Anda di halaman 1dari 51

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA
------

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERTANAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa


merupakan kebutuhan dasar manusia yang
mempunyai nilai ekonomi, sosial, budaya, religius
dan ekologis, serta harus digunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kebijakan pertanahan belum mampu
mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan bagi seluruh rakyat termasuk
masyarakat hukum adat sehingga menimbulkan
sengketa dan konflik pertanahan;
c. bahwa Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam telah mengamanatkan pelaksanaan secara lebih
tegas dan rinci sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pertanahan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d perlu membentuk Undang-undang tentang
Perkoperasian;

Mengingat: 1. Pasal 18B Ayat (2), Pasal 20, Pasal 22D Ayat (1) dan
Ayat (2), Pasal 28I Ayat (3), dan Pasal 33 Ayat (3) dan
Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN.

BAB I KETENTUAN
UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan
peruntukan, penyediaan, dan pemeliharaan terhadap
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
serta perbuatan hukum dan hubungan hukum terkait tanah.
2. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun
yang tertutup air dalam batas tertentu sepanjang penggunaan dan
pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi
termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.
3. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang selanjutnya
disebut dengan Tanah Negara adalah Tanah yang tidak dipunyai
dengan suatu Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
4. Tanah Ulayat adalah Tanah yang berada di wilayah kekuasaan
Masyarakat Hukum Adat.
5. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA
adalah tanah negara untuk didistribusikan atau
diredistribusikan kepada penerima tanah yang memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-
undangan baik untuk kegiatan pertanian maupun non-pertanian.
6. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan
ditetapkan untuk menerima TORA.
7. Hak Bangsa adalah kewenangan dari seluruh rakyat Indonesia
untuk mempunyai dan mengatur secara bersama-sama bumi,
air, dan kekayaan alam lainnya yang terdapat di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
8. Hak Menguasai Negara Atas Tanah adalah kewenangan yang
dipunyai negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia
dalam rangka pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan,

1
pengelolaan, dan pengawasan di bidang pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Hak Ulayat adalah kewenangan Masyarakat Hukum Adat untuk
mempunyai dan mengatur secara bersama-sama tanah ulayat
yang berada di wilayah Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan.
10. Hak Atas Tanah adalah kewenangan untuk menguasai dan
memiliki, serta menggunakan dan memanfaatkan tanah
termasuk ruang di atas tanah, di bawah tanah dan/atau air tanah,
yang berhubungan langsung dengan tujuan pemberian dan/atau
penggunaan hak atas tanahnya dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
11. Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah.
12. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu.
13. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu.
14. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain.
15. Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak untuk menggunakan
tanah hak milik orang lain untuk keperluan bangunan selama
jangka waktu tertentu dengan membayar uang sewa.
16. Hak Pengelolaan adalah sebagian kewenangan dari Hak
Menguasai Negara yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada
pemegang haknya dan dipergunakan untuk pelayanan umum.
17. Pengadaan Tanah adalah kegiatan untuk memperoleh tanah
dengan cara musyawarah dan pemberian ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak atas obyek pengadaan
tanah.
18. Pencabutan Hak Atas Tanah adalah perolehan tanah untuk
kepentingan umum dalam keadaan yang memaksa dengan ganti
kerugian yang layak dilakukan oleh Presiden setelah mendengar
pertimbangan Menteri.
19. Tukar Guling (ruilslag) adalah pemindahtanganan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang dipunyai oleh pemerintah,
pemerintah daerah, atau pemerintah desa dengan tanah dan/atau
bangunan yang dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum
dengan nilai yang sama.
20. Pengawasan Pertanahan adalah upaya agar penyelenggaraan
pertanahan dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
21. Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk
mengatur kehidupan Masyarakat Hukum Adat, dan atas
pelanggarannya dikenakan sanksi adat.

2
22. Peradilan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa tanah adat
di wilayah masyarakat hukum adat yang dilakukan oleh
pemangku adat berdasarkan hukum adat.
23. Reforma Agraria adalah penataan secara fundamental struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform.
24. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara
Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan
yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki
pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah
adatnya.
25. Negara adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
26. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
27. Menteri adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
28. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah
29. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
30. Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang
selanjutnya disingkat dengan KNuPKA adalah lembaga quasi-
yudisial yang berwenang menyelesaikan sengketa pertanahan
struktural.

BAB II TUJUAN
DAN ASAS

Pasal 2
Tujuan undang-undang Pertanahan adalah mewujudkan
kemakmuran rakyat melalui:
a. pemerataan pemilikan dan penguasaan Tanah, serta akses
terhadap sarana dan prasarana produksi di bidang pertanahan;
b. keseimbangan antara optimalisasi produksi dengan kelestarian
fungsi Tanah; dan
c. kepastian hukum terhadap hak atas Tanah.

Pasal 3
Asas dari undang-undang Pertanahan adalah :
a. kebangsaan;
b. kenasionalan;
c. fungsi sosial dan ekologis;

3
d. keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan Tanah;
e. keanekaragaman dalam kesatuan hukum;
f. akuntabilitas, keterbukaan, dan partisipatif.

BAB III
HUBUNGAN BANGSA, NEGARA, DAN
MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN TANAH

Bagian Kesatu
Hubungan Bangsa dengan Tanah

Pasal 4
(1) Seluruh Tanah dalam wilayah Negara merupakan Hak Bangsa
yang bersifat abadi.
(2) Hak Bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
kewenangan secara bersama-sama :
a. mempunyai semua Tanah dalam wilayah Negara; dan
b. mengatur penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan Tanah.
(3) Kewenangan mempunyai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a tidak dapat diserahkan kepada siapapun.
(4) Kewenangan mengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilaksanakan oleh Negara.

Bagian Kedua
Hubungan Negara dengan Tanah

Paragraf 1
Hak Menguasai Negara atas Tanah

Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat
Indonesia menyelenggarakan Hak Menguasai Negara Atas Tanah.
(2) Hak Menguasai Negara Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memberi kewenangan kepada Negara untuk membuat
kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi
pertanahan.

Pasal 6
(1) Kewenangan Negara untuk membuat kebijakan dan mengatur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berisi:
a. rencana penggunaan, pemanfaatan, persediaan dan
pemeliharaan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah;
b. penentuan macam-macam Hak Atas Tanah yang dapat
dipunyai oleh orang dan badan hukum;

4
c. penentuan bentuk-bentuk perbuatan hukum dan hubungan
hukum antara orang dan/atau badan hukum terkait dengan
Tanah yang meliputi:
1. peralihan Hak Atas Tanah;
2. pembebanan Hak Atas Tanah tertentu sebagai jaminan
hutang;
3. pembebanan Hak Atas Tanah tertentu dengan hak atas
tanah lainnya; dan
4. pelepasan Hak Atas Tanah.
(2) Kewenangan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) berisi penyelenggaraan:
a. mengukuhkan keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat;
b. redistribusi Tanah untuk rakyat
c. pemberian Hak Atas Tanah kepada peorangan dan badan
hukum;
d. pemberian izin penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;
e. perizinan peralihan hak atas tanah tertentu; dan
f. penentuan kewajiban tertentu dalam rangka penggunaan,
pemanfaatan dan pemeliharaan tanah.
(3) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) berisi rencana dan pelaksanaan kegiatan usaha yang
memanfaatkan Tanah oleh Negara melalui:
a. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang
seluruh modalnya dimiliki oleh negara atau daerah dalam
rangka penyediaan kebutuhan hajat hidup orang banyak; dan
b. penyertaan modal negara di dalam badan usaha swasta yang
melakukan kegiatan pemanfaatan tanah.
(4) Kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) berisi penilaian terhadap pelaksanaan kewenangan
pengurusan dan pengelolaan yang berisi:
a. pemantauan atas penggunaan, pemanfaatan dan dan
pemilharaan Tanah oleh orang dan badan hukum.
b. evaluasi terhadap kinerja penggunaan, pemanfaatan Tanah dan
pemilharaan Tanah oleh orang atau badan hukum; dan
c. pengenaan sanksi terhadap pelanggaran dalam penggunaan,
pemanfaatan tanah, dan pemilharaan Tanah.
(5) Kewenangan Hak Menguasai Negara atas Tanah yang berada di
tanah ulayat dilaksanakan oleh Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 7
(1) Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
Pasal 6 dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintahan Daerah,
Pemerintahan Desa, dan Masyarakt Hukum Adat sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pembagian Kewenangan sebagaiamana dimaskud pada ayat (1)
diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.

5
Paragraf 2
Hak Pengelolaan

Pasal 8
(1) Subyek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan
adalah:
a. instansi Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. Pemerintah Desa;
d. Badan Usaha Milik Negara; atau
e. Badan Usaha Milik Daerah.
(2) Pemberian Hak Pengelolaan kepada Subyek hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. mendukung pelaksanaan dan pencapaian tujuan khusus yang
dibebankan kepada Subyek hukum yang bersangkutan; dan
b. memenuhi kebutuhan Tanah masyarakat sesuai dengan tujuan
khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Pasal 9
(1) Pemegang Hak Pengelolaan berwenang:
a. menyusun rencana rinci peruntukan, penggunaan, dan
pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah;
b. menyerahkan pemanfaatan bagian bidang Tanah Hak
Pengelolaan kepada warga masyarakat yang dilayani sesuai
tujuan khusus; dan
c. menggunakan sebagian dari Tanah untuk mendukung
pelaksanaan tugasnya.
(2) Hak Pengelolaan dilarang untuk dialihkan kecuali melalui tukar
guling (ruilslag) yang dilaksanakan melalui persetujuan:
a. DPR bagi Hak Pengelolaan yang dipegang instansi Pemerintah;
b. DPRD bagi Hak Pengelolaan yang dipegang oleh Pemerintah
Daerah; dan
c. Badan Permusyawaratan Desa bagi Hak Pengelolaan yang
dipegang oleh Pemerintah Desa.

Pasal 10
(1) Rencana rinci peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. bagian Tanah yang diserahkan pemanfaatannya kepada warga
masyarakat yang dilayani sesuai dengan tujuan khusus; dan
b. bagian Tanah yang digunakan sendiri oleh pemegang hak
pengelolaan.
(2) Pemegang Hak Pengelolaan wajib menyediakan dan menyerahkan
bagian tanah Hak Pengelolaan untuk dimanfaatkan oleh warga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling
sedikit 60% (enam puluh persen) dari luas tanah Hak Pengelolaan.
(3) Pemegang Hak Pengelolaan yang tidak menyediakan dan
menyerahkan bagian Hak Pengelolaan untuk dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Hak

6
Pengelolaannya batal dan tanahnya kembali menjadi Tanah
Negara.
(4) Rencana rinci peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada
Menteri.

Pasal 11
(1) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf b terdiri atas perorangan atau kelompok masyarakat yang
menjadi sasaran dari tujuan khusus pemegang Hak Pengelolaan.
(2) Penyerahan pemanfaatan bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan
kepada warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf b dilakukan dengan:
a. keputusan penyerahan pemanfaatan Tanah, dalam hal hak
pengelolaan dipegang oleh instansi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan Pemerintah desa.
b. perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah, dalam hal hak
pengelolaan dipegang oleh badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah
(3) Keputusan atau perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi sebagai
rekomendasi bagi warga masyarakat penerima untuk mengajukan
permohonan hak atas tanah.
(4) Bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan dapat diserahkan dengan
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
(5) Bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan yang telah diserahkan
kepada warga masyarakat dengan Hak Milik, menjadi hapus sejak
lahirnya Hak Milik.

Pasal 12
(1) Penggunaan sebagian Tanah untuk mendukung pelaksanaan
bidang tugas dari subyek Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf c dilakukan untuk kepentingan pemegang
Hak Pengelolaan.
(2) Dalam hal sebagian Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dimanfaatkan secara optimal, pemegang Hak Pengelolaan
dapat melakukan kerja sama pemanfaatan dengan pihak ketiga
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pengelolaan diatur dengan
peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga
Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat

Pasal 13
(1) Negara mengakui keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
(2) Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:

7
a. adanya Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat;
b. adanya wilayah tempat hak ulayat berlangsung; dan
c. adanya Hukum Adat yang mengatur peruntukan, penggunaan,
penguasaan, pemilikan, peralihan Hak Atas Tanah.
(3) Keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a harus memenuhi kriteria:
a. adanya sekelompok orang yang hidup bersama-sama dari
generasi ke generasi berdasarkan hubungan geneologis
dan/atau kesamaan wilayah tempat tinggal;
b. adanya pranata kepemimpinan adat;
c. adanya harta kekayaan atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma Hukum Adat.

Pasal 14
(1) Pengakuan keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilaksanakan
melalui pengukuhan oleh:
a. Peraturan Pemerintah, apabila Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat berada dilintas Provinsi;
b. Peraturan Daerah, apabila Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat berada di dalam 1 (satu) Provinsi atau lintas
Kabupaten/Kota; dan
c. Peraturah Daerah Kabupaten/Kota, apabila Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat berada di dalam 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota.
(2) Pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
dasar permohonan pengukuhan yang diajukan oleh Masyarakat
Hukum Adat kepada Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuhan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat diatur dalam peraturan menteri
yang menyelenggarakan urusan Pertanahan.

Pasal 15
(1) Penggunaan dan pemanfaatan bagian bidang Tanah Ulayat untuk
keperluan warga Masyarakat Hukum Adat dan orang luar sekedar
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya
dilakukan berdasarkan Hukum Adat.
(2) Perolehan Hak Milik oleh perseorangan di wilayah Masyarakat
Hukum Adat dilakukan sesuai dengan tata cara Hukum Adat yang
berlaku pada Masyarakat Hukum Adat.
(3) Hak Milik yang diperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 16
(1) Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh pihak ketiga atau warga
Masyarakat Hukum Adat untuk kegiatan usaha tertentu
dilakukan berdasarkan persetujuan tertulis dari Masyarakat

8
Hukum Adat mengenai penyerahan pemanfaatan tanah serta
bentuk dan besarnya nilai rekognisi.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dipergunakan oleh pelaku usaha sebagai syarat pengajuan
permohonan dan perpanjangan Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai kepada instansi yang berwenang.
(3) Dalam hal Hak Atas Tanah yang dimiliki oleh pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan hapus, maka
tanahnya kembali dalam penguasaan Masyarakat Hukum Adat.

BAB IV
HAK ATAS TANAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 17
(1) Setiap penggunaan dan pemanfaatan Tanah harus didasarkan
kepada hak atas tanah, kecuali:
a. Tanah yang diperuntukkan untuk ruang publik;
b. Tanah yang ditetapkan sebagai cagar budaya; atau
c. Tanah yang secara topografis dan geologis dapat
membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna yang
dilindungi, serta kawasan lingkungan setempat.
(2) Masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan Tanah yang
dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 18
Hak Atas Tanah tidak mencakup kepemilikan atas bangunan,
tanaman, dan benda lain yang ada di atas atau di bawah Tanah,
kecuali:
a. secara fisik antara tanah dengan bangunan, tanaman, dan benda
dimaksud menjadi satu kesatuan; atau
b. Tanah dan benda dimaksud dipunyai oleh pemegang hak yang
sama.

Pasal 19
(1) Pemerintah menentukan batas minimum dan maksimum
pemilikan dan penguasaan Tanah.
(2) Batas minimum pemilikan dan penguasaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pertanian ditentukan dengan luas
yang dapat menjamin hidup layak dengan mempertimbangkan:
a. ketersediaan Tanah pertanian;
b. tingkat produktivitas lahan pertanian; dan
c. perkembangan penggunaan teknologi pertanian.

9
(3) Batas minimum pemilihan dan penguasasn untuk tempat tinggal
sebagimana dimaksud pada ayat (1) seluas 100m2 (seratus meter
persegi).
(4) Batas maksimum pemilikan dan penguasaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan di setiap kabupaten/kota
dengan mempertimbangkan:
a. jaminan pemerataan penguasaan dan pemilikan Tanah;
b. tingkat kepadatan penduduk; dan
c. ketersediaan Tanah yang dapat diperuntukan untuk kawasan
budi daya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan batas minimum dan
maksimum pemilikan dan penguasaan Tanah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 20
(1) Penggunaan dan pemanfaatan hak atas tanah diselenggarakan
dengan memberikan manfaat bagi pemegang hak, masyarakat, serta
dengan menjaga keberlanjutan fungsi Tanah
(2) Pemegang Hak Atas Tanah berkewajiban untuk:
a. menggunakan dan memanfaatkan Tanah secara terus menerus
sesuai dengan sifat, dan tujuan pemberian Hak Atas Tanah;
dan
b. memelihara kemampuan fisik dan kelestarian Tanah.
c. memberikan akses masyarakat untuk memasuki Tanah yang
diperuntukkan bagi ruang publik.
d. tidak menggunakan dan memanfaatkan Tanah secara
spekulatif dan merugikan masyarakat.
(3) Perusahaan pembangunan perumahan, kawasan industri, atau
pertanian wajib memberikan akses melewati tanahnya kepada
warga masyarakat menuju jalan umum atau dari jalan umum
menuju tanah yang dimiliki.
(4) Pemegang hak atas tanah yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dicabut hak atas
tanahnya setelah diberikan peringatan sebanyak tiga kali oleh
pejabat pemberi hak.

Pasal 21
Setiap pemegang Hak Atas Tanah dilarang menggunakan dan
memanfaatkan tanah yang melebihi luas Tanah yang diberikan oleh
Pemerintah.

Pasal 22
(1) Setiap orang secara sendiri maupun secara bersama-sama dapat
memiliki Hak Atas Tanah.
(2) Semua pemegang Hak Atas Tanah yang dimiliki secara bersama-
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat sebagai subyek Hak Atas Tanah.
(3) Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan
yang sama untuk memperoleh Hak Atas Tanah.

10
Pasal 23
(1) Peralihan Hak Atas Tanah dapat terjadi karena peristiwa hukum
maupun perbuatan hukum.
(2) Peralihan Hak Atas Tanah yang terjadi karena peristiwa hukum
terjadi karena pewarisan.
(3) Peralihan Hak Atas Tanah yang terjadi karena perbuatan hukum
disesuaikan dengan jenis Hak Atas Tanah dan hanya dapat
dilakukan melalui bentuk dan cara yang sudah ditetapkan dalam
undang-undang.
(4) Bentuk perbuatan hukum pengalihan Hak Atas Tanah selain yang
ditetapkan oleh undang-undang batal demi hukum.

Bagian Kedua
Macam Hak Atas Tanah

Pasal 24
(1) Hak Atas Tanah terdiri atas:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai; dan
e. hak sewa untuk bangunan.
(2) Selain Hak atas Tanah sebagaimana dimasud pada ayat (1) ada ha
katas tanah lainnya yang terdiri dari:
a. Hak guna ruang diatas tanah; dan
b. Hak guna ruang dibawah tanah.
(3) Hak-Hak atas tanah dan hak-hak lain yang terkait dengan tanah
selain yang diatur pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan undangf-undang.

Paragraf 1
Hak Milik

Pasal 25
(1) Hak Milik tidak dibatasi jangka waktunya dan dapat menjadi
induk dari Hak Atas Tanah lain.
(2) Hak Milik dapat dibebani dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
dengan jangka waktu tertentu, dan Hak Sewa untuk bangunan.
(3) Pembebanan Hak Milik dengan Hak Atas Tanah lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan akta pemberian hak
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.

Pasal 26
(1) Subyek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Milik adalah: a.
Warga negara Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama.
b. Badan hukum Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri sebagai
pemegang Hak Milik Atas Tanah.

11
(2) Syarat badan hukum Indonesia dapat ditetapkan oleh Menteri
sebagai pemegang Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b adalah:
a. mempunyai tugas pokok dan fungsi sosial, keagamaan dan
perekonomian; dan
b. menggunakan tanahnya secara langsung untuk mendukung
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
(3) Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. badan sosial;
b. badan keagamaan;
c. bank milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah; dan
d. koperasi pertanian yang seluruh anggotanya petani.
(4) Badan hukum Indonesia yang tidak lagi memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun wajib mengajukan permohonan perubahan
Hak Milik menjadi Hak Atas Tanah lain sesuai dengan
penggunaannya.
(5) Badan hukum Indonesia yang tidak mengajukan perubahan hak
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dinyatakan hapus haknya dan tanahnya kembali menjadi Tanah
Negara.

Pasal 27
(1) Hak Milik dapat terjadi melalui:
a. ketentuan konversi;
b. penetapan pemerintah; dan
c. ketentuan Hukum Adat.
(2) Hak Milik yang terjadi melalui Ketentuan Konversi sebagaima
dimaksud pada ayat (1) huruf a lahir sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria.
(3) Hak Milik yang terjadi melalui penetapan pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b lahir pada saat dilakukan
pendaftaran hak atas tanahnya.
(4) Hak Milik yang terjadi melalui ketentuan hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi karena:
a. adanya penguasaan fisik Tanah yang dilakukan secara terbuka;
b. dikuasai dengan itikad baik;
c. dimanfaatkan secara terus menerus; dan
d. tidak dipermasalahkan oleh Masyarakat Hukum Adat,
kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain.

Pasal 28
(1) Hak milik dapat diperalihkan karena peristiwa hukum dan
perbuatan hukum.

12
(2) Peralihan Hak Milik karena peristiwa hukum terjadi melalui
pewarisan.
(3) Peralihan Hak Milik karena perbuatan hukum terjadi melalui:
a. jual beli;
b. penukaran;
c. penghibahan;
d. penyertaan modal;
e. pemberian dengan wasiat;
f. pemberian menurut Hukum Adat; atau
g. perwakafan.
(4) Hak Milik dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.

Pasal 29
(1) Peralihan Hak Milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) kepada perseorangan atau badan hukum yang
tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah
sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1) batal demi hukum.
(2) Dalam hal peralihan Hak Milik yang dinyatakan batal demi hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena jual beli,
maka:
a. pemilik semula tidak dapat menarik kembali tanahnya;
b. tanahnya menjadi Tanah yang dikuasai langsung oleh negara;
c. Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk
Bangunan yang membebani hak milik tetap berlangsung
sampai jangka waktu haknya habis;
d. pembeli tidak dapat menuntut harga yang sudah dibayarkan;
dan
e. dalam hal pembayaran harga Tanah sebagaimana yang
dimaksud pada huruf d belum lunas, pembeli wajib melunasi
kekurangan pembayaran.
(3) Dalam hal peralihan Hak Milik yang dinyatakan batal demi hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena tukar menukar,
maka:
a. Tanah yang diterima oleh pihak yang tidak memenuhi syarat
sebagai subyek hak milik menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara;
b. pemilik semula yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek
Hak Milik tidak dapat menarik kembali tanahnya yang sudah
diserahkan; dan
c. Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk
Bangunan yang membebani hak milik tetap berlangsung
sampai jangka waktu haknya habis.

Paragraf 2
Hak Guna Usaha

13
Pasal 30
(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk kegiatan usaha pertanian,
perkebunan, kehutanan tanaman, peternakan, pertambakan, dan
budi daya perikanan atau rumput laut berdasarkan pada
penggunaan Tanah.
(2) Pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang
berwenang di atas Tanah Negara.

Pasal 31
(1) Pemberian Hak Guna Usaha untuk usaha kehutanan tanaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan
berdasarkan izin dari menteri yang mengurusi bidang kehutanan.
(2) Pemberian Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan,
peternakan, pertambakan, dan budi daya perikanan atau rumput
laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan
berdasarkan izin dari instansi terkait.
(3) Pemberian Hak Guna Usaha yang berada di wilayah Masyarakat
Hukum Adat dilakukan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari
Masyarakat Hukum Adat berdasarkan proses musyawarah yang
terbuka.

Pasal 32
(1) Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada:
a. Warga Negara Indonesia; dan
b. badan hukum Indonesia.
(2) Dalam hal pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a melepaskan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi
warga negara asing, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
kehilangan kewarganegaraan Indonesia, wajib mengalihkan hak
kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak
Guna Usaha.
(3) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak
dialihkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dinyatakan hapus dan
tanahnya kembali menjadi Tanah Negara atau Tanah Ulayat.
(4) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan badan hukum yang didirikan menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan kepemilikan sahamnya
100% (seratus persen) harus dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.

Pasal 33
(1) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan luas minimum 5 (lima)
hektar.
(2) Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk 1 (satu) badan hukum
dan/atau kelompok badan hukum yang terafiliasi dengan batas luas
maksimum berdasarkan kriteria:
a. menjamin kelayakan usaha berdasarkan besaran modal yang
dimiliki, teknologi yang digunakan, dan manajemen
pengelolaan usaha;

14
b. pemerataan pemilikan dan penguasaan Tanah; dan
c. ketersediaan Tanah budi daya di masing-masing daerah.
(3) Pemberian Hak Guna Usaha kepada badan hukum dan/atau
badan hukum yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditentukan paling tinggi :
a. untuk satu wilayah provinsi:
1. 10.000 (sepuluh ribu) hektar untuk komoditas perkebunan
dan hutan tanaman; dan
2. 50 (lima puluh) hektar untuk pertanian, peternakan,
tambak, atau budi daya perikanan dan rumput laut.
b. Untuk seluruh wilayah Indonesia:
1. 100.000 (seratus ribu) hektar untuk komoditas perkebunan
dan hutan tanaman; dan
2. 500 (lima ratus) hektar untuk pertanian, peternakan,
tambak, atau budi daya perikanan dan rumput laut.
(4) Pemberian Hak Guna Usaha yang melebihi batas maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan batal demi
hukum.

Pasal 34
(1) Hak Guna Usaha dapat diperalihkan karena peristiwa hukum dan
perbuatan hukum.
(2) Peralihan Hak Guna Usaha karena peristiwa hukum terjadi
melalui pewarisan.
(3) Peralihan Hak Guna Usaha karena perbuatan hukum terjadi
melalui:
a. jual beli;
b. penukaran;
c. penghibahan; atau
d. penyertaan modal.
(4) Dalam hal mayoritas modal usaha badan hukum pemegang Hak
Guna Usaha diperalihkan kepada pihak lain, pemegang Hak Guna
Usaha wajib melaporkan kepada pejabat pemberi Hak Guna
Usaha.

Pasal 35
(1) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
hak tanggungan.
(2) Hak Guna Usaha yang dijadikan sebagai jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh pemegang hak dengan persyaratan:
a. telah melakukan pengusahaan terhadap seluruh bidang tanah
yang dimilikinya dengan hak guna usaha sesuai dengan
peruntukannya;
b. telah memiliki Hak Guna Usaha selama 5 (lima) tahun; dan
c. telah dilakukan evaluasi Hak Guna Usaha oleh pemberi hak.

Paragraf 3
Hak Guna Bangunan

15
Pasal 36
(1) Hak Guna Bangunan diberikan untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah yang bukan miliknya.
(2) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan:
a. keputusan pemberian hak dari pemerintah jika tanahnya
berasal dari Tanah Negara atau di atas tanah Hak Pengelolaan;
b. perjanjian pemberian hak jika tanahnya diberikan di atas
Tanah Hak Milik; atau
c. persetujuan tertulis dari Masyarakat Hukum Adat berdasarkan
musyawarah yang dilakukan secara terbuka jika tanahnya
berada di wilayah Seharusnya diawali huruf capital karena
istilah yang ada dalam ketentuan umum. sebelum keputusan
pemberian haknya sebagai dimaksud pada huruf a.
(3) Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
berada di kawasan hutan, pemberian hak guna bangunan
dilakukan setelah pelepasan kawasan hutan oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kehutanan.
(4) Dalam hal pendirian bangunan merupakan bagian dari keperluan
pelaksanaan hak guna bangunan, terhadap penguasaan dan
pemanfaatan tanahnya tidak diperlukan pemberian hak guna
bangunan.

Pasal 37
(1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada:
a. Warga Negara Indonesia; dan
b. badan hukum Indonesia.
(2) Dalam hal pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a melepaskan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi
warga negara asing, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
kehilangan kewarganegaraan Indonesia wajib melepaskan atau
mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
(3) Hak Guna Bangunan yang tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hapus karena hukum, dan tanahnya menjadi Tanah Negara atau
Tanah Ulayat.
(4) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b bubar, pihak pengelola aset badan hukum diberi
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pembubaran badan
hukum untuk mengalihkan hak kepada pihak lain yang
memenuhi syarat.
(5) Hak Guna Bangunan yang tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
hapus karena hukum, dan tanahnya menjadi tanah negara atau
tanah ulayat.

16
Pasal 38
(1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada perseorangan dengan
luas minimum yang menjamin kehidupan layak dan maksimum
sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
(2) Hak Guna Bagunan dapat diberikan untuk 1 (satu) badan hukum
dan/atau kelompok badan hukum yang terafiliasi dengan batas luas
maksimum berdasarkan kriteria :
a. menjamin kelayakan usaha berdasarkan besaran modal yang
dimiliki, teknologi yang digunakan, dan manajemen
pengelolaan usaha;
b. pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah; dan
c. ketersediaan tanah budi daya di masing-masing daerah.
(3) Pemberian Hak Guna Bangunan kepada badan hukum dan/atau
badan hukum yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), ditentukan paling tinggi:
a. Untuk satu provinsi:
1. 200 (dua ratus) hektar untuk kawasan permukiman;
2. 100 (seratus) hektar untuk kawasan perhotelan; dan
3. 200 (dua ratus) hektar untuk kawasan industri.
b. Untuk seluruh wilayah Indonesia:
1. 2.000 (dua ribu) hektar untuk kawasan permukiman;
2. 1.000 (seribu) hektar untuk kawasan perhotelan; dan
3. 2.000 (dua ribu) hektar untuk kawasan industri.
(4) Pemberian Hak Guna Bangunan yang melebihi batas maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan batal demi
hukum.

Pasal 39
(1) Hak Guna Bangunan dapat diperalihkan karena peristiwa hukum
dan perbuatan hukum.
(2) Peralihan Hak Guna Bangunan karena peristiwa hukum terjadi
melalui pewarisan.
(3) Peralihan Hak Guna Bangunan karena perbuatan hukum terjadi
melalui:
a. jual beli;
a. penukaran;
b. penghibahan; atau
c. penyertaan modal.
(4) Dalam hal mayoritas modal usaha badan hukum pemegang Hak
Guna Bangunan diperalihkan kepada pihak lain, pemegang Hak
Guna Bangunan wajib melaporkan kepada pejabat pemberi Hak
Guna Bangunan.

Pasal 40
(1) Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
(2) Hak Guna Bangunan yang dijadikan sebagai jaminan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan oleh pemegang hak dengan persyaratan:

17
a. telah melakukan pengusahaan terhadap seluruh bidang tanah
yang dimilikinya dengan hak guna bangunan sesuai dengan
peruntukannya;
b. telah memiliki hak guna bangunan selama 5 (lima) tahun; dan
c. telah dilakukan evaluasi Hak Guna Bangunan oleh pemberi
hak.

Paragraf 4
Hak Pakai
Pasal 41
(1) Hak Pakai terdiri atas:

a. Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu; dan


b. Hak Pakai selama digunakan.
(2) Hak Pakai digunakan untuk:
a. mendirikan bangunan; dan/atau
b. melakukan kegiatan usaha pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, pertambakan, budi daya perikanan atau rumput
laut berdasarkan pada penggunaan tanah.
(3) Hak Pakai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diberikan untuk paling lama 25 (dua puluh lima) tahun
dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 42
Hak Pakai dengan jangka waktu dapat diberikan kepada :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Warga Negara asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum Indonesia; dan
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 43
Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu diberikan dengan:
a. keputusan pemberian hak jika tanahnya berasal dari tanah
negara atau di atas tanah hak pengelolaan;
b. perjanjian pemberian hak jika berada di atas tanah hak milik;
atau
c. persetujuan tertulis dari masyarakat hukum adat berdasarkan
musyawarah yang dilakukan secara terbuka jika tanahnya berada
di wilayah masyarakat hukum adat sebelum keputusan
pemberian haknya sebagai dimaksud pada huruf a.

Pasal 44
(1) Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu untuk tempat mendirikan
bangunan dapat diberikan dengan luas minimum yang menjamin
kehidupan layak dan maksimum sesuai dengan kebutuhan
penggunaannya.
(2) Pemberian Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu untuk
kegiatan pertanian diberikan dengan luas maksimum paling tinggi
5 (lima) hektar dengan mempertimbangkan:

18
a. menjamin kelayakan usaha berdasarkan besaran modal yang
dimiliki, teknologi yang digunakan, dan manajemen
pengelolaan usaha;
b. pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah; dan
c. ketersediaan tanah budi daya di masing-masing daerah.

Pasal 45
Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu dapat dialihkan, diwariskan,
dan dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 46
(1) Hak Pakai selama digunakan dapat diberikan kepada:
a. instansi pemerintah, pemerintah daerah, atau pemerintah desa;
b. perwakilan negara asing dan lembaga internasional; atau
c. badan keagamaan dan sosial.
(2) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemegang hak dalam
rangka pelayanan publik.
(3) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dialihkan dengan cara tukar bangun.

Paragraf 5
Hak Sewa Untuk Bangunan

Pasal 47
(1) Hak Sewa untuk bangunan merupakan hak untuk menggunakan
tanah hak milik orang lain untuk keperluan bangunan selama
jangka waktu tertentu dengan membayar uang sewa.
(2) Jangka waktu Hak Sewa untuk bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang dengan perjanjian baru berdasarkan kesepakatan.
(3) Pembayaran uang sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan:
a. satu kali atau pada setiap waktu tertentu; dan
b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.

Pasal 48
Hak Sewa untuk bangunan dapat diberikan kepada :
a. Warga Negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan di Indonesia menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; atau
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 49
(1) Hak Sewa diberikan dengan perjanjian pemberian hak antara
pemegang hak milik atas tanah dengan pemegang Hak Sewa
melalui akta pejabat pembuat akta tanah.

19
(2) Pada sertipikat Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diberi catatan keberadaan Hak Sewa untuk bangunan.

Pasal 50
(1) Bangunan yang dimiliki oleh pemegang hak sewa untuk bangunan
hanya dapat dialihkan apabila diperjanjikan dengan pemilik
tanahnya.
(2) Bangunan yang dimiliki oleh pemegang Hak Sewa untuk bangunan
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia.

Bagian Ketiga
Hapusnya Hak Atas Tanah

Pasal 51
(1) Hak Atas Tanah hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir bagi hak atas tanah dengan jangka
waktu tertentu;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena adanya
pembatalan hak yang disebabkan oleh:
1. tidak dipenuhi syarat dan kewajiban;
2. pelanggaran terhadap ketentuan syarat subyek hak atas
tanah; atau
3. ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang wilayah.
c. dilepaskan oleh pemegang hak sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan; atau
f. tanahnya musnah.
(2) Hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara.
(3) Hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b tidak menyebabkan hapusnya hak
keperdataan bekas pemegang hak atas bangunan, tanaman, dan
benda yang berkaitan dengan tanah yang ada di atasnya.
(4) Dalam hal hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk
memohon hak atas tanah baru tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 52
(1) Dalam hal Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) diberikan kepada pihak lain, bekas pemegang hak wajib
diberikan penggantian kerugian atas bangunan, tanaman, dan/atau
benda lain jika pihak yang memperoleh hak atas tanah
memerlukannya.
(2) Dalam hal pihak yang memperoleh Hak Atas Tanah tidak
memerlukan bangunan, tanaman, dan/atau benda lain di atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bekas pemegang hak
wajib membongkar atas biaya sendiri.

20
Bagian Keempat
Hak Guna Ruang di Atas Tanah dan
Hak Guna Ruang di Bawah Tanah

Pasal 53
(1) Tanah yang berada di ruang atas dan/atau dalam Tanah
yang dikuasai oleh pemegang hak yang sama dan secara fisik
bangunan di bawah Tanah merupakan kesatuan dengan
bangunan di atas Tanah, status hak ruang di atas dan/atau di
bawah Tanah mengikuti status Hak Atas Tanahnya.
(2) Tanah yang berada di ruang atas dan/atau bawah Tanah
dikuasai oleh pemegang hak yang berbeda, terhadap ruang di
atas Tanah dan/atau di bawah Tanah dapat diberikan:
a. Hak Guna Ruang Bawah Tanah; dan
b. Hak Guna Ruang Atas tanah
(3) Kewenangan dari Hak Guna Ruang Bawah Tanah dan Hak Guna
Ruang Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
mutatis-mutandis sama dengan kewenangan yang terdapat
dalam Hak Guna Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB V REFORMA
AGRARIA

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 54
Pengaturan Reforma Agraria meliputi :
a. penetapan TORA.
b. penetapan penerima TORA.
c. pemberdayaan penerima TORA
d. hak dan kewajiban penerima TORA
e. penyelenggaraan Reforma Agraria.

Bagian Kedua
Tanah Obyek Reforma Agraria

Pasal 55
(1) Pemerintah menetapkan tanah negara sebagai TORA.
(2) Tanah Negara yang dapat ditetapkan sebagai TORA sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1), berasal dari:
a. tanah kelebihan yang terkena ketentuan batas maksimum
berdasarkan ketentuan yang berlaku;
b. tanah yang terkena ketentuan absentee berdasarkan
ketentuan yang berlaku;
c. tanah negara bekas Tanah terlantar; dan
d. tanah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi;

21
e. tanah hak yang jangka waktunya sudah berakhir dan tidak
diperpanjang;
f. tanah negara bekas hak barat yang tidak dimintakan hak;
g. tanah negara berasal dari tanah timbul dan tanah tumbuh;
h. tanah negara bekas swapraja;
i. tanah negara berasal bekas pertambangan mineral, batubara,
dan panas bumi yang sudah direklamasi;
j. tanah yang diserahkan oleh pemegang haknya kepada Negara
untuk Reforma Agraria; dan
k. tanah negara yang diperoleh melalui cara-cara tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) TORA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi
tanah pertanian, kehutanan, dan pertambangan.

Pasal 56
(1) Penetapan TORA dilakukan melalui tahapan:
a. identifikasi;
b. verifikasi; dan
c. penetapan.
(2) Menteri melakukan identifikasi, verifikasi dan penetapan TORA.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan TORA sebagamana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Penerima Tanah Reforma Agraria

Pasal 57
(1) Pemerintah menetapkan penerima TORA yang berhak memiliki,
menguasai, mengelola dan memanfaatkan tanah.
(2) Penerima TORA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas:
a. perseorangan warga negara Indonesia;
b. koperasi yang anggotanya terdiri dari warga negara Indonesia;
c. serikat petani; dan
d. serikat nelayan.

Pasal 58
(1) Penerima TORA kategori perseorangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a secara berurutan diprioritaskan
pada:
a. petani penggarap
b. buruh tani
c. petani yang luas lahannya kurang dari 0,5 hektar
d. masyarakat berpenghasilan rendah
e. masyarakat korban konflik sosial
(2) Penerima TORA kategori perseorangan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi pesyaratan:
a. Warga Negara Indonesia
b. sudah melangsungkan perkawinan;

22
c. memenuhi prioritas sebagai penerima TORA
d. bersedia bertempat tinggal di kecamatan lokasi TORA

Pasal 59
(1) Penerima TORA kategori koperasi, serikat tani dan serikat nelayan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 ayat (2) huruf b, huruf c,
dan huruf d, harus memenuhi persyaratan :
a. berkedudukan di kecamatan tempat TORA
b. kegiatan usahanya di bidang produksi pertanian
c. keanggotan koperasi terdiri dari para petani yang termasuk
prioritas sebagai penerima TORA
(2) Penetapan penerima TORA dilakukan melalui tahapan :
a. identifikasi;
b. verifikasi; dan
c. penetapan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan penerima TORA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri.

Bagian Keempat
Pemberdayaan terhadap Penerima TORA

Pasal 60
Dalam rangka mencapai tujuan pelaksanaan reforma agraria,
Pemerintah Pusat wajib memberikan dukungan penerima TORA
berupa:
a. pengembangan usaha;
b. sarana dan prasana
c. pelatihan;
d. jaminan kredit perbankan;
e. jaminan modal;
f. perlindungan dan jaminan akses pasar;
g. jaminan pembelian produk hasil pertanian; dan
h. bimbingan teknis untuk koperasi tani dan nelayan.

Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penerima TORA

Pasal 61
(1) Penerima TORA berhak mendapatkan bukti kepemilikan Hak Atas
Tanah.
(2) Penerima TORA berhak memperoleh pemberdayaan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka reforma
agraria.
Pasal 62
(1) Penerima TORA wajib:

a. menggunakan dan mengusahakan sendiri tanahnya secara


produktif;

23
b. mentaati ketentuan dan syarat menggunakan dan
mengusahakan tanah.
(2) Penerima TORA dilarang:
a. menelantarkan tanah;
b. mengalihkan hak atas tanahnya sebelum jangka waktu 20
tahun sejak lahirnya hak atas tanah;
c. memerintahkan pihak lain untuk menggunakan dan
mengusahakan tanahnya; atau
d. mengalihfungsikan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.

Pasal 63
(1) Penerima TORA yang melanggar kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 diberikan sanksi berupa
pencabutan hak atas tanahnya dan menjadi tanah negara
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah

Bagian Keenam
Penyelenggaraan Reforma Agraria

Pasal 64
(1) Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Menteri yang
membidangi urusan pertanahan berkoordinasi dengan instansi
pemerintah terkait dan pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan Reforma Agraria dilaporkan oleh menteri sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun kepada Presiden.

BAB IV PENDAFTARAN
TANAH

Bagian Kesatu
Prinsip Pendaftaran Tanah

Pasal 65
(1) Pendaftaran Tanah dilakukan terhadap tanah perseorangan dan
badan hukum, serta Tanah Negara dan Tanah Ulayat.
(2) Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan menyediakan
informasi Pertanahan berbasis bidang Tanah.
(3) Dalam hal tidak tersedia secara lengkap alat bukti tertulis,
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan
penguasaan fisik bidang Tanah paling singkat 20 (dua puluh)
tahun secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan
pendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan terbuka oleh
yang berhak atas Tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang
yang dapat dipercaya; dan

24
b. tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat,
kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain, atau
pihak lain atas penguasaan Tanah baik sebelum maupun
selama pengumuman berlangsung.
(4) Pendanaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pendaftaran
Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Bagian Kedua
Obyek Pendaftaran Tanah

Pasal 66
(1) Tanah yang wajib didaftar meliputi:
a. bidang tanah yang dimiliki dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;
b. tanah Hak Pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak tanggungan;
e. hak guna ruang atas tanah dan hak guna ruang bawah tanah;
f. Tanah Negara; dan
g. Tanah Ulayat.
(2) Pendaftaran atas tanah negara dan tanah ulayat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan dengan
melaksanakan inventarisasi dan pencatatan pada peta pendaftaran
tanah serta tidak diterbitkan sertipikat Hak Atas Tanah.

Bagian Ketiga
Kegiatan Pendaftaran Tanah

Pasal 67
(1) Pendaftaran tanah meliputi:
a. pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya;
c. penerbitan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(2) Setiap peralihan hak, hapusnya, dan pembebanannya dengan hak
lain harus didaftarkan.
(3) Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan ayat (2) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
lahirnya, hapusnya, serta sahnya peralihan dan pembebanan hak
tersebut.

Pasal 68
(1) Perbuatan hukum mengenai jual beli, penghibahan, pembebanan
Hak Tanggungan, penyertaan modal, dan pembebanan dengan hak
lain dilakukan berdasarkan akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta tanah.

25
(2) Keabsahan dokumen pertanahan yang menjadi persyaratan
permohonan Hak Atas Tanah merupakan tanggung jawab
sepenuhnya dari pemohon.

Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PEROLEHAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM,
PENGALIHFUNGSIAN TANAH SERTA TUKAR GULING

Bagian Kesatu
Perolehan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Pasal 70
(1) Perolehan Tanah untuk kepentingan umum dilakukan melalui
pengadaan tanah atau pencabutan Hak Atas Tanah.
(2) Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan tanpa
adanya paksaan dalam segala wujudnya dengan penggantian yang
adil dan layak yang diatur dengan undang-undang.
(3) Dalam keadaan yang memaksa, tanah yang terkena tidak dapat
dipindahkan ke lokasi lain, serta pengadaan tanah untuk
kepentingan umum melalui musyawarah mufakat tidak dapat
dilakukan, maka dapat dilakukan melalui pencabutan Hak Atas
Tanah yang diatur dengan undang-undang.

Bagian Kedua
Pengalihfungsian Tanah

Pasal 71
(1) Bidang Tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan harus dialihfungsikan sesuai
dengan rencana peruntukan yang ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah.
(2) Dalam hal pemegang Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) akan mengalihkan haknya kepada pihak lain,
prioritas untuk memperoleh bidang Tanah diberikan kepada
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 72
(1) Pengalihfungsian Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil kajian dampak
lingkungan dan sosial yang berpotensi untuk terjadi.
(2) Pelaksanaan kajian dampak lingkungan dan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada asas kemanfaatan,
keterbukaan, dan partisipasi serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

26
Pasal 73
Tanah yang menurut sifat dan fungsinya sesuai untuk dipergunakan
bagi budi daya tanaman tertentu tidak dapat dialihfungsikan untuk
budi daya tanaman lain dan kepentingan non-pertanian.

Bagian Ketiga
Tukar Guling

Pasal 74
(1) Tukar Guling dapat dilakukan antara Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah dengan pihak lain dengan menerima
penggantian utama berupa tanah dan/atau bangunan pengganti.
(2) Tukar Guling dilaksanakan dengan pertimbangan:
a. pemenuhan kebutuhan operasional penyelenggaraan
pemerintahan;
b. optimalisasi penggunaan tanah instansi pemerintah, pemerintah
daerah, dan pemerintah desa; dan
c. ketersediaan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

BAB VIII
PENYEDIAAN TANAH UNTUK KEPERLUAN
PERIBADATAN DAN SOSIAL

Pasal 75
Penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial dapat
dilakukan melalui:
a. lembaga perwakafan atau lembaga sejenisnya;
b. hibah;
c. pelepasan hak dengan ganti kerugian; atau
d. pemberian hak oleh negara.

Pasal 76
(1) Perwakafan Tanah dan lembaga yang sejenis menurut ajaran
agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a yang dianut
masyarakat Indonesia dilindungi keberadaannya.
(2) Tata cara perwakafan dan lembaga yang sejenis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 77
Penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial melalui
hibah, pelepasan hak dengan ganti kerugian dan pemberian hak oleh
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf b, huruf c dan
huruf d dilaksanakan sesuai dengan kententuan peraturan perundang-
undangan.

27
BAB IX PENGAWASAN
PERTANAHAN

Pasal 78
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan pengawasan
terhadap kinerja pengaturan dan pelaksanaan pertanahan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat.
(5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan
kepada pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 79
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (2) dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian
antara penyelenggaraan pertanahan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam
penyelenggaraan pertanahan, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota
atau pejabat yang berwenang mengambil langkah penyelesaian
sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur
mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan
Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah penyelesaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri
mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan
Gubernur.

Pasal 80
(1) Pengawasan pertanahan wajib dilakukan oleh Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota dan pejabat yang berwenang terhadap pemberian
hak atas tanah yang diterbitkan berdasarkan kewenangannya.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling sedikit satu kali dalam lima tahun.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
dasar untuk melakukan tindakan hukum penertiban pemilikan,
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

28
Pasal 81
(1) Pengawasan pertanahan pada setiap tingkat wilayah dilakukan
dengan menggunakan pedoman pengawasan bidang pertanahan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
pada pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan pertanahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan pertanahan
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 82
(1) Setiap pejabat pemerintah yang bidang tugasnya berkaitan dengan
tanah terbukti melakukan tindakan yang sengaja atau lalai
menyebabkan seseorang menjadi kehilangan hak atas tanah
dikenakan sanksi administratif.
(2) Setiap pejabat pemerintah yang bidang tugasnya berkaitan dengan
tanah terbukti melakukan tindakan yang sengaja atau lalai
menyebabkan kepemilikan hak atas tanah oleh seseorang yang tidak
memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah dikenakan sanksi
administratif.
(3) Setiap pejabat pemerintah yang bidang tugasnya dibidang
pertanahan yang tidak melakukan pengawasan pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenakan sanksi
administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) berupa:
a. sanksi ringan;
b. sanksi sedang; atau
c. sanksi berat.
(5) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan /atau hak-hak
jabatan.
(6) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b berupa:
a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
b. pemberhentian sementara memperoleh hak-hak jabatan; atau
c. pembehentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan
(7) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf c berupa:
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan
dan fasilitas lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan
fasilitas lainnya;
c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan
dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di madia massa;

29
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan
fasilitas lainnya serta dipublikasikan di madia massa
(8) Tata cara pengenaan sanksi adminintratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

BAB X PENYELESAIAN
SENGKETA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 83
(1) Sengketa Pertanahan terdiri atas:
a. sengketa pertanahan konvensional; dan
b. sengketa pertanahan struktural.
(2) Sengeta pertanahan konvensional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terjadi karena adanya pelanggaran terhadap
kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
yang dimiliki perseorangan atau badan hukum.
(3) Sengketa Pertanahan struktural sebagaimana dimaksud pda ayat
(1) huruf b terjadi karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan
dalam kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan
hukum yang menguasai tanah dalam skala besar.
(4) Sifat sengketa pertanahan struktural sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) meliputi:
a. melibatkan banyak orang baik secara bersama-sama maupun
komunal;
b. terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan dan pemilikan
tanah antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan
hukum; dan
c. berdimensi pelanggaran hak asasi manusia;

Pasal 84
(1) Penyelesaian sengketa pertanahan mengutamakan penyelesaian
melalui musyawarah untuk mufakat diantara para pihak.
(2) Penyelesaian sengketa pertanahan struktural diarahkan untuk
menghilangkan ketimpangan penguasaan kepemilikan tanah dan
menjunjung hak asasi manusia.
(3) Penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan melalui tiga
jalur penyelesaian, yaitu:
a. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga non-
yudisial;
b. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga quasi-
yudisial; dan
c. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga yudisial.

30
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Lembaga Non-Yudisial

Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan melalui
lembaga non-yudisial melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, dan
peradilan adat.
(2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Hasil penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus didaftarkan kepada pengadilan negeri untuk memperoleh
kekuatan eksekutorial dari negara.
(4) Penyelesaian sengketa pertanahan melalui negosiasi, mediasi, dan
arbitrase dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan mengenai negosiasi, mediasi, dan arbitrase.

Pasal 86
(1) Peradilan adat berwenang menyelesaikan sengketa pertanahan
konvensional antar warga masyarakat yang terjadi di dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
(2) Penyelesaian sengketa pertanahan melalaui peradilan adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kesepakatan atau
putusan berdasarkan hukum adat.
(3) Hasil penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui peradilan
adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didaftarkan
kepada pengadilan negeri untuk memperoleh kekuatan
eksekutorial dari negara.
(4) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan atau para pihak tidak
menerima putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) para pihak
dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada
Pengadilan Agraria.
(5) Hasil penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui peradilan
adat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan
utama bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(6) Pengadilan Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
berwenang menyelesaikan sengketa pertanahan konvensional di
wilayah masyarakat hukum adat sebelum dilakukan upaya
penyelesaian melalui Peradilan Adat.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Lembaga Quasi-Yudisial

Pasal 87
(1) Penyelesaian sengketa pertanahan struktural melalui lembaga
quasi-yudisial dilakukan oleh Komisi Nasional untuk Penyelesaian
Konflik Agraria (KNuPKA)
(2) KNuPKA dibentuk dengan Peraturan Presiden

31
(3) KNuPKA terdiri dari 11 orang komisioner yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
(4) Susunan kepengurusan KNuPKA ditentukan oleh anggota KNuPKA
untuk selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 88
Syarat menjadi anggota KNuPKA meliputi:
a. Warga Negara Indonesia;
b. mempunyai pengalaman dalam memediasi dan menyelesaiakan
sengketa pertanahan;
c. bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), POLRI, TNI dan Pengurus atau
anggota Partai Politik; dan
d. bukan pelaku usaha yang memiliki saham pada perusahaan yang
mempergunakan hak atas tanah.

Pasal 89
(1) Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan struktural, KNuPKA
berwenang:
a. melakukan tindakan mitigasi untuk menghentikan dampak
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat sengketa
Pertanahan struktural;
b. melakukan mediasi antara para pihak yang bersengketa;
c. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan yang berkaitan
dengan sengketa Pertanahan struktural;
d. memutuskan mengenai sengketa Pertanahan struktural;
dan/atau
e. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan dan
pemulihan hak pihak yang bersengketa.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), KNuPKA dapat menetapkan penghentian sementara
pemanfaatan dan penggunaan Tanah yang menjadi Obyek
sengketa pertanahan sampai terdapat putusan yang mengikat.

Pasal 90
Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan struktural, KNuPKA
bertugas:
a. menerima pengaduan dari pihak yang bersengketa
b. melakukan pendampingan terhadap pihak yang bersengketa
c. melakukan pemeriksaan dokumen dan bukti-bukti
d. mendengarkan keterangan para pihak, saksi dan ahli
e. melakukan investigasi lapangan untuk memperoleh keterangan
f. membuat putusan mengenai sengketa pertanahan yang ditangani
g. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan dan
pemulihan hak pihak yang bersengketa.

Pasal 91
(1) KNuPKA membentuk panel komisi yang terdiri dari 5 orang
komisioner untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
sengketa pertanahan struktural.

32
(2) Pemeriksaan yang dilakukan oleh Panel Komisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 100 (seratus) hari
kerja sejak kasus teregistrasi di KNuPKA.
(3) Pemeriksaan sengketa dapat dilakukan secara terbuka maupun
tertutup.
(4) Hasil pemeriksaan oleh panel komisi disampaikan dalam rapat
pleno KNuPKA untuk mengambil putusan mengenai sengketa yang
ditangani.

Pasal 92
(1) Putusan KNuPKA dalam penyelesaian sengketa pertanahan
struktural bersifat final dan mengikat.
(2) Putusan KNuPKA dalam menyelesaikan sengketa pertanahan
struktural dapat berupa:
a. sanksi administratif
b. denda administratif
c. pengembalian tanah
d. ganti rugi
(3) Pembacaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Bagian Keempat
Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Lembaga Yudisial

Pasal 93
(1) Penyelesaian sengketa Pertanahan melalui pengadilan
dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian
suatu hak, besarnya ganti kerugian, dan atau tindakan tertentu
yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan
pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan
tindakan tertentu tersebut setiap hari.

Pasal 94
(1) Penyelesaian sengketa pertanahan konvensional melalui lembaga
yudisial dilakukan oleh Pengadilan Agraria
(2) Pengadilan Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
dengan undang-undang.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 95
(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia,
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pertanahan diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk

33
membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
bidang pertanahan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana dalam bidang pertanahan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang pertanahan;
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang
berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang pertanahan;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana dalam bidang pertanahan; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang pertanahan.

Pasal 96
(1) Penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia.
(2) Apabila dalam pelaksanaan kewenangan penyidik pegawai negeri
sipil memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan,
penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan
pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil menyampaikan hasil penyidikan
kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia.

Pasal 97
(1) Penyidik pegawai negeri sipil dibentuk pada tingkat nasional dan
tingkat provinsi.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tingkat nasional memiliki ruang
lingkup kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi pada tingkat
provinsi.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil tingkat provinsi memiliki ruang
lingkup kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi pada tingkat
kabupaten/kota.
(4) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata
cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

34
BAB XII KETENTUAN
PIDANA

Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).

BAB XIII KETENTUAN


PERALIHAN

Pasal 99
(1) Menteri yang membidangi urusan pertanahan berkoordinasi
dengan Menteri yang membidangi keuangan melakukan
inventarisasi peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan Hak
Pengelolaan.
(2) Terhadap Hak Pengelolaan yang sudah berlangsung sebelum
berlakunya Undang-Undang ini harus dilakukan penyesuaian
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.
(3) Hak pengelolaan yang dipegang oleh pemegang hak pengelolaan
yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat
(2) dinyatakan hapus haknya dan tanahnya menjadi Tanah
Negara.
(4) Terhadap penyerahan pemanfaatan bagian Tanah Hak Pengelolaan
yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, masih tetap
diberlakukan sampai dengan masa berakhirnya perjanjian
penyerahan pemanfaatan tanah yang bersangkutan.

Pasal 100
(1) Pengukuhan keberadaan Hak Ulayat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilaksanakan paling lama dalam waktu 5 tahun
sejak berlakunya undang undang ini.
(2) Bagian bidang Tanah Ulayat yang sudah diperoleh dan dipunyai
secara sah oleh perseorangan atau badan hukum dengan Hak Atas
Tanah sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap diakui
berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Bagian bidang tanah Hak Ulayat yang telah diperoleh dan dipunyai
secara sah oleh perseorangan atau badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau ulang apabila dalam
penyelenggaraannya menimbulkan pelanggaran terhadap hak
masyarakat hukum adat.

Pasal 101
(1) Terhadap Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang sudah
ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini masih tetap
diberlakukan sampai dengan masa berakhirnya jangka waktu Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

35
(2) Terhadap Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang sudah
berakhir jangka waktunya, dapat diperpanjang kembali dengan
mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 102
Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
berlakunya undang-undang ini.

Pasal 103
(1) Presiden membentuk KNuPKA paling lambat satu tahun sejak
berlakunya undang-undang ini.
(2) Sebelum KNuPKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
terbentuk, kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan
struktural diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.
(3) Dalam hal menjalankan tugas dan wewenang menyelesaikan
sengketa pertanahan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk sub-komisi yang
terdiri dari 5 orang komisioner dan didukung oleh Sekretariat
Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Pasal 104
(1) Pengadilan Agraria dibentuk paling lambat 5 (lima) tahun sejak
berlakunya undang-undang ini.
(2) Sebelum Pengadilan Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terbentuk, kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan
diselesaikan oleh pengadilan negeri.

BAB XV KETENTUAN
PENUTUP

Pasal 105
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan dan peraturan
pelaksanaannya yang telah ada, dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
undang ini.

36
Pasal 106
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal…
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR ...

37
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN 2015
TENTANG
PERTANAHAN
----

I. UMUM
Sumber daya agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Sumber daya agraria
merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu
harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.
Sumber daya agraria khususnya tanah disadari bukan hanya
mengandung nilai ekonomis semata namun mengandung nilai yang
lain yaitu sosial karena tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi media hubungan antar manusia, religius karena
tanah tempat manusia hidup berasal dari karunia Tuhan Yang Maha
Esa dan tempat manusia disemayamkan, dan ekologis karena tanah
tempat berbagai flora dan fauna tumbuh dan berkembang sehingga
perlu dijaga kesuburannya.
Pengelolaan sumber daya agraria khususnya tanah yang berlangsung
selama ini telah menimbulkan ketimpangan struktur atas
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya.
Ketimpangan tersebut telah menyebabkan timbulnya berbagai konflik
serta penurunan kualitas lingkungan. Ketimpangan dan konflik yang
terjadi didorong juga oleh adanya peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria saling
tumpang tindih. Akibatnya, bukan hanya jaminan kepastian hukum
menjadi sangat rendah. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya
agraria yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus
dilakukan dengan cara terpadu, terkoordinasi dan menampung
dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat.
Dengan mempertimbangkan faktor ideologis, filosofis, dan sosiologis
tersebut di atas, kepentingan untuk melakukan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
merupakan suatu keniscayaan. Melalui pembentukan dan
pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan ini diharapkan upaya
penataan yang mengarah pada terciptanya kemakmuran rakyat dapat
diujudkan.
Ada 3 (tiga) tujuan yang hendak diujudkan melalui Undang-Undang
Pertanahan ini yaitu : (1) pemerataan pemilikan dan penguasaan
tanah, serta akses terhadap sarana dan prasarana produksi di bidang

1
pertanahan; (2) keseimbangan antara optimalisasi produksi dengan
kelestarian fungsi tanah; (3) kepastian hukum terhadap hak atas
tanah. Dengan prinsip-prinsip dan ketentuan yang dirumuskan
dalam Undang-Undang ini dikehendaki ketiga tujuan dapat tercapai.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas kebangsaan adalah hubungan antara
bangsa Indonesia dengan tanah yang bersifat abadi. Keberadaan
bangsa sebagai kesatuan dari kelompok-kelompok dan suku-suku
yang berbeda harus ditempatkan dalam kedudukan yang tertinggi
dan menjadi orientasi dari kebijakan, pengaturan, pengurusan,
pengelolaan, dan pengawasan pertanahan. Selain itu, asas
kebangsaan memiliki implikasi bahwa warga negara Indonesia
harus diutamakan kepentingannya untuk memperoleh hak atas
tanah dan memanfaatkan tanah untuk berbagai keperluannya.
Maka pada prinsipnya hanya warga negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah bahwa
Seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Dengan demikian seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan Nasional yang harus didayagunakan untuk
memberikan manfaat kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa
ada diskriminasi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas fungsi sosial menuntun penggunaan
tanah yang harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari
haknya guna menciptakan keseimbangan antra kepentingan individu,
keluarga dan masyarakat sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan pemilik hak atas tanah namun juga bermafaat
bagi masyarakat dan Negara. Dengan demikian tanah tidak boleh
terlantar atau diterlantarkan. Sementara itu fungsi ekologis
menunjuk pada keharusan adanya keseimbangan dalam
pemanfaatan tanah antara kepentingan optimalisasi produksi dengan
kelestarian serta antara budidaya tanaman pangan dengan budi daya
tanaman komersiil serta mendorong tidak terjadinya penelantaran
tanah. Terwujudnya fungsi sosial dan ekologis tanah dilakukan
dengan pemberian keseimbangan antara kewenangan yang
diberikan dengan beban-beban kewajiban kepada pemegang hak atas
tanah.

2
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keadilan dalam penguasaan,
pemilikan, penggunan dan pemanfaatan tanah adalah adanya
pemerataan distribusi dan adanya pembatasan kepemilikan tanah
kepada dan oleh setiap keluarga, sedangkan keadilan pemanfaatan
tanah bermakna agar ada pemerataan distribusi peruntukan dan
penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan dan kepentingan secara
proporsional yaitu antarsektor di perkotaan dan di perdesaan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas keberagaman adalah adanya
pengakuan terhadap keberagaman kondisi sosial-ekonomi, hukum
yang berlaku baik terkait dengan lembaga hukum hak ulayat dan
peradilan adat serta asas dan norma hukum. Dalam kesatuan hukum
bermakna bahwa pengakuan terhadap keberagaman tersebut
harus berorientasi pada penguatan ikatan kebangsaan dan
keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
kemakmuran bagi setiap orang, pemberian perlakuan yang sama
dengan tetap membuka adanya perlakuan khusus bagi kelompok
yang lemah agar tercapai kesamaan kondisi sosial-ekonomi-politik,
dan menyeleksi norma dan asas hukum serta lembaga yang dapat
berkontribusi terhadap ikatan kebangsaa, keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan kemakmuran bagi semua orang).
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah pelaksanaan
kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan
pertanahan oleh pemerintah dan pemerintah daerah harus
dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga masyarakat. Asas
keterbukaan bermakna agar penyusunan rencana dan pelaksanaan
kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan
harus disampaikan/diinformasikan kepada warga masyarakat agar
diketahui, dipahami, dan dinilai. Asas partisipatif bermakna agar
penyusunan rencana dan pelaksanaan kebijakan, pengaturan,
pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan mengikutsertakan warga
masyarakat untuk mendapatkan masukan substansi dan terkait
pelaksanaannya).

Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Hak bangsa yang bersifat abadai adalah
hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dengan tanah
atau lebih luas dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud mempunyai semua Tanah dalam wilayah Negara
adalah bahwa negara berkedudukan sebagai penguasa Negara
yang menjalankan fungsi penguasaannya secara efektif dan
dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

3
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tujuan khusus antara lain
pembangunan kawasan pelabuhan, kawasan industri,
kawasan perdagangan bebas, kawasan hutan negara dan
sebagainya. Dengan demikian instansi pemerintah yang dalam
pelaksanaan tugasnya perlu menggunakan tanah untuk
kepentingannya maupun kepentingan pihak lain harus
mempunyai hak pengelolaan.
Huruf b
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Bentuk rekognisi dapat berupa uang, pembangunan sarana dan
prasarana publik, pemilikan saham, dan bentuk lain yang

4
bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Besarnya nilai rekognisi
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara masyarakat hukum
adat dengan pihak ketiga. Yang dimaksud dengan penyerahan
pemanfaatan tanah adalah pelepasan sementara tanah ulayat untuk
dimanfaatkan sesuai dengan jangka waktu hak atas tanah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ruang publik antara lain kawasan
pantai, ruang terbuka hijau, jalan umum, dan pemakaman umum
yang tidak berasal dari wakaf.
Huruf b
Yang dimaksud dengan cagar budaya adalah warisan budaya
bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya,
dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tanah yang secara topografis dan
geologis dapat membahayakan kehidupan manusia adalah
tanah lereng dengan kemiringan tertentu.
Yang dimaksud dengan tanah yang secara topografis dan
geologis yang dapat membahayakan flora dan fauna adalah
cagar alam, kawasan pengembangan biakan tanaman dan satwa
yang dilindungi.
Yang dimaksud dengan kawasan lingkungan setempat antara
lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

5
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan secara bersama-sama memiliki Hak Atas
Tanah adalah hak atas tanah milik bersama secara adat dari
kelompok dalam masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, hak
bersama yang digunakan untuk tempat bangunan rumah susun,
tanah warisan yang belum/tidak terbagi, hak milik bersama atas
TORA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan badan sosial adalah lembaga yang
menyelenggarakan kegiatan sosial antara lain pendidikan,
kebencanaan, panti jompo.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan koperasi pertanian yang adalah koperasi
tani yang seluruh anggotanya adalah orang yang secara
langsung bekerja sebagai petani, termasuk petani tambak,
nelayan dan peternak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

6
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peristiwa hukum adalah adanya kematian
yang mengakibatkan hak miliknya peralih kepada ahli warisnya.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah jual beli, hibah,
tukar menukar dan perbuatan hukum lainnya yang mengakibatkan
hak milik beralih kepada pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah instansi yang
membidangi pertanian untuk usaha perkebunan, peternakan,
pertambakan, serta instansi yang membidangi pengelolaan wilayah
persisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bangunan di atas tanah yang bukan
miliknya adalah perkantoran, tempat tinggal atau permukiman,
industri, dan perhotelan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

7
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

8
Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Ayat (1)
Huruf a
Yang diumaksud dengan petani penggarap adalah petani yang
menggarap tanah yang akan dijadikan Obyek reforma agraria.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

9
Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

10
Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peradilan adat merupakan proses
penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh pemangku
adat atau lembaga adat terhadap sengketa tanah yang terjadi di dalam
wilayah masyarakat hukum adat. Peradilan adat bukan merupakan
bagian dari struktur kekuasaan kehakiman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Mitigasi dimaksud dapat dilakukan dengan memastikan
dihentikannya tindakan-tindakan yang berdampak pada
keselamatan dan kelangsungan hidup dari pihak yang
bersengketa. Dalam hal ini termasuk pula memastikan adanya
jaminan kelangsungan hidup dari pihak yang bersengketa
selama dalam pengungsian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

11
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

12
Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ...


NOMOR ...

13

Anda mungkin juga menyukai