Anda di halaman 1dari 3

Lettu Anumerta Achmad Kirang (lahir 8 November 1949 – meninggal di Bandara Don Muang,

Thailand, 31 Maret 1981 pada umur 31 tahun) adalah seorang tentara Indonesia yang gugur dalam
operasi pembebasan sandera di pesawat Garuda DC-9 "Woyla" pada hari Selasa, 31 Maret 1981 di
Bandara Don Muang, Thailand.

JUMAT pagi, di Bandara Talang Betutu, Palembang, 28 Maret 1981. Seperti biasa, Kapten
Herman Rante, pilot berusia 38 tahun bersiap-siap menerbangkan pesawat yang
dikemudikannya. Setelah transit di Palembang, pesawat DC-9 Garuda “Woyla” bernomor
penerbangan 206 rute Jakarta-Medan itu akan menuju Bandara Polonia.

Beberapa menit setelah lepas landas, terdengar kegaduhan dari arah belakang. Lima laki-laki
telah menguasai pesawat bagian tengah. Seorang dari komplotan itu menuju kokpit. Pistol
jenis revolver cal 38 ditodongkan ke kepala Herman Rante. Herman Rante menyadari
pesawat yang dikemudikannya sedang dibajak.

Secara sembunyi-sembunyi, Herman Rante sempat mengirim sinyal kepada pesawat terdekat.
Beruntung, sinyal itu ditangkap oleh Kapten A. Sapari, pesawat Garuda F -28 yang baru
terbang dari Pekan Baru. “Dan ketika kedua pilot itu berhubungan, Sapari mendengar suara
Herman yang gugup. Herman berbicara, “Being hijacked . . . being hijacked . . .,”
(“Dibajak…dibajak”-red) dilansir Tempo, 4-11 April 1981.

Dari kontak itu, berita pembajakan Garuda 206 “Woyla” mencuat hingga Jakarta. Saat itu
hampir seluruh petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sedang mengikut
Rapimnas tahunan di Ambon, kecuali Pangkopkamtib, Laksamana Soedomo. Mendengar
berita dari Soedomo, Menteri Pertahanan Jendral M. Jusuf meminta Asisten Intelijen Hankam
merangkap Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Letnan Jendral Benny Murdani untuk
kembali ke Jakarta.

Reaksi Soeharto

Di Jalan Cendana, Jakarta, Benny Murdani bersama Soedomo melapor kepada Presiden
Soeharto. Benny memohon izin untuk melaksanakan opsi militer. Julius Pour dalam Benny
Murdani: Profil Prajurit Negarawan, mengutip percakapan antara Benny Murdani dan
Soeharto kala itu.

“Kamu sudah perkirakan, kemungkinan berhasilnya,” tanya Soeharto

“Fifty-fifty, Pak,” jawab Benny

“Laksanaken,” Presiden Soeharto merestui.

Benny Murdani segera menunjuk Letnan Kolonel Sintong Panjaitan menjadi komandan
operasi. Sintong merupakan komandan Grup IV/Sandiyudha, Kopassandha (sekarang
Kopassus).

Operasi Antiteror
Sementara itu, pesawat yang tadinya menuju Medan, dialihkan rutenya menuju Thailand. Di
Bandara Don Muang, Bangkok, 42 penumpang yang disandera mendapat intimidasi.
Pendingin ruangan dalam pesawat dimatikan. Akibatnya, banyak penumpang kepanasan dan
menjadi lemas. Tiap perlawanan atau gerakan mencurigakan dari sandera pria tak jarang
dibalas tempelengan dari pembajak, seraya mengancam akan meledakan pesawat dengan
granat. Menurut Kompas, 3 April 1981, selain pistol dan senjata tajam, pembajak juga
membawa alat peledak berupa dua stick dinamit, sebuah TNT ukuran 5x5x7, sebuah granat,
dan satu detonator.

"Benda-benda berharga penumpang seperti dompet dan perhiasan dilucuti kelompok


pembajak. Seorang penumpang bernama Emma (21 tahun), hanya bisa pasrah ketika seorang
pembajak melucuti gelangnya seberat 20 gram, arloji, dan uang tunai Rp 300.000," dilansir
Angkatan Bersenjata, 2 April 1981.

Menurut B. Wiwoho dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah, dua dari kawanan
pembajak juga melakukan tindakan pelecehan kepada beberapa penumpang perempuan. Di
Bangkok, Kepala Badan Kordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Jenderal Yoga Sugomo
menjadi perwakilan Indonesia sebagai negosiator. Yoga hendak mengulur waktu sembari
Benny Murdani dan Sintong mempersiapkan pasukannya. Kepada Yoga, pemimpin pembajak
mengajukan tuntutannya:

Pembajak meminta agar rekan-rekannya yang tertangkap dalam Peristiwa Cicendo


dibebaskan. Peristiwa yang dimaksud adalah penyerangan pos polisi di Cicendo, Bandung
yang dilakukan pemuda-pemuda kelompok Jamaah Imran, sebuah perkumpulan Islam radikal
pada 11 Maret 1981. Selain itu, “… Uang tebusan sebesar 1,5 juta dolar, serta sebuah
pesawat untuk menerbangkan para pembajak dan rekannya yang telah dibebaskan ke suatu
tujuan yang belum diketahui (diperkirakan Libya),” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak
Tabir Dunia Intelijen Indonesia.

Setelah Yoga berunding dan berjanji tuntutan pembajak akan terpenuhi pada keesokan pagi,
pasukan Sintong bergerak membebaskan pesawat, pada pukul 02.00 dini hari, 31 Maret 1981.
Sebelumnya sempat terjadi perdebatan pasukan mana yang akan melakukan operasi: ABRI
atau Tentara Kerajaan Thailand. Namun setelah diadakan simulasi pembebasan, ternyata
pasukan Sintong jauh lebih cepat daripada tentara Thailand.

Operasi pembebasan berjalan sukses. Meski demikian baku tembak tak terhindarkan. Saat
penyergapan, seorang pembajak menembakan pistolnya yang mengenai Herman Rante yang
duduk di bangku kemudi sebelah kiri. “Rante ditembak pembajak yang menjaga bagian
kokpit pada pelipis kirinya, ketika bereaksi dengan coba memutar badan ke belakang,” tulis
B. Wiwoho. Kendati sempat mendapat perawatan, Rante meninggal enam hari kemudian.

Di pihak Kopassus, seorang prajurit gugur dalam penyergapan itu. Namanya Ahmad Kirang,
seorang Calon Perwira (Capa). Saat pasukan penyergap mendobrak pintu belakang Kirang
dengan cepat menaiki tangga hidrolik. Namun malangnya dia langsung terkena tembakan di
bagian bawah perut nya yang tak dilindungi rompi antipeluru.

Dalam biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit karya Hendro Subroto,
tembakan terhadap Kirang diakibatkan pintu hidrolik yang terbuka secara mekanis dengan
memakan waktu yang cukup lama. Ketika pintu terbuka, pembajak telah bersiap melepaskan
tembakan.
Tiga pembajak tewas seketika. Sedangkan dua lainnya tewas setelah mengalami luka berat.
Sesaat sebelum meninggal salah seorang pembajak yang sekarat, seperti dikutip Kompas, 4
April 1981, diketahui bernama Wendi sempat mencatat identitas semua anggota
kelompoknya. Nama-nama itu ditulis pada secarik kertas yang disodorkan kepadanya oleh
petugas keamanan Angkatan Udara Thailand. Mereka antara lain: Fahrizal (pemimpin
pembajakan), Abu Sofyan, Abdullah, Zulfikar, dan Wendi. Wendi tak lain merupakan adik
kandung dari Imran.

Menurut Laksamana Soedomo, dalam konferensi pers dikutip Angkatan Bersenjata, 1 April
1981, kelompok pembajak ini melakukan aksi-aksi yang memaksakan kehendaknya untuk
mendirikan agama Islam di Indonesia. Imran bin Muhammad Zein divonis mati oleh
pengadilan karena didakwa sebagai otak dibalik aksi teror dan pembajakan pesawat Garuda
Woyla tersebut. Dia akhirnya dieksekusi pada 1985.

Anda mungkin juga menyukai