Anda di halaman 1dari 8

Nama Kelompok:

1. Sururi Ulyaul Robiqi


2. Silfiyatun Nisa
3. Ira Khirun Niha
4. Giyanti

Jenis Wacana

A. Segi saluran Komunikasi


Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi,
wacana dapat diklarifikasikan menjadi dua, yaitu wacana tulis dan
wacana lisan. Wacana tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat
yang disusun dalam bentuk tulisan atau ragam bahasa tulis. Wacana
tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang
dituliskan, dan penerapan sistem ejaan (Rani dkk. dalam Rusminto,
2009: 14).
Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan dengan bahasa
lisan atau lewat media lisan. Untuk dapat memahami wacana lisan,
sang penerima atau pesapa harus menyimak atau mendengarkannya.
Wacana lisan biasanya merujuk pada komunikasi lisan antara dua
pihak yang biasanya melibatkan dua orang atau lebih pembicara, yang
disebut dialog atau percakapan. Jenis wacana ini sering disebut sebagai
tuturan (speech) atau ujaran (utterance).
Willis Edmonsond (1991), dalam bukunya yang berjudul Spoken
Discourse (wacana lisan) secara tidak lagsung menyebutkan bahwa
wacana lisan memiliki kelebihan disbanding wacana tulis. Beberapa
kelebihan di antaranya ialah:
a. Bersifat alami (natural) dan langsung
b. Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi)
c. Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat)
d. Berlatarbelakang konteks situasional (Mulyana, 2005:52)
Yuwono (2005), menegaskan bahwa wacana lisan memiliki ciri:
adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang dituturkan, dan alih tutur
yang menandai pergantian giliran bicara. Wacana lisan merupakan
satuan bahasa tertinggi yang mengandung pokok pikiran atau gagasan
yang harus dipahami (didengarkan). Gagasan pokok yang disampaikan
secara lisan itu melekat dalam setiap wacana yang disajikan. Dalam
Abdul Chaer (2007), sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam
wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh,
yang bisa dipahami oleh pendengar.
Wacana tulis dan wacana lisan memiliki perbedaan karakteristik
dari segi bahasa yang digunakan. Beberapa perbedaan karakteristik
tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Kalimat dalam bahasa lisan cenderung kurang berstruktur
apabila dibandingkan dengan wacana tulis. Wacana lisan
cenderung berisi kalimat-kalimat yang tidak lengkap, bahkan
hanya sering berupa urutan kata yang membentuk frasa.
Sebaliknya, wacana tulis cenderung lengkap dan panjang-
panjang. Penggunaan bahasa dalam wacana tulis dapat direvisi
terlebih dahulu oleh penulis sebelum disampaikan.
2. Bahasa dalam wacana lisan jarang menggunakan piranti
penanda hubungan karena didukung oleh konteks. Sebaliknya,
bahasa dalam wacana tulis sering menggunakan piranti
penanda untuk menunjukkan suatu hubungan antargagasan
atau ide.
3. Bahasa dalam wacana lisan cenderung tidak menggunakan
frasa benda yang panjang, sedangkan dalam wacana tulis
sering menggunakan.
4. Kalimat-kalimat dalam bahasa wacana lisan menggunakan
struktur topikkomen, sedangkan kalimat-kalimat dalam
wacana tulis cenderung berstruktur subjek-predikat.
5. Dalam wacana lisan, pembicara dapat mengubah struktur
tertentu untuk memperhalus ekspresi yang kurang tepat segera
atau pada saat itu juga, sedangkan dalam wacana tulis hal
tersebut tidak dapat dilakukan.
6. Dalam wacana lisan, khususnya dalam percakapan sehari-hari,
pembicara cenderung menggunakan kosakata umum.
Sebaliknya, dalam wacana tulis cenderung digunakan
kosakata dan istilah-istilah teknis yang memiliki makna secara
khusus.
7. Dalam wacana lisan, bentuk sintaksis yang sama sering
diulang dan sering digunakan ”pengisi” (filler) seperti „saya
pikir‟, „saya kira‟, dan „begitu bukan‟. Hal seperti itu jarang
sekali digunakan dalam wacana tulis, karena tidak lazim (Rani
dkk. dalam Rusminto, 2009 : 14).

2. Segi Tujuan Wacana


Menurut Keraf (1995:6) wacana berdasarkan tujuannya dapat
dibedakan atas eksposisi, argumentasi, narasi, deskripsi, dan persuasi.

a. Wacana eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha


menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau
pengetahuan pembaca
b. wacana argumentasi adalah wacana yang isinya terdiri dari paparan
alasan dan penyintetisan pendapat untuk membangun suatu
kesimpulan
c. Wacana narasi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha
menyajikan suatu peristiwa atau kejadian, sehingga peristiwa itu
tampak seolah-olah dialami sendiri oleh pembaca.
d. Wacana deskripsi adalah wacana yang terutama digunakan untuk
membangkitkan impresi atau kesan tentang: seseorang, tempat, suatu
pemandangan, dan yang semacam itu,
e. Wacana persuasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha
mempengaruhi orang lain atau pembaca, agar para pembaca
melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan.

B. Penanda Kewacanaan

1. Koteks
Menurut Mulyana (2005: 10) istilah koteks (co-text), yaitu teks
yang bersifat ejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks
lainya, teks yang satu memiliki hubungan dengan teks lainya. Teks lain
tersebut bias berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi).
Dalam wacana penafsiran sebuah teks tidak hanya berdasarkan pada satu
teks atau teks itu saja tanpa memandang teks lainnya. Sering kali kita baru
dapat memahami sebuah teks karena mengaitkannya dengan teks lain, baik
teks yang mendahului maupun teks yang mengikutinya. Hubungan antar
teks seperti itu disebut koteks. Alwi, et al (1998) menyebutnya sebagai
unsur antarwacana. Teks-teks lain, baik yang mendahului atau yang
mengikuti suatu teks dapat berwujud ujaran, paragraf, bahkan rambu lalu
lintas.
Berikut contoh koteks.
1)
A. JALAN PELAN-PELAN
B. TERIMA KASIH SELAMAT JALAN
2)
A. SELAMAT DATANG
B. SELAMAT JALAN
Pada ujung jalan terpampang rambu A ”JALAN PELAN-PELAN”.
Pengendara akan dengan cepat mengurangi kecepatannya. Ketika sampai
di ujung jalan yang lain dia menemukan teks B “TERIMA KASIH.
SELAMAT JALAN”. Pengendara akan memahami teks itu karena dia
memahami teks itu berkaitan dengan teks sebelumnya. Sebaliknya,
pengendara mungkin tidak paham apabila melewati lebih dahulu jalan
dengan rambu B ”SELAMAT JALAN”. Namun, dia akan paham ketika di
ujung jalan lain dia menemui rambu A ”SELAMAT DATANG”. Contoh
koteks lain adalah sebagai berikut.

A : Kapan kamu akan ke Jakarta ?


B : Rencananya besok pagi
A : Kenapa belum siap-siap?
B : Saya masih menunggu kepastian tiketnya

Dalam dialog di atas, pernyataan B sebenarnya bertumpu pada


pernyataan A. Pernyataan B tidak dapat dipahami tanpa ada pernyataan A.
Konteks yang mendahului atau yang mengikuti yang selanjutnya disebut
koteks. Keberadaan koteks dalam suatu struktur wacanamenunjukkan
bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan
yang lain. Gejala inilah yang menyebabkan suatu wacana menjadi utuh dal
lengkap. Koteks, dengan demikian, berfungsi sebagai alat bantu
memahami dan menganalisis wacana.

2. Konteks
Konteks dalam kajian wacana tidak hanya dipahami sebagai
tempat atau waktu terjadinya tindak suite teks. Konteks mencakup semua
aspek yang terlibat dengan terjadinya suatu teks. Konteks inilah yang
menjadikan sebuah teks akan memperoleh maknanya dan memperoleh
fungsinya. Dalam kaitan ini, konteks harus dipahami sebagai situasi yang
melatarbelakangi terjadinya suatu komunikasi. Menurut Alwi, et al. (1998:
336) konteks terdiri atas beberapa hal, yaitu situasi, partisipan, waktu,
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.
Pendapat lain yang tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas
adalah yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1972). Menurutnya, konteks
mencakup sembilan unsur yang terangkum dalam akronim SPEAKING.
Konteks ini dikaitkan dengan peristiwa tutur atau tindakan komunikasi.
Berikut ini adalah jabaran akronim tersebut:

S setting dan scene, yaitu latar dan suasana. Latar bersifat fisik yang meliputi latar
tempat dan latar waktu, sedangkan suasana lebih mengacu pada keadaan
psikologis yang menyertai peristiwa tutur.
P partisipant, yaitu peserta percakapan atau semua pihak yang terlibat dalam
Iperistiwa komunikasi. Partisipan ini tidak hanya mencakup penutur dan mitra
tutur, tetapi juga semua faktor yang berkaitan dengan partisipan, misalnya jenis
kelamin, usia, pendidikan, latar sosial.
E end, atau hasil mengacu pada tanggapan yang diharapkan oleh penutur.
A act sequence, mengacu pada pesan atau amanat yang ingin dicapai dalam tindak
komunikasi.
K key, mengacu pada konsep cara, nada, atau sikap dalam melakukan percakapan,
misalnya serius, santai, marah
I instrumentalities atau sarana, mengacu pada sarana yang digunakan untuk
melakukan tindak komunikasi, misalnya sarana lisan, tulis.
N norm, norma mengacu pada norma atau aturan yang melingkupi tindak
percakapan. Norma ini menuntun peserta percakapan untuk memahami apa yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukan ketika sedang melakukan percakapan.
G genre mengacu pada jenis wacana yang akan digunakan untuk menyampaikan
informasi kepada pihak lain
Imam Syafi’ (1990:126) dalam Mulayana (2005: 24)
menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan benar, konteks terjadinya
suite percakapan dapat dipilah menjadi emapt macam, yaitu:

1. Konteks lingusitik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat


dalam percakapan
2. Konteks epistemis (epistemic context), adalah latar belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan
3. Konteks fisik (physical context), meliputi tempat kejadianya
percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan
tindakan para partisipan
4. Konteks social (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang
melengkapi hubungan antar pelaku atau partisipan dalam
percakapan

3. Topik
Topik berasal dari bahasa Yunani yang artinya tempat. Topik
merupakan pokok atau inti pembicaraan (Alwi et al, 1998: 434.) Topik
dapat diwujudkan dalam satuan frase atau kalimat. Dalam wacana, topik
mengacu pada hal yang dibicarakan dalam wacana. Keberadaan topik akan
menjadi ukuran kejelasan wacana. Wacana dibuat baik dalam bentuk tulis
maupun lisan akan selalu mengacu pada topik tertentu. Topik inilah yang
menjadikan wacana menjadi jelas dan baik. Dalam percakapan, para
pembicara dapat berbicara tentang sebuah topik, bahkan sangat mungkin
membicarakan topik yang berbeda. Namun, dalam bentuk tulis, seperti
artikel ilmiah, hanya akan membicarakan satu topik. Contoh:

A: Kemarin saya melihat Film Ayat-Ayat cinta. Ceritanya bagus.


B: Kemarin Saya juga melihat film Naga Bonar. Jalan ceritanya
tidak kalah dengan film yang kamu lihat.
A: Akhir ceritanya cukup menyedihkan dan membuat banyak orang
menangis.
B: Kita dapat melihat penghormatan seorang tokoh pada pahlawan
kemerdekaan.

Pada contoh di atas para pembicara sebenarnya membicarakan


topik yang sama, yaitu tentang isi sebuah film. Akan tetapi, pembicara
menceritakan pengalaman masing-masing. Meskipun demikian, masih ada
hubungan koherensi, karena yang diucapkan A selalu menjadi pembanding
oleh B.

DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/7456/16/BAB%20II.pdf
http://oldpasca.undiksha.ac.id/media/1225.pdf
http://repository.ut.ac.id/4773/1/PBIN4216-M1.pdf
Mulyana. 2005. Kajian Wacana (Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-Prinsip
Analisis Wacana). Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai