Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal.1 Dermatitis kontak adalah reaksi fisiologik yang terjadi
pada kulit karena kontak dengan substansi tertentu, dimana sebagian besar reaksi ini
disebabkan oleh iritan kulit dan sisanya disebabkan oleh alergen yang merangsang
reaksi alergi.1, 2, 3 Dermatitis kontak merupakan suatu respon inflamasi dari kulit
terhadap antigen atau iritan yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa malu
dan merupakan kelainan kulit yang paling sering pada para pekerja.4, 5
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi
sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan respon non spesifik
kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi
yang sebagian besar berasal dari sel epidermis.6 DKI dapat diderita oleh semua orang
dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan
cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun
dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui.1
DKI merupakan hasil klinik dari inflamasi yang berasal dari pelepasan sitokin-sitokin
proinflamasi dari sel-sel kulit (prinsipnya kerartinosit), biasanya sebagai respon
terhadap rangsangan kimia. Bentuk klinik yang berbeda-beda bisa terjadi. Tiga
perubahan patofosiologi utama adalah disrupsi sawar kulit, perubahan seluler
epidermis dan pelepasan sitokin.6 Iritan pada DKI meliputi yang ditemui sehari-hari
seperti air, deterjen, berbagai pelarut, asam, bassa, bahan adhesi, cairan bercampur
logam dan friksi. Sering bahan-bahan ini bekerja bersama untuk merusak kulit. Iritan
merusak kulit dengan cara memindahkan minyak dan pelembab dari lapisan terluar,
membiarkan iritan masuk lebih dalam dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan
memicu inlamasi.7

DKI masih belum banyak diketahui bila dibandingkan dengan dermatitis kontak
alergi (DKA). Kebanyakan artikel tentang dermatitis kontak konsern pada DKA. Tidak
ada uji diagnostik untuk DKI. Diagnosis adalah berdasarkan ekslusi penyakit kutan
lainnya (khususnya DKA) dan pada penampakan klinis dermatitis pada tempat yang
terpapar dengan cukup terhadap iritan yang diketahui.6 Terkadang penampakan klinis
DKI kronik mirip dengan DKA. Beberapa sumber menyatakan DKI kronik pada telapak
tangan dan telapak kaki sulit dibedakan dengan DKA.1,8 Dalam penatalaksanaan DKI,
penting bagi penderita dan dokter untuk mengetahui substansi yang menyebabkan
penyakitnya tersebut sehingga dapat diberikan terapi yang lebih efisien dan efektif.7
Makalah ini membahas kasus DKI yang mengenai seorang penderita pada daerah
telapak tangan dan telapak kakinya setelah terpapar substansi deterjen.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses sensitisasi.1 Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan
inflamasi pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-
pecah. DKI merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung
yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel
epidermis.6
2.2 Epidemiologi
DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis
kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan
dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit
diketahui.1 Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan
ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.
Di Amerika, DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan
atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan
yang berisiko tinggi meliputi bersih-bersih, pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan
penata rambut. 80% Dermatitis tangan okupasional karena iritan, lebih sering mengenai
tukang bersih-bersih, penata rambut dan tukang masak. Prevalensi dermatitis tangan
karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di ICU dan 69,7% pada pekerja yang sering
terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian).
Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35x tiap pergantian memiliki
hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (OR=4,13). Di Jerman, angka
insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada
penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang
masak.6,7
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan
dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria
karena faktor lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan usia, DKI bisa muncul pada
berbagai usia. Banyak kasus karena dermatitis ”diaper” (popok) terjadi karena iritan
kulit langsung pada urine dan feses. Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering
dan tipis yang tidak toleran terhadap sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja,
yang terpapar iritan dengan jumlah yang sufisien, tetapi individu dengan dengan
riwayat dermatitis atopi lebih mudah terserang.6,7

2.3 Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak,
larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik.
1, 2, 6, 9, 10, 11 Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi
faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita. Dapat
dilihat pada tabel berikut.

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika
terpapar pada kulit: dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan
frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda
terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara
bertahap mencegah kecenderungan untuk meninduksi dermatitis.10 Fungsi pertahanan
dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (oklusi,
suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi
(suhu dan kelembaban rendah). Tidak semua pekerja di area yang sama akan terkena.
Siapa yang terkena tergantung pada predisposisi individu (rowayat atopi misalnya),
personal hygiene dan luas dari paparan. Iritan biasanya mengenai tangan atau lengan.
Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai tempat
primer kontak.10

2.4 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian
dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti.
Kerisakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA),
diasilgliserida (DAG), platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah
menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi,
dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk
limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain,
dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.
DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor
(GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi
reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuatmolekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1).
Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFά, suatu sitokin
proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi
ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah
akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan
kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh
iritan.1

2.5 Klinis
a.Riwayat Penyakit
Riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada
adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada tubuh. Tes
tempel juga digunakan pada kasus yang berat atau persisten untuk menyingkirkan DKA.
Gejala subjektif primer biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut6:
Riwayat paparan yang cukup terhadap iritan kulit
Onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga beberapa jam pada DKI akut. Pada
DKI subakut merupakan ciri iritan tertentu seperti benzalkonium klorida (ada pada
disinfektak) yang mendatangkan reaksi radang 8-24 jam setelah paparan. Onset dan
gejala bisa tertunda beberapa minggu pada DKI kumulatif.
Nyeri, rasa terbakar, rasa tersengat atau tidak nyaman pada fase awal.
Gejala subjektif lainnya meliputi: onset dalam 2 minggu paparan dan adalanya keluhan
yang sama pada rekan kerja atau anggota keluarga lainnya. DKI okupasional biasanya
terjadi pada karyawan baru atau mereka yang belum belajar untuk melindungi kulitnya
dari iritan. Individu dengan dermatitis atopik (khususnya pada tangan) rentan terhadap
DKI tangan.6

b.Pemeriksaan Fisik
Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi:6
Makula eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol.
Kulit epidermis seperti terbakar
Proses penyembuhan dimulai segera setelah menghindari paparan bahan iritan
Tes tempel negatif dan meliputi semua alergen yang mungkin
Kriteria objektif minor meliputi:
Batas tegas pada dermatitis
Bukti pengaruh gravitasi seperti efek menetes
Kecenderungan untuk menyebar lebih rendah dibanding DKA
Untuk kepentingan pengobatan, berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala klinis DKI
dikelompokkan menjadi DKI akut, lambat akut dan kumulatif. Ada pula bentuk DKI
lainnya yaitu: reaksi iritan, DKI traumatik, DKI noneritematosa dan DKI subyektif.
Tabel 2. Perbedaan DKI Akut, Lambat Akut dan Kumulatif 1, 6

2.6 Histopatologik
Gambaran histtopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer),
dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh
darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel
dan akhirnya menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis
dapat menimbulkan vesikel atau bila. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau
neutrofil.1, 6 Pada DKI kronis adalah hiperkeratosis dengan area parakeratosis,
akantosis dan perpanjangan rete ridges.6

2.6Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI
akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul
lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit
dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.1

2.8 Pemeriksaan Laboratorium6


Pemeriksaan kultur bakteri bisa dilakukan apabila ada komplikasi infeksi sekunder
bakteri.
Pemeriksaan KOH bisa dilakukan dan sampel mikologi bisa diambil untuk
menyingkirkan infeksi tinea superficial atau kandida, bergantung pada tempat dan
bentuk lesi.
Uji tempel dilakukan untuk mendiagnosis DKA, tetapi bukan untuk membuktikan
adanya iritan penyebab munculnya DKI. Diagnosis adalah berdasarkan eksklusi DKA
dan riwayat paparan iritan yang cukup
Biopsi kulit bisa membantu menyingkirkan kelainan lain seperti tinea, psoriasis atau
limfoma sel T

2.9 Penatalaksanaan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik
yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang
memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak
perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang
kering.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal.
Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja
dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.
a.Dermatitis akut
Untuk dermatitis akut, secara lokal diberikan kompres larutan garam fisiologis atau
larutan kalium permanganas 1/10.000 selama 2-3 hari dan setelah mengering diberi
krim yang mengandung hidrokortison 1-2,5%.
Secara sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa
gatal. Bila berat/luas dapat diberikan prednison 30 mg/hari dan bila sudah ada
perbaikan dilakukan tapering. Bila terdapat infrksi sekunder diberikan antibiotik
dengan dosis 3x500 mg selama 5-7 hari.12
b.Dermatitis kronik
Topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten seperti hidrokortison
yang mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon. Sistemik diberikan
antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal.12

2.10 Komplikasi6
Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:
DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal
Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilokokus aureus
Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutapa pada pekerja
yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik
Hiperpigmentasi atau hipopignemtasi post inflamasi pada area terkena DKI
Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif, ekskoriasi atau artifak.

2.11Prognosis
Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan diobati dengan baik.
Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI. Bila bahan iritan tidak dapat
disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi DKI
kronis yang penyebabnya multifaktor.1,6

BAB III
KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : KNY
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Suku : Bali
Agama : Hindu
Alamat : Jl. P. Riau 24 Aspol Sanglah Denpasar
Pekerjaan : Pegawai swasta

3.2 Anamnesis
Keluhan utama: Kulit mengelupas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kulit mengelupas di ujung jari-jari kedua tangan dan
telapak kaki. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya kulit
dikatakan terlihat kemerahan dan bintik-bintik merah, kemudian kulit pasien seperti
bersisik dan mengelupas. Keluhan ini dikatakan muncul setelah pasien mencuci dengan
detergen attack. Keluhan dikatakan sempat berkurang setelah pasien berhenti mencuci
dengan tangan, namun kemudian muncul kembali beberapa minggu setelah pasien
kembali mencuci menggunakan detergen dengan tangannya. Dikatakan kaki pasien juga
terkena air cucian yang mengandung detergen.
Pasien juga mengeluh perih pada ujung jari-jari kedua tangannya. Keluhan ini dirasakan
sejak 3 bulan yang lalu bersamaan dengan munculnya kemerahan dan pengelupasan
kulit. Keluhan kulit terasa lebih tebal ada, gatal tidak ada. Keluhan timbulnya lesi yang
sama pada lipatan siku dan lutut tidak ada.
Riwayat Pengobatan: pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Riwayat Alergi Makanan: tidak ada
Riwayat Penyakit Terdahulu: pasien pernah mengalami sakit yang sama di lokasi yang
sama setelah mencuci dengan tangan menggunakan deterjen. Pasien tidak menderita
asma, tidak pernah mengalami sering gatal-gatal atau kemerahan sebelumnya.
Riwayat Sosial: pasien di rumahnya sehari-hari mencuci pakaian dan perabotan dengan
tangan menggunakan detergen.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present: Keadaan umum : baik
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
T’ax : 360C
Status General : dalam batas normal
Status Dermatologis :
Lokasi : jari-jari kedua tangan dan ujung telapak kaki
Efloresensi : tampak plak, batas tidak tegas, geografika,
dengan skuama kasar barwarna putih di atasnya dan pada
telapak kaki terdapat fisura.
Stigmata atopi : tidak ditemukan
Mukosa : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Kuku : dalam batas normal, kuku tidak dicat
Kelenjar limfe : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
regional maupun sistemik
Syaraf : tidak ditemukan penebalan saraf perifer dan penurunan
sensibilitas

3.4 Resume
Penderita, perempuan, 19 tahun, Hindu, Bali dengan keluhan kulit ujung jari kedua
tangan dan telapak kaki mengelupas sejak 3 bulan yang lalu, awalnya bintik-bintik dan
kemerahan dan berisik. Kulit dirasa tebal dan perih. Gatal tidak ada. Muncul setelah
mencuci dengan detergen, sempat berkurang setelah berhenti mencuci dengan tangan,
muncul lagi beberapa minggu setelah kembali mencuci menggunakan detergen dengan
tangannya. Riwayat pengobatan: tidak ada. Riwayat alergi makanan: tidak ada. Riwayat
penyakit terdahulu: pernah mengalami sakit yang sama di lokasi yang sama setelah
mencuci dengan tangan menggunakan deterjen. Riwayat sosial: sehari-hari mencuci
pakaian dan perabotan dengan tangan menggunakan detergen.

3.5 Diagnosis Kerja


Dermatitis Kontak Iritan Kronis

3.6Terapi
Desoximetasone 2,5mg%
KIE: hindari kontak dengan detergen, bila ingin mencuci untuk sementara menggunakan
mesin cuci atau minta tolong anggota keluarga lain atau bila terpaksa tidak mencuci
setiap hari untuk menghindari frekunsi paparan yang sering. Bila terpaksa harus
mencuci, hendaknya memakai sarung tangan. Setelah mencuci, pasien disarankan
membersihkan tangan dari iritan menggunakan pembersih yang ringan. Pasien
disarankan secara teratur memakai pelembab kulit.

BAB IV
PEMBAHASAN

DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit


terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.1 DKI sering terjadi di pekerjaan
yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air,
bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-
bersih, pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80% Dermatitis
tangan okupasional karena iritan, lebih sering mengenai tukang bersih-bersih, penata
rambut dan tukang masak. Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih
banyak pada perempuan dibanding laki-laki.6,7 Secara epidemiologis, hal-hal tersebut
di atas dapat ditemukan pada kasus ini. Pasien pada kasus ini adalah seorang wanita
dimana dari hasil anamnesis pasien sehari-hari sering melakukan aktivitas mencuci
yang melibatkan tangan dengan menggunakan detergen.
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika
terpapar pada kulit: dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang cukup dengan
frekuensi yang adekuat. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda
terhadap berbagai iritan.10 Pada pasien ini, lesi yang dialaminya tidak hanya
diakibatkan oleh iritan yang terkandung dalam detergen, namun juga terdapat faktor
lingkungan dan faktor individu yang ikut berperan dalam terjadinya lesi pada pasien.
Dari faktor iritannya, dari anamnesis dikatakan keluhan muncul sejak 3 bulan yang lalu,
dan pasien sempat keluhannya berkurang ketika berupaya untuk menghindari mencuci
dengan detergen, namun keluhan bertambah ketika setelah beberapa minggu pasien
kembali mencuci dengan tangan menggunakan detergen. Dari kondisi tersebut dapat
dilihat adanya faktor lama dan frekuensi paparan yakni adanya paparan yang berulang
tapi ringan pada pasien. Dari faktor lingkungan, aktivitas mencuci menggunakan tangan
yang sering setiap harinya pada pasien merupakan aktivitas yang melibatkan gesekan
dan berisiko terjadinya trauma mikro serta kelembaban rendah. Dari faktor individu,
keluhan yang muncul kembali dan makin bertambah berat ketika pasien kembali
mencuci dengan tangan menggunakan detergen, terjadi akibat belum pulihnya sawar
kulit dengan baik namun sudah disusul oleh kontak iritan berikutnya sehingga
menimbulkan kelainan kulit.1,6 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 2. Diagram Ilustrasi Hubungan Frekuensi dan Lama Pajanan pada DKI
Kumulatif/Kronis. Kiri: Bila jarak waktu iritasi pertama dan berikutnya cukup lama
sehingga terjadi perbaikan fungsi sawar kulit, maka tidak menimbulkan kelainan.
Kanan: Bila kerusakan sawar kulit belum pulih benar sudah disusul oleh kontak iritan
berikutnya, maka kelainan kulti akan timbul.(K:kerusakan; t: waktu; pk: penampilan
klinis).1

Secara klinis pada kasus dapat digolongkan menjadi DKI kumulatif/kronis. Hal ini sesuai
dengan hal-hal yang tercakup didalamnya yakni penyebabnya adalah iritan lemah, onset
berminggu-minggu/bulan/tahun, kulit tampak kering, eritema, skuama, hiperkeratosis
& likenifikasi, difus, bila terus-terusan dapat retak, fisura; adanya riwayat kontak
berulang-ulang dan berhubungan dengan pekerjaan.1 Pada pasien dari anamnesis
diketahui pasien mengeluh kulit mengelupas, tebal dan perih dengan onset 3 bulan yang
lalu, dengan paparan detergen (iritan lemah), dan aktivitas sehari-hari sering mencuci
dengan tangan menggunakan detergen. Dari pemeriksaan fisik ditemukan plak dengan
skuama dan pada telapak kaki telah terdapat fisura dan tidak ditemukan kelainan di
daerah fleksura.
Pada DKI, riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI
tergantung pada adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat
pada tubuh. Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik telah diuraikan pada paragraf
sebelumnya, pada penderita ini termasuk dalam DKI kronis.
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik
yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang
memperberat.1 Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka
tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit
yang kering. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi
mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.1
Untuk DKI kronis, secara topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten
seperti hidrokortison yang mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon.
Sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa
gatal.12
Pada pasien ini obat yang diberikan adalah kortikosteroid topikal desoximetasone
2,5mg%. Hal ini sesuai untuk DKI kronis, karena desoximetasone 2,5mg% merupakan
kortikosteroid potensi tinggi yang memiliki efek anti inflamasi kuat. Pasien tidak
diberikan antihistamin karena pasien tidak mengalami keluhan gatal.1, 12
Pasien juga diberikan KIE untuk menghindari kontak dengan detergen, bila ingin
mencuci untuk sementara menggunakan mesin cuci atau minta tolong anggota keluarga
lain atau bila terpaksa tidak mencuci setiap hari untuk menghindari frekunsi paparan
yang sering. Bila terpaksa harus mencuci, hendaknya memakai sarung tangan. Setelah
mencuci, pasien disarankan membersihkan tangan dari iritan menggunakan pembersih
yang ringan. Pasien disarankan secara teratur memakai pelembab kulit.
Adapun KIE ini bertujuan untuk menghindari pajanan iritan (detergen) dan
menyingkirkan faktor yang memperberat (kekerapan, kelembaban, trauma fisik).
Penggunaan pelembab kulit secara teratur dikatakan dapat mencegah DKI karena
deterjen. Pemakaian pembersih yang ringan seusai melakukan aktivitas mencuci
bertujuan untuk meningkatkan kebersihan pribadi dan untuk membiasakan bekerja
secara hati-hati.1, 6, 7, 10
BAB V
RINGKASAN

Telah dilaporkan kasus dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) Kronis pada penderita
perempuan 19 tahun. DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. DKI merupakan
respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan
mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis. DKI sering
terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang
kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Penyebab munculnya DKI adalah
bahan yang bersifat iritan. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa
faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu
penderita. Untuk kepentingan pengobatan, berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala
klinis DKI dapat dikelompokkan menjadi DKI akut, lambat akut dan kumulatif. Diagnosis
DKI didasarkan anamnesis yang cermat khususnya adanya riwayat paparan iritan dan
pengamatan gambaran klinis. Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah
menghindari pajanan bahan iritan dan menyingkirkan faktor yang memperberat.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal.
Pada penderita ini telah digali riwayat adanya pengelupasan pada ujung jari kedua
tangan dan kedua telapak kaki sejak 3 bulan, penebalan kulit, rasa perih, riwayat
paparan deterjen dalam aktivitas sehari-hari. Dari pemeriksaan fisik ditemukan plak
berbatas tidak tegas dengan skuama kasar putih serta pada telapak kaki juga terdapat
fisura. Pada penderita ini telah diberikan pengobatan desoximetasone 2,5mg% serta KIE
mengenai DKI, upaya menghindari paparan dan mencegah timbulnya kembali DKI.

DAFTAR PUSTAKA

1.Sularsito, S. A., dan Djuanda, S. Dermatitis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2005. hal:129-153.
2.Contact Dermatitis. University of Virginia Health System; 2005. Available at:
http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd
3.Lehrer, M. S. Contact dermatitis. Medline Plus Medical Encyclopedia; 2006. Available
at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html
4.Michael, J. A. Dermatitis, Contact. Emedicine; 2005. Available at:
http://www.emedicine.com/specialties.htm
5.Schalock, P. C. Dermatitis. Merck Manual Home Edition; 2006. Available at:
http://www.merck.com
6.Hogan, D. Contact Dermatitis, Irritant. Emedicine; 2006. Available at:
http://www.emedicine.com/specialties.htm
7.Irritant Contact Dermatitis. DermsnetMZ; 2007. Available at: http://dermnetnz.org
8.Jovanovi, D. L. et al. Chronic Contact Allergic And Irritant Dermatitis Of Palms And
Soles: Routine Histopathology Not Suitable For Differentiation. Acta Dermatoven APA
Vol 12, No 4; 2003.p:127-9
9.Dermatitis, Irritant Contact. VisualDxHealth; 2007. Available at:
http://visualdxhealth.com
10.A Guide To Occupational Skin Disease. In: Occupational Safety and Health
Information Series. Occupational Safety and Health Service. Department of Labour
Wellington. New Zealand; 1995
11.What is occupational irritant contact dermatitis? Canada’s National Occupational
Health and Safety Resources; Available at: http://www.ccohs.ca
12.Dermatitis. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP
Sanglah Denpasar. Lab/SMF. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unud/RSUP Sanglah.
Denpasar. Bali; 2000.

Anda mungkin juga menyukai