Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

CVDNH Berulang dengan Fraktur Humerus dan Fraktur


Radius sinistra

Disusun oleh:
Michelle / 010731700115
Jessica Wiryanto / 10731700075

Diuji oleh:
dr. Astra Dea Simanungkalit Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT NEUROEMERGENSI


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE DESEMBER – JANUARI 2020
TANGERANG
BAB I
IDENTITAS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Inisial : Ny. M
Kelamin : Perempuan
Usia : 52 tahun
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Alamat : Binong, Tangerang
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Tanggal masuk RS : 10 Desember 2019 pukul 09.14 WIB
Tanggal pemeriksaan : 16 Desember 2019 pukul 13.10 WIB

ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan anak pasien dan autoanamnesis
dengan pasien pada tanggal 16 Desember 2019 pukul 13.10

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 12 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD RSUS karena penurunan kesadaran sejak 12 jam
SMRS, pasien cenderung tidur dan sulit untuk dibangunakan. Satu hari sebelum
penurunan kesadaran pasien jatuh dari lantai 2 rumahnya saat sedang menyapu.
Pasien terjatuh terkena kepala bagian kiri dan bagian tubuh kiri termasuk tangan
dan kaki. Saat jatuh pasien mendengar suara seperti patah “krak”. Pasien tidak
mengalami pingsan saat jatuh. Pasien mengaku setelah jatuh merasa lemas dan
kaget. Pasien tidak dapat berdiri sendiri dan dibantu oleh anak pasien untuk
pindah ke tempat tidur. Pasien mengalami mual namun tidak muntah. Pasien
merasa nyeri pada kepala, tangan, kaki dan panggul pasien. Setelah jatuh pasien
hanya mau tiduran di tempat tidur karena takut merasakan nyeri jika menggerakan
tubuh pasien, terutama tangan dan kaki. Menerut keluarga pasien baru mengalami
penurunan kesadaran malam keesokan harinya, pasien jadi sulit dibangunkan dan
sulit diajak komunikasi. Keluarga pasien menyangkal adanya riwayat kejang
maupun pingsan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Stroke iskemik Mei 2019
Riwayat alergi (-)
Riwayat diabetes mellitus (+) tidak terkontrol
Riwayat hipertensi sejak (+) tidak terkontrol
Riwayat kolesterol (+) tidak minum obat

Riwayat Keluarga
Riwayat stroke (+) adik pasien
Hipertensi (+) ibu pasien
Diabeters melitus (-)

Riwayat Sosial/Kebiasaan/Pola Hidup


Pasien sehari-hari tidak bekerja. Pasien merokok selama 5 tahun saat pasien usia
remaja, pasien mengaku merokok 1 bungkus per hari. Riwayat mengonsumsi
alkohol disangkal. Pasien tidak pernah mengontrol makan pasien, menurut anak
pasien, pasien suka jajan diluar.
PEMERIKSAAN FISIK - IGD
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 11 (E3M5V3)
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 109x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 37.1oC
SpO2 : 98%
Berat badan : 75 kg
Tinggi badan : 162 cm
IMT : 28.59kg/m2

Kepala Normosefali, deformitas (-), jejas (-)


Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3mm/3mm, RCL +/+ RCTL +/+
THT Telinga simetris, otorrhea (-), rhinorrhea (-), deviasi
septum (-), terpasang nasogastric tube dan nasal canule
Mulut Bibir simetris, mukosa kering
Leher Deviasi trakea (-), scar (-), massa (-) pembesaran KGB (-
)
Thorax Perkembangan dada saat statis dan dinamis simetris, scar
(-)
Paru Suara nafas vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-),
stridor (-)
Jantung S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Datar, supel, BU (+), nyeri tekan (-)
Punggung Deformitas (-), ulkus dekubitus (-)
Extremitas Akral hangat, CRT <2s, curiga fraktur pada humerus,
radialis tangan kiri, lateralisasi sinistra
Status Neurologis
 GCS : 11, E3M5V3

Tanda Rangsang Meningeal


 Kuduk kaku : (-)
 Kaku kuduk : (-)
 Tanda Laseque : >70o/>70o
 Tanda Kerniq : >135o/>135o
 Brudzinski I : (-)
 Brudzinski II : (-/-)

Saraf Kranialis
Saraf Kranial Kanan Kiri
Nervus I Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus II
Visus Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Lapang pandang Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus III, IV, VI
Sikap bola mata Orthophoria Orthophoria
Celah palpebral Sulit dinilai Sulit dinilai
Pupil Bulat, isokor 3mm Bulat, isokor, 3 mm
RCL + +
RCTL + +
Konvergensi Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nystagmus Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Pergerakan bola mata Kesan baik Kesan baik
Nervus V
Motorik
Inspeksi Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Palpasi Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Membuka mulut Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Gerakan rahang Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Sensorik
Sensibilitasi V1 Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Sensibilitas V2 Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Sensibilitas V3 Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Reflek Kornea positif positif
Nervus VII
Sikap mulut istirahat Simetris
Angkat alis, Kerut dahi Tidak dapat dinilai
Tutup mata dengan kuat Tidak dapat dinilai
Kembung pipi Tidak dapat dinilai
Menyeringai Tidak dapat dinilai
Rasa kecap 2/3 anterior Tidak dapat dinilai
lidah
Nervus VIII
Nervus koklearis
Suara bisikan/gesekan Tidak dapat dinilai
Rinne Tidak dinilai
Weber Tidak dinilai
Schwabach Tidak dinilai
Nervus vestibularis
Nistagmus Sulit dinilai
Berdiri dengan 1 kaki Tidak dapat dinilai
Berdiri dengan 2 kaki Tidak dapat dinilai
Berjalan tandem Tidak dapat dinilai
Fukuda stepping test Tidak dapat dinilai
Past pointing test Tidak dapat dinilai
Nervus IX, X
Arkus faring Sulit dinilai
Uvula Sulit dinilai
Disfoni (-)
Disfagi Tidak dapat dinilai
Reflex faring postif
Nervus XI
Sternocleidomastoid Tidak dapat dinilai
Trapezius Tidak dapat dinilai
Nervus XII
Sikap lidah dalam mulut
Deviasi simetris
Atrofi Tidak dapat dinilai
Fasikulasi Sulit dinilai
Tremor Sulit dinilai
Menjulurkan lidah Tidak dapat dinilai
Kekuatan lidah Tidak dapat dinilai
Disatria (-)

Motorik
Ektremitas Atas
Kanan Kiri
Atrofi - -
Fasikulasi - -
Tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan otot Tidak dapat dinilai
Gerakan involunter - -
Kesan Lateralisasi sinistra
Ekstremitas Bawah
Kanan Kiri
Atrofi - -
Fasikulasi - -
Tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan otot Tidak dapat dinilai
Gerakan involunter - -
Kesan Lateralisasi sinistra
Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
KPR ++ ++
APR ++ ++

Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaffer - -
Hoffman Trommer - -
Sensorik
Ekstroseptif
Kanan Kiri
Raba Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nyeri Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Suhu Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Proprioseptif
Kanan Kiri
Posisi sendi Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Getar Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Otonom
 Miksi : Terpasang catheter urin
 Defekasi : Spontan
 Sekresi keringat : Tidak dinilai
Fungsi luhur (MMSE) : Tidak dapat dilakukan

RESUME
Pasien Perempuan usia 52 tahun datang dengan penurunan kesadaran 12 jam
SMRS setelah sebelumnya terjatuh dari lantai 2 rumahnya. Pasien jatuh terkena
kepala dan sisi kiri tubuh pasien. Saat jatuh pasien seperti mendengar suara
“krak”, pasien sadar, tidak pingsan, mual +, muntah -. Pasien mengeluhkan nyeri
pada kepala, tangan dan kaki pasien. Keesokan harnya pasien mengalami
penurunan kesadaran, sulit dibangunkan dan dulit diajak berkomunikasi Pasien
memiliki riwayat stroke iskemik Mei 2019, diabetes, kolesterol dan hipertensi
tidak terkontrol. Dari pemeriksaan KU dan TTV ditemukan pasien tampak sakit
berat, dengan GCS 11 (E3M5V3), tanda-tanda vital stabi. Pada pemeriksaan
generalis ditemukan konnjungtiva anemis, kecurigaan fraktur pada humerus dan
radialis tangan kiri. Pemeriksaan rangsang meningeal (-/-). Pemeriksaan saraf
kranial kesan naik. Motorik kesan lateralisasi kiri.

DIAGNOSIS
Klinis : Penurunan Kesadaran, kesan lateralisasi sinistra, fraktur
Topis : cortex cerebri hemisfer dextra
Etiologi : Vaskular,
Patologis : emboli dd/ iskemik
SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan Brain non-contrast
2. Laboratorium (CBC, fungsi liver, fungsi ginjal, profil lipid, gula darah
sewaktu, elektrolit)
3. X-ray thorax
4. X-ray humerus dan antebracii sinistra, spine thoracolumbalis AP, lateral
5. EKG

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (10/12/19)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 8.00 g/dL 11.70 - 15.50 g/dL
Hematokrit 23.30% 40 – 52 %
Eritrosit (RBC) 2.75 x 106/uL 4.40-5.90 x 106/uL
Leukosit (WBC) 17.27 x 103/μl 3.80-10.60 x 103 /μl
Basophil 0 0-1
Eosunofil 0 1-3
Band neutrophil 2 2-6
Segment neutrophil 82 50-70
Lymphocyte 10 25-40
Monocyte 6 2-8
Platelet count 189x 103 150.000-400.000
ESR 110 mm/jam 0 – 20mm /jam
MCV 84.70 80.00 – 100.00
MCH 29.10 26.00 – 34.00
MCHC 34.30 32.00 – 36.00
SGOT 22 U/L 5 – 34
SGPT 29 U/L 0 – 55
Ureum 44 mg/dL < 50.00
Creatinine 1.34 mg/dl 0.5 – 1.3
eGFR 45.4 >60
Gula darah sewaktu 334 mg/dL < 200.0
Natrium 133mmol/L 137 – 145
Kalium 4.9 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride 96mmol/L 98 – 107
Blood keton 0.1 <0.6
HbA1C 9.8 <5.7

EKG (13/03/19)

Rhythm: Regular Rhythm


Axis: Normoaxis
P wave: Tidak dapat dinilai
QRS interval: 0.07 sec
ST segment: Elevasi (-), Depresi (-)
T wave: Normal
LBBB (-), RBBB (-), LVH (-), RVH (-), VES (-)
Kesan: Sinus Tachycardia
Chest X-Ray (10/12/19)

 Paru: suspek infiltrate minimal pada suprahiler dan perihilar bilateral serta
paracardial kanan
 Mediastinum: Normal
 Trakea dan Bronkus: Normal
 Hilus: Normal
 Paru: Normal
 Diafragma: Normal
 Jantung: CTR 69%
 Aorta: kalsifikasi dan elongasi
 Vertebra Thorakal dan Tulang Lainnya Normal
 Jaringan Lunak: Normal
 Abdomen yang Tervisualisasi Normal
 Leher yang Tervisualisasi: Normal
Kesan
 Kardiomegali dengan aorta kalsifikasi dan elongasi
 Suspek pneumonia
 Tidak tampak fraktur pada tulang dinding dada
XR- Spine Thoracolumbalis AP, lateral views (10/12/19)

Findings:
Yang tervisualisasi hingga L3
ALIGNMENT: Normal
KONFIGURASI: Normal
CORPUS VERTEBRA: Spur formation aspek anterior dna lateral corpus vertebra
thoracolumbalis
IGA: Normal
DENSITAS TULANG Normal
SELA DISKUS: Normal
JARINGAN LUNAK PARAVERTEBRAL: Normal
TORAKS YANG TERVISUALISASI: Normal
ABDOMEN YANG TERVISUALISASI: Normal
Kesan:
Degenerative vertebra thoracolumbalis
Tidak tampak fraktur kompresi corpus vertebra thoracolumbalis yang
tervisualisasi
XR- Humerus Sinistra AP, lateral views (10/12/19)

Findings:
HUMERUS: fraktur komplit pada 1/3 proksimal os humerus sinistra
SCAPULA: Normal
IGA: Normal
DENSITAS TULANG: Normal
SENDI GLENOHUMERAL: Menyempit
SENDI ACROMIOCLAVICULAR: Normal
Kesan:
Fraktur komplit pada 1/3 proksimal os humerus sinistra
XR- Antebrachi Sinistra AP, lateral views (10/12/19)

Findings:
RADIUS: fraktur komplit pada 1/3 distal os radius sinistra, dengan kedudukan
relative segaris
ULANA: Normal
TULANG-TULANG CARPALIA: Normal
METACARPALIA: Normal
DENSITAS TULANG: Normal
SENDI RADIO-ULNAR PROXIMAL: Normal
SENDI RADIO-ULNAR DISTAL: Normal
SENDI RADIO-CARPAL: Normal
SENDO CARPO-METACARPAL: Normal
Kesan:
Fraktur komplit pada 1/3 distal os radius sinistra, dengan kedudukan relative
segaris.
CT-Scan Brain Non-Contrast (10/12/19)

Telah dilakukan CT Scan kepala tanpa kontras IV potongan axial mulai dari
vertex sampai basis cranii
Findings:
Perdarahan intracranial: tidak tampak
Midline shift/ efek massa: tidak tampak
Parenkim cerebri: tampak lesi hipodens dengan batas tegas pada periventrikel
lateralis bilateral, kapsula interna posterior kanan, thalamus kiri, nucleus caudatus
kiri
Lesi hipodens dengan batas tidak tegas pada libus temporo-occipital kanan
Korpus callosum: normal
Midbrain: normal
Pons: normal
Medulla oblongata: normal
Parenkim cerebeli: normal
Ventrikel: normal
Sisterna, sulci: normal
Falx, tentorium: normal
Kanalis aqustikus internus: normal
Sella: normal
CV junction: normal
Nasofaring: normal
Orbita: normal
Sinus paranasal: normal
Tulang: deviasi septum nasi ke kiri

Kesan:
Wanita, 52 tahun dengan MHI suspek perdarahan intracranial
CT Scan Brain Non Contrast
 Infark akut-subakut oada lobus temporo-occipital kanan
 Infark lama pada periventrikel lateralis bilateral, kapsula interna cruz
posterior kanan, thalamus kiri, nucleus caudatus kiri
 Tidak tampak perdarahan intracranial
 Sinus maksilaris kanan
 Deviasi septum nasi ke kiri

DIAGNOSIS KERJA
CVDNH susp emboli
Fraktur komplit 1/3 proksimal humerus kiri
Fraktur komplit 1/3 distal radialis kiri
DM tipe 2
Hipertensi

SARAN TATALAKSANA
Tatalaksana umum
1. Elevasi kepala 30°
2. Pemasangan IV line
3. Pemasangan nasogastric tube karena pasien tidak sadar
4. Pemasangan foley catheter untuk memantau urine output
5. Konsul Sp.S
6. Konsul Sp.PD
7. Konsul Sp.OT
8. Rawat HCU
9. Konsul Sp.An

Tatalaksana khusus
1. Elevasi kepala 30°
2. Pemberikan oksigen 3 liter per menit dengan nasal canul  bila saturasi <
94%
3. Kontrol suhu tubuh, jika demam berikan paracetamol 1gr jika suhu >37,5°C
4. Pemberian obat kejang jika terjadi kejang yaitu diazepam bolus lambat 5-20
mg
5. Neuroprotektif agent  citicholine 2x500 IV

Tatalaksana yang diberikan pada pasien:


1. Konsul Sp.S
2. Konsul Sp OT
3. Konsul Sp.PD
4. Konsul Sp.An
5. Pemberikan oksigen 3 liter per menit dengan nasal canul
6. Pemasangan splint pada lengan atas dan lengan bawah
7. Pemberian cairan maintenance NaCL 0.9% 500cc/8jam
8. Pemasangan foley catheter untuk memantau urine output
9. Pemasangan NGT
10. Ketorolac 3x 30mg
11. Omeperazole 1x40mg
12. Citicolin 2x500ml
13. Atorvastatin 1x40mg
14. Ceftriaxone 1x2gr
15. Insulin loading scale
16. Saran rawat HCU
BAB II
FOLLOW UP

S: nyeri pada tangan kiri, sulit menggerakan kaki kiri


O: Tampak sakit sedang, Kesadaran: GCS (E4M6V5)
TD: 160/80 mmHg, N: 88x/mnt, RR: 18x/mnt, S: 36.5°C
SatO2: 99%
Pupil: Bulat, isokor 2mm/2mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Gerakan bola mata kesan normal, Nervus cranialis kesan baik
Meningeal sign: Kaku kuduk (-). R. fisiologis: 2+/2+. RP: Babinski
-/-
Motorik: Kesan lateralisasi kiri
5555/x
5555/2233

16/12/2019 A: Stroke iskemik suspek emboli OH -7, HT, DM tipe 2, Fraktur


13:10 komplit 1/3 proksimal humerus kiri, fraktur komplit 1/3 distal radius
Hari ke 7 kiri

P:
IVDF NaCl 0.9% 500ml/8 jam
Cefepime 4x1gr
Amlodipin 10mg
Omeperazole 1x40mg
Clopidogrel 1x75mg (11/12)
Atorvastatin 1x40mg
Metformin 3x500mg
URM
Imobilisasi tangan kiri

17/12/2019 S: Tangan kiri sakit, sulit menggerakan kaki kiri


7:00 O: Tampak sakit sedang, Kesadaran: GCS (E4M6V5)
Hari ke 8 TD: 170/80 mmHg, N: 82x mnt, RR: 20x/mnt, S: 36.8°C
Pupil: Bulat, isokor 2mm/2mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Meningeal sign: Kaku kuduk (-). R. fisiologis: 2+/2+. RP: Babinski
-/-
Motorik: Kesan lateralisasi kiri
5555/x
5555/2233

A: Stroke iskemik suspek emboli OH -8, HT, DM tipe 2, Fraktur


komplit 1/3 proksimal humerus kiri, fraktur komplit 1/3 distal radius
kiri

P:
IVDF NaCl 0.9% 500ml/8 jam
Amlodipin 10mg
Omeperazole 1x40mg
Clopidogrel 1x75mg (11/12)
Atorvastatin 1x40mg
URM
Imobilisasi tangan kiri
ORIF  jadwal lewat poli
R/ pulang
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Pasien dengan
perubahan kesadaran merupakan suatu kondisi yang time-sensitive dan
memerlukan pendekatan sistematik. Stabilisasi kondisi umum dan diagnosis yang
cepat dan tepat diperlukan untuk mengoptimalkan hasil perawatan. Seorang
disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Pada keadaan normal
orang dapat berada pada keadaan sadar, mengantuk atau tidur. Bila tidur, ia akan
dapat disadarkan oleh rangsang. Rangsang disampaikan pada sistem aktivitas
retikuler yang berfungsi mempertahankan kesadaran. Sitem aktivitas retikuler
terletak di bagian atas batang otak terutama di mesensefalon dan hipotalamus.
Lesi di otak yang terletak diatas hipotalamus umumnya tidak menyebabkan
penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Penyakit dapat
meningkatkan atau menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan kesadaran dapat
pula mendahului penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu siklus. Pada
kesadaran meningkat atau eksitasi serebral dapat ditemukan tremor euphoria dan
mania. Pada delirium terjadi penurunan kesadaran disertai peningkatan abnormal
aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang kacau.1
Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi sadar penuh
(kompos mentis), somnolen, spoor, koma ringan dan koma. Somnolen adalah
keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen juga
disebut sebagai letargi atau obtundasi. Penderita dapat memberikan respon verbal
dan menangkal nyeri. Sopor atau yang seringkali disebut sebagai stupor adalah
keadaan kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang
kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Penderita masih dapat mengikuti
suruhan singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri
penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak
konsisten dan samar. Tidak didapati jawaban verbal. Koma-ringan adalah keadaan
dimana tidak didapati respon terhadap rangsang verbal. Refleks seperti kornea
pupil dan sebagainya masih dapat berfungsi dengan baik. Gerakan terutama
timbul dari respon nyeri dan tidak terorganisasi. Penderita tidak dapat
dibangunkan sama sekali. Keadaan koma dalam / komplit adalah keadaan dimana
tidak ada gerakan spontan. Tidak ada respon apapun terhadapt rangsang nyeri
sekuat apapun. Pembagian ini merupakan pembagian dalam pengertian klinis dan
batas diantara tingkatan tidak tegas. Untuk mengikuti perkembangan tingkat
kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan
penderita terhadap rangang dan memberi nilai pada respon tersebut. 1

Respon yang dinilai adalah membuka mata, respons verbal dan respons
motorik dengan penilaian sebagai berikut: 1
Membuka mata: spontan (4), terhadap bicara (3), dengan rangsang nyeri (2), tidak
ada reaksi (1)
Respons verbal: baik tidak ada disorientasi (5), berbicara dalam kalimat namun
ada disorientasi waktu dan tempat (4), mengucapkan kata – kata bukan kalimat
dan tidak tepat (3), suara mengerang (2), tidak ada jawaban (1)
Respons motoric: menurut perintah (6), mengetahui lokasi nyeri (5), reaksi
menghindar (4), dekortifikasi (3), deserebrasi (2), tidak ada reaksi (1)
Beberapa penyebab perubahan tingkat kesadaran perlu dievaluasi. Beberapa
diantaranya meliputi penggunaan alkohol, epilepsi, gangguan eletrolit, ensefalopati,
penggunaan insulin, opiat dan gangguan oksigenasi, uremia, trauma, perubahan
temperatur drastis, infeksi, racun dan kelainan psikogenik, syok, stroke, perdarahan
subaraknoid dan space occupaying lesion (SOL). Penyebab – penyebab ini dapat
dengan mudah di-ingat dengan mnemonik AEIOU TIPS.2
Untuk menyngkirkan penyebab – penyebab ini dilakukan anamnesis pada
keluarga pasien. Dari onset dapat dibedakan menjadi onset mendadak, gradual
atau intermitten. Onset mendadak umumnya disebabkan oleh perdarahan, infark,
obat – obatan, toksin, inflamasi dan infeksi. Onset gradual umumnya disebabkan
oleh tumor atau perdarahan lambat di otak. Onset intermitten umumnya dapat
disebabkan oleh episode kejang atau gangguan psikiatrik. Pada pasien onset
bersifat akut dan mendadak, sehingga kemungkinan penyebab seperti tumor,
epilepsi, perdarahan lambat atau gangguan psikiatrik dapat disingkirkan.
Pada anamnesis pasien menyangkal riwayat demam, muntah dan diare.
Hal ini dapat membantu menyingkirkan kemungkinan terjadinya penurunan
kesadaran akibat dehidrasi, hipoglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit.
Pasien menyangkal riwayat demam, namun mengeluhkan nyeri kepala. Nyeri
kepala disertai muntah dapat menunjukan adanya peningkatan tekanan kranial
maupun infeksi. Tidak ada demam membantu mengurangi kecenderungan
terhadap infeksi, hal ini didukung oleh anamnesis yang menyingkirkan riwayat
diare batuk pilek dan sumber infeksi lainnya. Kemungkinan terjadinya infeksi
juga dapat disingkirkan melalui pemeriksaan laboratorium. Namun demikian pada
pasien didapati leukositosis yang dapat disebabkan oleh infeksi sitemik. Namun
perlu diingat bahwa pasien mengalami fraktur tulang panjang 2 hari sebelum tiba
di rumah sakit. Studi menunjukan bahwa pada pasien dengan fraktur yang tidak
menerima penanganan pertama seperti imobilisasi dapat terjadi leukositosis.3
Infeksi pada pasien dengan riwayat diabetes tidak terkontrol dapat mencetuskan
ketoasidosis diabetiikum yang juga merupakan salah satu penyebab penurunan
kesadaran akibat metabolik yang sering ditemui. Pada pasien didapati
pemeriksaan laboratorium kadar gula darah sewaktu mencapai 334 mg/dL. Karena
didapati peningkatan kadar gula darah sewaktu perlu dilakukan anamnesis gejala
klasik diabetes pada pasien yang meliputi poliuria, polidipsi, polifagi dan
penurunan berat bada tanpa alasan yang jelas serta evaluasi kemungkinan
komplikasi diabetes pada pasien seperti polineuropati DM dan komplikasi ke
organ lainnya. Menyesuaikan dengan konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 sehubungan dengan tidak didapati data laboratorium
sebelumnya dianjurkan melakukan tes toleransi glukosa oral untuk memastikan
diagnosis diabetes melitus.Namun demikian pada anamnesis didapati pasien
memiliki riwayat diabetes yang tidak terkontrol, oleh karena itu pemeriksaan ini
tidak perlu dilakukan dengan asumsi telah ada data laboratorium sebelumny
dengan kadar gula darah >200 mg/dL4
Pasien menyangkal keluhan nyeri atau kaku pada leher yang kemudian
dikonfirmasi dengan pemeriksaan kaku kuduk, untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya infeksi pada meningen. Perlu dilakukan evaluasi
peningkatan tekanan intrakranial. Pada anamnesis pasien mengeluhkan nnyeri
kepala namun menyangkal riwayat muntah. Muntah pada peningkatan tekanan
intrakranial umumnya bersifat proyektil. Pada pemeriksaan fisik tidak didapati
tekanan darah meningkat disertai bradikardia dan pernapasan irregular (Cushing
Triad), pupil didapati bulat isokor sehingga kemungkinan herniasi otak dapat
disingkirkan. Pada peningkatan tekanan intrakranial kronik dapat ditemukan
papiledema, namun karena keluhan bersifat akut tidak dilakukan pemeriksaan
funduskopi.5
Pasien juga menyangkal riwayat paparan terhadap suhu ekstrim untuk
waktu yang cukup panjang, paparan terhadap alkohol dan mampu mengingat
kejadian saat terjatuh dengan jelas. Pasien juga menyangkal riwayat penggunaan
obat - obatan rutin dan obat - obatan terlarang lainnya terutama golongan
narkotika. Sehingga kemungkinan penyebab tersebut dapat disingkirkan. Pasien
juga menyangkal riwayat alergi baik makanan maupun obat - obatan. Tidak ada
anggota keluarga atau orang disekitar yang mengalami hal serupa sehingga
kemungkinan keracunan baik makanan maupun gas dapat disingkirkan.
Rasa pusing atau pingsan dapat menunjukan tanda hipoperfusi serebral.
Kesulitan bergerak atau berjalan yang menunjukan adanya lateralisasi ke salah
satu sisi tubuh dapat menunjukan adanya stroke. Pasien juga memiliki riwayat
trauma pada kepala dan riwayat patah tulang. Keduanya merupakan faktor resiko
yang dapat menyebabkan perdahan maupun sumbatan pembuluh darah pada otak
yang dapat menyebabkan stroke yang bermanifestasi sebagai penurunan
kesadaran dan kelemahan anggota gerak tubuh sebelah sisi (hemiparesis) seperti
yang ditemukan pada pasien. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat
disimpulkan pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 11 dan
lateralisasi kiri. Penurunan kesadaran mungkin disebabkan oleh stroke baik
iskemik maupun perdarahan.
Penyakit serebrovaskular disebabkan oleh salah satu dari beberapa proses
patofisiologis yang melibatkan pembuluh darah otak. Prosesnya mungkin intrinsik
pada pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, lipohyalinosis, peradangan,
deposisi amiloid, diseksi arteri, malformasi perkembangan, pelebaran aneurysmal,
atau trombosis vena. Ini juga dapat berasal dari jarak jauh, seperti yang terjadi
ketika embolus dari jantung atau sirkulasi ekstrakranial bersarang di pembuluh
intrakranial. Penyebab lain adalah aliran darah otak yang tidak memadai karena
penurunan tekanan perfusi atau peningkatan viskositas darah. Ini mungkin juga
hasil dari pecahnya pembuluh darah di ruang subarachnoid atau jaringan
intracerebral. Tiga proses pertama dapat menyebabkan iskemia otak transien
(transient ischemic attack [TIA]) atau infark otak permanen (stroke iskemik),
sedangkan yang keempat menghasilkan perdarahan subaraknoid atau perdarahan
intraserebral (stroke hemoragik primer). Sekitar 80 persen dari stroke disebabkan
oleh infark serebral iskemik dan 20 persen karena pendarahan otak.
Mendefinisikan keseluruhan proses patologis sangat penting untuk keputusan
mengenai trombolisis, terapi antitrombotik, dan prognosis. Stroke hemoragik
memiliki angka kematian yang lebih tinggi daripada stroke iskemik. Di Amerika
Serikat, 87% dari semua stroke adalah iskemik sekunder akibat aterosklerosis
arteri besar, kardioembolisme, oklusi pembuluh kecil, atau penyebab lain dan
tidak ditentukan. 13% sisanya adalah stroke hemoragik di lokasi intracerebral atau
subarachnoid.6,7
TIA saat ini didefinisikan sebagai episode sementara disfungsi neurologis
yang disebabkan oleh fokus pada otak, sumsum tulang belakang, atau iskemia
retina, tanpa infark akut. Definisi TIA berbasis jaringan ini bergantung pada tidak
adanya cedera organ akhir yang dinilai oleh pencitraan atau teknik lainnya.
Keuntungan yang diusulkan dari definisi berbasis jaringan adalah bahwa titik
akhir yang didefinisikan adalah biologis (cedera jaringan) bukan waktu (24
jam).6,7
Pendarahan dalam perdarahan intraserebral (ICH) biasanya berasal dari
arteriol atau arteri kecil. Pendarahan langsung ke otak, membentuk hematoma
lokal yang menyebar di sepanjang jalur materi putih. Akumulasi darah terjadi
dalam hitungan menit atau jam; hematoma secara bertahap membesar dengan
menambahkan darah di pinggirannya seperti bola salju yang bergulir ke bawah.
Penyebab ICH yang paling umum adalah hipertensi, trauma, diatesis perdarahan,
angiopati amiloid, penggunaan obat-obatan terlarang (kebanyakan amfetamin dan
kokain), dan malformasi vaskular. Penyebab yang lebih jarang termasuk
pendarahan ke dalam tumor, ruptur aneurisma, dan vaskulitis. Gejala neurologis
biasanya meningkat secara bertahap selama beberapa menit atau beberapa jam.6,7
Pecahnya aneurisma arteri adalah penyebab utama perdarahan subaraknoid
(SAH). Ruptur aneurisma melepaskan darah langsung ke cairan serebrospinal
(CSF) di bawah tekanan arteri. Darah menyebar dengan cepat di dalam CSF, yang
kemudian dengan cepat meningkatkan tekanan intrakranial. Kematian atau koma
yang dalam terjadi jika perdarahan berlanjut. Pendarahan biasanya hanya
berlangsung beberapa detik tetapi perdarahan berulang sering terjadi. Dengan
penyebab SAH selain pecahnya aneurisma (Malformasi vaskuler, diatesis
perdarahan, trauma, amiloid angiopati, dan penggunaan obat terlarang),
perdarahan tidak terlalu tiba-tiba dan dapat berlanjut dalam periode waktu yang
lebih lama. Gejala SAH mulai tiba-tiba, terjadi pada malam hari pada 30 persen
kasus. Gejala utamanya adalah sakit kepala berat (97 persen kasus) secara klasik
digambarkan sebagai "sakit kepala terburuk dalam hidup saya." Sakit kepala di
lateralisasi pada 30 persen pasien, terutama ke sisi aneurisma. Onset sakit kepala
mungkin terkait dengan hilangnya kesadaran, kejang, mual, muntah, defisit
neurologis fokal, atau leher kaku. Biasanya tidak ada tanda-tanda neurologis fokal
penting pada presentasi kecuali perdarahan terjadi ke otak dan CSF pada saat yang
sama (perdarahan meningocerebral).6,7
Terdapat tiga subtipe utama iskemia otak, trombosis, emboli dan
hipoperfusi sistemik. Stroke trombotik adalah proses di mana proses patologis
yang memunculkan pembentukan trombus dalam arteri menghasilkan stroke baik
dengan mengurangi aliran darah distal (aliran rendah) atau dengan fragmen
embolik yang terlepas dan bergerak ke pembuluh yang lebih jauh (artery to artery
embolism). Semua stroke trombotik dapat dibagi menjadi penyakit pembuluh
darah besar atau kecil. Penyakit pembuluh darah besar mencakup sistem arteri
ekstrakranial dan intrakranial; atherothrombosis sejauh ini merupakan proses
patologis yang paling umum. Penyakit pembuluh darah kecil merujuk secara
spesifik pada arteri yang menembus yang muncul dari arteri vertebralis distal,
arteri basilar, batang arteri serebral tengah, dan arteri dari sirkulus Willisi. Arteri
ini mengalami trombosis akibat pembentukan ateroma pada asalnya atau di arteri
induk yang besar, atau karena lipohyalinosis (penumpukan hialin lipid yang distal
sekunder akibat hipertensi).6
Berdasarakan gambaran klinis yang didapati pada pasien dapat dilakukan
penghitungan skor Siriraj. Skor stroke Siriraj dikembangkan dan dihitung sebagai
berikut: (2,5 x tingkat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x
tekanan darah diastolik) - (3 x penanda ateroma) - 12. Skor di atas 1 menunjukkan
perdarahan intraserebral supratentorial, sedangkan skor di bawah -1 menunjukkan
infark. Skor antara 1 dan -1 mewakili hasil samar-samar yang membutuhkan
pemindaian otak terkomputerisasi atau kurva probabilitas untuk memverifikasi
diagnosis. Dalam studi validasi skor stroke Siriraj, sensitivitas diagnostik skor
untuk perdarahan otak dan infark otak berturut-turut adalah 89,3% dan 93,2%,
dengan akurasi prediksi keseluruhan 90,3%. Skor stroke Siriraj telah secara luas
diterima dan diterapkan di rumah sakit sebagai metode bed side yang sederhana
dan andal untuk mendiagnosis stroke akut Pada pasien didapati skor Siriraj skor
[2,5+0+2+7-3-12 = -3,5] dibawah negatif satu oleh karena itu kecenderungan
diagnosis mengarah kepada stroke iskemik. Hal ini kemudian dikonfirmasi
menggunakan pemeriksaan penunjang.8
Pada pemeriksaan laboratorium didapati perubahan rasio neutrofil
terhadap limfosit dengan meningkatnya angka neutrofil dan menurunnya angka
limfosit. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa peradangan memainkan
peran penting dalam patofisiologi stroke. Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR)
sebagai cerminan respon imun bawaan (neutrofilik) dan adaptif (limfosit) telah
banyak diteliti karena kemudahannya untuk diperoleh dari pemeriksaan darah
tepi. Peningkatan level NLR dengan peningkatan neutrofilik dan penipisan
limfositik menunjukkan interaksi yang tidak seimbang antara peradangan sentral
yang diinduksi oleh stroke dan peradangan perifer. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa kadar NLR pada awal lebih tinggi pada kohort stroke
iskemik daripada stroke hemoragik. Selain itu, tingkat NLR yang lebih tinggi
berkorelasi dengan hasil yang buruk dan kejadian stroke. Beberapa meta-analisis
telah mengindikasikan bahwa peningkatan NLR adalah indikator prognostik
negatif pada stroke iskemik akut (AIS) dan perdarahan intra serebral spontan
(ICH).9
Tomografi terkomputasi nonkontras (CT) umumnya adalah pilihan
pertama dalam studi diagnostik pada pasien dengan dugaan stroke. Keuntungan
utama CT adalah akses luas dan kecepatan akuisisi. CT sangat sensitif untuk
diagnosis perdarahan dalam keadaan akut. Perdarahan intraserebral terbukti
hampir secara instan setelah onset sebagai lesi hyperdense putih berupa fokus
pada parenkim otak. MRI lebih sensitif daripada CT untuk diagnosis dini infark
otak, walaupun CT dapat mengidentifikasi indikator infark yang halus dalam
enam jam onset stroke pada sebagian besar pasien. Pemulihan inversi yang
dilemahkan cairan (FLAIR). Urutan MRI dan gambar dengan berat difusi. DWI-
MRI) sangat berguna dalam menunjukkan infark lebih awal setelah timbulnya
gejala. Pada pasien dengan iskemia yang belum mengalami infark otak, CT dan
MRI mungkin normal.10
Terlampir dibawah ini bagan algoritma diagnosis pada stroke.7
Meskipun ada banyak faktor risiko untuk stroke, seperti usia, riwayat
keluarga, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, dan sleep apnea, faktor risiko
utama yang dapat dimodifikasi termasuk hipertensi, atrial fibrilasi, merokok,
penyakit arteri karotis simptomatik, dan penyakit sel sabit. Ketidakaktifan fisik;
konsumsi teratur minuman manis; dan konsumsi harian yang rendah dari ikan,
buah-buahan, atau sayuran juga dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke. Pada
wanita, penggunaan kontrasepsi oral saat ini, migrain dengan aura, periode
postpartum langsung, dan preeklampsia memberikan sedikit peningkatan risiko
stroke yang absolut. Pada pasien ditemukan faktor resiko riwayat stroke iskemik,
riwayat diabetes melitus dengan kadar gula darah tidak terkontrol, riwayat
hipertensi dan kolesterol yang juga tidak terkontrol. Terlebih lagi pasien
mengalami fraktur tulang panjang yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
emboli lemak yang dapat menyebabkan cerebral fat embolism.11
Embolisme lemak adalah komplikasi fraktur tulang panjang dan panggul
yang terkenal. Kejadian yang dilaporkan sangat bervariasi dalam literatur
tergantung pada kriteria diagnostik; dari <1% menggunakan kriteria klinis Gurd,
hingga 11% menggunakan perbedaan tekanan oksigen arteri, dan hingga 88%
menggunakan transesophageal echocardiography pada semua pasien yang
menjalani prosedur ortopedi, terlepas dari gejala. Emboli lemak paling sering
dikaitkan dengan tulang panjang (terutama tulang paha) dan patah tulang panggul
dan lebih jarang terjadi dengan patah tulang yang mengandung sumsum lainnya
(misalnya, tulang rusuk). Insidensi emboli lemak juga lebih tinggi pada pasien
dengan fraktur multipel (1,29 berbanding 0,17 persen). Studi juga menunjukan
lebih sering terjadi pada fraktur tertutup daripada fraktur terbuka.12
FES merupakan kumpulan gejala yang muncul dari manifestasi sistemik
emboli lemak dalam mikrosirkulasi. Lemak yang mengalami embolisasi dalam
pembuluh kapiler menyebabkan kerusakan jaringan langsung serta menginduksi
respons inflamasi sistemik yang mengakibatkan gejala paru, kulit, neurologis, dan
retina. Kegagalan napas sering terjadi, dengan ≤44% membutuhkan ventilasi
mekanis dalam satu seri kasus. Status mental yang berubah dapat berkisar dari
kebingungan hingga koma. Dalam konteks klinis yang sesungguhnya ruam
petekie dianggap patognomonik untuk FES, tetapi tidak ada pada 50% hingga
80% kasus. Dalam pengaturan trauma ortopedi, FES harus dipertimbangkan
dengan hati-hati pada pasien dengan manifestasi klinis seperti yang telah
dijelaskan.13
Gumpalan lemak telah terdeteksi dalam darah 67% pasien trauma ortopedi
dalam suatu penelitian. Jumlah ini meningkat menjadi 95% ketika darah disampel
dekat dengan lokasi fraktur. Hipoksemia menunjukan bahwa embolisasi lemak
dapat menyebabkan Fat Embolism Syndrome (FES) subklinis. Hampir semua
pasien yang dipantau dengan oksimetri nadi kontinu setelah fraktur tulang
panjang akan mengalami episode hipoksemia. Dua teori utama untuk
pembentukan emboli lemak adalah teori mekanis dan teori biokimia. Teori
mekanis mengusulkan bahwa obstruksi pembuluh darah sistemik oleh emboli
lemak terjadi dari pelepasan langsung sumsum tulang ke dalam sistem vena
setelah trauma. Tekanan intramedullary yang meningkat setelah trauma
menyebabkan pelepasan lemak melalui sinusoid vena terbuka. Lemak embolisasi
menghalangi lapisan kapiler. Walaupun ini menjelaskan embolisme di dalam
kapiler paru, teori ini tidak menjelaskan embolisme di dalam lapisan kapiler
sistemik. Teori biokimia memberikan penjelasan alternatif untuk embolisasi
lemak. Teori ini mengusulkan bahwa respons inflamasi terhadap trauma
menyebabkan pelepasan asam lemak bebas dari sumsum tulang ke dalam sistem
vena. Asam lemak bebas yang meningkat serta mediator inflamasi menyebabkan
kerusakan pada lapisan kapiler. Peningkatan kadar asam lemak bebas telah
dikaitkan dengan hipoksemia. Terlepas dari mekanisme memulai emboli lemak,
hasil akhirnya adalah respon inflamasi yang intens. Lapisan kapiler mengalami
peninkatan permeabilitas sehingga mediator inflamasi merusak jaringan di
sekitarnya.12
Pada FES, keterlibatan serebral dengan tidak adanya manifestasi paru atau
dermatologis pada presentasi awal dapat menunda diagnosis emboli lemak otak /
cerebral fat embolism (CFE). Sindrom embolisme lemak (FES) masih tetap
menjadi tantangan diagnostik bagi dokter karena tidak ada standar emas untuk
diagnosis FES. Kriteria klinis yang umum digunakan seperti kriteria Gurd
mungkin tidak selalu terpenuhi pada semua kasus. Kriteria ini juga tidak
melibatkan kegunaan alat diagnostik pencitraan otak, yang tampaknya paling
spesifik. Gejala-gejala neurologis bervariasi dan tidak spesifik, dan diagnosis
klinisnya sulit hanya berdasarkan hal itu. Gejala neurologis terdiri dari demensia,
keadaan bingung, kesadaran terganggu, kejang, defisit fokal, dan koma. Pada
sebagian besar pasien, kelainan neurologis sering berkembang setelah
perkembangan gangguan pernapasan. Tetapi ini mungkin tidak selalu benar.
Meskipun temuan neurologis bersifat sementara dan sepenuhnya reversibel dalam
banyak kasus, kondisi ini sering salah didiagnosis dan berakibat fatal jika
pengobatannya tidak sesuai. Diagnosis dini tidak hanya mencegah morbiditas dan
mortalitas tetapi juga mengurangi beban biaya penyelidikan tambahan untuk
diagnosis yang benar. Pencitraan MR saat ini adalah teknik yang paling sensitif
untuk mengevaluasi emboli lemak otak. Penampilan karakteristik emboli lemak
otak pada citra resonansi magnetik aksial adalah diagnostik. Hasil CT scan otak
biasanya negatif atau mungkin menunjukkan edema difus dengan daerah
kepadatan rendah dan perdarahan pada materi putih. Gejala klinis dan CT tidak
selalu diagnostik sedangkan MRI adalah modalitas pencitraan lebih sensitif untuk
mendiagnosis CFE. Pada pasien dapat dicurgai adanya CFE dengan tampilan yang
tidak klasik, dianjurkan melakukan pemeriksaan MRI dan evaluasi lebih lanjut.
14,15

Sebagian besar pasien dengan emboli lemak tidak mengalami FES klinis,
angka kejadiaannya hanya mencapai 0,9 hingga 2,2% pada pasien dengan patah
tulang panjang. Studi terdahulu menunjukkan bahwa risiko emboli lemak paling
tinggi dalam beberapa hari pertama setelah trauma. Gejala klinis dari emboli
lemak biasanya berkembang secara bertahap dalam 24 hingga 72 jam setelah
cedera. Hal ini menunjukan gambaran yang sesuai dengan pasien. Pasien
mengeluhkan penurunan kesadaran dalam rentang waktu 24-72 jam setelah terjadi
fraktur multipel yang melibatkan tulang panjang. Hingga saat ini belum didapati
terapi spesifik FES, peneliti menyarankan memberikan terapi simptomatik dan
suportif. Terapi menggunakan kortikosteroid hingga saat ini masih bersifat
kontroversial. Pada pasien dilakukan tatalaksana stroke iskemik pada umumnya.13
Sebagai tatalaksana umum dilakukan stabilisasi jalan napas dan
pernapasan seperti pemantauan GCS dan TTV, pemasangan IV line dan
memberikan kristaloid atau koloid, hindari pemberiaan cairan hipotonik. Pantau
perburukan gejala dan tanda-tanda neurologis, pemantauan TIK. Jika TIK
meningkat, tinggikan posisi kepala 20-30o, memposisikan pasien dengan
menghindari penekanan vena jugularis, hindari pemberian cairan glukosa,
menghindari hipertermia, menjaga normovolemia dan pemeberian
osmoterapi(mannitol 0.2-0.5 gr/kgBB).16
Jika terjadi kejang, kendalikan kejang dengan diazepam IV 0.3-0.5
mg/kgBB max 10mg bolus lambat 1-5 menit dilanjutkan dengan fenitoin 15-
18mg/kgBB max kecepatan 50mg/menit. 16
Sebagai penatalakasanaan khusus dapat dilakukan trombolisis vena
dengan menggunakan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) seperti
alteplase yang diberikan pada stroke iskemik dengan onset < 4,5 jam dengan dosis
0.9mg/kgBB dengan pemberian 10% dalam 1 menit dan 90% dalam 59 menit
pemberian ateplase disesuaikan dengan kontraindikasi. Pilihan lain dengan terapi
neurointervensi/ mekanikal trombektomidengan cara menggunakan kateterisasi
dengan melenyapkan thrombus di pembuluh darah dengan cara melisiskan
thrombus secara langsung atau dengan menarik thrombus yang menyumbat
dengan alat khusus pelaksanakan mekanikal trombektmi harus sesuai dengan
indikasi dan kontraindikasi. 16
Jika trombolisis dan trombektomi tidak dpat dilakukan maka dapat
diberikan pencegahan sekunder, anticoagulant digunakan terutapa jika terjadi
stroke emboli kardiogenik sebagai pilihan pertama warfarin dapat
diberikan2mg/hari dengan pengecekan INR secara berkala dengan target INR 2.0-
3.0. INR dapat diperiksa per 3 hari selama 2 minggu, selanjutnya 1 minggu sekali
selama sebulan selanjutnya dilakukan pengecekan setiap bulan.16
Pemberian antiplatelet dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut dengan
onset 12 jam dengan pemberian aspirin 325mg. pemberian klopidogrel 75mg baik
untuk pencegahan kejadian stroke iskemik, infark jantung, dan kematian akibat
vascular.16
Pada pasein setelah dipastikan jalan napas dan TTV stabil, dilakukan
penanganan peningkatan TIK dengan memposisikan kepala setinggi 30o karena
onset stroke pasien 12 jam, pada pasien tidak dapat dilakuakn trombolisis maupun
mekanikal trombektomi, karena tidak sesuai dengan kriteria waktu onset. Pada
pasien tidak langsung diberikan antiplatelet karena ada fraktur pada humerus dan
radius. Penundaan pemberian antiplatelet dilakukan untuk mencegah efek
samping perdarahan yang mungkin terjadi pada fraktur yang telah terjadi.
Pemilihan clopidogrel dibandingkan dengan aspilet dilakukan karena
berdasarkan penelitian pasien yang menggunakan klopidogrel mempunyai insiden
perdarahan mayor lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang menggunakan
aspilet. Antiplatelet tetap diberikan karena resiko untuk terjadinya stroke berulang
lebih besar dibandingkan dengan resiko perdarahan yang mungkin akan terjadi. 17
DAFTAR PUSTAKA
1. Lumbantobing S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2016.p.7-10
2. Starkman S and Wright S. Altered Mental Status. In: Emergency Medicine.
An Approach to Clinical Problem Solving. Hamilton GC, Sanders AB,
Strange GR and Trott AT Eds. WB Saunders and Co. 2003. 517-534
3. Walton R. Leukocytosis Accompanying Fractures. Journal of the American
Medical Association. 1927;88(15):1138.
4. Soelistijo S, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A et
al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2015.
5. Pinto VL, Tadi P, Adeyinka A. Increased Intracranial Pressure. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2019. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482119/
6. Caplan LR. Basic pathology, anatomy, and pathophysiology of stroke. In:
Caplan's Stroke: A Clinical Approach, 4th ed, Saunders Elsevier,
Philadelphia 2009. p.22.
7. Yew KS, Cheng E. Acute stroke diagnosis. Am Fam Physician.
2009;80(1):38.
8. Poungvarin N, Viriyavejakul A, Komontri C. Siriraj stroke score and
validation study to distinguish supratentorial intracerebral haemorrhage
from infarction. BMJ. 1991;302(6792):1565-1567.
9. Song S, Zhao X, Rajah G, Hua C, Kang R, Han Y et al. Clinical
Significance of Baseline Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio in Patients With
Ischemic Stroke or Hemorrhagic Stroke: An Updated Meta-Analysis.
Frontiers in Neurology. 2019;10.
10. Caplan LR. Imaging and laboratory diagnosis. In: Caplan's Stroke: A
Clinical Approach, 4th, Saunders, Philadelphia 2009. p.87.
11. Boehme A, Esenwa C, Elkind M. Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention. Circulation Research. 2017;120(3):472-495.
12. Stein PD, Yaekoub AY, Matta F, Kleerekoper M. Fat embolism syndrome.
Am J Med Sci 2008; 336:472.
13. Kwiatt M, Seamon M. Fat embolism syndrome. International Journal of
Critical Illness and Injury Science. 2013;3(1):64.
14. Kaur M, Dey C, Kumar A, Gupta B, D′souza N, Shende S et al. Cerebral fat
embolism: A diagnostic challenge. Saudi Journal of Anaesthesia.
2011;5(3):348.
15. Jacobson DM, Terrence CF, Reinmuth OM. The neurologic manifestations
of fat embolism. Neurology. 1986;36:847–51
16. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Ajar Neurologi. Penerbit Kedokteran Indonesia. Tangerang : 2017.
17. Chi N, Wen C, Liu C, Li J, Jeng J, Chen C et al. Comparison Between
Aspirin and Clopidogrel in Secondary Stroke Prevention Based on Real‐
World Data. Journal of the American Heart Association [Internet].
2018;7(19). Available from:
https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/JAHA.118.009856

Anda mungkin juga menyukai