atau

organisasi formal/resmi yang keberadaanya diakui oleh masyarakat.Etnis

Tionghoa di Kabupaten Pringsewu mempunyai tempat perkumpulan sosial yang

bertujuan untuk menjalin kebersamaan dan membantu sesama.

Adapun perkumpulan sosial etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Pringsewu

yaitu :

1. Perkumpulan Tolong Menolong (PTM)

Perkumpulan Tolong Menolong didirikan sejak tahun 1970-an tempat ini

dibangun oleh beberapa orang etnis Tionghoa di Pringsewu sebagai tempat

penyediaan persewaan rumah duka, penjualan, peti mati, pengurusan jenazah

dan penyediaan lahan perkuburan bagi yang membutuhkan. Perkumpulan

Tolong Menolong sebagai tempat bagi etnis Tionghoa yang

meninggal.Tempat perkumpulan ini juga membantu orang-orang kalangan

menengah bawah yang tidak memiliki uang untuk membeli peti mati bagi

anggota keluarga yang meninggal.Tempat ini juga pernah menjadi tempat

pelatihan bulu tangkis sebelum akhirnya di pugar untuk diperbaharui, melalui

tempat ini masyarakat Tionghoa di Pringsewu berharap untuk terus menolong

antar sesama.
60

2. Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PMSTI) Kabupaten Pringsewu

Paguyuban Sosial Marga Tionghoa adalah sebuah organisasi kemasyarakatan

suku Tionghoa di Indonesia.PMSTI dideklarasikan pada tanggal 28 September

1998.PMSTI sudah tersebar di provinsi dan Kabupaten di Indonesia, salah

satunya di Kabupaten Pringsewu yang berada di Pringsewu Timur, paguyuban

ini didirikan dengan fungsi dan guna untuk menyatukan kebhinneka tunggal

ika negara republik Indonesia, serta mempersatukan antar umat

beragama.Dengan dibentuknya PMSTI Pringsewu sekaligus sebagai wadah

khususnya bagi masyarakat etnis Tionghoa dalam menjalin hubungan-

hubungan dengan fungsi-fungsi sosial untuk kemajuan Kabupaten Pringsewu.

PMSTI Kabupaten Pringsewu dilantik pada tanggal 10 Februari 2018, sesudah

pelantikkannya PMSTI turun ikut berpartisipasi dalam perayaan HUT RI di

Kabupaten Pringsewu dengan menampilkan Barongsai yang menjadi ciri khas

tarian dan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Selain itu PMSTI Pringsewu

ikut dalam aksi sosial sumbang 100 kantung darah ke PMI, aksi ini memberi

kontribusi nyata dalam pembangunan manusia seutuhnya sebagai makhluk

sosial.
VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul perubahan dalam tradisi perayaan

Cengbeng pada etnis Tionghoa di era modernisasi di Kabupaten Pringsewu,

bahwa :

Perayaan tradisi Cengbeng berakhir pada tanggal 5 April, perayaan ini dapat

dilakukan setengah bulan sebelum tanggal 5 April.Perayaan Cengbeng juga

menjadi hari dimana arawah para leluhur datang ke makam untuk makan, hari

tersebut menjadi moment bagi para keluarga, anak dan cucu untuk berkomunikasi

dengan para leluhur mereka.Tradisi perayaan Cengbeng merupakan tradisi leluhur

yang sampai sekarang masih dijalankan meskipun mengalami beberapa perubahan

dalam proses perayaannya, beberapa diantaranya yaitu selama perayaan Cengbeng

masyarakat di Kabupaten Pringsewu sudah tidak lagi memasang dahan daun Yang

Liu dipagar rumah dan dipintu rumah, hal semacam ini sudah tidak lagi dilakukan.

Sehingga dari segi penyambutannya menjadi tidak semeriah dahulu, lalu

perubahan juga terjadi pada prosesi tata cara perayaan Cengbeng dan

fasilitas/perlengkapan yang disediakan dalam perayaan ini.

Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan tradisi perayaan Cengbeng di Kabupaten Pringsewu, faktor-faktor


94

tersebut ada dua yaitu faktor intern dan faktor eksten.Faktor intern dalam

perubahan tradisi ini yaitu sikap dan kepercayaan/agama.Sedangkan faktor ekstern

dalam perubahan tradisi ini yaitu Invention, dan Edukasi.

Dari beberapa faktor tersebut sikap dan kepercayaan yang berasal dari faktor

intern menjadi pendukung terbesar yang merubah tradisi perayaan Cengbeng di

Kabupaten Pringsewu.

6.2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini antara lain :

1. Untuk masyarakat etnis Tionghoa di Kabupaten Pringsewu tetap melestarikan

tradisi yang selama ini sudah dilakukan dan merupakan warisan dari para

leluhur karena tradisi Cengbeng memiliki fungsi dan makna bagi individu dan

keluarga. Tradisi bukan sebuah agama jika dilakukan tetap boleh dilakukan

sesuai tatacara dan prosesi yang ada.

2. Untuk masyarakat generasi tua terus mengenalkan dan mengajarkan tradisi

kepada generasi muda agar generasi muda dapat terus melaksanakan tradisi

pada kehidupan yang akan datang sehingga semua tradisi-tradisi yang ada

tidak terkikis seiring perkembangan zaman.

3. Kelompok komunitas etnis tionghoa agar memberikan edukasi kepada

generasi muda tentang tradisi perayaan Cengbeng kepada anak-anak muda,

sehingga generasi muda dapat mengeksplor dan menuangkan ide-ide terhadap

perayaan ini dan mengenalkan kemasyarakat tentang keberadaan perayaan

Cengbeng ini agar dikenal oleh masyarakat luas.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulsyani. 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara

Harimurti, Kridalaksana. 2008. Kamus Linguistik Umum. Jakarta: PT. Gramedia


Pustaka Utama.

Haryono, P. 2006. Menggali Latar Belakang Stereotip dan Persoalan Etnis Cina
di Jawa, dari Jaman Keemasan, Konflik Antar Etnis Hingga Kini.
Semarang: Mutiara Wacana.

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djambatan.

Lauer H. Robert. 2003. Prespektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

Mattulada. 1997. Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup: Hasannudin


University Press.

Hakim, Mohammad Nur. 2003. “Islam Tradisional dan Reformasi Pragmatisme”


Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi. Malang : Bayu Media Publishing.

Moore, E Wilbert. 1965. “Social Verandering” dalam Social Change.


Diterjemahkan oleh A. Basoski, Prisma Boeken, Utrech, Antwepen.

Moeloeng, Lexy J. 2012. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. NTT: Nusa Indah.

Peursen, van C.A. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Suwarno, dkk. 2011. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Lampung: Universitas


Lampung..
Sztompka Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Grup.

Sztompka Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Grup.
96

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kualitatif


dan R&D. Bandung: ALFABETA.

JURNAL

Agung, dkk. 2018, Tesis :Makna Upacara Cheng Beng Pada Masyarakat Etnis
Tionghoa di Medan. Universitas Medan Area [diakses pada 20 April 2018
pukul 13.00 WIB].

Anisa, dkk. 2005, Tesis :Analisa Perubahan Sosial Masyarakat Sewan Lebak
Wangi (Perbandingan Era Reformasi dan Orde Baru). Binus University
[diakses pada 20 April 2018 pukul 13.20 WIB].

Christabelle, dkk, Jurnal :Gambaran Nilai Budaya Antara Generasi Tua Dan
Generasi Muda Pada Masyarakat Tionghoa Beragama Konghucu. Vol 02.
No. 1 , April. [ dikses 5 April 2018 pukul 19.00 WIB ].

Hartai Dewi C, Gunawan Goan Hin. 2016. Strategi Adaptasi Orang Tionghoa
Bekasi Dalam Upacara ChengBeng.Lembaga Penelitian, Pemberdayaan
Masyarakat dan Kemitraan Universitas Darma Persada.

Ibrahim, H. 2015, Jurnal :Perkembangan Tradisi Etnik Tionghoa Di Kota


Gorontalo. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri.Gorontalo.

Marmiati. 2010, Jurnal :Tradisi Upacara Kematian Umat Konghucu Dalam


Prespektif Psikologis. Vol.17 No. 02 , Juli. [diakses pada 21 Mei 2018
pukul 11.00 WIB].

Vistari, Lalita. 2017, Jurnal :Makna Ceng Beng Dalam Prespektif Buddha
Dharma. Edisi 1.[ diakses pada 23 Mei 2018 pukul 14.00 WIB]

Skripsi

Sanjaya, Oktavia. 2017. Fungsi dan Makna Penyambutan Hari Raya Imlek Pada
Masyarakat Etnis Tionghoa Di Kota Bandar Lampung. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Lampung.

Website

Kompasiana: tradisi cengbeng di Indonesia. 6 April 2017.


https://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/58e5909a6ea83
4d2048b4567/tradisi-ceng-beng-di-indonesia-dewasa-ini diakses pada 20
Juni 2018.
Tionghoa: hari cengbeng festival ching ming. 28 Juni
2012.http://www.tionghoa.info/.hari-ceng-beng-festival-ching-
ming/ diakses pada 21 Juni 2018.
97

Tempo: makna di balik pembakaran saat kremasi. 5 April 2018.


https://gaya.tempo.co/amp/1076361/festival-ceng-beng-makna-di-
dibalik-bau-pembakaran-saat-kremasi diakses pada 3 September
2018.

BPS Kabupaten Pringsewu: Kabupaten Pringsewu Dalam Angka 2017. 27


Oktober 2017. https://pringsewukab.bps.go.id diakses pada 15 Oktober
2018.

Portal Resmi Kabupaten Pringsewu : Sejarah Kabupaten Pringsewu.


https://www.pringsewukab.go.id/sejarah-kabupaten-pringsewu/ diakses
pada 15 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai