Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN

“Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Batu Ginjal yang


Mendapat Terapi Hemodialisa” DI R. HEMODIALISA
RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH :

NAMA : Kurnia Rahman

NPM : 019.02.0948

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

2019
LAPORAN PENDAHULUAN
“Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Hiperpigmentasi”

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


A. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). CKD merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,
biasanya berlangsung beberapa tahun (Brunner & Suddarth,
2002).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal
yang bersifat persisten dan irreversible (Mansjoer, dkk,
2009).
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit ginjal tahap
akhir yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer dan
Bare, 2009).
Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal atau penurunan GFR <60 ml/menit/1.73m2
selama ≥3 bulan. Kerusakan ginjal yang dimaksud adalah
adanya abnormalitas patologis atau adanya marker kerusakan
ginjal, termasuk abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine,
atau imaging.
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan
patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.
Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit
ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur
atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama >
3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Chonchol,
2005)

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Penyebab GGK menurut Price & Wilson (2006) dibagi
menjadi delapan kelas, antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis
benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria
renalis
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus
eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis
sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit
ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal
6. Penyakit metabolik misalnya DM, gout,
hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,
nefropati timbal
8. Nefropati obstruktif

Faktor predisposisi:
1) Diabetes
2) Usia lebih dari 60 tahun
3) Penyakit ginjal congenital
4) Riwayat keluarga penyakit ginjal
5) Autoimmune (lupus erythematosus
6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis)
7) Ras

Faktor presipitasi:
1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih
2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis)
3) Pola makan (diet)

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD berdasarkan Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (KDOQI) pada tahun 2002 yaitu:
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT
(Clearance Creatinin Test) dapat digunakan rumus :
Clearance creatinin (ml/ menit) = (140-umur ) x berat badan
(kg)
72 x creatinin serum
*) Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya
belum merasakan gejala yang mengindikasikan kerusakan pada
ginjal. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara
normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga
banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya
dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya
saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya
seperti diabetes dan hipertensi.

b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada
pada stadium 2 juga tidak merasakan gejala karena ginjal
tetap dapat berfungsi dengan baik, walaupun dengan GFR yang
mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami
penurunan GFR moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min.
Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa–sisa
metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia.
Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah
tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
d. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30%
saja dan apabila seseorang berada pada stadium ini sangat
mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi
pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi.
Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar
kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung
dan penyakit kardiovaskular lainnya.
e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh
kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu
diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

Gambar 1. Tingkatan Gagal Ginjal Kronis


D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Smeltzer dan Bare (2009) manifestasi klinik
gagal ginjal kronik adalah:
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
d. Pembesaran vena leher
e. Friction rub perikardial
2. Pulmoner
a. KrekelS
b. Nafas dangkal
c. Kusmaul
d. Sputum kental dan liat
3. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual dan muntah
b. Perdarahan saluran GI
c. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
d. Konstipasi / diare
e. Nafas berbau amonia
4. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kehilangan kekuatan otot
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
5. Integumen
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering, bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
6. Reproduksi
a. Amenore
b. Atrofi testis

Pasien dengan CKD menunjukkan manifestasi yang


berbeda-beda, tergantung pada stadium CKD yang dialami.
1) Stadium 1
Seseorang dengan CKD stadium 1 biasanya belum merasakan
gejala yang menandakan kerusakan ginjal karena ginjal
masih dapat berfungsi dengan normal.
2) Stadium 2
Seseorang dengan CKD stadium 2 biasanya juga belum
merasakan gejala yang menandakan kerusakan ginjal
walaupun sudah terdapat penurunan GFR ringan, yaitu
sebesar 60-89.
3) Stadium 3
Pada stadium ini, gejala- gejala terkadang mulai
dirasakan seperti:
 Fatigue: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan
oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi
ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur
komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita
juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa
yang menandakan adanya kandungan protein di urin.
Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau
berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk
buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang
tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian
penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami
kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal,
kram ataupun restless legs.
 Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan
diri ke seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog).
Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta terapi
– terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju
penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan
juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan
perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium
ini biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan
protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada
dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor
dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan
fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus
membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah
terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali
didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi
karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita
yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman
diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita
hipertensi.
4) Stadium 4
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir
sama dengan stadium 3, yaitu:
 Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan
oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi
ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur
komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita
juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa
yang menandakan adanya kandungan protein di urin.
Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau
berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk
buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang
tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian
penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami
kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal,
kram ataupunrestless legs.
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa
makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah
dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
5) Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan
pergelangan kaki.
 Kram otot
 Perubahan warna kulit

E. PATOFISIOLOGI
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin
24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Akibat dari
penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun, kreatinin
akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan
meningkat.
Gangguan klirens renal. Banyak masalah muncul pada
gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glumeruli
yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens
(substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
Dari salah satu fungsi ginjal yaitu mengendalikan
kadar gula dalam darah yaitu ada dua hormon yang berperan di
ginjal untuk mengendalikan kadar gula dalam darah yaitu
hormon insulin dan hormon adrenalin, hormon insulin
berfungsi sebagai penurun kadar gula dalam darah sedangkan
hormon adrenlin sebagai peningkatan gula dalam darah. Ketika
ginjal mengalami gangguan, dua hormon tersebut tidak dapat
bekerja seperti fungsinya masing-masing, etika gagal ginjal
terjadi seseorang resiko terhadap komplikasi hipoglikemi.
Gejala dari gagal ginjal yang mengalami hipoglikemi
adalah mual muntah, ketika ginjal mengalami gangguan
menyebabkan sekresi protein terganggu sehingga terjadi
sindrome uremia, dan menjadi gangguan keseimbangan asam basa
sehingga produksi asam meningkat menyebabkan asam lambung
naik terjadi iritasi lambung dan mual muntah.
Tidak adanya asupan nutrisi kedalam tubuh juga
merupakan salah satu penyebab dari hipogikemi, karena asupan
glukosa di dalam darah tidak terpenuhi, bagi penderita gagal
ginjal akan semakin mempersulit ketika asupan nutrisi yang
kandungan di dalamnya adalah glukosa tidak dapat difungsikan
oleh ginjal untuk mengeluarkan hormon adrenalin untuk
merangsang peningkatan kadar glukosa di dalam darah.
Hipoglikemia harus segera mendapat pengelolaan yang
memadai. Di berikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g
melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa
darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon deberikan
pada pasien hipoglikemia berat. Untuk menghindari timbulnya
hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana
menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah
makanan (karbohidrat)
Retensi cairan dan natrium. Ginjal kehilangan
kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium;
meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung
kongestif dan hipertensi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi
eritropoetin yang tidak adequate, memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk terjadi
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran GI.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat, yang lain akan
turun. Dengan menurunnya GFR, maka terjadi peningkatan kadar
fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar kalsium.
Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi
paratormon, namun dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak
berespon terhadap peningkatan sekresi parathormon, akibatnya
kalsium di tulang menurun menyebabkab perubahan pada tulang
dan penyakit tulang.
Penyakit tulang uremik (osteodistrofi). Terjadi dari
perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan
parathormon.
( Smeltzer dan Bare, 2009).

Faktor yg tidak dapat dimodifikasi: Faktor yg dapat dimodifikasi:


Herediter, Usia>60, Jenis kelamin, DM, hipertensi, merokok, obstruksi
Ras saluran kemih

Penurunan aliran darah renal


Primary kidney disease
Kerusakan ginjal karena penyakit lain
Obstruksi outflow urine

BUN ↑ Penurunan filtrasi glomerulus Serum creatinine ↑

Kerusakan nefron

Hipertrofi nefron yang tersisa


F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium yang umumnya dianggap
menunjang, kemungkinan adanya suatu Gagal Ginjal
Kronik :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh
adanya anemia, dan hipoalbuminemia.
b. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit
yang rendah.
c. Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya
perbandingan antara ureum dan kreatinin lebih
kurang 20 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi
oleh karena perdarahan saluran cerna, demam, luka
bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi
saluran kemih.
d. Perbandingan ini berkurang : Ureum lebih kecil dari
Kreatinin, pada diet rendah protein, dan Tes
Klirens Kreatinin yang menurun.
e. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
f. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal
lanjut bersama dengan menurunnya diuresis.
g. Hipokalsemia dan Hiperfosfatemia : terjadi karena
berkurangnya sintesis 1,24 (OH)2 vit D3 pada GGK.
h. Fosfatase lindi meninggi akibat gangguan
metabolisme tulang, terutama Isoenzim fosfatase
lindi tulang.
i. Hipoalbuminemis dan Hipokolesterolemia; umumnya
disebabkan gangguan metabolisme dan diet rendah
protein.
j. Peninggian Gula Darah , akibat gangguan metabolisme
karbohidrat pada gagal ginjal, (resistensi terhadap
pengaruh insulin pada jaringan ferifer)
k. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme
lemak, disebabkan, peninggian hiormon inslin,
hormon somatotropik dan menurunnya lipoprotein
lipase.
l. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi
menunjukan pH yang menurun, BE yang menurun, HCO3
yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal
ginjal.
2. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri,
tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal
menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
3. Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti
obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, dan untuk
menilai apakah proses sudah lanjut.
4. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan
memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar
ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5. Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion
pyelography, untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter.
6. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
7. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikadial.
8. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.

G. PENATALAKSANAAN
a) Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam
organik merupakan hasil pemecahan protein yang akan
menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan
pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus
bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana
makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk
perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan
diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah
kelemahan dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian vitamin
juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan
vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
b) Simptomatik
1. Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi
kontrol volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif
dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah
natrium, diuretik, digitalis atau dobutamine dan
dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya
tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen
natrium bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan
untuk mengoreksi asidosis.
2. Anemia
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan
erythropoiesis-stimulating agents (ESAs) dapat
memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara
signifikan. ESAs harus diberikan untuk mencapai dan
mempertahankan konsentrasi hemoglobin 11.0 sampai 12.0
gr/dL. Pasien juga harus menerima suplemen zat besi
selama menerima terapi ESA karena erythropoiesis yang
diinduksi secara farmakologis dibatasi oleh supply zat
besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang lebih
sedikit setelah pasien menerima suplemen zat besi.
Selain itu, karena tubuh membentuk banyak sel darah
merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi sehingga
dapat terjadi defisiensi zat besi. Serum ferritin dan
persen transferrin saturation mengalami penurunan
setelah 1 minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang
menerima dialysis. Karena pasien CKD mengalami gangguan
metabolism zat besi, serum ferritin dan persen
transferrin saturation harus dipertahankan lebih tinggi
daripada individu normal. Maintenance serum ferritin
yang disarankan yaitu ≥200 ng/mL, dan persen
transferrin saturation ≥20%. Sebagian besar pasien CKD
membutuhkan suplementasi zat besi parenteral untuk
mencapai kadar zat besi yang disarankan.
c) Terapi Pengganti
1. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal
mengatasi gagal ginjal karena menghasilkan rehabilitasi
yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan
menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal.
Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan
ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh
pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih
fungsi kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan
dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah
menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen
bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan
ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang
baru yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih
sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal
dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru
saja meninggal (donor kadaver).
2. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran
berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen
cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua
teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip
dasar kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau
CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan
bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum),
sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari
tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada
mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis
kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu
diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan
perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan
kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal
di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci
darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal
buatan.

H. KOMPLIKASI CKD
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita
CKD akan mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD
menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara
lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis
metabolik, kata bolisme, dan masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung
akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang
tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta
malfungsi sistem renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat
retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang
berlebihan.
8. Edema paru terjadi akibat penimbunancairan serosa atau
serosanguinosa yang berlebihan di ruang interstisial dan
alveolus paru-paru. Hal ini timbul karena ginjal tidak
dapat mensekresi urin dan garam dalam jumlah cukup.
9. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
10. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

BATU GINJAL
A. Definisi
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli)
ditraktus urinarius. Batu terbentuk di dalam traktus
ketika konsentrsi substansi tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium fospat, dan asam urat meningkat.
Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi
substansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal
mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urine
dan status cairan klien (batu cenderung terjadi pada
klien dehidrasi) (Brunner & Suddarth 2002).
Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk
deposit mineral, paling umum oksalat Ca2+ dan fosfat
Ca2+, namun asam urat dan kristal lain juga membentuk
batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana
saja dari saluran perkemihan, batu ini paling sering
ditemukan pada pelvis dan kalik ginjal.(Marilynn
E,Doenges 2002).

B. Penyebab
Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui
penyebabnya. Namun ada beberapa macam penyakit yang
dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal, antara lain
: renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney.
Secara epidemiologi terdapat dua factor yang
mempermudah/ mempengaruhi terjadinya batu pada
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini
adalah faktor intrinsik, yang merupakan keadaan yang
berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik,
yaitu pengaruh yang berasal dan lingkungan
disekitarnya.
1) Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Umur Penyakit batu saluran kemih paling sering
didapatkan pada usia 30 - 50 tahun.
b. Hereditair (keturunan). Penyakit ini diduga
diturunkan dari orang tuanya. Dilaporkan bahwa
pada orang yang secara genetika berbakat
terkena penyakit batu saluran kemih, konsumsi
vitamin C yang mana dalam vitamin C tersebut
banyak mengandung kalsium oksalat yang tinggi
akan memudahkan terbentuknya batu saluran
kemih, begitu pula dengan konsumsi vitamin D
dosis tinggi, karena vitamin D menyebabkan
absorbs kalsium dalam usus meningkat.
c. Jenis kelamin Jumlah pasien laki-laki tiga kali
lebih banyak disbanding dengan pasien
perempuan.
2) Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah:
a. Asupan air Kurangnya asupan air dan tingginya
kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi,
dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
b. Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker
juga memudahkan terbentuknya batu saluran
kemih, karena obat sitostatik bersifat
meningkatkan asam urat dalam tubuh. Diet banyak
purin, oksalat, dan kalsium mempermudah
terjadinya penyakit batu saluran kemih.
c. Iklim dan temperatur Individu yang menetap di
daerah beriklim panas dengan paparan sinar
ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3
(memicu peningkatan ekskresi kalsium dan
oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih
akan meningkat.
d. Pekerjaan Penyakit ini sering dijumpai pada
orang yang pekerjaanya banyak duduk atau kurang
aktifitas ( sedentary life )
e. Istirahat ( bedrest ) yang terlalu lama,
misalnya karena sakit juga dapat menyebabkan
terjadinya penyakit batu saluran kemih.
f. Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka
kejadian batu saluran kemih lebih tinggi
daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai
daerah ston belt (sabuk batu).
C. Jenis-Jenis Batu pada Saluran Kemih
Jenis batu ginjal yang paling sering (lebih dari
80 %) adalah yang terbentuk dari kristal kalsium
oksalat. Pendapat konvensional mengatakan bahwa
konsumsi kalsium dalam jumlah besar dapat memicu
terjadinya batu ginjal. Namun, bukti-bukti terbaru
malah menyatakan bahwa konsunsi kalsium dalam jumlah
sedikitlah yang memicu terjadinya batu ginjal ini.
Hal ini disebabkan karena dengan sedikitnya kalsium
yang dikonsumsi, maka oksalat yang diserap tubuh
semakin banyak. Oksalat ini kemudian melalui ginjal
dan dibuang ke urin. Dalam urin, oksalat merupakan
zat yang mudah membentuk endapan kalsium oksalat.
Jenis batu yang lain adalah yang terbentuk dari
struvit (magnesium, ammonium, dan fosfat), asam urat,
kalsium fosfat, dan sistin.
1) Batu struvit dihubungkan dengan adanya bakteri
pemecah urea seperti Proteus mirabilis, spesies
Klebsiela, Seratia, dan Providensia. Bakteri ini
memecah urea menjadi ammonia yang pada akhirnya
menurunkan keasaman urin.
2) Batu asam urat sering terjadi pada penderita gout,
leukemia, dan gangguan metabolism asam-basa. Semua
penyakit ini menyebabkan peningkatan asam urat
dalam tubuh.
3) Batu kalsium fosfat sering berhubungan dengan
hiperparatiroidisme dan renal tubular acidosis.
4) Batu sistin berhubungan dengan orang yang
menderita sistinuria.

D. Patofisiologi
Uroliasis merupakan kristalisasi dari mineral
dari matrik seputar, seperti: pus, darah, jaringan
yang tidak viral, tumor atau urat. Peningkatan
konsentrasi di larutan urine akibat intake cairan
rendah dan juga peningkatan bahan-bahan organik
akibat ISK atau utine statis, mensajikan sarang untuk
pembentukan batu.
1) Proses perjalanan panyakit:
Proses terbentuknya batu terdiri dari beberapa
teori (Prof.dr.Arjatmo Tjokronegoro, phd.dkk,1999)
antara lain:
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan
adanya substansi organik Sebagai inti.
Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan
mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan
agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu
dalam urine seperti sistin, santin, asam urat,
kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya
batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi
solubilitas substansi dalam urine. Urine yang
bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan
garam urat, urine alkali akan mengendap garam-
garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid
fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat
magnesium, asam mukopolisakarida akan
mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.

E. Manifestasi Klinis
Manifestai klinis adanya batu dalam traktus
urinarius tergantung pada adanya obstruksi, infeksi,
dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan system piala ginjal serta ureter
proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang
disertai menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi
dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu,
jika ada, menyebabkan sedikit gejala umum secara
perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal:
sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa
dan ketidak nyamanan.
Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan
sakit yang dalam dan terus menerus diarea
kostovertebral. Hemeturia dan piuria dapat dijumpai.
Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara
anterior dan pada wanita mendekati kandung kemih
sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri
mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan ke
seluruh area kostovertebral, dan muncul mual dan
muntah, maka pasien mengalami episode kolik renal.
Diare dan ketidak nyamanan abdominal dapat terjadi.
Gejala gastrointestinal ini akibat dari reflex
renointestinal dan proktimitas anatomik ginjal ke
lambung, pankreas dan usus besar.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan
gelombang nyeri yang luar biasa, akut, dan kolik yang
menyebar ke paha dan genitalia. Pasien merasa ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan
biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu.
Kolompok gejala ini disebut kolik ureteral. Umumnya
pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5
sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter
lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau
dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan
secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya
menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan
infeksi traktus urinarius dan hematuria. Jika batu
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan
terjadi retnsi urin.Jika infeksi berhubungan dengan
adanya batu, maka kondisi ini jauh lebih serius,
disertai sepsis yang mengancam kehidupan pasien (
Brunner&Suddarth 2005).

F. Komplikasi
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman
yana dapat meimbulkan infeksi saluran kemih,
pylonetritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh
lebih parah.

G. Pencegahan
1) Minum banyak air putih sehingga produksi urin
dapat menjadi 2-2,5 liter per hari
2) Diet rendah protein, nitrogen, dan garam
3) Hindari vitamin C berlebih, terutama yang berasal
dari suplemen
4) Hindari mengonsumsi kalsium secara berlebihan
5) Konsumsi obat seperti thiazides, potasium sitrat,
magnesium sitrat, dan allopurinol tergantung dari
jenis batunya.

H. Penatalaksanaan
Sekitar 90 % dari batu ginjal yang berukuran 4 mm
dapat keluar dengan sendirinya melalui urin. Namun,
kebanyakan batu berukuran lebih dari 6 mm memerlukan
intervensi. Pada beberapa kasus, batu yang berukuran
kecil yang tidak menimbulkan gejala, dapat
diobservasi selama 30 hari untuk melihat apakah dapat
keluar dengan sendirinya sebelum diputuskan untuk
dilakukan intervensi bedah. Tindakan bedah yang
cepat, perlu dilakukan pada pasien yang hanya
mempunyai satu ginjal, nyeri yang sangat hebat, atau
adanya ginjal yang terinfeksi yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kematian.
Penghilang rasa sakit
Obat penghilang rasa sakit yang paling cocok
untuk nyeri karena batu ginjal adalah golongan
narkotika seperti morfin, demerol, atau dilaudid.
Namun standar saat ini untuk menghilangkan nyeri akut
karena batu ginjal adalah penyuntikan ketorolak
melalui pembuluh darah.
Intervensi bedah
a) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL),
tehnik ini menggunakan getaran gelombang untuk
memecahkan batu dari luar sehingga batu menjadi
serpihan kecil yang pada akhirnya dapat keluar
dengan sendirinya.
b) Percutaneus nephrolithotomy atau pembedahan
terbuka dapat dilakukan pada batu ginjal yang
besar atau yang mengalami komplikasi atau untuk
batu yang tidak berhasil dikeluarkan dengan cara
ESWL.

1. A. Pathway

Faktor etiologi:

2.Teori nukleasi Teori matriks Penghambatan kristalisasi

Batu Ginjal (Urolitiasis)

obstruksi Pembedahan

Post operasi Kurang informasi


Aliran balik urin

Invasi kuman Hydronefrosis


Kesalahan
B. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji
1) Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data
yang berhubungan dengan pasien secara sistematis
pada pengkajian klien dengan tergantung pada ukuran,
lokasi, dan etiologi kalkulus (Doengus 2002), yaitu
:
a. Akivitas/ istirahat
Gejala: Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana klien
terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi,
keterbatasan aktivitas/ mobilisasi sehubungan
dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak
sembuh, cedera medulla spinalis)
b. Sirkulasi
Tanda: peningkatan TD/ nadi (nyeri, ansietas,
gagal ginjal), kulit hangat dan kemerahan.
c. Eliminasi
Gejala: riwayat adanya/ ISK kronis: obstruksi
sebelumnya (kalkulus), penurunaan haluan
urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar,
dorongan berkemih, diare.
Tanda: Oliguria, hemeturia, piuria, perubahan
pola berkemih.
d. Makanan/ cairan
Gejala: Mual/ muntah, nyeri tekan abdomen, diet
tinggi purine, kalsium oksalat, dan /
fosfat, ketidak cukupan pemasukan cairan:
tidak minum air yang cukup.
Tanda: Diestensi abdominal: penurunan/ tak ada
bising usus, muntah.
e. Nyeri/ kenyamanan
Gejala:
a) Episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi
tergantung pada lokasi batu, contoh pada
panggul di region sudut kostovetebrel: dapat
menyebar kapanggul, abdomen, dan turun ke
lipatan paha/ genetalia.
b) Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada
dipelvis atau kalkulus ginjal.
c) Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat
dengan posisi atau tindakan lain.
Tanda: Melindungi: perilaku distraksi, nyeri
tekan pada daerah ginjal pada palpasi.
f. Keamanan
Gejala: Penggunaan alkohol: demam menggigil.
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit
ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis. Riwayat
penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatiroidisme. Penggunaan antibiotik anti
hipertensi, natrium bikarbonat aluporinol,
fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium/
vitamin.
h. Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisa: warna mungkin kuning, coklat gelap,
berdarah; secara umum menunjukkan SDM, SDP,
Kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat),
serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin
asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat)
atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat
ammonium, atau batu kalium fosfat).
b) Urine (24 jam): kreatinin, asa urat, kalsium,
fosfat, oksalat, atau sistin mungkin
meningkat.
c) Kultutur urine; mungkin menunjukkan ISK
(stapilococus aureus, proteus, klebsiela,
pseudomonas)
d) Survei biokimia: Peningkatan kadar magnesium,
kalsium, asam urat, fosfat, protein,
elektrolik.
e) BUN/kreatinin serum dan urine: Abnormal
(tinggi pada serum/ rendah pada urine)
sekunder terhadap tingginya batu obstruktif
pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
f) Kadar klorida dan biokarbonat serum:
Peningkatan kadar klorida dan penurunan
bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis
tubulus ginjal.
g) Hitung darah lengkap: SDP meningkat
menunjukkan infeksi/septicemia.
h) SDM: Biasanya normal.
i) Hb/Ht: Abnormal bila pasien dehidrasi nerat
atau polisitemia terjadi (mendorong
presitipasi pemadatan atau anemia, perdarahan
disfungsi/gagal ginjal).
j) Hormon paratiroid: Mungkin meningkat bila ada
gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpi
kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi
serum dan kalsium urine)
k) Foto ronsen KUB: Menunjukkan adanya kalkuli
dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal
dan sepanjang ureter.
l) IVP: Memberikan konfirmasi cepat urolitiasis
seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul.
Menunjukkan abnormalitas pada struktur
anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk
kalkuli.
m) Sistoureterokopi: Visualisasi langsung kandung
kemih dan ureter dapat menunjukkan batu
dan/atau afek obstruksi.
n) Scan CT: Mengidentifikasi/menggambarkan
kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter, dan
distensi kandung kemih.
o) Ultrasound ginjal: Untuk menentukan perubahan
obstruksi, lokasi batu.

2) Masalah keperawatan
a) Perubahan eliminasi urine
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
c) Resiko tinggi terhadap infeksi
d) Gangguan rasa nyaman, nyeri
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi , prognosis
dan kebutuhan pengobatan
4. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah data data yang didapatkan
pada pengkajian keperawatan kemudian disusunlah diagnosa
yang umum timbul pada batu saluran kemihMenurut Marliynn
E, Doengoes diagnose keperawatan pada klien dengan Post
Operasi Ureter Resection Sitoscopy adalah:
a) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi
bedah, tekanan dan mitasi kateter/ badan
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kesulitan mengontrol perdarahan,
pembatasan pra- operasi
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
trauma jaringan sekunder terhadap: presedur bedah,
presedur alat invasive, alat selama pembedahan
kateter, irigasi kandung kemih.
d) Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih,
reflek spasme otot: presedur bedah atau tekanan dari
balon kandung kemih.
e) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
f) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
pajanan pengetahuan atau informasi.
3. Rencana tindakan keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi dan Rasional
keperawatan
1. Perubahan NOC : urinary elimination NIC : urinary retention care
eliminasi urine Urinary continence 1. monitor intake dan output
berhubungan Rasional: mengetahui keseimbangan
dengan Setelah dilakukan asuhan cairan
obstruksi keperawatan selama 3X24 jam 2. instruksikan pada keluarga pasien
bedah, tekanan perubahan eliminasi urin dapat untuk memonitor output urin
dan mitasi teratasi Rasional : sebagai acuan pemberian
kateter/ badan terapi cairan selanjutnya
Kriteria Hasil : 3. sediakan privacy untuk elimasi
- kandung kemih kosong Rasional : memberikan privasi pada
secara penuh pasien
- tidak ada residu urin > 4. kateterisasi jika perlu
100-200cc Rasional : memudahkan pasien untuk
- bebas dari ISK eliminasi
- tidak ada spasme bladder 5. stimulasi refleks bladder dengan
kompres dingin pada abdomen
- balance cairan seimbang
Rasional : merangsang pasien untuk
berkemih

2. Resiko tinggi NOC : NIC : Fluid management


terhadap Fluid balance 1. Monitor tanda-tanda vital klien
kekurangan Rasional: TTV untuk mengetahui adanya
volume cairan Setelah dilakukan asuhan keabnormalitasan pada tubuh klien
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam 2. Pasang kateter urin sesuai indikasi
dengan volume cairan klien akan Rasional: Kateter urin untuk
kesulitan seimbang dengan kebutuhan menghitung haluaran cairan dan
mengontrol cairan klien melakukan analisa urin
perdarahan, 3. Monitor status hidrasi klien
pembatasan pra- Kriteria Hasil : Rasional: Status hidrasi yang buruk
operasi - Tekanan darah dalam rentang mengindikasikan adanya kekurangan
normal tubuh yang bermakna dan dapat
- Integritas kulit baik membahayakan klien
- Membran mukosa lembab 4. Beri terapi cairan sesuai indikasi
Rasional: Terapi cairan yang sesuai
akan membantu mengurangi keparahan
dari kondisi klien
5. Monitor respon hemodinamik
Rasional: Menganalisis status
hemodinamik untuk mendeteksi secara
dini adanya kelainan pada tubuh klien
6. Kolaborasi pemberian terapi
farmakologis untuk menjaga
keseimbangan cairan tubuh klien
Rasional: Pemberian obat untuk menjaga
agar kelebihan haluaran cairan dapat
diminimalkan.

3. Resiko tinggi NOC NIC :


terhadap 1. Immune status 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
infeksi 2. Knowledge: infection control Rasional: Mengobservasi adanya infeksi
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 2. Dorong masukan nutrisi yang cukup
dengan trauma keperawatan 1x24 jam tidak Rasional: Meningkatkan daya tahan
jaringan terjadi infeksi dan
sekunder tubuh pasien
meningkatkan status imun
terhadap: 3. Pertahankan teknik aseptik
presedur bedah, Kriteria Hasil : Rasional: Mencegah transmisi silang
presedur alat - Tanda-tanda vital dalam mikroorganisme
invasive, alat keadaan normal 4. Ajarkan pasien dan keluarga cara
selama menghindari infeksi
- Pasien bebas dari tanda dan
pembedahan gejala infeksi Rasional: Mencegah penularan infeksi
kateter, Jumlah leukosit dalam batas 5. Kolaborasi pemberian antibiotik jika
irigasi kandung normal perlu
kemih.
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi

4. Nyeri NOC: pain level dan pain NIC:Pain Managament


berhubungan control 1. lakukan pengkajian nyeri secara
dengan iritasi komprehensif (P=penyebab,
mukosa kandung Setelah dilakukan asuhan Q=kualitas dan kuantitas, R=daerah
kemih, reflek keperawatan selama 3X24 jam dan penyebarannya, S=seberapa kuat
spasme otot: nyeri berkurang nyeri yang dirasakan, T=waktu
presedur bedah Kriteria Hasil: terjadinya nyeri)
atau tekanan - Pasien mampu mengontrol nyeri Rasional : mengetahui skala
dari balon (tahu penyebab nyeri dan mampu nyeri yang dirasakan pasien
kandung kemih. menggunakan teknik 2. kontrol lingkungan pasien yang
nonfarmakologi untuk dapat mempengaruhi nyeri seperti
mengurangi nyeri) suhu ruangan, pencahayaan, dan
- Mampu mengenali nyeri (skala, kebisingan
intensitas, frekuensi) Rasional : memberikan kenyamanan
Menyatakan rasa nyaman setelah bagi pasien
nyeri berkurang 3. ajarkan tentang teknik non
farmakologi seperti teknik
relaksasi nafas dalam
Rasional : mengalihkan rasa nyeri
yang dirasakan pasien
4. tingkatkan istirahat
Rasional : manajemen energi pasien
5. evaluasi keefektifan control nyeri
Rasional : mengevaluasi hasil
tindakan dan menentukan intervensi
lanjutan
6. Pertahankan patensi kateter dan
sistem drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan.
Rasional : Mempertahankan fungsi
kateter dan drainase sistem,
menurunkan resiko distensi / spasme
buli-buli
7. Kolaborasi dalam pemberian
antispasmodic
Rasional : Menghilangkan spasme

5. Ansietas NOC: Anxiety self control, NIC: anxiety reduction


berhubungan coping 1. gunakan pendekatan yang menenangkan
dengan Rasional : memberikan rasa nyaman
perubahan Setelah dilakukan asuhan pada pasien
status keperawatan selama 1X24 jam 2. jelaskan semua prosedur dan apa
kesehatan ansietas dapat teratasi yang yang dirasakan selama prosedur
Rasional : menurunkan rasa cemas
Kriteria Hasil: pasien
- Pasien mampu mengidentifikasi 3. dengarkan dengan penuh perhatian
dan mengungkapkan gejala cemas Rasional : memberikan penghargaan
- Mengidentifikasi, pada pasien
mengungkapkan dan menunjukkan 4. identifikasi tingkat kecemasan
tekhnik untuk mengontrol cemas Rasional : mengetahui tingkat cemas
- Vital sign dalam batas normal yang dirasakan pasien
5. instruksikan pasien menggunakan
teknik relaksasi
Rasional : mengurangi rasa
cemas pasien
6. Defisiensi NOC : NIC : teaching : disease proses
pengetahuan Knowledge : disease proses 1. berikan penilaian tentang tingkat
berhubungan Knowledge : health behavior pengetahuan pasien tentang proses
dengan penyakit yang spesifik
kurangnya Setelah dilakukan asuhan Rasional : mengetahui tingkat
pajanan keperawatan selama 1X24 jam pengetahuan pasien
pengetahuan klien mengetahui informasi 2. gambarkan tanda dan gejala yang
atau informasi. tetntang penyakitnya. biasa muncul pada penyakit
Rasional : Pasien dan keluarga
Kriteria Hasil : mengetahui tentang tanda dan gejala
- pasien dan keluarga dari penyakit yang dialami
menyatakan pemahaman 3. gambarkan proses penyakit dengan
tentang penyakit, cara yang tepat
kondisi, prognosis, dan Rasional : pasien dan keluarga
program pengobatan mengetahui tentang kondisinya
- pasien dan keluarga mampu 4. sediakan informasi tentang kondisi
melaksanakan prosedur Rasional : mengetahui perkembangan
yang telah dijelaskan kondisi pasien
5. diskusikan perubahan gaya hidup
yang mungkin diperlukan
Rasional : untuk mencegah
komplikasi di masa mendatang
HEMODIALISA

A. DEFINISI
Hemodialysis adalah bentuk dialysis yang menggunakan
mesin (alat dialysis ginjal) untuk membuang kelebihan cairan,
bahan kimia dan produk sisa dari darah. (Litin, 2009)
Hemodialysis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, dan gagal ginjal
terminal melalui mesin. Hemodialysis termasuk jenis membrane
dialysis selain cangkok ginjal. Kelebihan dengan hemodialysis
adalah pasien hanya datang ke rumah sakit minimal 2 kali
perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya dapat digantikan
dengan ginjal asli yang diberikan oleh donor ginjal. (Rizal,
2011)
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat
tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia
seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam
urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permeable sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana
terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa hemodialisa adalah suatu terapi pengganti ginjal yang
menggunakan mesin ginjal buatan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dalam tubuh kita, dimana menggantikan ginjal
yang sudah tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
B. TUJUAN
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat
nitrogen yang toksik dari darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan
toksik dan sisa nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke
dialiser tempat darah tersebut di bersihkan dan kemudian di
kembalikan lagi ke tubuh pasien.
1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea,
kreatinin dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding
antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas
tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen
dialisat.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

C. INDIKASI
1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang
dari 5 ml/menit
3. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
4. Ureum lebih dari 200 mg/dl
5. PH darah kurang dari 7,1
6. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
7. Intoksikasi obat dan zat kimia
8. Sindrom Hepatorenal

D. PRINSIP KERJA
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis,
yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
 Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memilki konsentrasi
tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
 Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan
menciptakan gradien tekanan dengan kata lain, air bergerak
dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini
dapat di tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal
dengan ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di terapkan pada
alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat
mengekresikan ari kekuatan ini di perlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia(keseimbangan
cairan).

E. PROSES HEMODIALISA
Mekanisme proses pada mesin hemodialisa, darah dipompa
dari tubuh masuk kedalam mesin dialysis lalu dibersihkan pada
dialyzer (ginjal buatan), lalu darah pasien yang sudah bersih
dipompakan kembali ke tubuh pasien.
Mesin dialysis yang paling baru telah dilengkapi oleh
system komputerisasi dan secara terus menerus memonitor array
safty-critical parameter, mencangkup laju alir darah dan
dialysate, tekanan darah, tingkat detak jantung, daya
konduksi, pH dan lain-lain. Bila ada yang tidak normal, alarm
akan berbunyi. Dalam hemodialysis memerlukan akses vascular
(pembuluh darah) hemodialysis (AVH) yang cukup baik agar dapat
diperoleh aliran darah yang cukup besar, yaitu diperlukan
kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinyu
selama hemodialysis 4 – 5 jam.
AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh
darah vena di leher atau paha yang bersifat temporer. Untuk
yang peramanen dibuat hubungan antara arteri dan vena,
biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula, lebih
populer bila disebut (brescia) cimino fistula. Kemudian darah
dari tubuh pasien masuk ke dalam sirkulasi darah mesin
hemodialysis yang terdiri dari selang inlet/arterial (ke
mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ke tubuh), kedua
ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke
pembuluh darah pasien. Darah setelah melalui selang inlet
masuk ke dialisar. Jumlah darah yang menempati sirkulasi darah
di mesin berkisar 200 ml. Dalam dialiser darah dibersihkan,
sampah-sampah secara kontinyu menembus membrane dan
menyeberang ke kompartemen dialisat, di pihak lain cairan
dialisat mengalir dalam mesin hemodialysis dengan kecepatan
500 ml/menit masuk ke dalam dialiser pada kompartemen
dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang pekat dengan
bahan utama elektrolit dan glukosa, cairan ini dipompa masuk
ke mesin sambil dicampur dengan air bersih yang telah
mengalami proses pembersihan yang rumit (water treatment).
Selama proses hemodialysis, darah pasien diberi heparin agar
tidak membeku bila berada di luar tubuh yaitu dalam sirkulasi
darah mesin.
Prinsip hemodialysis sama seperti metoda dialysis.
Melibatkan difusi zat terlarut ke sembarang suatu selaput
semipermeable. Prinsip pemisahan menggunakan membran ini
terjadi pada dialyzer. Darah yang mengandung sisa-sisa
metabolisme dengan konsentrasi yang tinggi dilewatkan pada
membrane semipermeable yang terdapat dalam dialyzer, dimana
dalam dialyzer tersebut dialirkan dialysate dengan arah yang
berlawanan (counter current).
Driving force yang digunakan adalah perbedaan
konsentrasi zat yang terlarut berupa racun seperti partikel-
parttikel kecil, seperti urea, kalium, asam urea, fosfat dan
kelebihan khlorida pada darah dan dialysate. Semakin besar
konsentrasi racun tersebut di dalam darah dan dialisat maka
proses difusi semakin cepat. Berlawanan dengan peritoneal
dialysis, dimana pengangkutan adalah antar kompartemen cairan
yang statis, hemodialysis bersandar pada pengangkutan
konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana bila
dialysate mengalir ke dalam berlawanan arah dengan mengalir
axtracorporeal sirkuit. Metode ini dapat meningkatkan
efektifitas dialysis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral
yang sudah disterilkan, urea dan sisa metabolisme lainnya,
seperti kalium dan fosfat, berdifusi ke dalam dialysate.
Selain itu untuk memisahkan yang terlarut dalam darah
digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan
pada ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dan dialyzer. Tekanan darah yang lebih tinggi
dari dialyzer memaksa air melewati membrane. Jika tekanan dari
dialyzer diturunkan maka kecepatan ultrafiltrasi air dan darah
akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan
darah yang bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip
inilah yang digunakan pada mesin hemodialysis modern, sehingga
keefektifannnya dalam menggantikan peran ginjal sangat tinggi.
(Rizal, 2011).

F. PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS JANGKA


PANJANG
 Diet dan massalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani
hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila
ginajal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk
akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun
atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian
melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan harus
di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-
oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan
tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-
hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika
cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi
dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler
pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika
produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena
perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan
kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit
dengan cepat meningglkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CKD

A. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon
dan mengacu pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006)
sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun
ada juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang
diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan,
penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi
pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai
peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum /
mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang
tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti
DM,glomerulonefri tis, hipertensi, rematik,
hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan
terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat
ini sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah
menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien
terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung
kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah
dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan
BB dalam kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia,
mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output
dan input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi
konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.

d. Aktifitas dan latian.


Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak
lemah, serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri.
Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan
terdapat kantung mata. Tandanya adalah pasien terliat
sering menguap.
f. Pola persepsi dan kognitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah
penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak
dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan
harga diri sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah).
Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak
jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya
penurunan kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi
penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya
kaki menjadi edema, citra diri jauh dari keinginan,
terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya
diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat
mengambil keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa
bersalah meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien
tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas
nyeri. Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
TD naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena
kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan
karena kelebian cairan.
d. Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan
terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat
kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-
pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid,
terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar.
Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak
simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara
tambahan pada jantung.
g. Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan
pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor,
ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema,
pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1
detik.
j. Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam,
kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terjadi
perikarditis.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia,
retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis
metabolic, pneumonitis, perikarditis
3. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin,
retensi cairan dan natrium.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d intake makanan yang inadekuat (mual, muntah,
anoreksia dll).
5. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer,
tindakan invasive
6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d
kurangnya informasi kesehatan.
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi


1 Intoleransi Setelah dilakukan NIC: Toleransi aktivitas
aktivitas b.d askep ... jam Klien 1. Tentukan penyebab
ketidakseimban dapat menoleransi intoleransi aktivitas &
gan suplai & aktivitas & tentukan apakah penyebab
kebutuhan O2 melakukan ADL dgn dari fisik,
baik psikis/motivasi
Kriteria Hasil: 2. Kaji kesesuaian
 Berpartisipasi aktivitas&istirahat klien
dalam aktivitas sehari-hari
fisik dgn TD, HR, 3. Peningkatan aktivitas
RR yang sesuai secara bertahap, biarkan
 Warna kulit klien berpartisipasi dapat
normal,hangat&ker perubahan posisi,
ing berpindah&perawatan diri
4. Pastikan klien mengubah
 Memverbalisasikan
posisi secara bertahap.
pentingnya
Monitor gejala intoleransi
aktivitas secara
aktivitas
bertahap
5. Ketika membantu klien
 Mengekspresikan berdiri, observasi gejala
pengertian intoleransi spt mual,
pentingnya pucat, pusing, gangguan
keseimbangan kesadaran&tanda vital
latihan & 6. Lakukan latihan ROM jika
istirahat klien tidak dapat
 Peningkatan menoleransi aktivitas
toleransi
aktivitas
2 Pola nafas Setelah dilakukan Monitor Pernafasan:
tidak efektif askep ..... jam 1. Monitor irama, kedalaman
b.d pola nafas klien dan frekuensi pernafasan.
hiperventilasi menunjukkan
2. Perhatikan pergerakan
, penurunan ventilasi yg
dada.
energi, adekuat dg kriteria
kelemahan : 3. Auskultasi bunyi nafas
 Tidak ada dispnea 4. Monitor peningkatan
ketidakmampuan istirahat,
 Kedalaman nafas kecemasan dan sesak nafas.
normal
 Tidak ada Pengelolaan Jalan Nafas
retraksi dada /
5. Atur posisi tidur klien
penggunaan otot
untuk maximalkan ventilasi
bantuan
pernafasan 6. Lakukan fisioterapi dada
jika perlu
7. Monitor status pernafasan
dan oksigenasi sesuai
kebutuhan
8. Auskultasi bunyi nafas
9. Bersihhkan skret jika ada
dengan batuk efektif /
suction jika perlu.
3 Kelebihan Setelah dilakukan Fluit manajemen:
volume cairan askep ..... jam 1. Monitor status hidrasi
b.d. mekanisme pasien mengalami (kelembaban membran
pengaturan keseimbangan cairan mukosa, nadi adekuat)
melemah dan elektrolit.
2. Monitor tnada vital
Kriteria hasil:
3. Monitor adanya indikasi
 Bebas dari edema overload/retraksi
anasarka, efusi 4. Kaji daerah edema jika ada
 Suara paru bersih
 Tanda vital dalam Fluit monitoring:
batas normal 5. Monitor intake/output
cairan
6. Monitor serum albumin dan
protein total
7. Monitor RR, HR
8. Monitor turgor kulit dan
adanya kehausan
9. Monitor warna, kualitas
dan BJ urine
4 Ketidakseimban Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
gan nutrisi askep …..jam klien 1. kaji pola makan klien
kurang dari menunjukan status
2. Kaji adanya alergi
kebutuhan nutrisi adekuat
makanan.
tubuh dibuktikan dengan
kriteria hasil 3. Kaji makanan yang disukai
oleh klien.
 BB stabil
4. Kolaborasi dg ahli gizi
 Tidak terjadi untuk penyediaan nutrisi
malnutrisi, terpilih sesuai dengan
 Tingkat energi kebutuhan klien.
adekuat 5. Anjurkan klien untuk
 Masukan nutrisi meningkatkan asupan
adekuat nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh
klien

Monitor Nutrisi
8. Monitor BB setiap hari
jika memungkinkan.
9. Monitor respon klien
terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
10. Monitor lingkungan
selama makan.
11. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
bersamaan dengan waktu
klien makan.
12. Monitor adanya mual
muntah.
13. Monitor adanya gangguan
dalam proses
mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
14. Monitor intake nutrisi
dan kalori
6 Resiko infeksi Setelah dilakukan Kontrol infeksi
b/d tindakan askep ... jam 1. Ajarkan tehnik mencuci
invasive, risiko infeksi tangan
penurunan daya terkontrol dg KH:
2. Ajarkan tanda-tanda
tahan tubuh  Bebas dari tanda-
primer tanda infeksi infeksi
 Angka leukosit 3. laporkan dokter segera
normal bila ada tanda infeksi
 Pasien mengatakan 4. Batasi pengunjung
tahu tentang 5. Cuci tangan sebelum dan
tanda-tanda dan sesudah merawat ps
gejala infeksi 6. Tingkatkan masukan gizi
yang cukup
7. Anjurkan istirahat cukup
8. Pastikan penanganan
aseptic daerah IV
9. Berikan PEN-KES tentang
risk infeksi
Proteksi infeksi:
10. Monitor tanda dan
gejala infeksi
11. Pantau hasil
laboratorium
12. Amati faktor-faktor
yang bisa meningkatkan
infeksi
13. Monitor Vital Sign
6 Kurang Setelah dilakukan Pendidikan : proses penyakit
pengetahuan askep … jam 2. Kaji pengetahuan klien
tentang Pengetahuan klien / tentang penyakitnya
penyakit dan keluarga meningkat
3. Jelaskan tentang proses
pengobatannya dg KH:
penyakit (tanda dan
b.d. kurangnya Pasien mampu: gejala), identifikasi
sumber
 Menjelaskan kemungkinan penyebab.
informasi
kembali 4. Jelaskan kondisi klien
penjelasan yang 5. Jelaskan tentang program
diberikan pengobatan dan alternatif
 Mengenal pengobantan
kebutuhan 6. Diskusikan perubahan gaya
perawatan dan hidup yang mungkin
pengobatan tanpa digunakan untuk mencegah
cemas komplikasi
 Klien / keluarga 7. Diskusikan tentang terapi
kooperatif saat dan pilihannya
dilakukan 8. Eksplorasi kemungkinan
tindakan sumber yang bisa
digunakan/ mendukung
9. instruksikan kapan harus
ke pelayanan
10. Tanyakan kembali
pengetahuan klien tentang
penyakit, prosedur
perawatan dan pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Nursing


care plans: Guidelines for planning and documenting
patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Djoerban. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Fauci et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine,
17th Edition. United States of America: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Gale, Daniele. 1996. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.
1651-1653.
Lorraine et al. 2005. Acute Pulmonary Edema. N Engl J
Med.;353:2788-96.
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3.
Jakarta : Media Aeusculapius FKUI.
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease: Causes,
diagnosis, treatment. Cleveland Clinic Journal of
Medicine. 73(3): 289-97
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi
Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
dari Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2001. Brunner & Suddarth
Textbook of Medical Surgical Nursing 10th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Edisi 7. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai