Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ELIMINASI

KONSEP MEDIK
A. Pengertian
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung
kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam
terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih
secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai
ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks
saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya
menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks
miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga
dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi araf saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf
sensori dari kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4)
kemudian diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi
mengirim signal pada kandung kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor
berkontraksi spinter interna berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol
kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi
abdominal berkontraksi meningkatkan kontraksi otot kandung kemih,
biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang diusebut
urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu,
biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur., Normal miksi
sehari 5 kali.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk
fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan
masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus
tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan
masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit
dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka
menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas
toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk
klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar
mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti
proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

1. Gangguan Eliminasi Urin


Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya
orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan
kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
Gangguan eleminasi urine adalah keadaan ketika seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eleminasi urine (Lynda
Juall Carpenitro-Moyet, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 13, hal
582, 2010).
Gangguan eleminasi urine merupakan suatu kehilangan urine
involunter yang dikaitkan dengan distensi berlebih pada kandung kemih
(Nanda International, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 271, 2011).
2. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang
individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus
besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk
mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik
huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat
melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul
rekti.
Gangguan eleminasi fekal adalah penurunan pada frekuensi
normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak
lengkap feses dan/ atau pengelaran feses yang keras, kering dan banyak
(Nanda International, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 281, 2011)

B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi


1. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan
ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen
otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung
kemih.
c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam
hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam
semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal,
seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
2. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan
mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi
ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak
air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction
berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak
berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.
Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol
BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak.
Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal.
Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB
tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada
perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus
meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas
keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang
menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan
oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang
menghasilkan CO2.
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum
(bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras,
kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat
terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika
terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal.
Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB
menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

C. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan
mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan
karena lebih besar metabolisme tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan
2. Gangguan Eliminasi Fekal
a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar
volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak
bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan
pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan
yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,
respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga
meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme
c. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-
penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis,
bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa
beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas
peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa
memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak
peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum
dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses
mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang
lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti
dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine
hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –
3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot
polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan
mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot
perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan
lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses
defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan
pada spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan
stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi
kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika
dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,
klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami
fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter
ani

D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus


1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon
awal untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di
kandung kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu
lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal
eliminasi urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi
dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi
keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan
meningkatnya frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya
sensitif untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine
yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih.
Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya
tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi
penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik
intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat
terjadi retensi urine.

E. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah
dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh
etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang
menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam
mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi
traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan
adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan
defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas
reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam
kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang
ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik
disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi
usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat
(2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi
autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung
kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem
saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf
simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan
oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang
dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi
oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama
yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls
afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal
sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari
batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet
dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran
yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian
yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi
akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan
kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih
yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan
dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden,
kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah
anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna
tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –
sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal
tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.

F. Tanda dan gejala


1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1) Ketidak nyamanan daerah pubis.
2) Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3) Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4) Meningkatnya keinginan berkemih dan resah\
5) Ketidaksanggupan untuk berkemih

b. Inkontinensia urin
1) Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di
WC
2) Pasien sering mengompol
2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
1) Menurunnya frekuensi BAB
2) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3) Nyeri rektum
b. Impaction
1) Tidak BAB
2) Anoreksia
3) Kembung/kram
4) nyeri rektum
c. Diare
1) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2) Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
4) feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1) Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
2) BAB encer dan jumlahnya banyak
3) Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1) Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2) Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram.
3) Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1) Pembengkakan vena pada dinding rectum
2) Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3) Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4) Nyeri

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

H. Penatalaksanaan Medis
Gangguan eleminasi urine
1. Penatalaksanaan medis inkontinensia urine yaitu:
a. Pemanfaatan kartu berkemih
b. Terapi non famakologi
c. Terapi farmakologi
d. Terapi pembedahan
e. Modalitas lain
2. Penatalaksanaan medis retensi urine yaitu :
a. Kateterisasi urethra.
b. Dilatasi urethra denganboudy.
c. Drainage suprapubik.

Gangguan Eliminasi Fekal


1. Penatalaksanaan medis konstipasi
a. Pengobatan non-farmakologis
b. Pengobatanfarmakologis
2. Penatalaksanaan medis diare
a. Pemberian cairan
b. Pengobatan dietetik (cara pemberian makanan)
c. Obat- obatan

KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada kebutuhan eleminasi urine meliputi :
a. Riwayat keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eleminasi dan
gejala-gejala perubahan urinarius serta mengkaji faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi klien untuk berkemih secara normal.
1. Pola perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih
hariannya, tremasuk frekuensi dan waktunya, volume normal urine
yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan adanya perubahan yang
terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih bervariasi pada setiap
individu dan sesuai dengan asupan serta jenis-jenis haluaran cairan
dari jalur yang lain. Waktu berkemih yang umum ialah saat bangun
tidur, setelah makan, dan sebelum tidur. Kebanyakna orang
berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau lebih dalam satu hari.
Klien yang sering berkemih padamalam hari kemungkinan
mengalami penyakit ginjal atau pembesaran prostat. Informasi
tentang pola berkemih merupakan dasar yang tidak dapat dipungkiri
untuk membuat suatu perbandingan. Dibawah merupakan gejala
umum pada perubahan perkemihan :
a) Urgensi : merasakan kebutuhan untuk segera berkemih
b) Disuria : merasa nyeri atau sudut berkemih
c) Frekuensi : berkemih dengan sering
d) Keraguan : sulit memulai berkemih
e) Poliuria : mengeluarkan sejumlah besar urine
f) Oliguria : haluaran urine menurun dibandingkan cairan yang
masuk ( biasanya kurang dari 400 ml dalam 24 jam )
g) Nukturia : berkemih berlebihan atau sering pada malam hari
h) Dribling ( urine yang menetes) : kebocoran atau rembesan urine
walaupun ada kontrol terhadap pengeluaran urine.
i) Hematuria : terdapat darah dalam urine
j) Retensi : akumulasi urine di dalam kandung kemih disertai
ketidakmampuan kandung kemih untuk benar-benar
mengosongkan diri
k) Residu urine : volume urine yang tersisa setalah berkemih (
volume 100 ml atau lebih )
2. Gejala perubahan perkemihan
Gejala tertentu yang khusus terkait dengan perubahan
perkemihan, dapat timbul dalam lebih dari satu jenis gangguan.
Selama pengkajian, perawat menanyakan klien tentang gejala-gejala
yang tertera. Perawat juag mengkaji pengetahuan klien mengenai
kondisi atau faktor-faktor yang mempresipitasi atau memperburuk
gejala tersebut.
3. Faktor yang mempengaruhi perkemihan
Perawat merangkum faktor-faktor dalam riwayat klien, yang
dalam kondisi normal mempengaruhi perkemihannya, seperti usia,
faktor-faktor lingkungan dan riwayat pengobatan.
b. Pengkajian fisik
Pengkajian fisik memungkinkan perawat untuk menentukan
keberadaan dan tingkat keparahan masalah eleminasi urine.organ utama
yang ditinjau kembali meliputi kulit, ginjal, kandung kemih, dan uretra.
c. Pengkajian urine
Pengkajian urine dilakukan dengan mengukur asupan cairan dan haluaran
urine serta mengobservasi karakteristik urine klien.
1. Asupan dan haluaran
2. Karatekristik urine
3. Pemeriksaan urine

Pengkajian pada kebutuhan eleminasi fekal meliputi :


a. Riwayat keperawatan
1. Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
2. Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola.
3. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur.
4. Diet : makanamempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,
makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau tidak.
5. Cairan : jumlah dan jenis minuman/hari
6. Aktivitas : kegiatan sehari-hari
7. Kegiatan yang spesifik.
8. Sters : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi
atau bagaimana menerima.
9. Pembedahan/penyakit menetap.
b. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik sistem dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eleminasi. Ada beberapa
pemeriksaan fisik pada seorang klien yaitu :
1. Mulut : inspeksi gigi, lidah, dan gusi klien.
2. Abdomen : perawat menginspeksi keempat kuadaran abdomen untuk
melihat warna, bentuk, kesimetrisan, dan warna kulit..
3. Rektum : perawat menginspeksi daerah sekitar anus untuk melihat
adanya lesi, perubahan warna, inflamasi dan hemoroid.
c. Karakteristik feses
1. Warna yang normal : kuning (bayi), cokelat (dewasa)
2. Bau yang normal : menyengat yang dipengaruhi oleh tipe makanan
3. Konsistensi yang normal : lunak, berbentuk
4. Frekuensi yang normal : bervariasi ; bayi 4-6 kali sehari ( jika
mengonsumsi ASI) atau 1-3 kali sehari ( jika mengonsumsi susu
botol ) ; orang dewasa setiap hari atau 2-3 kali seminggu
5. Jumlah yang normal : 150 gr per hari ( orang dewasa)
6. Bentuk yang normal : menyerupai diameter rektum
7. Unsur-unsur yang normal : makanan tidak dicerna, bakteri mati,
lemak, pigmen empedu, sel-sel yang melapisi mukosa usus, air
d. Pemeriksaan Laboratorium
1. Analisis kandungan feses : untuk mengetahui kondisi patologis
seperti : tumor, perdarahan dan infeksi.
2. Tes Guaiak : pemeriksaan darah samar di feses yang mengitung
jumlah darah mikroskopik di dalam feses.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola Eliminasi urine berhubungan dengan inkontinensia urin
2. Retensi urin berhubungan dengan pembengkakan pada prostat
3. Gangguan pola eliminasi fekal berhubungan dengan konstipasi
4. Gangguan pola eliminasi fekal berhubungan dengan diare
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit


Kedokteran EGC: Jakarta.

Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.

Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:


Jakarta.

Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi
Ilmu Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT:
MOSBY

Carpenito-Moyet,LyndaJuall.2013.Buku SakuDiagnosaKeperawatan.Jakarta:EGC

Nanda.2012-2014.Panduan DiagnosaKeperawatanDefinisidanKlasifikasi.Jakarta:
EGC

Potter &Perry.2010.Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2.Jakarta:


BukuKedokteranEGC

Wilkinson,Judith M.2011.Buku Saku Diagnosis Keperawatan,Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, KriteriaHasil NOC Edisi 9.Jakarta: EGC

Wartonah, tarwoto.2006.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan.Jakarta:Salemba Medik

Brooker,Christine.2001.Kamus Saku Keperawatan.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai