Anda di halaman 1dari 25

NON HEMORAGIK STROKE

OLEH
Arini Pratiwi Hadipaty
111 2016 2299

PEMBIMBING
dr. H. Suyuti Arifin, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RSU SAWERIGADING PERIODE 2017


ALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Arini Pratiwi Hadipaty

NIM : 111 2015 2299

Judul Laporan Kasus : Non Hemoragic Stroke

Telah menyelesaiakn tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslin Indonesia.

Palopo, 6 februari 2017

Mengetahui

Pembimbing , Coass,

dr. H. Suyuti Arifin, Sp.S Arini Pratiwi Hadipaty


A. ANATOMI
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri
karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna,
setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke
rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus
kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan
retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri
media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis
dan beberapa bagian lobus temporalis. Sistem vertebral dibentuk oleh arteri
vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar
tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal,
masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan
masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula
oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri
basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang
melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.
Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan
otak, dan beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang- cabang yang lebih
kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan
dengan cabang-cabang arteri serebri lainya.
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3
sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu: Sirkulus
Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri
media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan
kedua arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan
arteri komunikans posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan
posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di
daerah orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke
arteri maksilaris eksterna. Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri
karotis ekterna (pembuluh darah ekstrakranial). Selain itu masih terdapat
lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga menurut
Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak. Darah
vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang
mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena
eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah
ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya
melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.
B. FISIOLOGI
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan
bagian posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama
3 faktor. Dua faktor yang paling penting adalah tekanan untuk memompa
darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer)
pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu
viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik
(faktor jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus
pembuluh darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah
sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya
akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah
otak (yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di
antaranya seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap
diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun,
serta suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi,
sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH
tinggi, maka terjadi vasokonstriksi. Viskositas/kekentalan darah yang tinggi
mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar juga memudahkan
terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.

C. DEFINISI
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan
oleh gangguan pembuluh darah otak dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa
adanya penyebab lain selain vaskuler.
Stroke dapat dibagi menjadi 2 jenis :
1. Stroke non hemoragik atau stroke iskemik, dimana didapatkan
penurunan aliran darah sampai di bawah titik kritis, sehingga terjadi
gangguan fungsi pada jaringan otak. stroke iskemik akut disebabkan
oleh oklusi trombotik atau embolik dari arteri serebral.
2. Stroke hemoragik, dimana salah satu pembuluh darah di otak
(aneurisma, mikroaneurisma, kelainan pembuluh darah kongenital)
pecah atau robek.

Non hemoragik stroke / Stroke iskemik ditandai dengan tiba-tiba


kehilangan sirkulasi darah ke area otak, yang mengakibatkan hilangnya
fungsi neurologis. stroke iskemik akut disebabkan oleh oklusi trombotik
atau embolik dari arteri serebral dan lebih umum daripada stroke
hemoragik.

D. EPIDEMIOLOGI
Stroke adalah penyebab utama kecacatan dan penyebab keempat
kematian di Amerika Serikat. Setiap tahun, sekitar 795.000 orang dalam
pengalaman Amerika Serikat baru (610.000 orang) atau berulang (185.000
orang) stroke. studi epidemiologi menunjukkan bahwa 82-92% dari stroke
di Amerika Serikat adalah iskemik.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 15 juta orang menderita
stroke di seluruh dunia setiap tahun. Dari jumlah tersebut, 5 juta mati, dan
5 juta lainnya meninggalkan cacat permanen. Meski stroke sering dianggap
sebagai penyakit orang tua, sepertiga dari stroke terjadi pada orang yang
lebih muda dari 65 tahun. Resiko stroke meningkat dengan usia, terutama
pada pasien yang lebih tua dari 64 tahun, di antaranya 75% dari semua
stroke terjadi. Pria berada pada risiko tinggi untuk stroke daripada wanita.

E. ETIOLOGI
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu,
stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran
serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran
darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung
pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis
akan tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan
bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang
meninggalkan gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infark kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial,
jantung miksomatosus sistemik;
Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit
“caisson”).

Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari


right-sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya
emboli kardiogenik adalah trombi valvular seperti pada mitral
stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark
miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan
atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama
setelah terjadinya infark miokard.
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah
besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil
(termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya
trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral
utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya
stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah
(sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus
aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab
lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel,
displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang
berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta
thorasik, arteritis).

F. FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke
non hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di
modifikasi dan yang dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan
Rismanto (2006) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokertomengenai gambaran faktor-faktor risiko penderita stroke
menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%, diikuti dengan
diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97%.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :


1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65
tahun dan hampir 13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking
Ritarwan (2002), dari penelitianya terhadap 45 kasus stroke
didapatkan yang mengalami stroke non hemoragik lebih banyak
pada tentan umur 45-65 tahun.
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum
pria lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita,
sedangkan perbedaan angka kematianya masih belum jelas.
Penelitian yang di lakukan oleh Indah Manutsih Utami (2002) di
RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-faktor risiko
yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah
kasus terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya
terhadap 197 pasien stroke non hemoragik.
3. Heriditer
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan
pembuluh darah, dan riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika
dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia
kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko terkena stroke. Menurut
penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-2001 riwayat
stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar
29,3%.
4. Rasa atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit
putih. Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak
menderita dari pada suku Jawa (khususnya Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :

1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam
waktu lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali
sebanyak 35% sampai 42%.16
2. Hipertensi
Hipertensimeningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat
sampai enam kali ini sering di sebut the silent killer danmerupakan
risiko utama terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik.
Berdasarkan Klasifikasi menurut JNC 7 yang dimaksud dengan
tekanan darah tinggai apabila tekanan darah lebih tinggi dari 140/90
mmHg, makin tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin
besar karena mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding
pembuluh darah, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan
atau perdarahan otak.
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot
jantung, paska oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang
paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena
memudahkan terjadinya pengumpulan darah di jantung dan dapat
lepas hingga menyumbat pembuluh darah otak.
4. Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan
endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif.Menurut
penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan
dengan desain case control, penderita diabetes melitus mempunyai
risiko terkena stroke 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak
menderita diabetes mellitus.
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak
dan singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik
dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan berfariasi tapi biasanya
24 jam.Satu dari seratus orang dewasa di perkirakan akan
mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur hidup mereka, jika
diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan
mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan
sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan
pertama.
6. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam
lemak bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang
relatif mempunyai makna klinis penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma sehingga lipid terikat
dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam serum, ikatan ini
menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron,
lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas
rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat
lipo protein LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya, VLDL
paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar protein tertinggi terdapat
pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan
atau trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak
dinding pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit jantung
koroner. Kadar kolesterol total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL
<40mg/dl, trigliserida >150mg/dl dan trigliserida >150mg/dl akan
membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di jantung maupun
di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari penelitianya 43 pasien,
di dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida 4,7%,
HDL yang rendah 53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8%.
7. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan
diabetes melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya
umur. Obesitas merupakan predisposisi penyakit jantung koroner
dan stroke. Mengukur adanya obesitas dengan cara mencari body
mass index (BMI) yaitu berat badan dalam kilogram dibagi tinggi
badan dalam meter dikuadratkan. Normal BMI antara 18,50-24,99
kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99 kg/m2 selebihnya adalah
obesitas.
8. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali
lipat, dan perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar.
Nikotin dan karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan
kelainan pada dinding pembuluh darah, di samping itu juga
mempengaruhi komposisi darah sehingga mempermudah terjadinya
proses gumpalan darah.Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di
RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan merokok meningkatkan
risiko terkena stroke sebesar empat kali.

G. KLASIFIKASI
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi
klinik dan proses patologik (kausal):
Berdasarkan manifestasi klinik:
1. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic
Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Prolong reversible Ischemic Neurological Deficit (PRIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
dari seminggu.
4. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
5. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
Berdasarkan Kausal:

1. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada
pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh
darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh
darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh
terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga
diakibatkan oleh tingginya. kadar kolesterol jahat atau Low Density
Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil,
trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil
terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator
penyakit aterosklerosis.
2. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh
darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan
nutrisi ke otak.

H. GEJALA KLINIS
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan
lokalisasinya. Sebagian besar kasus terjadi secara mendadak, sangat cepat,
dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit.
Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri ialah timbulnya
defisit neurologik secara mendadak/subakut, terjadi pada waktu istirahat
atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun. Biasanya terjadi
pada usia lebih dari 50 tahun. Sedangkan stroke iskemik akibat emboli
serebri didapatkan pada usia lebih muda, terjadi mendadak dan pada waktu
beraktifitas. Kesadaran dapat menurun bila emboli cukup besar.
Vaskularisasi otak dihubungkan oleh 2 sistem yaitu sistem karotis dan
sistem vertebrobasilaris. Gangguan pada salah satu atau kedua sistem
tersebut akan memberikan gejala klinis tertentu.

1. Gangguan pada sistem karotis pada cabangnya yang menuju otak


bagian tengah (a.serebri media) dapat terjadi gejala:
1) Gangguan rasa di daerah muka dan sesisi atau disertai
gangguan rasa di lengan dan tungkai sesisi.
2) Gangguan gerak dan kelumpuhan dari tingkat ringan sampai
total pada lengan dan tungkai sesisi (hemiparesis/hemiplegi).
3) Gangguan untuk berbicara baik berupa sulit mengeluarkan
kata-kata atau sulit mengerti pembicaraan orang lain,
ataupun keduanya (afasia).
4) Gangguan pengelihatan dapat berupa kebutaan satu sisi, atau
separuh lapangan pandang (hemianopsia).
5) Mata selalu melirik ke satu sisi.
6) Kesadaran menurun.
7) Tidak mengenal orang-orang yang sebelumnya dikenalnya.
2. Pada cabangnya yang menuju otak bagian depan (a.serebri anterior)
dapat terjadi gejala:
1) Kelumpuhan salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa.
2) Ngompol (inkontinensia urin).
3) Penurunan kesadaran
3. Pada cabangnya yang menuju otak bagian belakang (a.serebri
posterior), dapat memberikan gejala:
1) Kebutaan seluruh lapangan pandang satu sisi atau separuh
lapangan pandang pada satu sisi atau separuh lapangan
pandang pada kedua mata. Bila bilateral disebut
cortical blindness.
2) Rasa nyeri spontan atau hilangnya persepsi nyeri dan getar
pada separuh sisi tubuh.
3) Kesulitan memahami barang yang dilihat, namun dapat
mengerti jika meraba atau mendengar suaranya.
4. Gangguan pada sistem vertebrobasilaris
Gangguan pada sistem vertebrobasilaris dapat menyebabkan
gangguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan
pada lobus oksipital, gangguan nervus kranialis bila mengenai
batang otak, gangguan motorik, gangguan koordinasi, drop attack,
gangguan sensorik dan gangguan kesadaran.
Selain itu juga dapat menyebabkan:
1) Gangguan gerak bola mata, hingga terjadi diplopia, sehingga
jalan sempoyongan.
2) Kehilangan keseimbangan.
3) Vertigo.
4) Nistagmus.

I. DIAGNOSIS STROKE NON HEMORAGIK


Diagnosis didasarkan atas hasil:
Penemuan Klinis
1. Anamnesis
Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang
mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke.

2. Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti
hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya.
Terdapat beberapa sistem skoring klinis yang telah dikembangkan
untuk membedakan antara stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik.
Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan di rumah sakit lainnya di
Makassar digunakan Skor Hasanuddin, dimana berdasarkan hasil
penelitian Gunawan D. Jika nilai total skor yang diperoleh < 15,
maka diagnosis klinisnya adalah stroke non hemoragik. Dan jika
nilai total skor yang diperoleh ≥ 15, maka diagnosis klinisnya adalah
stroke hemoragik.

Skor Siriraj adalah salah satu sistem skoring yang telah


dikembangkan sekitar tahun 1984-1985 di Rumah Sakit Siriraj. nilai
skor Siriraj lebih dari 1 (satu) mengindikasikan perdarahan
intraserebral supratentorial, sedangkan nilai di bawah -1 (minus
satu) mengindikasikan infark serebri. Nilai antara 1 dan -1
menunjukkan hasil belum jelas, sehingga membutuhkan CT scan
kepala.

3. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi
gejala stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang
memiliki gejala seperti stroke, dan menyediakan informasi
neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting
dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental
dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik
dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda.
Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada
stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s
palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat
alis atau mengerutkan dahinya. Gejala-gejala neurologi yang timbul
biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
4. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran
dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti
polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia.
Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit
yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi
kelainan yang memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia,
hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita
pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal). Pemeriksaan koagulasi
dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain
itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik
dan antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya
hubungan antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian
lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan
enzim jantung dengan hasil yang buruk dari stroke.
5. Gambaran Radiologi
1) CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena
pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian
trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari
stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma,
neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut
harus dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk
daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya
edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense
yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang
mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya
stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan
hilangnya perberdaan gray-white matter.

CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk


mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan
melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari
region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan
terjadinya iskemik di daerah tersebut.

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan


CT angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang
menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab
stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah
perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi
memberikan gambaran hipodense.

6. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan
oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit
serta waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI
memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut.

7. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai
stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk
mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di
antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan
pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan
untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini
juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri.
Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah EKG dan foto thoraks.

J. PENATALAKSANAAN
Fase akut (hari 0-14 sesudah onset penyakit) Pada stroke iskemik akut,
dalam batas-batas waktu tertentu sebagian besar cedera jaringan neuron
dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa
yang disebut sebagai strategi neuroprotektif.
1. Sasaran pengobatan
Menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati dan
agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu /
mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah
menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang.
Secara umum dipakai patokan 5B, yaitu:
1) Breathing
Harus dijaga jalan nafas bersih dan longgar dan bahwa
fungsi paru-paru cukup baik. Pemberian oksigen hanya perlu
bila kadar oksigen darah berkurang. Berikan oksigen O2 3-4
liter/menit. Guananya untuk menyuplai oksigen yang
mengalami iskemik
2) Brain
Posisi kepala diangkat 20-30 derajat. Udem otak dan kejang
harus dihindari. Bila terjadi udem otak, dapat dilihat dari
keadaan penderta yang mengantuk, adanya bradikardi, atau
dengan pemeriksaan funduskopi.
3) Blood
Jantung harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG.
Tekanan darah dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau
jangan sampai menurunkan perfusi otak.
Kadar Hb harus dijaga cukup baik untuk metabolisme otak
Kadar gula yang tinggi pada fase akut, tidak diturunkan
dengan drastis, lebih-lebih pada penderita dengan diabetes
mellitus lama.
Keseimbangan elektrolit dijaga.
4) Bowel
Defekasi dan nutrisi harus diperhatikan. Nutrisi per oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
Bila tidak baik atau pasien tidak sadar, dianjurkan melalui
pipa nasogastrik.
5) Bladder
Jika terjadi inkontinensia, kandung kemih dikosongkan
dengan kateter intermiten steril atau kateter tetap yang steril,
maksimal 5-7 hari diganti, disertai latihan buli-buli. Kateter
berguna untuk mengukur balance cairan yang masuk dan
keluar dari dalam tubuh karena pada stroke dapat terjadi
unhibitori urinari.
2. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala.
3. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik ≥ 220 mmHg, diastlik ≥ 120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal
jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20% dan obat yang direkomendasikan: sodium
nitroprussid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau
antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90
mmHg, diastolik ≤ 70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1
jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2 –
20 μg/kgBB/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. Jika
kejang, diberi diazepam 5 – 20 mg intravena pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per
oral (fenitoin, karbamazepin).
4. Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan per
oral jangka panjang.
5. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol
bolus intravena 0,25 – 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk dilanjutkan 0,25
g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3 – 5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (< 320 mmol); sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
6. Terapi Khusus Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian
antiplatelet seperti aspirin dan antikoagulan, Dapat juga diberikan
agen neuroprotektor yaitu sitikolin atau pirasetam.

K. REHABILITASI
Strok merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun,
maka paling penting pada masa ini ialah upaya membetasi sejauh mungkin
kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, ‘terapi wicara’ dan
psikoterapi. Rehabilitasi segera dimulai begitu tekanan darah, denyut nadi,
dan pernafasan penderita stabil.

L. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Strok Hemoragik
Ensefalopati toksik/metabolik
Ensefalitis

M. PROGNOSIS
Dalam penelitian stroke yang Framingham dan Rochester, angka
kematian secara keseluruhan di 30 hari setelah stroke adalah 28%, tingkat
kematian pada 30 hari setelah stroke iskemik adalah 19%, dan tingkat
kelangsungan hidup 1 tahun untuk pasien dengan stroke iskemik adalah
77%. Namun, prognosis setelah stroke iskemik akut sangat bervariasi pada
pasien individu, tergantung pada tingkat keparahan stroke dan pada
komplikasi kondisi, usia, dan pasca stroke premorbid pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran umum tentang


gangguan peredaran darah otak. Dalam: eds. Harsono. Kapita Selekta
Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press; 2005. h.81-
82.
2. dr. H. Soedomo Hadinoto, dr. setiawan, dr. Soetedjo. Stroke Pengelolaan
Mutakhir Badan penerbit Universitas Diponegoro; 1992
3. Standar Pelayanan Medis Ilmu Penyakit Saraf RSUD Sawerigading Kota
Palopo.
4. Towfighi A, Saver JL. Stroke declines from third to fourth leading cause of
death in the United States: historical perspective and challenges ahead. Stroke.
2011 Aug. 42(8):2351-5. [Medline].
5. Brooks M. Migraine Linked to Double Risk for Silent Stroke. Medscape
Medical News. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/825451.
Accessed: januari 31, 2017.
6. Brooks M. Migraine Linked to Double Risk for Silent Stroke. Medscape
Medical News. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/825451.
Accessed: januari 31, 2017.
7. Gejala, diagnosa & terapi stroke non hemoragik (serial online) 2009 [cited 2017
januari 30]. Available from: http://www.jevuska.com/2007/04/11/gejala-
diagnosa-terapi-stroke-non-hemoragik.
8. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview
9. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.
10. D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8 th
Edition. McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67
11. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke Recovery. A
Research-Based Approach for Nurses. St.Louis, Mosby-Year Book, Inc.,
1991:13-24.

Anda mungkin juga menyukai