Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti infeksi
pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar liur, telinga tengah atau bisa juga
akibat trauma pada saluran cerna, limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi
secara intravena dan subkutan. Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan
angka kesakitan dan kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis.
Walaupun demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah satu
kasus kegawatdaruratan di bidang THT.1,2

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,


Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina ludovici.1

Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua
setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia
adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun. Abses parafaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ruang
parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Gejala klinis berupa demam, nyeri
tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus,
pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding lateral
faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos
jaringan lunak leher dan tomografi komputer.1,3,4

Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan
drainase. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman
aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang

1
timbul. Drainase abses dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu insisi
eksterna dan intra oral.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.1
Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar dan memanjang.
Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior,
media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk seperti kipas dengan
tiap bagian bawahnya menutupi
sebagian otot bagian atasnya
dari belakang. Di sebelah depan
otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan di belakang bertemu
pada jaringan ikat. Kerja otot
konstriktor ini adalah untuk
mengecilkan lumen faring dan
otot-otot ini dipersarafi oleh
nervus vagus.1,4
5
Gambar 1. Struktur muskulus penyusun faring
Otot-otot faring yang
tersusun memanjang terdiri dari m.stilofaring dan m.palatofaring. M. stilofaring
gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring

3
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini
penting untuk proses menelan. 1
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang -kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna
(cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri
maksila interna yakni cabang palatina superior.1

Gambar.2 Pendarahan faring5


Untuk keperluan klinis
faring dibagi menjadi 3 bagian
utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau
hipofaring. Nasofaring
merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak
kecuali palatum mole di bagian
bawah. Orofaring terdapat pada
Gambar 3. Bagian-bagian Faring6 bagian tengah faring, meluas dari
batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Hipofaring
merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas
yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.1,2

4
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :

1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal.1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral
faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen
jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius
spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan
foramen laserum dan muara tuba eustachius.1
2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. 1
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah
valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman
atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara
glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus
piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior
adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina
krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus. 1
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,
maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian

5
ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang,
kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.1

2.2.Ruang Parafaring
Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang
faringeal lateral atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik
dengan dasarnya pada bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada
inferior tulang hyoid. Batas ruang ini adalah dasar tengkorak di bagian superior
(pars petrosus os temporal dan os sphenoid), os hyoid di inferior, rafe
pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di posterior, fasia bukofaringeal
di medial dan lapisan superfisial fasia servikal profunda yang meliputi mandibula,
pterygoid medial dan parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan dengan
beberapa ruang leher dalam termasuk ruang submandibula, ruang retrofaring,
ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian
yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen anterior
atau muskuler atau prestyloid dan komponen posterior atau neurovaskuler atau
poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan
konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di medial dan pterygoid medial di
sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v. jugularis interna, n.
vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis dan saraf

6
kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu
lapisan yang tipis.4,5,6

Gambar 4. Potongan koronal melalui ruang parafaring.5

2.3 Fungsi Faring

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase
oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut
menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada
waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja
(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. 1
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke
arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan

7
melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring
(bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring
superior.1

2.4. Abses parafaring

a. Defenisi
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua setelah
abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia adalah 1
dalam 6-10.000 orang setiap tahun.3
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan
kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh
angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).7
Fachruddin melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-
Desember 1993 di bagian THT FKUI-RSCM dengan rentang usia 15-35 tahun
yang terdiri dari 20 laki-laki dan 13 perempuan. Ruang potensial yang tersering
adalah submandibula sebanyak 27 kasus, retrofaring 3 kasus dan parafaring 3
kasus. 7
Di sub bagian laring faring FK Unand/RSUP M Djamil Padang selama
Januari 2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses leher dalam sebanyak 47
kasus, dengan abses submandibula menempati urutan ke dua dengan 20 kasus
dimana abses peritonsil 22 kasus, abses parafaring 5 kasus dan abses retrofaring 2
kasus. 7

8
b. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) Langsung, yaitu
akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman
menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dari fosa tonsilaris. 2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian
dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinusparanasal, mastoid dan vertebra servikal
dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3)
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.1

c. Patologi
Sekali terjadi infeksi dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak segera
terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang paling lemah. Dari
sana dapat mengalir ke atas, ke bawah atau ke lateral, mengikuti ruang-ruang
fasia. 8
Infeksi leher dalam merupakan selulitis fregmentosa dengan tanda-tanda
setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan
yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu
selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi suatu trombosis dari vena
jugalaris interna. Abses dapat mengikuti m.stiloglosus ke dasar mulut dimana
terbentuk abses. 8
Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke
bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis
v.jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke
atas sepanjang pembuluh-pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial
atau erosi a.karotis interna. 8

9
Gambar 5. Skema Perluasan Infeksi pada ruang potensial leher. 7
(PMS = ruang faringo maksilar, VVS = ruang vaskuler visceraal)

d. Manifestasi Klinis

Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan dengan nyeri


tekan di daerah submandibula terutama pada angulus mandibula, leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dan adanya demam. Terlihat edem uvula, pilar tonsil,
palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan
pada abses peritonsil, hanya tonsl yang terdorong ke medial.8
Trismus yang dapat disebabkan oleh meregangnya m.pterigoid internus
merupakan gejala yang menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di
dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang melekat padanya sehingga tidak
mengenai m.pterigoid internus. 8

e. Diagnosis

Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.


Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa fotorontgen,
jaringan lunak AP atau CT scan.1

10
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua
posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis,
cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.4
Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan
antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan
untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau
pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat
membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya
daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan
edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi
dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian antibiotika yang
sesuai.1,4,

Gambar 7. Gambaran CT-scan; A. Tampak abses parafaring (panah), B. Selulitis


pada abses parafaring dengan abses di ruang masseter.6

f. Tatalaksana

Tatalaksana absen parafaring dilakukan dengan medikamentosa dan terapi


bedah. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman
aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinik yang
timbul. Terapi bedah dapat dilakukan dengan 2 cara pendekatan eksternal atau
intra oral.4
Jika terdapat pus maka tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.
Sebelumnya diperlukan tirah baring dan kompres panas untuk menekan lokalisasi
abses. Terapi antimikroba sangat perlu, lebih baik berdasarkan tes sensitivitas.8

11
1. Pemberian antibiotika
Banyak mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab infeksi kepala dan
leher, dan berasal dari berbagai sumber. Flora bakteri campuran sering ditemukan
pada hasil kultur. Bakteri gram positif, streptococcus beta hemolitik dan
staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering ditemukan. Bakteri gram
negatif dan juga anaerob juga sering ditemukan. Anaerob biasanya ditemukan
terutama pada infeksi-infeksi akibat penyebaran dentogen. Bakteri-bakteri
penghasil beta laktamase ditemukan meningkat frekuensinya pada infeksi kepala
dan leher. 6
Dengan insidensi bakteri gram negatif dan bakteri penghasil beta laktamase
yang tinggi, penisilin bukan lagi merupakan obat pilihan untuk kasus infeksi ini.
Sebelum hasil kultur dan uji sensitifitas didapatkan, antibiotik yang digunakan
adalah yang memiliki spektrum terhadap bakteri gram positif, gram negatif,
anaerob dan penghasil beta laktamase. Biasanya diberikan kombinasi antibiotik,
seperti klindamisin dan cefuroxime serta ampisilin dan sulbaktam, sebagai pilihan
yang paling baik. 6
2. Drainase abses
Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainase untuk
penyembuhan dan mencegah komplikasi. Tindakan drainase pada abses parafaring
dilakukan dengan dengan pendekatan eksterna dan intra oral.
a. Insisi intraoral
Insisi intra oral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring, dilakukan
anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase.
Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan dengan
memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor
faring superior ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan dari insisi eksternal.1,8
b. Insisi eksterna
Insisi ekterna jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan yang
jelas. Drainase eksterna dilakukan secara teknik Mosher yaitu insisi seperti huruf
“T” yang dilakukan pada 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul
eksplorasi dilanjutkan dari anterior m. sternokleidomastoideus ke arah kranio-

12
posterior menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai ruang
parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah terdapat di selubung
karotis, insisi dilanjutkan secara vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke
bawah di depan m. sternokleiodomastoideus.1,4,8,9
g. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum, sehingga terjadi mediastinis dan bisa berlanjut menjadi sepsis.1
Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris
adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septik
vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi
arteri karotis interna.4
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sindrom horner dan obstruksi jalan
napas.9

13
BAB III

KESIMPULAN

Abses parafaring adalah merupakan salah satu abses leher dalam paling
sering terjadi kedua setelah abses peritonsilar. Ruang parafaring dapat mengalami
infeksi dengan berbagai cara diantaranya dengan cara langsung akibat komplikasi
tonsilektomi, proses supurasi, maupun akibat penjalaran infeksi dari abses leher
dalam yang lain.
Gejala utama dari abses parafaring ialah trismus, odinfagia, dan demam
tinggi. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan indurasi atau pembengkakan
disekitar angulus mandibula, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial. Kemudian pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan
Tatalaksana absen parafaring dapat dilakukan dengan medikamentosa
dengan antibiotik atau terapi bedah..

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi keenam.
Jakarta: FKUI, 2007, h. 226 - 230.
2. Novialdi dan Triana, Wahyu. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan
intubasi dan komplikasi fistula faringokutan. Padang: Bagian THT-KL FK
UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2011, h. 1 - 7.
3. Erdogliza M, Sotirovic J, dan Grgurevic U. A severe case of parapharyngeal
abscess treated as a spastic torticollis. Dalam Medical review. Volume ketiga.
Milan: 2011, h. 387-389
4. Adams, L george. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams L,
Boies L, Higler P. Boies buku ajar penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC,
1997, h 320-355
5. Probst R, Grevers G dan Iro H. Basic otorhinolaryngology a step by step learning
guide. New York: Thieme, 2006, h 97-130
6. Tom, Lawrence. Disease of oral cavity, Oropharynx and Nasopharynx. Dalam:
Snow J dan Ballenger J. Ballenger’s otorhinolaryngology. Edisi enam belas.
Ontario: Bedecker, 2003, h1020-1047
7. Novialdi dan Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses mandibula dengan penyulit
uremia dan infark miokardium lama. Padang: Bagian THT-KL FK
UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2010, h. 1 - 7.
8. Ballenger, J. Leher, orofaring dan Nasofaring, Dalam Snow J dan Ballenger J.
Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina
Rupa Aksara, 1991. Hal: 295-324
9. Amar Y dan Manoukian J. Intraoral drainage: Recommended as the initial
approach for the treatment of parapharyngeal abscesses. Canada: Department of
ENT McGill University, 2003, h 676-680

15

Anda mungkin juga menyukai