Anda di halaman 1dari 3

Nasib HMI dalam Pusaran Ambisi Kekuasaan

Oleh Salim*

Sudah 72 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengabdi kepada


negara Indonesia. Perjuangan HMI dalam meraih kemerdekaan Indonesia sudah
tak dapat dibantah lagi oleh sejarah. Mulai dari perjuangan secara fisik hingga
pemikiran yang brilian tentang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan (Sitompul: 1986:
60). Namun, HMI bukanlah benda yang tahan uji ataupun tahan banting. Fase ke
fase, HMI menemukan dinamikanya sendiri, termasuk pecahnya HMI dalam
menghadapi pemberlakuan asas tunggal menjelang kongres ke XV (25/05/1983).
Sejak saat itulah denyar-denyar kemunduran sudah kian merebak di tubuh HMI.
Hal itu ditandai oleh kurang diminatinya HMI di kalangan mahasiswa, hingga
bercokolnya orang-orang yang menyerahkan batang leher HMI di tiang
gantungan kekuasaan.

Janji sejarah kepda HMI bahwa, era saat ini (2006-saat ini) adalah era
kebangkitan seakan paradoksal dengan realita yang ada. Para kader HMI lebih
mementingkan jabatan daripada keberlangsungan kaderisasi dan masa depan HMI
di masa-masa yang mendatang datang. Sebut saja polemik tentang penurunan
Ketua Umum Pengurus Besar HMI (Ketum PB HMI) beberapa hari lalu
(jarrak.id/27/12/18). Terlepas dari kasus amoral yang menjerat Ketum PB, tidak
dapat dipungkiri bahwa banyak kepentingan kelompok tertentu yang hasrat ingin
berkuasa di HMI dengan memanfaatkan aib keluarga HMI sendiri. Pengurus
Besar HMI bukan lagi memikirkan bagaimana kabangkitan HMI disegerakan
dengan menghadirkan iklim perkaderan yang kondusif, melainkan getol
mempersoalkan siapa yang harus memimpin dan siapa yang harus hengkang dari
jabatan kepengurusan HMI. Ini merupakan egoisme akut yang semakin memukul
mundur HMI.
Egoisme di dalam tubuh HMI saat ini menjadikan HMI terbelah menjadi
dualisme perspektif. Kabar tentang perpecahan di kalangan pengurus sangatlah
tidak mendidik dan memalukan. Berita dan petisi-petisi yang datang silih berganti
sangat membingungkan, bahkan terkesan sangat politis di kalangan kader
manapun. Bagaiman tidak, HMI adalah organisasi mahasiswa tertua di Indonesia,
dan, sekarang kadernya berperang sesamanya, sungguh jahiliyah di abat modern.
Sehingga hal ini menjadikan era kebangkitan yang diharapkan bersama menjadi
utopis menghadapi Firaun-Firaun kecil yang memandang HMI adalah lembah
yang produktif bagi isi perut mereka. Sungguh, kemajuan HMI lebih maya
daripada fatamorgana berada di tangan renkarnasi anak-cucu Abu Sufyan, yaitu
Dinasti Umayyah.

Bila direnungi sejenak, sepak terjang Pengurus Besar, seakan memaksa


ingatan kita kembali kepada sejarah pra-Islam pada 7 M silam. Di mana masa
Jahiliyah di lembah Mekah saat itu adalah pertaruhan kekuasaan antar saudara.
Saat itu, kuasaan adalah hajat utama kaum Quraisy daripada menyerahkan nasib
bangsa Mekah di tangan seorang Muhammad saw. (Husen Haikal: 1994: 238).
Tentu bukan berarti penulis mempunyai tendensi kepada Ketua Umum PB yang
kasus amoralnya merebak ke mana-mana. Akan tetapi, bagi sekelas pengurus,
baik PB ataupun tingkat cabang hingga komisariat, seharusnya bisa mengadopsi
sikap Nabi Muhammad saw. saat dihadapkan kepada tahta dan kekuasaan.

Kekuasaan bagi Nabi Muhammad saw. bukanlah suatu tujuan yang harus
diperjuangkan tanpa memperhatikan nasib bangsa. Hal itu terbukti dan sangat
dikenal oleh umat Islam saat awal-awal Nabi saw. menyebarkan Islam kepada
keluarga dan sanak saudaranya. Ia diminta berhenti menyebarkan Islam dan akan
diberikan tahta yang paling tinggi di kalangan quraisy, harta yang melimpah dan
wanita-wanita jelita dan menawan. Namun jawaban beliau sungguh mengejutkan
para penguasa Mekah, ia memilih meneruskan dakwahnya atas nama kemunisiaan
yang dirantai oleh Umayyah dan antek-anteknya, “Andaikan matahari diletakan
di tangan kananku wahai Paman, dan bulan di tangan kiriku, demi Allah, saya
tidak akan meninggalkan perkari ini, atau saya binasa.” (Ghazali:2008: 237).
Itulah jawaban Nabi saw. terhadap tawaran yang begitu menggiurkan yang
diajukan oleh para penguasa Mekah.

Nah, sebagai Pengurus Himpunan terbesar di tanah air ini, yang tentunya
berlabelkan Islam, harusnya tidak menutup mata dari fakta sejarah tentang Nabi
Muhammad saw. di atas. Harusnya, demi keberlangsungan masa depan HMI, para
pengurus bahkan kader HMI harus bisa berpuasa. Puasa dalam artian tidak
bernafsu untuk berkuasa, menjaga nama baik, kaderisasi dan suasana kedewasaan
berpikir. Oleh karena itu, hal ini merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh
semua lapisan kader HMI. Selain demi internal kader sendiri, tentunya demi
bangsa Indonesia. Karena selama ini HMI telah menyumbang banyak perjuangan
kepada Indonesia dalam menggapai kemerdekaan, serta mencetak kader-kader
bangsa yang terbaik dan berkualitas.

Akhirnya, tiada jalan lain untuk memperbaiki Himpunan yang sudah menua
ini, selain kembali kepada kesadaran diri masing-masing. Menundukan sifat egois
dan kembali kepada idealisme HMI, dan, mengekang nafsu ambisi kekuasaan
yang dapat melumat nama besar HMI dan kemudian kembali kepada khittah awal,
yaitu berfokus mengkader dan dikader demi terbinanya manusia-manusia yang
akademis, bertakwa, kreatif dan dapat bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil dan makmur serta diridhai Allah swt. Terakhir dari penulis, untuk
meredam egoisme dalam diri, ada baiknya merenungi kembali dan mencontoh
kebesaran hati Abu Sufyan dalam mengakui bahwa Muhammad saw. layak
memimpin bangsa Mekah. Fatadabbar!

Anda mungkin juga menyukai