Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Nyeri adalah keluhan pasien yang banyak dijumpai dalam praktek sehari-
hari, data di Amerika Serikat menyebutkan setidaknya ada 100 juta pasien yang
menjalani tindakan operasi, lebih dari 80% dari pasien tersebut mengalami nyeri
pasca operasi. Sekitar 70% pasien data ke unit gawat darurat rumah sakit
dikarenakan nyeri. Beberapa pasien yang mengalami nyeri yang berat temyata
hanya mendapatkan terapi obat penghilangg nyeri yang ditujukan untuk nyeri
ringan-sedang sehingga pasien tetap merasa tidak nyaman karena nyeri.
Tatalaksana nyeri yang efektif harus melibatkan pasien dan keluarganya,
dokter, perawat dan semua pihak yang terlibat. Peran klinisi di sini sangat
signifikan sehingga dokter perlu mengingat bahkan "freedom from pain" adalah
salah satu hak dari pasien. Oleh karena itu, periode tahun 2OlO-2011, dicanangkan oleh
TFRC International Association for the Study of Pain (IASP)
sebagai Global Year Against acute Pain.
TV. PENGERTIAN
Nyeri adalah perasaan yang tidak menyenangkan baik itu sensasi maupun
emosi berkaitan dengan adanya suatu kerusakan jaringan mencakup aspek
objektif, proses fisiologi nyeri, subjektif, emosi dan psikologi. Respon nyeri sangat
bervariasi antar individu maupun pada individu yang sama dalam waktu yang
berbeda.
Kategori nyeri :
. Nyeri akut
o Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus noksius karena
cedera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot atau visceral.
o Hampir selalu karena nosisepsi.
. Nyeri tipe ini biasanya berkaitan dengan stress neuroendokrin yang
seimbang dengan intensitasnya.
. Bentuk paling sering yaitu paska trauma, paska bedah dan nyeri obstetri. Begitu juga
yang berkaitan dengan penyakit medis akut seperti infark
miokard, pankreatitis, dan batu ginjal.
o Kebanyakan nyeri akut akan sembuh dengan sendirinya atau berkurang dengan terapi
dalarn beberapa hari atau minggu.
e Ketika nyeri gagal untuk disembuhkan karena sesuatu hal baik itu penyembuhan yang
abnormal atau terapi tidak proporsional atau terapi tidak adekuat, maka akan menjadi
nyeri kronis.
o Dua tipe nyeri akut (somatis dan visceral) dibedakan berdasarkan asal dan bentuk
nyeri.
Nyeri kronis
o Nyeri kronis digarnbarkan sebagai nyeri yang tetap berlangsung di luar
waktu yang umum sepanjang satu penyakit yang akut atau setelah suatu
waktu yang layak untuk penyembuhan, periode ini dapat bertukar-tukar
dari 1 sampai 6 bulan.
o Nyeri kronis bisa nociceptive, saraf, atau keduanya.
o Suatu mekanisme atau faktor lingkungan psikologis adalah bahwa yang
menjadi pembeda sering memainkan suatu peran yang utama.
o Bentuk yang paling umum dari nyeri yang kronis termasuk gangguan
muskuloskeletal, gangguan organ daLam kronis, lesi saraf perifer, atau nyeri
ganglia dorsal (nyeri paska herpes)
lesi pada sistem saraf pusat (stroke, luka jaringan saraf dalam tulang
punggung, dan sklerosis multipel), dan nyeri kanker metastase.
V. Materi panduan
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
i. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
iii. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv. Durasi dan lokasi nyeri
v. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/ muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik. vi,
Faktor yang memperberat dan memperingan
vii. Kronisitas
viii. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respons terapi
ix. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka,
Penggunaan alat bantu
xi. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup
dasar (activity of daily living)
xii. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang
berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
f. Riwayat Keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik
Pada pasien yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka
ataupun pasien yang tidak kooperatif, gunakan asesmen Wong
Baker Faces Pain Scale (gambar wajah tersenyum - cemberut -
menangis)
Instruksi: pemeriksa mengamati wajah pasien dan mencocokannya
dengan gambar gambar yang ada pada Wong Baker Faces Pain Scale
o 0 -1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
o 2-3 = sedikit nyeri
o 4-5 = cukup nyeri
. 6-7 = lumayan nyeri
o 8-9 = sangat nyeri
1O = amat sangat nyeri (tak tertahankan)
Pada pasien bayi dan anak, asesmen nyeri menggunakan NIPS (Neonatus and
Infant Pain Scale
CCPOT (Critical-Care Pain Observasional Tools)
Indikasi: menilai skala nyeri pada pasien yang dirawat diruang intensif
a) cara penggunaan: pasien dinilai skala nyerinya dalam kondisi tenang selama
1 menit terlebih dahulu untuk mendapatkan skala nyeri baseline. Setelah itu
lakukan asesmen ulang saat pasien menerima rangsangan nosiseptif (seperti
pada saat
dimiringkan atau saat perawatan luka)
pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang,
asesmen dalam penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa
ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
Pemeriksaan Fisik
s. Pemeriksaan umum
1. Tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii.
Ukuran : berat badan dan tinggi badan pasien
iii.
Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat
iv.
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
v.
Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi. otot, fasikulasi,
diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
c. Nilai orientasi pasien
d.
e. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
f. Nilai kemampuan kognitif
g.
h. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada
i. harapan, atau cemas.
Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah
ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak,
mampu melawan tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan
kanan tetapi tidak mampu melawan
gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot
(inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
Pemeriksaan sensorik
i.
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum_pin prick),
getaran, dan suhu.
111. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi
upper motor neuron)
lv. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan
tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan
tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg
dan Romberg modifikasi).
g. Pemeriksaan khusus
i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5
tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
ii. Kelima tanda ini adalah:
o Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
. Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reactive)
o Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan
nyeri.
. Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat
gerakan yang sama rlilqkukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
4. Pemeriksaan elektomiografi (EMG)
Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien
Mengidentifikasi area persaralian / cedera otot fokal atau difus yang terkena
Mengidentifrkasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan
dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi obat.
d. Membantu menegakkan diagnosis
Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons terhadap
terapi
f. Indikasi : kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli-neuropati, radikulopati.
5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan c.
Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
6. Pemeriksaan Radiologi
e. lndikasi:
1. Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
2. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit
inflamatorik, dan penyakit vascular
3. pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi
4. pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
5. gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan c.
Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
7. PEUERII{AAAT RADTOLOGI
e. lndllad:
i. Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tul,ang belakang
ii.
Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inllamatorik, dan penyakil vascular.
iii.
Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau
ereksi.
b. Pemilihan pemeriksaan radlologl: bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoptrasma)
ii. MRI: gotd standard dalam mengevaluasi tulang belakang (hemiasi diskus,
stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang
belakang, infeksi)
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolisme
tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal,
keganasan primer, metastasis tulang)
7. ASESMEN PSIKOLOGI
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi social
Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit
dan tutuplah dengan kassa oklusif.
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih
besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
Opioid
a. merupakan analgesik poten tergantung dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh
nalokson
b. contoh opioid yang sering digunakan : morfin, sufentanil, meperidin
c. dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi
d. adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan
nyeri akut
Efek samping:
i. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
o Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infus, opioid long acting
ii. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi, yaitu
0 = sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah
dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
Efek kardiovaskular
tergantung jenis, dosis dan cara pemberian, status volume intravaskular,
serta level aktivitas simpatetik
Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah:
hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari
pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetic
Perbandingan Obat-obatan Anti-Emetik
Kategori Metoklopramid Droperidol, ondansentron Proklorperazin,
butirofenon fenotiazin
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis 8-24 6
rendah)
24 (dosis
tinggi
Efek samping:
Ekstrapiramidal ++ ++ - +
Kolinergik - + - +
Sedasi + + - +
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 jam Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
Jalur pemberian Oral, IV, IM IV, IM Oral, IV Oral, IM
Pemberian Oral:
i. Sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang
sesual.
ii. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oraI.
g. Injeksi intramuscular:
i. Merupaken rute parenteral standar yang sering digunakan.
ii. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerapannya tidak dapat
diandalkan.
iii. hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena:
i. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui infus).
Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
j. Injeksi supraspinal:
i. Iokasi mikroinjeksi terbaik: mesenephalic periaqueductal grag (PAc).
ii. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak
iii. Opioid intraserebroventrikular digunakal sebagai pereda nyeri pada pasien
kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
i. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis
sPinal.
ii. Sangat efektif sebagai analgesik
iii. Harus dipantau dengan ketat
l. Injeksi Perifer
i. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan
efek anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi).
ii. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi
c. Nyeri neuropatik
Berasal dari cedera jaringan saraf
Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri
saat disentuh), hiperalgesia.
iii. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat
cederanya)
iv. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
hemiasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi /
radioterapi.
c. Non-farmakologi:
i. Imobilisasi
ii. Pijat
iii. Relaksasi
iv. Stimulasi saraf transkutan elektriks
2. OAINS:
a. Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk
mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi
platelet.
Tatalaksana nyen:
Terapi simptomatik:
antidepresantrisiklik(amitriptilin)
antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin obat topical (lidocaine patch 5%o,
krim anestesi)
OAINS, kortikosteroid, oPioid
anestesiregional:bloksimpatik,blokepidural/intratekal'
infus epidural / intratekal
stimulasi spinal'pijat
terapi berbasis-stimulasi: akupuntur,
bantu'latihan
rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi'alat
mobilisasi, metode ergonomis
prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan
radiofrekuensi
(mengurangi
terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi
perilaku
tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi
kognitif (mengurangi perasaan terarcam atau tidak nyaman
karena nyeri kronis)
d Manajemen level 2
manajemen nyeri dan
i. Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam
rehabilitasinyaatau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal
atau infus intiatekal).
gagal terapi konservatif /
ii. Indikasi: Pasien nYeri kronik yang
malajemen level 1.
ada perbaikan
lU. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak
e
dengan manajemen level 1.
6. Terapi non-obat
dan
a. Terapi kogrritjf: merupakan terapi yang paling bermadaat
untuk
memiliki efek yang besar datram manajemen nyeri non-obat anak
b. Distraksi terhadap
nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain
seperti music, cahaya, warna, mainan, pe[nen, computer'
permainan, film, dan sebagainYa.
c. Terapi perila,ku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan periLaku yang dapat
menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan
jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas