Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 1 TAHUN 10 BULAN DENGAN


DEMAM DENGAN TONSILOFARINGITIS AKUT, KEJANG
DEMAM SIMPLEKS DAN GIZI KURANG PERAWAKAN PENDEK

DISUSUN OLEH:
Prasarita Esti Pudyaningrum
22010113210014

Penguji:
Dr. Wistiani, Sp.A(K), Msi.Med.

Pembimbing:
Dr. Roro Rukmi Windi Perdani

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
1
HALAMAN PENGESAHAN

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak RSDK / Fakultas Kedokteran Undip

Judul Kasus Besar : Seorang Anak Laki-Laki 1 tahun 10 bulan dengan Demam dengan

Tonsilofaringitis Akut, Kejang Demam Simpleks dan Gizi Kurang

Perawakan Pendek

Pembimbing : dr. Roro Rukmi Windi Perdani

Penguji : dr. Wistiani, Sp.A(K), Msi.Med.

Semarang, 6 Maret 2014

Penguji Pembimbing

dr. Wistiani,Sp.A(K)., Msi.Med. dr. Roro Rukmi Windi Perdani

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kasih dan karunia- Nya, sehingga Laporan Kasus “Seorang Anak Laki-Laki 1

tahun 10 bulan dengan Demam dengan Tonsilofaringitis Akut, Kejang Demam Simpleks

dan Gizi Kurang Perawakan Pendek“ ini dapat penulis selesaikan.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh

kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Semarang.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. Wistiani, SpA(K), Msi.Med. selaku penguji.

2. dr. Roro Rukmi Windi Perdani, selaku pembimbing.

3. Keluarga Bapak Eko Nandang.

4. Keluarga dan Teman-teman Co-Ass dan semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan laporan kasus ini.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi yang

memerlukan.

Semarang, Maret 2014

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... 2

KATA PENGANTAR .................................................................................. 3

DAFTAR ISI ................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 5

BAB II. PENYAJIAN KASUS ................................................................... 8

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 33

BAB IV HASIL KUNJUNGAN RUMAH ................................................... 55

BAB V RINGKASAN ............................................................................... 61

BAGAN PERMASALAHAN ....................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal lebih dari 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranial.1,2 Kejang demam

merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak (umur 3

bulan – 5 tahun). Sebanyak 2-5 % anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami

kejang pada saat demam. Umur tersebut berkait dengan fase perkembangan otak yaitu masa

developmental window.3

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak bersamaan dengan kenaikan suhu

badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat,

misalnya Shigellosis (19,79%), faringitis (38%), otitis media (23%), pneumonia (15%),

gastroenteritis (7%), roseola infantum (5%). Demam bukan akibat infeksi tetapi pasca

imunisasi dapat pula mengakibatkan kejang demam. 3

Pada saat kejang terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi

otot skelet dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Kejang yang

berlangsung lama (lebih dari 10 menit), akan mengakibatkan hipoksia serebral dan

menghasilkan kerusakan neuron otak anak,bahkan dapat menimbulkan perubahan otak

secara anatomik, sehingga berpengaruh pada perkembangan mental dan neurologis anak.

Perkembangan mental dan neurologis anak umumnya tetap pada pasien yang sebelumnya

normal. 4,5

Beberapa hal yang harus dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental dan

neurologis, berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari.

Faktor risiko terjadinya epilepsi meningkat bila terdapat kelainan neurologis yang nyata

5
selama kejang demam pertama, kejang demam kompleks, dan adanya riwayat anggota

keluarga yang menderita epilepsi 1,2,3

Pencarian fokal infeksi ekstrakranial penting dicari supaya dapat mengatasi etiologi

dari demam yang terjadi. Dengan dapat mengatasi demam, maka dapat mencegah terjadinya

kejang demam. Penatalaksanaan yang baik untuk fokal infeksi juga mengurangi faktor yang

dapat memperberat kondisi gizi kurang seorang anak.

Pada tulisan ini akan disajikan kasus anak dengan demam dengan tonsilofaringitis

akut, kejang demam simpleks, dan gizi kurang perawakan pendek yang mendapatkan

perawatan rawat inap di RS Dr. Kariadi Semarang.

B. TUJUAN

Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis,

melakukan pengelolaan penderita demam dengan tonsilofaringitis, kejang demam simpleks,

dan gizi kurang perawakan pendek serta tindakan pengobatan yang diberikan sesuai dengan

penulisan ilmiah berdasar kepustakaan atau prosedur yang ada.

Tujuan umum

Untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola pasien dengan demam dengan

tonsilofaringitis akut, kejang demam simpleks, dan gizi perawakan pendek sesuai

kepustakaan yang ada.

Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu melakukan autoanamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang kepada pasien dengan demam dengan tonsilofaringitis

akut.

2. Mahasiswa mampu melakukan autoanamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang kepada pasien dengan kejang demam simpleks.

6
3. Mahasiswa mampu melakukan autoanamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang kepada pasien dengan gizi kurang perawakan pendek.

4. Mahasiswa mampu menilai status pertumbuhan dan perkembangan anak.

5. Mahasiswa mampu melakukan pengelolaan secara komprehensif dan holistik pada

kasus ini.

C. MANFAAT

1. Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar

menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan pada pasien tonsilofaringitis

akut.

2. Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar

menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan pada pasien demam dengan

kejang demam simpleks.

3. Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar

menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan pada pasien gizi kurang

perawakan pendek.

BAB II

7
PENYAJIAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : An. ARN

Umur : 1 Tahun 10 Bulan

Alamat : Semarang, Jawa Tengah

Agama : Islam

Pekerjaan : Belum Sekolah

Suku : Jawa

No. CM : C344663

Tanggal Masuk RS : 11 Februari 2014

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ibu : Ny.H

Umur : 23 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA (lulus)

Nama Ayah : Tn. EN

Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Buruh Pabrik

Pendidikan : STM (lulus)

3.2 DATA DASAR

8
A. SUBYEKTIF

Autoanamnesis dengan Ibu dan Ayah Pasien (13 Februari 2014 pukul 14.00 WIB

di C1L2 dan 1 Maret 2014 pukul 16.00 saat kunjungan rumah di rumah Pasien)

Keluhan utama: demam

Riwayat Penyakit Sekarang

 6 hari sebelum masuk rumah sakit anak demam tinggi, mendadak, terus

menerus, suhu 38oC (axiller) diukur sendiri oleh Ibu. Ibu merasa demam anak

semakin hari semakin tinggi. Demam tidak turun dengan penurun panas.

Demam anak lebih tinggi pada sore atau malam hari dibanding pada pagi hari.

Anak mengeluhkan nyeri kepala saat panas (+). Mata kemerahan (-), batuk (+)

berdahak (+), dahak sulit keluar (+) sehingga warna sulit diketahui, suara grok-

grok (+), sesak (-), pilek (+) berwarna bening. Nyeri telinga (-), keluar cairan

dari telinga (-), bintik-bintik merah seperti digigit nyamuk (-). Selama sakit

nafsu makan berkurang, mual (+), muntah (-), dan anak lemas (+).nyeri perut

(-), menggigil (-), kejang (-). Anak tidak menangis saat BAK (-), kecing

berwarna jernih, volumenya berkurang dari biasanya, jumlah ¼ gelas

belimbing, frekuensi 5x sehari, lebih jarang dari biasanya. BAB tidak ada

keluhan. Anak lalu dibawa berobat ke dokter umum dan diberi satu macam

puyer. Orang tua tidak tahu apa nama obatnya. Setelah diberi puyer, panas

berkurang, tetapi kemudian naik lagi.

 5 hari sebelum masuk rumah sakit, anak masih demam, suhu 39,6oC (axiller)

anak masih merasakan keluhan yang sama seperti sebelumnya. Malam hari

anak kejang. Kejang seluruh tubuh berlangsung selama 2 menit, saat kejang

seluruh tubuh kaku, mata mendelik ke atas, gigi dan mulut terkunci, saat kejang

anak tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang sadar, kejang berhenti sendiri.

9
Karena khawatir anak dibawa ke UGD RSDK. Di IGD anak diberi penurun

panas dan ambroxol, lalu anak dibolehkan rawat jalan.

 2 hari sebelum masuk rumah sakit anak masih demam tetapi tidak tinggi, batuk

(+), berdahak (+), suaranya grok-grok, muntah bila batuk. Bintik merah seperti

digigit nyamuk (-), gusi berdarah (-), BAK tidak ada kelainan, BAB cair 1x,

warna kuning, jumlah ¼ gelas belimbing, lendir (-), darah (-), ampas (+), buih

(-), bau asam. Anak tidak kejang.

 Karena panas tidak kunjung reda, orang tua membawa anak ke IGD RSDK,

anak kemudian dianjurkan untuk rawat inap.

 Anggota keluarga yang sakit batuk lama dengan pengobatan menggunakan

obat yang berwarna merah disangkal.

 Anak tinggal di daerah pemukiman yang padat lingkungan sekitar rumah

kurang bersih tetapi tidak/ jarang terjadi banjir di lingkungan tempat tinggal

anak.

 Anak dikatakan memiliki kebiasaan jajan bakwan malang dari pedagang

keliling untuk makanan selingan. Makanan rumah yang dimakan sehari-hari

sering tidak ditutup dengan tudung saji.

 Tempat sampah rumah memakai ember yang tidak ditutup dan terletak dekat

dengan meja makan.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Saat berusia satu tahun anak pernah kejang disertai demam sebelumnya.

 Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya disangkal.

 Riwayat trauma kepala disangkal.

10
Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.

 Anggota keluarga yang sakit batuk lama dengan pengobatan memakai obat

berwarna merah disangkal.

 Ayah Pasien memiliki riwayat kejang dengan demam sebelumnya pada saat

berusia satu tahun.

 Nenek dan Paman Penderita juga pernah mengalami kejang yang disertai

demam sebelumnya.

II

III

Anak ARN, 1th 10bulan

Keterangan:

: laki-laki : laki-laki dengan riwayat kejang dengan demam

: perempuan : perempuan dengan riwayat kejang dengan demam

: pasien

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah bekerja sebagai karyawan pabrik, Ibu sebagai ibu rumah tangga.

Berpenghasilan Rp. 1.100.000,- setiap bulannya. Menanggung satu anak belum

mandiri. Pengobatan menggunakan BPJS kelas III.

Kesan: sosial ekonomi kurang

11
B. DATA KHUSUS

Riwayat pemeliharaan prenatal :

ANC (+) di bidan, teratur, dilakukan lebih dari 4 kali selama masa kehamilan, mendapat

imunisasi TT 2 kali. Riwayat penyakit selama kehamilan seperti sakit panas selama

hamil, darah tinggi, kejang, sakit gula selama hamil disangkal. Riwayat trauma dan

perdarahan selama kehamilan disangkal. Selama hamil ibu mendapat vitamin dan tablet

penambah darah. Riwayat minum jamu-jamuan disangkal. Kehamilan lewat

bulan/serotinus (-).

Riwayat kelahiran :

Lahir bayi laki-laki dari ibu G1P1A0 usia 21 tahun, hamil 38 minggu. Pasien lahir

ditolong oleh dokter di RS.Dokter Kariadi, lahir dengan sectio caesaria karena bayi

sungsang dan terlilit tali pusat, langsung menangis, riwayat biru-biru disangkal, riwayat

trauma kelahiran disangkal, ketuban jernih dan jumlahnya banyak, riwayat kuning

disangkal. Berat badan lahir 2900 gram, panjang badan ibu lupa, lingkar kepala lahir

ibu lupa.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal :

Anak kontrol kesehatan, imunisasi, dan perkembangan pertumbuhan di bidan dan

dinyatakan sehat.

Riwayat Imunisasi :

BCG : 1 x ( 2 bulan, scar + )

DPT : 3 x ( 2, 3, 4 bulan )

Polio : 4 x ( 0, 2, 3, 4 bulan )

Hepatitis B : 3 x ( 0, 1, 6 bulan )

Campak : 1 x ( 9 bulan)

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

12
Riwayat Makan dan Minum Anak

0 bulan – sekarang : Anak hanya diberi ASI, semau anak, setiap menetek ± 20-30

menit, kedua payudara mau bergantian, 8x sehari.

1,5 bulan – sekarang : susu formula 2-3 gelas (100cc air + 2 sendok takar) /hari habis.

4 bulan – 9 bulan : bubur cerelac 3x2 sachet/hari, habis.

9 bulan – sekarang : nasi lunak + sayur bening + ikan (jarang) / telur (kadang-

kadang), tidak diberi minyak.

3 bulan – sekarang : pisang 1x/ hari

================================================================
HASIL PERHITUNGAN DIET/
================================================================
Nama Makanan Jumlah energy carbohydr.

SARAPAN
bubur nasi 100 g 73.0 kcal 16.0 g
telur ayam 30 g 46.5 kcal 0.3 g
santan (kelapa dan air) 30 g 31.8 kcal 1.4 g
teh manis 250 g 32.5 kcal 8.0 g
tepung susu sgm 2 20 g 92.8 kcal 10.3 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g
tepung susu sgm 2 10 g 46.4 kcal 5.2 g

Meal analysis: energy 460.7 kcal (11 %), carbohydrate 55.2 g (10 %)

Snack SIANG
chiki 30 g 153.0 kcal 18.9 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 290.7 kcal (7 %), carbohydrate 32.9 g (6 %)

MAKAN SIANG
bubur nasi 100 g 73.0 kcal 16.0 g
telur ayam 30 g 46.5 kcal 0.3 g
santan (kelapa dan air) 30 g 31.8 kcal 1.4 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 100 g 68.8 kcal 7.0 g

Meal analysis: energy 220.1 kcal (5 %), carbohydrate 24.7 g (5 %)

Snack SORE

13
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 137.7 kcal (3 %), carbohydrate 14.0 g (3 %)

MAKAN MALAM
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
bakso daging sapi 30 g 111.0 kcal 0.0 g
tepung susu sgm 2 20 g 92.8 kcal 10.3 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 100 g 68.8 kcal 7.0 g

Meal analysis: energy 402.6 kcal (10 %), carbohydrate 46.0 g (9 %)

SARAPAN
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
sayur sop macaroni 50 g 63.5 kcal 5.3 g
tepung susu sgm 2 20 g 92.8 kcal 10.3 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 424.0 kcal (10 %), carbohydrate 58.2 g (11 %)

Snack SIANG

Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 137.7 kcal (3 %), carbohydrate 14.0 g (3 %)

MAKAN SIANG
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
sayur sop macaroni 50 g 63.5 kcal 5.3 g

Meal analysis: energy 193.5 kcal (5 %), carbohydrate 33.8 g (6 %)

Breastmilk (> 10 days post partum) 100 g 68.8 kcal 7.0 g

Meal analysis: energy 68.8 kcal (2 %), carbohydrate 7.0 g (1 %)

Snack SORE
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 137.7 kcal (3 %), carbohydrate 14.0 g (3 %)

MAKAN MALAM
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
sayur sop macaroni 50 g 63.5 kcal 5.3 g
tepung susu sgm 2 20 g 92.8 kcal 10.3 g
14
Breastmilk (> 10 days post partum) 100 g 68.8 kcal 7.0 g

Meal analysis: energy 355.1 kcal (9 %), carbohydrate 51.2 g (10 %)

SARAPAN
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
sayur sop macaroni 50 g 63.5 kcal 5.3 g
tepung susu sgm 2 20 g 92.8 kcal 10.3 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 424.0 kcal (10 %), carbohydrate 58.2 g (11 %)

Snack SIANG
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 137.7 kcal (3 %), carbohydrate 14.0 g (3 %)

MAKAN SIANG
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
sayur sop macaroni 50 g 63.5 kcal 5.3 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 100 g 68.8 kcal 7.0 g

Meal analysis: energy 262.3 kcal (6 %), carbohydrate 40.8 g (8 %)

Snack SORE
Breastmilk (> 10 days post partum) 200 g 137.7 kcal 14.0 g

Meal analysis: energy 137.7 kcal (3 %), carbohydrate 14.0 g (3 %)

MAKAN MALAM
nasi putih 100 g 130.0 kcal 28.6 g
sayur sop macaroni 50 g 63.5 kcal 5.3 g
tepung susu sgm 2 20 g 92.8 kcal 10.3 g
Breastmilk (> 10 days post partum) 100 g 68.8 kcal 7.0 g

Meal analysis: energy 355.1 kcal (9 %), carbohydrate 51.2 g (10 %)

================================================================
HASIL PERHITUNGAN
15
================================================================
Zat Gizi hasil analisis rekomendasi persentase
nilai nilai/hari pemenuhan
_________________________________________________________________________
energy 1381.8 kcal 1050.0 kcal 132 %
water 0.0 g 1300.0 g 0%
protein 37.0 g(11%) 13.5 g(12 %) 274 %
fat 57.7 g(37%) 41.0 g(< 30 %) 141 %
carbohydr. 176.4 g(52%) 155.0 g(> 55 %) 114 %
dietary fiber 3.2 g - -
alcohol 0.0 g - -
PUFA 4.5 g 9.0 g 50 %
cholesterol 114.0 mg - -
Vit. A 971.0 µg 600.0 µg 162 %
carotene 0.0 mg - -
Vit. E 2.2 mg - -
Vit. B1 0.4 mg 0.6 mg 64 %
Vit. B2 0.8 mg 0.7 mg 113 %
Vit. B6 0.6 mg 0.4 mg 139 %
folic acid eq. 64.0 µg - -
Vit. C 70.2 mg 60.0 mg 117 %
sodium 292.7 mg - -
potassium 1133.5 mg 1500.0 mg 76 %
calcium 603.9 mg 600.0 mg 101 %
magnesium 127.4 mg 80.0 mg 159 %
phosphorus 623.4 mg 500.0 mg 125 %
iron 5.9 mg 8.0 mg 73 %
zinc 5.1 mg 3.0 mg 170 %

Dianalisis menggunakan aplikasi Nutri Survey Indonesia.

Kesan : ASI tidak eksklusif, kualitas makanan kurang, kuantitas makanan cukup.

Makanan tidak bervariasi.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan anak

 Pertumbuhan :

- Berat badan lahir 2900 gr

- Berat badan sekarang 8,5 kg

- Berat badan bulan lalu 10 kg

- Panjang badan lahir: ibu lupa

- Tinggi badan sekarang 79 cm


16
- Tinggi badan bulan lalu

- Lingkar lengan atas 16 cm, lingkar kepala 47,5 cm

WAZ= -2,46 SD

HAZ= -2,18 SD

17
WHZ= -1,74 SD

Head Circumference for Age : 0,28 SD

Mid Upper Arm Circumference for Age : 0,92 SD

18
 Perkembangan:

- Anak bisa senyum usia 2 bulan

- Anak bisa berbalik badan usia 4 bulan

- Anak bisa duduk usia 6 bulan

- Gigi anak keluar usia 10 bulan

- Anak bisa berdiri usia 12 bulan

- Anak bisa berjalan usia 12 bulan

Kuesioner Pra Skrining Perkembangan Anak Usia 21 bulan:

No. Pertanyaan Ya Tidak


1. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantai, apakah anak √
dapat membungkuk untuk memungut mainan di lantai dan
kemudian berdiri lagi?
2. Apakah anak dapat menunjukkan apa yang diinginkannya √
tanpa menangis atau merengek?
3. Apakah anak dapat berjalan di sepanjang ruangan tanpa √
jatuh atau terhuyung-huyung?
4. Apakah anak dapat mengambil benda kecil seperti kacang, √
kismis dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk?

19
5. Jika anda menggelindingkan bola ke anak, apakah ia √
menggelindingkan/ melemparkan kembali bola pada anda?
6. Apakah anak dapat memegang sendiri cangkir/ gelas dan √
minum dari tempat tersebut tanpa tumpah?
7. Jika anda sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, √
apakah anak meniru apa yang anda lakukan?
8. Apakah anak dapat meletakkan satu kubus di atas kubus √
yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu?
9. Apakah anak dapat mengucapkan paling seidkit 3 kata √
yang mempunyai arti selain “papa” dan “mama”?
10. Apakah anak dapat berjalan mundur 5 langkah atau lebih √
tanpa kehilangan keseimbangan?
Total jawaban “Ya”= 10

Kesan:

- Pertumbuhan: gizi kurang, perawakan pendek, kepala mesosefal, garis pertumbuhan

loss of growth (T3).

- Perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Riwayat Keluarga Berencana Orang Tua

Saat ini ibu pasien menggunakan KB IUD sejak melahirkan anak ARN.

B. OBYEKTIF (13 Februari 2014, di C1L2 pukul 14.15 WIB/ hari perawatan ketiga)

Keadaan umum :

Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4M6V5=15)

Status Gizi : BB: 8,5 kg TB: 79 cm

Tanda vital :T : 100/60 mmHg

N : 100 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup.

RR : 28x/ menit

20
t : 36,9o C

Keadaan Tubuh :

Anemi (-), sianotik (-), ikterik (-), turgor kembali cepat, normotonus, rambut: hitam, mudah

dipilah, tidak mudah dicabut, kulit: turgor kembali cepat, ptechiae (-), edema (-), kejang (-),

dispneu (-).

Kepala :

Lingkar kepala 47,5cm (kesan: mesosefal), UUB sudah menutup, mata: konjungtiva anemis

(-/-), telinga: discharge (-/-), hidung: discharge (-), nafas cuping hidung (-), bibir: sianosis (-

), stomatitis (-), mulut: sianosis (-), lidah: makroglosi (-), gigi: nyeri (-), tenggorok: T1-T1

dengan tonsil hiperemis, faring hiperemis (+), leher: pembesaran nnll (-), tekanan vena tidak

meningkat.

Toraks:

Paru- paru: inspeksi: simetris, retraksi (-)

Palpasi: stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor

Auskultasi : depan: suara dasar vesikuler

suara tambahan: ronkhi (-), hantaran (-), wheezing (-)

belakang: suara dasar: vesikuler

suara tambahan: ronkhi (-), hantaran (-), wheezing (-).

21
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler
Paru depan Paru belakang

Cor

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : sulit dinilai

Perkusi : sulit dinilai

Auskultasi : suara jantung I dan II normal, irama reguler, bising (-), gallop (-).

M1>M2, A1<A2, P1<P2

Abdomen :

Inspeksi : datar, venektasi (-).

Auskultasi : bising usus 

Perkusi : timpani, pekak sisi  normal, pekak alih 

Palpasi : supel, lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit baik (kembali cepat)

Hepar tidak teraba

Lien tidak teraba

Ekstremitas : superior inferior

Sianosis -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Pucat -/- -/-

Waktu pengisian kapiler <2”/<2” <2”/<2”

Reflek fisiologis +N/+N +N/+N

Reflek patologis -/- -/-

Genital : laki-laki, fimosis (+), OUE hiperemis (-)

Perianal : eksoriasi (-), hiperemis (-)

22
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan Motorik

Pergerakan +/+ +/+

Kekuatan 5-5-5/5-5-5 5-5-5/5-5-5

Tonus N/N N/N

Trofi Eutrofi/Eutrofi Eutrofi/Eutrofi

Reflek fisiologis +N/+N +N/+N

Reflek patologis -/ - -/-

Klonus -/-

Tanda rangsang meningeal :

Kaku kuduk (-)

Brudzinki I dan II (-)

Tanda Kernig (-)

Pemeriksaan Nervus Kranialis

Nervus Olfaktorius (N.I) : Sulit dinilai

Nervus Opticus (N.II) : Sulit dinilai

Nervus Ocullomotorius (N.III): pergerakan mata normal, reflek cahaya +N/+N

Nervus Troklearis (N.IV) : pergerakan mata ke medial bawah normal

Nervus Trigeminus (N.V) : reflek kornea +N/+N, reflek bulu mata +N/+N

Nervus Abdusen (N.VI) : pergerakan mata ke lateral normal

Nervus Fasialis (N.VII) : tersenyum simetris, kelopak mata menutup secara

sempurna

Nervus Vestibulokoklear (N.VII): sulit dinilai

Nervus Glosofaringeus (N.IX): deviasi uvula (-)

Nervus Vagus (N.X) : tidak ada gangguan menelan

23
Nervus Assessorius (N.XI): bahu dapat terangkat dengan baik

Nervus Hipoglosus (N.XII): lidah tremor (-), deviasi lidah (-)

STATUS ANTROPOMETRI

Anak laki-laki, BB = 8,5 kg, PB = 82 cm, LK = 47,5 cm.

WHZ = -1,74 SD

WAZ = -2,46 SD

HAZ = -2,18 SD

Kesan: gizi kurang perawakan pendek

Mid parental height (anak laki-laki):

(TB ayah + TB Ibu) + 13 (170 + 155) + 13 169


= =
2 2

Kebutuhan Cairan, Kalori dan Protein 24 Jam

Anak laki-laki usia 1 tahun dengan berat badan : 8,5 kg, BB ideal sesuai usia : 12 kg

Cairan (cc) Kalori Protein

(100cc) (100kkal) (1,23gr)

Kebutuhan 24 jam 850 1200 14,76

Infus D5 ½ NS 480 81,6 -

3 x diet lunak 350 925,67 37

3 x 200 cc SGM II 600 301,6 14,3

Total 1430 1308,87 51,3

AKG (%) 168.23% 109,07% 347,56%

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi Lengkap (Lab. RSUP Dr. Kariadi 11 Februari 2014):

24
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan

Hemoglobin 10,7 gr% 11-13 L

Hematokrit 31,5 % 36 – 44 L

Eritrosit 4,3 juta/mmk 3,6 – 5,0 N

MCH 22,8 Pg 23-31 L

MCV 73,2 fL 77-101 L

MCHC 33,8 g/dL 29-36 N

Leukosit 13 ribu/mmk 6 – 18 N

Hitung Jenis
Eosinofil 1 % 2-5 L
Basofil 0 % 0 N
Batang 1 % 2-5 L
Segmen 54 % 25-70 N
Limfosit 37 % 50-70 N
Monosit 7 % 5-15 N
Lain-lain
Trombosit 359 ribu/mmk 150-400 N

RDW 16,80 % 11,6-14,8 H

MPV 9,3 fL 4-11 N

Pemeriksaan Urine lengkap (Lab. RSUP Dr. Kariadi 11 Februari 2014):

Warna : kuning muda, jernih

Berat jenis : 1,015

pH : 6,50

Protein : NEG mg/dL ( N : negatif )

Reduksi : NEG mg/dL ( N : negatif )

Urobilinogen : NEG mg/dL ( N : negatif )

Bilirubin : NEG mg/dL ( N : negatif )

Aseton : NEG mg/dL ( N : negatif )

Nitrit : NEG

25
Sed : epitel : 2.1/ uL (N : 0,00 – 40,00)

Lekosit : 4,1/ uL (N : 0,0 – 20,00)

Eritrosit : 5.8/ uL (N : 0,0 – 25,00)

Kristal : 0,2/ uL (N : 0,0 – 10,0)

Sil Pathologi : 0,13 (N : 0,0 – 0,5)

Sil. hyalin : 0,26/ uL (N : 0,00 – 1,20)

Sil. gran kasar : NEG LPK ( N : negatif )

Sil. gran halus : NEG LPK ( N : negatif )

Sil. epitel : NEG LPK ( N : negatif )

Sil. eritrosit : NEG LPK ( N : negatif )

Sil. leukosit : NEG LPK ( N : negatif )

Bakteri : 14,3/ uL (N : 0,0 – 100,0)

Pemeriksaan Serologi (Laboratorium Kariadi tanggal 11 Februari 2014)

Tubex TF/ Salmonella Typhi Ig M : (4)/POSITIF

Interpretasi: <= 2 : negatif

3 : borderline

4-5 : indikasi infeksi demam typhoid

>=6 : indikasi kuat infeksi demam typhoid

3.5 DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tgl No Masalah Pasif


.
1. Febris 6 hari  6 13/02/2014 1. Sosial ekonomi kurang

2. Kejang Demam Simpleks 13/02/2014

3. Batuk 13/02/2014

4. Gizi kurang, perawakan 13/02/2014


pendek

26
5. Tubex TF/ Salmonella 13/02/2014
typhi 4/pos

6. Tonsil hiperemis, faring 13/02/2014


hiperemis

3.6 DIAGNOSIS KERJA

1. Kejang Demam Simpleks

2. Demam dengan Tonsilofaringitis akut

3. Gizi Kurang Perawakan Pendek

3.7 INITIAL PLAN

1. Assesment : Kejang Demam Simpleks

Initial Dx : S: -

O: -

Rx : - Infus D5 ½ N 5 tetes per menit

- diazepam rektal (bila kejang)

- Per oral : - Diazepam 4,25mg/ hari

Mx : Keadaan umum, tanda vital, kejang berulang ,

kesadaran , tanda rangsang meningeal, reflek

fisiologis, reflek patologis, mata (pupil , reflek

bulu mata,reflek kornea,reflek cahaya), tonus otot.

Ex :

- Menjelaskan kepada orang tua supaya lapor kepada petugas kesehatan

bila kejang berulang (pada saat dirawat di RS)

- Bila anak panas segera kompres pada dahi, leher, ketiak, dan lipat

paha, serta memberi penurun panas bila panas tinggi, sehingga

langsung memutus kemungkinan terjadinya kejang.

27
- Setelah anak pulang, orang tua disarankan untuk

sedia termometer untuk mengetahui peningkatan suhu badan akan

karena panas yang dapat memicu terjadinya kejang berulang.

- Bila anak kejang, dianjurkan mengusahakan jalan nafas tetap lancar,

memposisikan anak dengan posisi miring, memutus kejang dengan

stesolid per rectal bila tersedia, dan segera

membawa ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan

terdekat.

2. Assesment : Demam dengan Tonsilofaringitis

Diagnosis : Subyektif : -

Obyektif :-

Terapi : PO paracetamol 4 – 6x 500 mg (bila t > 38oC per axiller)

Diet 3x diet lunak

Monitoring : Pengawasan keadaan umum,

Tanda vital

Penurunan kesadaran

Tanda-tanda komplikasi

Edukasi : - Menjelaskan kepada orangtua dan penderita bahwa anak


menderita demam 6 hari dengan adanya tonsilofaringitis akut.
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan untuk memastikan penyakitnya.
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa penderita akan diberikan
infus D5½ NS yang berisi karbohidrat untuk sumber energi dan
natium klorida untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit.
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa penderita akan diberikan
obat paracetamol hanya ketika suhu tubuhnya lebih dari 38oC.

28
- Mengedukasi keluarga penderita untuk mengkompres ketika
demam, caranya dengan menggunakan handuk yang sudah
direndam air hangat, lalu diperas, setelah itu dikompreskan di
dahi anak.

3. Assesment : Gizi Kurang Perawakan Pendek

Diagnosis : Subyektif : -

Obyektif :-

Terapi : Susu SGM II 3x 200cc

Diet lunak 3x sehari

Monitoring : Pengawasan keadaan umum,

Tanda vital

Tinggi Badan dan Berat Badan

Akseptabilitas gizi

Edukasi : - menyampaikan kepada orang tua bahwa anak mengalami gizi


kurang dengan tinggi badan yang pendek, dengan kemungkinan
karena asupan gizi yang kurang atau familial.
- mengedukasi orang tua untuk memberikan makanan yang tinggi
lemak kepada anak, seperti opor ayam atau bobor bayem.
- mengedukasi orang tua untuk menambahkan margarine/ minyak
kepada makanan anak yang berfungsi menambah asupan lemak.
- mengedukasi orang tua untuk menjaga kebersihan dan kesehatan
anak supaya anak terhindar dari risiko infeksi.

29
3.8 CATATAN KEMAJUAN

Tgl Keadaan Pemeriksaan fisik Assessment Pemeriksaan Terapi


Umum Laboratorium
Tanda Vital

11/2/14 Anak sadar, Mata: anemis -Demam 6 hari dd/ Hb:10,7 Infus D5 ½ NS
demam Hidung: discharge -, nafas cuping – Tifoid fever 480/20/5 tpm
Mulut sianosis (-) TFA Ht: 31,5
-inj.ampisilin
BB: 8,5kg Tenggorok : T1-1, tonsil dan faring ISK
250mg/6jam iv(H1)
hiperemis (+) -anemia mikrositk Leukosit: 13.000
TB: 79cm Leher : Simetris, pembesaran kelenjar normokromik Po:
limfe (-) -Gizi baik Trombosit: 359.000
Nafas spontan, -Paracetamol 1cth /4-6
Dada : Simetris saat statis dan dinamis, perawakan normal jam (kalau t≥38oC)
retraksi (-)
HR: 110x/ mnt Pulmo : SD vesikuler +/+, wheezing -
/-, ronkhi -/-, hantaran -/- Tubex positif 4
RR: 26x/mnt Diet 3x nasi, 3x 200cc
Jantung : Dbn
Abdomen: Datar, supel, bising usus (+) sus
Suhu: 37,1oC
normal, hepar teraba 2 cm di
Nadi: reg bawah arcus costa, lien tidak
teraba
Program: ev. KU, TV,
Ekstremitas Sup. Inf
Sianosis -/- -/- cek urin rutin.
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Petechi -/- +/+

Ano-genital: laki-laki, fimosis (+)

30
12/2/14 S: demam (+) Mata: anemi -/- Ass: suspek ISK Hb: 10,7 Inf D5 ½ NS 480/20/5
nglemeng, tpm
batuk (+) Hidung: epistaksis -/- dd./ TFA Ht: 31,5
Inj ampisilin 250mg/6
Mulut: sianosis – tifoid fever Leukosit: 13.000 jam

O: sadar, Tenggorok: T1-T1 hiperemis (+) pasca KDS Trombosit: 359.000 Inj diazepam 8 mg IV
kurang aktif pelan kala kejang
Palatal ptechiae (+)
Thorax: simetris, retraksi (-) Tubex positif 4
HR: 110x/mnt PO:
Cor/pulmo: dbn
RR: 24x/mnt Paracetamol syr 1CTH/
Abdomen: datar, supel, BU (+) N
o
Suhu: 37,6 C 4-6 jam (t>38oC)
Hepar: tidak teraba, lien: S0
Nadi: reg, tek Ambroxol 5mg/ 8 jam
Ekstremitas: akral dingin -/-
ckup
Diazepam 1,5 mg/ 8 jam
Sianosis -/- (t>38oC)
Ano-genital: laki-laki, fimosis (+)

Program: ev KU, TV,


perdarahan. Cek urin
rutin. Cek kultur darah,
tubex TF

13/2/14 S: demam (-) Mata: anemis -/- TFA, Hb: 10,7 Inj D5 ½ NS 480/20/5
Hidung: nafas cuping -/- tpm
O: sadar, nafas Mulut: sianosis (-) Demam tifoid Ht: 31,5 Inj. Ampicilin 250mg/
spontan Thorax: simetris, retraksi (-) 6 jam
Cor/pulmo: dbn
31
HR: 108x/mnt Abdomen: BU (+) N, datar, supel KDS Leukosit: 13.000 Inj diazepam 3 mg IV
Hepar: tidak teraba pelan bila kejang
RR: 36x/mnt Lien: S0 Trombosit: 359.000
Ektremitas: akral dingin -/- PO:
Suhu: 36,7oC
Genitalia: laki-laki, fimosis (+) Paracetamol syr 1 cth/
Nadi: reg, tek Tubex positif 4 4-6jam (t>38oC)
ckup Ambroxol 5 mg/ 8 jam
Diazepam 1,5 mg/ 8
jam (t>38oC)

Program:
Evaluasi KU, TV,
warning sign
Pulang hari ini

32
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam Simpleks

1. Definisi Kejang Demam Simpleks

Kejang demam simpleks (KDS) merupakan bagian dari Kejang Demam.

Kejang demam sendiri adalah bangkitan kejang yang disebabkan oleh demam di atas

suhu 38oC rectal tanpa disertai infeksi pada sistem saraf pusat atau gangguan

keseimbangan elektrolit akut pada anak berumur lebih dari 1 bulan, tanpa ada

riwayat kejang tanpa demam sebelumnya (The International League Against

Epilepsy (ILAE), 1993).

Sedangkan kejang demam simpleks (KDS) adalah kejang demam yang

berlangsung singkat, <15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berupa

kejang umum tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang demam tidak berulang

dalam 24 jam. Kejang jenis ini merupakan 80% dari seluruh kejang demam.

Pada kasus ini anak kejang selama 2 menit, seluruh badan kaku, mata

mendelik ke atas, saat kejang anak tidak sadar, gigi/ mulut terkunci, sebelum dan

sesudah kejang anak sadar, kejang diprovokasi oleh demam sebelumnya, kejang

berhenti sendiri. Keadaan ini sesuai dengan definisi kejang demam simpleks.

2. Etiologi dan Patofisiologi Kejang Demam Simpleks

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan

listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron

tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.

Unit dasar sistem saraf adalah sel khusus yang dinamakan neuron. Neuron

memiliki perbedaan sangat jelas dalam ukuran dan penampilannya, tetapi memiliki

33
karakteristik tertentu. Neuron memiliki dendrit dan badan sel yang berfungsi

menerima impuls saraf dari neuron di dekatnya dan selanjutnya ditransferkan ke

akson. Pada ujung akson terdapat sejumlah kolateral yang berakhir dalam sinap

terminal. Sinap terminal ini tidak menempel pada neuron yang akan distimulasi

melainkan pada celah sinaptik. Jika suatu impuls saraf berjalan melalui akson dan

sampai di sinap terminal makan akan memicu sekresi neurotransmitter.

Neurotransmitter ini akan berdifusi melewat celah sinaptik dan menstimulasi neuron

selanjutnya.

Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari lipoid di sebelah

dalam dan ionik di permukaan luar. Dalam keadaaan normal, membran sel neuron

dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium

dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya, konsentrasi ion kalium di

dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion natrium rendah, sedangkan di luar sel

neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di

dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial disebut potensial membran

dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi

dan bantuan enzim Na-K-ATPase pada permukaan sel.

Suatu rangsangan pada membran neuron setempat dapat mengakibatkan

peurbahan-perubahan permeabilitas membran, dengan akibat ion-ion natrium

sekarang dapat mengadakan difusi masuk ke dalam sel neuron atau akson.

Masuknya ion-ion natrium bermuatan listrik positif ke dalam sel neuron atau akson

menyebabkan membran tersebut menjadi positif di dalam dan negatif di luar,

sehingga terjadi suatu keadaan yang sebaliknya dari keadaan istirahat dan peristiwa

ini disebut depolarisasi.

Kejang terjadi bila terdapat depolarisasi berlebihan pada neuron dalam sistem

saraf pusat. Depolarisasi berlebihan dapat disebabkan karena gangguan produksi

34
energi yang diperlukan untuk mempertahankan potensial membran (misalnya

kondisi hipoksemia, iskemia, hipoglikemia), ketidakseimbangan neurotransmitter

eksitator dan inhibitor serta interaksi antara kalsium dan magnesium dengan

membran saraf yang menyebabkan hambatan pergerakan natrium sehingga terjadi

peningkatan ion natrium yang masuk ke dalam sel dan depolarisasi.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

a) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya

pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri

dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

b) Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan

hipomagnesemia.

c) Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan

neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.

Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan

kejang.

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,

jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan

menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.

Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,

hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini

akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.

Timbulnya kejang demam juga berhubungan dengan kecepatan peningkatan suhu,

tingginya suhu, dan anatomi bagian otak subkorteks yang peka terhadap perubahan

metabolisme yang terjadi pada peningkatan suhu.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

35
a) Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/

imatur.

b) Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permeabilitas membran sel.

c) Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2

yang akan merusak neuron.

d) Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan

oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar

masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan

meninggalkan gejala sisa. Kejang demam yang berlangsung lama dapat

menimbulkan kerusakan anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis

terutama di daerah yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di

daerah ini merupakan prekursor timbulnya epilepsi lobus temporalis yang berlatar

belakang kejang demam.

Kejang demam dapat berkembang menjadi epilepsi diperkirakan melalui

mekanisme biokimiawi, neurofisiologi, neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan

efek kindling (stimulasi berulang “menurunkan ambang batas” untuk terjadinya

kejang kembali).

Pada kasus ini, kejang didahului dengan demam 39,6oC yang diukur di axiler

anak oleh Ibu menggunakan thermometer. Demam pada anak ini berpotensi

membangkitkan kejang.

3. Faktor Risiko

Kejang demam dapat terjadi karena adanya pengaruh beberapa hal, yaitu:

a) Umur

36
Umur terjadinya bangkitan kejang demam berkisar antara 6 bulan – 5

tahun. Umur terkait dengan fase perkembangan otak yaitu masa developmental

window yang merupakan masa perkembangan otak fase organisasi. Pada usia

ini anak mempunyai nilai ambang kejang rendah sehingga mudah terjadi

kejang demam. Selain itu, keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam

glutamat sebagai eksitator bersifat padat dan aktif, sebaliknya reseptor γ-

aminobutyric acid (GABA) sebagai inhibitor bersifat kurang aktif, sehingga

mekanisme eksitasi lebih dominan daripada inhibisi. Pada otak yang belum

matang, regulasi ion natrium, kalium dan kalsium belum sempurna sehingga

mengakibatkan gangguan repolarisasi setelah depolarisasi dan meningkatkan

eksitabilitas neuron.

b) Suhu Badan

Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya

kejang demam. Anak yang sering menderita demam dengan suhu tinggi

memiliki risiko semakin besar untuk mengalami kejang demam. Perubahan

kenaikan suhu tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan

eksitabilitas neural karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion,

metabolism seluler, dan produksi ATP. Demam menyebabkan peningkatan

kecepatan reaksi-reaksi kimia. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan

mengakibatkan peningkatan metabolism basal 10%-15% dan kebutuhan

oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi berlangsung

lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi keadaan hipoksia.

Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen serta

terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan

konsentrasi ion natrium. Perubahan konsentrasi ion natrium intrasel dan

ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel

37
neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Di samping itu,

demam dapat merusak GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.

Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3oC –

41,4oC. Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh

sekitar 38,9oC – 39,9oC. Suhu tubuh 39,4oC bermakna menimbulkan kejang

disbanding suhu tubuh 38,8oC.

c) Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Faktor-faktor prenatal yang bepengaruh terhadap terjadinya kejang

demam antara lain umur ibu saat hamil, kehamilan dengan eklampsia dan

hipertensi, kehamilan primipara atau multipara, paparan asap rokok saat

kehamilan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat

mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan antara lain

hipertensi dan eklampsia yang dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta

berkurang sehingga terjadi asfiksia pada bayi dan dapat berlanjut menjadi

kejang di kemudian hari. Urutan persalinan dapat menjadi faktor risiko

terjadinya kejang pada bayi. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak

pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pada primipara lebih

sering terjadi penyulit persalinan yang menyebabkan kerusakan otak dengan

kejang sebagai manifestasi klinisnya.

Paparan asap rokok saat kehamilan dapat mempengaruhi terjadinya

kejang demam pada anak. Penelitian Cassan (1990) dan Vestergaard (2005)

menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada masa kehamilan termasuk factor

risiko terjadinya kejang demam sederhana maupun kejang demam kompleks.

Sebaliknya, pengurangan atau pembatasan konsumsi rokok dan alkohol selama

masa kehamilan merupakan usaha yang efektif untuk mencegah kejang demam

pada anak.

38
Faktor natal yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya kejang demam

antara lain adalah prematuritas, asfiksia, berat badan lahir rendah, dan partus

lama. Hipoksia dan iskemia di jaringan otak dapat terjadi pada asfiksia

perinatal. Hipoksia dan iskemia di jaringan otak dapat terjadi pada asfiksia

perinatal. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peningkatan cairan dan

natrium intraseluler sehingga terjadi edema otak. Daerah yang sensitive

terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, thalamus, dan kolikulus

inferior. Daerah yang sensitive terhadap iskemia adalah “watershead area”

yaitu daerah parasagital hemisfer dengan vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia

dapat mengakibatkan kerusakan factor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi

neuron eksitator sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang

memadai.

Perkembangan alat-alat tubuh pada bayi premature kurang sempurna

sehingga belum berfungsi dengan baik. Hal ini menyebabkan bayi sering

mengalami apneu, asfiksia berat, dan sindrom gangguan nafas hingga hipoksia.

Semakin lama terjadi hipoksia, semakin berat kerusakan otak yang terjadi dan

semakin besar kemungkinan terjadi kejang. Daerah yang rentan terhadap

kerusakan antara lain adalah hipotalamus. Serangan kejang berulang

menyebabkan kerusakan otak semakin luas. Infeksi susunan saraf pusat, trauma

kepala, dan gangguan toksik metabolik pada masa pascanatal dapat menjadi

faktor risiko terjadinya kejang demam di kemudian hari.

d) Gangguan Perkembangan Otak

Tahap perkembangan otak dibagi enam fase, yaitu neurulasi,

perkembangan prosensefali, proliferasi neuron, migrasi neural, organisasi, dan

mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase rawan apabila

39
mengalami gangguan, terutama pada fase organisasi, dimana dapat terjadi

gangguan perkembangan dan bangkitan kejang. Gangguan perkembangan,

riwayat keluarga pernah menderita kejang demam, dan riwayat sering

dititipkan pada day care merupakan faktor risiko terjadi kejang demam.

Gangguan perkembangan disertai dua atau lebih faktor risiko di atas

mempunyai risiko 28%-30% untuk terjadi kejang demam.

e) Infeksi Berulang

Seringnya mengalami infeksi merupakan faktor risiko untuk terjadi

kejang demam. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa anak yang sehari-hari

dirawat di tempat penitipan anak memiliki risiko terkena infeksi lebih besar

sehingga lebih sering menderita demam dan meningkatkan risiko terjadinya

kejang demam. Infeksi dengan panas lebih dari empat kali dalam setahun

bermakna merupakan faktor risiko timbulnya bangkitan kejang demam.

Didapatkan bahwa infeksi yang paling sering adalah infeksi saluran nafas dan

gastroenteritis dimana virus lebih banyak menyebabkan infeki dibandingkan

bakteri.

f) Faktor Genetik

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor genetic merupakan

faktor penting dalam terjadinya bangkitan kejang demam. Pada anak dengan

kejang demam pertama, risiko untuk terjadi kejang pada saudara kandungnya

berkisar 10%-45%. Hasil pemetaan terhadap beberapa keluarga dengan riwayat

kejang demam menunjukkan bahwa kejang demam berhubungan dengan

mutasi gen pada kromosom 19p dan 8q13-21; di antaranya pola autosal

dominan.

Menurut penelitian Bahtera T (2007) terhadapt 148 anak yang

menderita kejang demam, didapatkan adanya hubungan mutasi gen pintu kanal

40
voltase ion Natrium (channelopathy) dengan umur, suhu, jarak waktu antara

mulai demam sampai timbul bangkitan kejang, jenis kejang demam saat

bangkitan kejang demam pertama, dan riwayat keluarga (first degree relative)

pernah menderita kejang demam. Mutasi gen pintu kanal voltase ion Natrium

subunit α (SCNIA) mengakibatkan terjadi pergantian asam amino argenin

bersifat polar oleh asam amino alanin yang bersifat nonpolar dan terjadi kodon

stop. Adanya kodon stop mengakibatkan deretan asam amino penyusun pintu

kanal voltase ion natrium lebih pendek. Pergantian asam amino argenin bersifat

polar oleh asam amino alanin bersifat nonpolar dan kodon stop mengakibatkan

fungsi pintu voltase kanal ion natrium terganggu. Mutasi gen pintu kanal

voltase ion natrium subunit α (SCNIA) mempunyai risiko 3,5 kali terjadi

kejang demam berulang sedangkan mutasi gen pintu kanal voltase ion natrium

subunit β (SCNIB) mempunyai risiko 2,8 terjadi kejang demam berulang.3

Faktor risiko yang didapat pada Anak ARN adalah ia masih berada pada

usia 1 tahun 10 bulan, saat demam didaptkan suhu lebih dari 38oC, dengan

didapati fokal infeksi pada tonsil dan faring, serta memiliki riwayat keluarga

ayah, om (adik dari ayah) dan nenek (ibu dari ayah) pernah kejang demam

sebelumnya.

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi penyebab demam, atau keadaan lain yang dapat menjadi penyebab kejang.

Misalnya pemeriksaan darah perifer, elektrolit dan gula darah.

41
Punksi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis. Jika yakin klinis bukan meningitis, maka punksi lumbal

tidak perlu dilakukan.

Mengingat manifestasi klinis meningitis sering tidak jelas pada bayi, maka

punksi lumbal pada bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan, pada bayi usia

12-18 bulan dianjurkan, dan bayi usia lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan.

EEG tidak direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya

kejang atau memperkirakan risiko epilepsi di kemudian hari. Pemeriksaan EEG

dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun

atau kejang demam fokal.

Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang demam

dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan di posterior. Sembilan puluh lima

persen kasus kejang demam EEGnya abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang

demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan

akan menghilang 7 sampai 10 hari kemudian. Walaupun ada abnormalitas gambaran

EEG yang tinggi pada anak dengan kejang demam, namun EEG tidak dapat

memprediksi rekurensi atau riisko untuk terjadinya epilepsy di kemudian hari. AAP

(American Academy of Paediatric) tidak menganjurkan untuk melakukan EEG pada

penderita dengan kejang demam sederhana atau kompleks.

Foto x-ray kepala dan neuropencitraan seperti computed tomography (CT)

atau magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dilakukan. Pencitraan seperti x

ray, CT scan, atau MRI kepala hanya dilakukan jika ada indikasi, seperti kelainan

neurologic fokal menetap (missal hemiparesis), paresis n.VI (n.abdusens) – bola

mata tidak dapat melirik ke lateral, dan adanya papil edema.

5. Penatalaksanaan

42
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:

(1) pengobatan pada fase akut; (2) mencari dan mengobati penyebab; (3) pengobatan

profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

a) Fase Akut/ Saat Kejang

Tujuan pengelolaan pada fase ini adalah untuk mempertahankan oksigenasi otak

yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang,

dan mencari factor penyebab.

Pengelolaan umum: menjaga fungsi vital tetap baik agar oksigenasi otak tetap

adekuat.

Pengelolaan khusus: menghentikan kejang dan mencegah timbulnya kejang

berulang, koreksi kelainan elektrolit dan metabolit bila ada, mencari dan

mengobati penyakit yang mendasari, dan mencegah komplikasi.

b) Pemberian Obat saat Demam

Saat demam diberikan parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kg BB/kali diberikan

4 kali sehari, tidak lebih dari 5 kali sehari. Obat lain: ibuprofen dengan dosis 5-

43
10 mg/kg BB/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetil salisilat tidak dianjurkan terutama

pada usia < 18 bulan karena risiko sindrom Reye.

Diazepam oral 0,3 mg/kg BB tiap 8 jam saat demam dapat menurunkan risiko

berulangnya kejang demam pada 30-60% kasus, begitu pula diazepam rectal 0,5

mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC. hati-hati dengan efek samping

ataksia, iritabel dan sedasi berat yang terjadi pada 25-39% kasus. Fenobarbital,

fenitoin dan karbamazepin saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang

demam.

c) Pengobatan Rumatan/ Pencegahan/ Profilaksis

Pengobatan rumat dibeirkan jika: kejang lama > 15 menit, ada kelainan

neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang misalnya paresis Todd, cerebral

palsy, retardasi mental, hidrosefalus, dan adanya kejang fokal.

Pengobatan rumat dipertimbangkan jika ada kejang berulang dua kali atau lebih

dalam 24 jam, terjadi pada bayi < 12 bulan, kejang demam ≥ 4 kali/ tahun.

Pilihan pertama saat ini ialah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kg BB/hari

dibagi 2-3 dosis; atau fenobarbital 3-4 mg/kg BB/hari dibagi dalam 1-2 dosis.

Asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati pada sebagian kecil

kasus terutama pada usia < 2 tahun; fenobarbital dapat menimbulkan gangguan

perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Pengobatan diberikan sampai

satu tahun bebas kejang; kemudian dihentikan bertahap dalam 1-2 bulan.

2.2. TONSILOFARINGITIS AKUT

Faringitis adalah infeksi akut faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena

letaknya yang sangat berdekatan jarang terjadi infeksi lokal tonsil saja atau faring saja.

Dengan demikian pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis

dan tonsilofaringitis.6

44
Sebagian besar tonsilofaringitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab

tersering adalah adenovirus, virus influenza dan virus parainfluenza. Walaupun

penyebab terbanyak adalah virus namun ada bakteri penyebab yang memerlukan

perhatian khusus karena dapat menyebabkan komplikasi ke jantung dan ginjal yaitu

streptococcus pyogenes atau streptococcus β-hemolitikus grup A.6

Tonsilofaringitis bisa didapatkan keluhan rasa kering atau gatal pada

tenggorokan, malaise, sakit kepala, nafsu makan menurun, biasanya terdapat suhu

yang sedikit meningkat, disfagia, nyeri alih ke telinga dan nyeri tekan. Pada

pemeriksaan fisik bisa didapatkan faring hiperemis dan bengkak, dinding faring

tertutup mukus tebal dan liat, suhu badan naik, dan kelenjar leher membesar sedang

pada tonsil dapat bengkak dan merah. Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat

terjadi leukositosis sebagai tanda infeksi bakterial atau leukopeni sebagai tanda infeksi

virus.7

Diagnosis tonsilofaringitis pada pasien ini dari anamnesis didapatkan anak

tidak nafsu makan yang mungkin sebagai akibat dari nyeri telannya. Dari pemeriksaan

fisik didapatkan tonsil dan faring yang hiperemis. Pada pemeriksaan laboratorium

darah jumlah leukositnya masih dalam batas normal.

Score Mc Issac:

Kriteria Skor

Temperatur > 38oC 1

Tidak ada batuk 1

Pembengkakan kelenjar servikal 1

Pembengkakan dan eksudat tonsil 1

45
Usia 3-14 tahun 1

Usia 15-44 tahun 1

Usia > 45 tahun -1

Mc Issac Score Infeksi S. pyogenes (%)

0 2-3%

1 4-6%

2 10-12%

3 27-28%

4 38-63%

Tatalaksana

 Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan

mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.

 Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang

dapat diberikan.

 Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenger (obat hisap) pada anak

yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat

nyeri yang berlebih atau demam, dapat dibeirkan parasetamol atau ibuprofen.

 Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza, karena

insidens sindrom Reye kerap terjadi.8

Kasus ini didiagnosis banding dengan tonsilisitis akut dan faringitis akut

karena letaknya sangat berdekatan sehingga pada umumnya didapatkan infeksi

keduanya yaitu tonsilofaringitis. Pada pasien ini didapatkan faring yang hiperemis

46
tetapi tonsilnya belum membesar karena infeksinya bersifat akut, jadi tidak menutup

kemungkinan untuk infeksi keduanya.

Pengelolaan

Tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh virus bersifat Self Limiting

Disease, sehingga yang perlu kita lakukan adalah mengedukasi supaya makan tertaur

dan bergizi dan mengambil waktu untuk istirahat. Pada tonsilofaringitis bakteri akut,

penggunaan anti mikroba dapat memperpendek perjalanan penyakit dan insiden

komplikasi menurun. Pada pasien ini diberikan diet cairan dan diet makanan yg cukup.

2.3 GIZI KURANG PERAWAKAN PENDEK

A. Pengertian Gizi Kurang

Gizi kurang merupakan keadaan seseorang yang nutrisinya dibawah rata-

rata.9 Gizi kurang terjadi karena seseorang mengalami kekurangan gizi dalam waktu

yang lama atau karena sakit. Pada kasus ini, seorang anak laki-laki dengan umur 1

tahun 10 bulan mempunyai nilai WHZ -1,74 SD, WAZ -2,46 SD, HAZ -2,18 SD.

Keadaan tersebut menggambarkan bahwa balita masuk kedalam kategori kurus.

Balita dikategorikan kurus apabila indeks berat badan menurut menurut tinggi badan

(BB/TB) -3 SD sampai -2 SD.10 Pengukuran status gizi dengan antropometri dapat

menggunakan menggunakan indikator BB/U, TB/U, BB/TB.

Kategori Status Gizi Menurut Beberapa Indikator. Sumber Kementerian Kesehatan RI

Indeks Kategori Status Gizi (Z-Score)

47
Berat Badan Menurut Umur Gizi Buruk < -3 SD

(BB/UU) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2

SD

Anak Umur 0-60 Bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2

SD

Gizi Lebih >2 SD

Panjang Badan Menurut Umur (PB/U) Sangat Pendek <-3 SD

atau Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Pendek -3 SD sampai dengan <-2

SD

Anak Umur 0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2

SD

Tinggi >2 SD

Berat Badan Menurut Panjang Badan (BB/PB) Sangat Kurus <-3 SD

atau Berat Badan Menurut Tinggi Badan Kurus -3 SD sampai dengan <-2

SD

(BB/TB) Anak Umur 0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2

SD

Gemuk >2 SD

Anak dengan gizi kurang termasuk dalam penyakit kurang energi dan protein (KEP).

KEP merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi Indonesia maupun

banyak Negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika

Selatan. Pada penyakit KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan

48
oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Pada

semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan di samping gejala-

gejala klinis maupun biokimiawi yang khasa bagi tipe penyakitnya.11

Klasifikasi KEP menurut Gomez

Gomez (1956) merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokan

kasus KEP. Klasifikasi KEP menurut Gomez didasarkan pada berat badan menurut usia

(BB/U). Berat anak yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat anak seusia

yang diharapkan pada baku acuan dengan menggunakan persentil ke 50 baku acuan

Harvard. Berdasarkan sistem ini, KEP diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu: derajat

I, II, dan III.11

Derajat KEP Berat Badan/ Usia (%)


I (ringan) 90-76%
II (sedang) 75-61%
III (berat) <60%

Faktor-Faktor Penyebab Penyakit KEP

Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor

yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain: faktor diet,

faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain-lain.

Peranan Diet:

Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tapi kurang protein akan

menyebabkan anak menjadi penderita kwarshiorkor, sedangkan diet kurang energi walaupun

zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus.

Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971) terlihat bahwa

dengan diet yang kurang lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwarshiorkor,

sedangkan pada beberapa anak-anak yang lain timbul gejala marasmus. Mereka membuat
49
kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang penting, tetapi ada faktor lain yang

masih harus dicari untuk dapat menjelaskan timbulnya gejala tersebut.

Peranan Faktor Sosial:

Faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah:

a. Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak

anak dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal.

b. Para pria dengan penghasilan kecil tetapi memiliki banyak istri dan anak,

sehingga dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat memberi cukup makan

pada anggota keluarganya yang besar itu.

c. Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya

pada musim panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang

letak sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak

terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak

mendapat perhatian dan pengobatan semestinya.

d. Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus

meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian bayi tersebut

tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan

tambahan tidak dilakukan dengan semestinya.

Peranan Kepadatan Penduduk

Dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 telah dikemukakan bahwa

meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambah persediaan

bahan makanan setempat yang memadahi merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan

50
kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan

makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya.

Peranan Infeksi

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan infeksi.

Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan,

mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini

sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang

lebih besar daripada sendiri-sendiri.

Peranan Kemiskinan

Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama merupakan

problema bagi golongan miskin dalam masyarakat negara tersebut. Pentingnya kemiskinan

ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun 1974. Mereka

menganggap kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang terjadi bahwa petani

miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, lalu ia

menjadi penggarap yang menurunkan lagi penghasilannya atau ia meninggalkan desa untuk

mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan yang tetap rendah, ketidakmampuan

menanam bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan timbulnya banyak penyakit infeksi

karena kepadatan tempat tinggal. Timbulnya gejala KEP lebih dipercepat.11

Gejala Klinis KEP

Gejala Klinis KEP Ringan

Penyakit KEP ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2 tahun,

akan tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar. Pertumbuhan yang terganggu

dapat dilihat dari:

1. Pertumbuhan linier mengurang atau terhenti

51
2. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, dan ada kalanya beratnya bahkan

menurun.

3. Ukuran lingkar lengan atas menurun.

4. Maturasi tulang terhambat.

5. Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun.

6. Tebal lipat kulit normal atau mengurang.11

Pencegahan KEP

Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau

lebih dari satu faktor dasar penyebab KEP:

1. Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan

menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.

2. Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi energi

untuk anak-anak yang disapih.

3. Memperbaiki infrastruktur pemasaran. Infrastruktur pemasaran yang tidak baik

akan berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan.

4. Subsidi harga bahan makanan.

5. Pemberian makanan suplementer.

6. Pendidikan gizi dengan tujuan untuk mengajar rakyat mengubah kebiasaan

mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan makanan

supaya mereka dan anak-anaknya mendapat makanan yang lebih baik mutunya.

7. Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan melalui BKIA, puskesmas dan

posyandu, imunisasi, dll.11

52
Pengobatan KEP Ringan

Sebagian besar penderita KEP menderita KEP ringan. Bagi mereka perbaikan akan dicapai

dengan mengubah menu makanannya. Sehari-hari mereka harus dapat 2-3 gram protein dan

100-150 kkal untuk tiap kg berat badannya. Sumber protein dan energi cukup diperoleh dari:

1. Makanan pokok setempat, seperti beras, jagung, dan sebagainya;

2. Suplementasi untuk mencapai jumlah protein yang dianjurkan dengan badan

makanan yang mengandung banyak protein dan tidak mahal harganya dan dapat

dibeli setempat atau dibagikan cuma-cuma oleh pemerintah melalui puskesmas atau

posyandu;

3. Perubahan menu makanan harus diusahakan sedemikian hingga dapat diterima oleh

ibunya dan tradisi penduduk dimana anak berada. Dalam prakteknya nasihat

perubahan menu sering-sering ditolah oleh ibunya hingga harus diulangi tiap kali.

Hasil positif yang dapat dilihat oleh ibu dan penduduk lainnya dapat meyakinkan

mereka akan baiknya perubahan demikian.11

53
BAB IV

HASIL KUNJUNGAN RUMAH

HASIL KUNJUNGAN RUMAH

Kunjungan rumah pasien pada tanggal 1 Maret 2014 pukul 16.00 WIB

Keadaan Rumah

Status rumah : ikut orang tua

Ukuran : 13,5 x 8 m

Penghuni : 8 orang

Halaman rumah : tidak ada

Teras rumah : ada

54
Dinding rumah : batu bata, semen sedikit, dicat

Lantai rumah : keramik

Ruangan : 8 ruang (1 ruang tamu, 3 kamar tidur, 1 kamar bermain, dapur,

2 kamar mandi).

Kamar mandi : 2 buah, milik sendiri, ukuran 1,5 m x 1,5 m, air ditampung

dalam bak mandi, dibersihkan tidak setiap hari, terdapat jentik

nyamuk, jamban ada (1), selokan ada mengalir lancar.

Ventilasi : Jendela 1 buah berukuran 1,5 x 1,5 m memadai, tidak sering

dibuka. Ventilasi udara ada 4 berukuran 30 cm x 10 cm: 1 buah

di atas jendela, 1 di atas pintu depan, dan 4 di kamar mandi.

Pencahayaan : pencahayaan kurang

Kebersihan dan kerapihan : kurang

Sumber air : minum : air PAM yang direbus sendiri

Keperluan lainnya : air sumur, jumlah air cukup, kualitas

kurang.

Tempat sampah : ember 2 buah, letak di dapur dan di depan rumah, dibuang ke

sungai, kurang memadai, kecil dan dibiarkan terbuka

Selokan : ada

Kebiasaan sehari-hari

Asuh

55
Pasien tinggal bersama ibu, ayah, dan nenek, kakek dan pamannya. Ayah penderita

seorang lulusan STM. Ayah bekerja sebagai pegawai swasta, Ibu sebagai Ibu Rumah

Tangga. Pasien sehari-harinya diasuh oleh ibunya. Pasien mendapatkan ASI sejak lahir

sampai sekarang, tidak eksklusif karena pada usia 1,5 bulan juga diberikan susu formula.

Jika sakit pasien dibawa ke dokter dekat rumah. Makanan sehari-hari: susu SGM II @ 3

sendok takar dalam 120 cc air, 8-10 x/hari, anak telah makan makanan keluarga berupa nasi,

sayur (wortel/bayam), lauk (telur/ikan/daging/ayam/tempe-tahu) 3 kali sehari habis.

Makanan selalu masak sendiri di rumah. Minuman dari air PAM yang direbus sebelum

dikonsumsi. Alat makan dicuci dengan air sumur pompa dengan sabun, selalu mencuci

tangan sebelum makan. Anak tidak memakai botol susu untuk minum susu tetapi

menggunakan gelas, karena anak tidak menyukai memakai botol susu.

Mandi 2 kali sehari dengan air PAM dan sabun, pakaian kotor dicuci tiap hari. Rumah

disapu setiap hari dan di pel seminggu sekali. Tempat sampah 2 buah, berbentuk ember,

kecil di dapur dan di depan rumah, tidak ada tutupnya, dibuang ke sungai. Dapur digunakan

untuk menyimpan peralatan masak yang jarang digunakan dan merebus air, sehingga dapur

terlihat kotor dan berantakan.

Asih

Kasih sayang diberikan terutama oleh ibu dan ayah. Ayah bekerja sebagai pegawai

swasta. Jam kerja mulai dari jam 7 pagi hingga 5 sore. Selama ayah bekerja anak bersama

ibunya. Ketika sore dan malam anak bersama orang tua.

Asah

Stimulasi mental terutama diberikan oleh ibu dan ayahnya, yang masing-masing
56
lulusan SMA, dan STM. Biasa bermain dengan ibunya selama di rumah. Mainan yang biasa

dimainkan berupa bola-bola, mobil-mobilan, dan puzzle.

Lingkungan

Rumah pasien terletak di kawasan Talang Barat II, dekat Tugu Suharto, Sampangan.

Rumah ukuran kecil, bersebelahan dengan rumah lainnya. Rumah yang satu dengan yang

lain berdempetan dalam lingkungan yang padat penduduk.

Rumah pasien berdinding tembok, lantai memakai keramik, 2 jendela di bagian depan

ruang tamu serta 2 ventilasi kecil, pertukaran udara di rumah kurang, pencahayaan kurang.

Terdapat barang-barang berserakan di dalam rumah, di dapur banyak terdapat

tumpukan peralatan masak sampah. Jalan di depan rumah berupa jalan plester semen dengan

lebar ± 2 meter, dapat dilalui 1 mobil.

DENAH RUMAH

Luas rumah : 9 x 6 m2

K.Mandi

Pintu
Dapur
Dapur

K.Tidur
Gudang K.Tidur

57
R.Tamu R.Tamu

Pintu
K.Mandi

Teras
K.Tidur

Warung

Dokumentasi saat kunjungan rumah

Kamar tidur

58
Kamar tidur

Di ruang tamu bersama penderita, ibu dan ayah penderita

Jendela depan

59
Dapur

Kamar mandi

BAB V.

RINGKASAN

Seorang anak laki-laki berumur 1 tahun 10 bulan dibawa orang tuanya ke RSUD

Kariadi dengan keluhan demam, batuk (+), pilek (+). 6 hari panas bertambah tinggi, terus

60
menerus, tidak menggigil, batuk, pilek, tidak sesak. 5 hari sebelum masuk rumah sakit, anak

demam kemudian anak kejang, kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku, selama ± 2

menit, selama kejang anak tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang anak sadar. Anak dibawa

berobat ke dokter umum, lalu diberi obat penurun panas, panas reda tapi setelah itu naik lagi.

Karena panas tidak kunjung turun, anak dibawa berobat ke RSUD Kariadi.

Riwayat kejang sewaktu demam sebelumnya tidak ada. Riwayat anggota

keluarga ada yang mengalami kejang sewaktu demam ada, riwayat kejang tanpa demam

sebelumnya disangkal, riwayat trauma kepala dan penurunan kesadaran sebelumnya

disangkal. Anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak sadar, kurang aktif, dan tidak kejang.

Secara umum, anak demam, tanda vital lain dalam batas normal, tidak didapatkan tanda-

tanda defisit neurologik. Didapatkan batuk, discharge encer jernih pada hidung, tonsil dan

faring hiperemis. Status internus, dula darah sewaktu, dan elektrolit anak dalam batas

normal. Pada pemeriksaan darah didapatkan anak anemia mikrositik. Antropometri menurut

WHO, WAZ = -2,46 (berat badan kurang), HAZ = - 2,18 (perawakan pendek), WHZ = -

1,74, Anak gizi kurang perawakan pendek. Perkembangan anak sesuai umur, penghitungan

KPSP = 10.

Penderita didiagnosis dengan kejang demam simpleks, febris 6 hari

(tonsilofaringitis akut), gizi kurang perawakan pendek, dirawat di bangsal anak selama 3

hari. Selama perawatan tidak terjadi kejang berulang. Tonsilofaringitis akut sebagai

penyebab timbulnya panas yang mencetuskan kejang sudah mengalami perbaikan. Penderita

pulang dalam keadaan baik, tidak demam. Ibu disarankan untuk menyediakan obat penurun

panas dan memeriksakan ke dokter bila terjadi infeksi yang akan menyebabkan suhu tubuh

meningkat sehingga mencetuskan terjadinya kejang, serta menjamin anaknya agar terus

mendapat asupan makanan yang bergizi dan cukup, dan menjaga kebersihan pribadi maupun

lingkungan.

61
BAGAN PERMASALAHAN

Kuratif Preventif Promotif Rehabilitatif


Medikamentosa: Cegah infeksi, Pengetahuan Memberikan
Pemutus Kejang pantau gizi anak, kejang demam, makanan seimbang
Pengobatan dan peningkatan demam dg TFA agar kebutuhan gizi
Deteksi dini: suportif. suhu anak. anak tetap terpenuhi,
dan gizi kurang
1. Anamnesis: Febris 6 hari Turunkan panas,
 Kejang Demam cegah kejang.
FAKTOR Pemeriksaan Fisik:
RISIKO Internus :dbn.
Tonsil dan faring
Pola asuh ortu: Tipe anak hiperemis. Penatalaksanaan Komprehensif
demokratis Pemeriksaan neurologis: Diagnosis
tidak ada kelainan.  Diagnosis Utama: Demam dg TFA
Riwayat Pemeriksaan penunjang: dan Kejang Demam Simpleks
Prenatal (-) Darah: anemia mikrositik  Diagnosis Comorbid: -
hipokromik. Urin rutin  Diagnosis Komplikasi: Gizi Kurang TUMBUH
dbn; serologi: Tubex pos 4  Diagnosis Pertumbuhan: Perawakan
Natal (-) pendek, berat badan kurang, garis KEMBANG
2. KPSP anak :10 sesuai ANAK
pertumbuhan T3
tahapan perkembangan
Postnatal (-)  Diagnosis Gizi: Gizi kurang OPTIMAL
3. Pemeriksaan
 Diagnosis Perkembangan:
Antropometri: Berat
perkembangan sesuai umur
badan kurang, perawakan
Genetik (+)  Diagnosis Imunisasi: imunisasi dasar
pendek
lengkap sesuai usia
4. Garis Pertumbuhan: T3
 Diagnosis Sosial-Ekonomi: sosial
(loss of growth)
ekonomi kurang
5. Status Gizi : kurang
Kebutuhan Dasar 6. Imunisasi sesuai umur
Anak
Penatalaksanaan Holistik

Asuh
Diasuh oleh ibu ayah.
Asih Asah
Makanan kurang Kualitas dan Stimulasi Mikrosistem Minisistem Mesosistem Makrosistem
berkualitas. Pengobatan kuantitas waktu oleh ibu ayah Pengetahuan ibu tentang interaksi anak dengan informasi infeksi, Program imunisasi
sederhana sewaktu sakit. bersama kesehatan dan tumbuh ayah, anak seusianya. penanganan kejang pemerintah, sosial
Sarana Pengobatan keluarga : Baik kembang anak Pengetahuan Ventilasi dan demam, budaya masyarakat.
penanganan sederhana anak pencahayaan kurang. tonsilofaringitis, dan Tata kota dan
terjangkau 62
sewaktu sakit, ditingkatkan. Higenitas perlu gizi kurang pemukiman.
ditingkatkan
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S. KPPIK-XI, 1983, Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak.1999.

2. Puspanegoro HD. Konsensus penganganan kejang demam. Unit Kerja Koordinasi


Neurologi Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta :IDAI. 2005 : 1-14
3. Bahtera, Tjipta. Kejang demam edisi 9. Semarang : Badan penerbit Universitas
Diponegoro Semarang.2009.
4. Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile Seizures: a clinical review. BMJ 2007; 334: 307 – 11
5. Soetomenggolo TS et.al. Kejang Demam. Buku Ajar Neurologi Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
6. Adams, G.L. Boies. Buku Ajar Penyakit THT . Ed.6. EGC. Jakarta, 1997.
7. Soepardi E.Arsyad, Iskandar Nurbaiti, editor. Penyakit serta kelainan faring dan tonsil.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5, Gaya
Baru. Jakarta: 2001.
8. McIssac WJ et al. CMAJ 2000; 163; 811-5. Rhinotonsilifaringitis Akut dalam Modul
Respirologi. Kolegium IKA. 2008.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ed.1. Badan
Penerbit IDAI. 2005 : 109-113.
10. Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin. Alih bahasa : Wahab A. Samik. Nelson Textbooks
of Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak volume 2 edisi 15. Jakarta. EGC, 2000: 970 – 3.
11. Solihin Pudjiadi. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi 4. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:
2001.

63

Anda mungkin juga menyukai