Anda di halaman 1dari 32

DISKUSI KASUS

INSOMNIA

Disusun oleh:
Muhammad Rizki Kamil
G99171029

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Tidur menjadi kebutuhan setiap manusia dan merupakan suatu siklus yang rutin
setiap harinya (Galimi, 2010). Setelah beraktivitas manusia membutuhkan waktu untuk
mengembalikan fungsi normal tubuh, salah satunya dengan tidur. Tidur didefinisikan
sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan
pemberian rangsangan sensorik atau rangsangan lainnya (Guyton, 2006). Pada beberapa
orang, tidur merupakan hal yang sulit dilakukan karena adanya gangguan tidur.
Gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan adalah insomnia (Sadock, 2010).
Insomnia adalah kesulitan untuk memulai tidur atau kesulitan untuk
mempertahankan tidur, atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum
cukup tidur pada saat terbangun (Jack, 2001). Menurut DSM-IV definisi insomnia adalah
kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk
selama 1 bulan atau lebih. Jika keluhan tersebut dirasakan lebih dari 1 bulan, maka
diagnosis sebagai insomnia kronik ditegakkan (Davies, 2007). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Ruth diperkirakan 10-15 % populasi orang dewasa menderita insomnia
kronik (Benca, 2005).
Prinsip penanganan insomnia selain KIE yaitu mengoptimalkan pola tidur yang
sehat. Terapi insomnia dapat dilakukan dengan pendekatan nonfarmakologi ataupun
pendekatan farmakologi. Fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada
identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor penyebab teridentifikasi maka penting untuk
mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya. Identifikasi faktor penyebab
yaitu dengan mengoptimalkan penanganan gangguan medis, psikiatri serta penanganan
nyeri, menangani gangguan tidur primer, dan penyalahgunaan obat-obatan (jika mungkin
ada), mengurangi atau menghentikan obat-obatan yang diketahui memiliki efek yang
mempengaruhi fungsi tidur, pada kebanyakan kasus , insomnia kronis dapat disembuhkan
jika penyebab medis atau psikiatri di evaluasi dan diobati dengan benar (Jack, 2001).

2
Penanganan insomnia yang dapat dilakukan dari segi farmakologi dapat berupa
pemberian penanganan hipnotik, antidepresan, dan antihistamin. Penanganan
nonfarmakologi meliputi stimulus kontrol terapi, sleep restriction, teknik relaksasi,
intervensi kognitif, sleep hygiene (Buysse, 2008).
Melihat prevalensinya yang tinggi, banyaknya kasus insomnia yang tidak
terdiagnosis dan tidak diobati dan besarnya efek yang ditimbulkan maka dokter umum
sebagai lini pertama pelayanan kesehatan harus bisa mendiagnosis dan menangani secara
komprehensif insomnia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Tidur Normal


Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan
kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan
kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapi. Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai
dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama ini disebut sebagai irama
sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior
hipotalamus (Guyton, 2006).
Setiap malam seseorang mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian
yaitu: tipe Rapid Eye Movement (REM), tipe Non Rapid Eye Movement (NREM).
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 tahap, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16- 20
jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur
diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa.
Tidur NREM terbagi menjadi 4 tahap. Pada tahap satu merupakan antara fase
terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot
berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya
berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya
terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang gelombang teta dengan
amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan
kompleks K. Tidur tahap dua didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot
masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG
terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle,
gelombang verteks dan komplek K (gelombang tajam negatif diikuti komponen

4
positif) pada rekaman EEG. Tidur tahap tiga merupakan lebih dalam dari fase
sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris
antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle. Tidur tahap empat
merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG
didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle.
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit,
setelah itu akan masuk ke fase REM (Sadock, 2010).
Sepanjang tidur malam yang normal, tidur REM yang berlangsung 5 sampai
30 menit biasanya muncul rat-rata setiap 90 menit. Bila seseorang sangat
mengantuk, setiap tidur REM berlangsung singkat dan bahkan mungkin tidak ada.
Sebaliknya sewaktu orang menjadi semakin lebih nyenyak sepanjang malam,
durasi tidur REM juga semakin lama. Pola tidur REM berubah sepanjang
kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50%
dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM
tanpa melalui tahap 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga
persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan
kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awal tidur yang
didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan
distribusi fase tidur sebagai berikut: NREM (75%) yaitu : tahap 1: 5%; tahap 2 :
45%; tahap 3 : 12%; tahap 4 : 13%, REM; 25 % (Sadock, 2010).
Beberapa hal penting yang didapatkan pada tidur REM seperti tidur rem
biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh yang aktif,
seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur
gelombang lambat, namun orang-orang terbangun secara spontan di pagi hari
sewaktu episode tidur REM, tonus otot diseluruh tubuh sangat berkurang,
frekuensi denyut jantung dan pernafasan biasanya menjadi ireguler, ini
merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi, walaupun ada hambatan yang
sangat kuat pada otot-otot perifer, masih timbul pergerakan otot yang tidak teratur,
keadaan ini khususnya mencakup pergerakan mata yang cepat, otak menjadi sangat

5
aktif dan metabolisme di seluruh otak meningkat sebanyak 20%. Pada EEG terlihat
pola gelombang otak yang serupa dengan terjadi selama keadaan siaga.

B. Definisi
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth
edition (DSM-IV) insomnia adalah suatu kesulitan dalam memulai tidur,
mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih
di mana keadaan sulit tidur ini harus menyebabkan gangguan klinis yang signifikan
(Sadock, 2010).
Menurut International Classification of Sleep Disorder-2 (ICSD-2), insomnia
adalah kesulitan mengawali tidur, berkurangnya durasi dan kualitas tidur meskipun
memiliki waktu yang cukup untuk melakukannya. Hai ini menyebabkan gangguan
pada aktivitas sehari-hari (Galimi, 2010).

C. Epidemiologi
Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan
masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus dan kriteria
diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi prevalensi insomnia memiliki rentang
sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea Selatan menunjukkan bagaimana
variasi angka prevalensi insomnia berdasarkan definisinya. Ketika insomnia
didefinisikan berdasarkan frekuensi tidur (gejala muncul selama 3 malam dalam 1
minggu) maka angkanya menjadi 17%. Bila definisinya mengarah pada kesulitan
dalam mempertahankan tidur, nilainya menjadi 11,5%. Dengan menggunakan
DSM-IV nilainya menjadi 5% (Evelyn 2009). Suatu survey di Singapura
menunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke dokter umum mengeluhkan
gejala insomnia (Mahendran, 2001). Penelitian ini menunjukkan kuantitas pasien
insomnia yang datang kepada dokter umum tidaklah sedikit. Sebuah artikel
menyatakan Riset internasional yang telah dilakukan US Census Bureau,
International Data Base tahun 2004 terhadap penduduk Indonesia menyatakan
bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 28,035 juta jiwa(11,7%)

6
terjangkit insomnia. Angka ini membuat insomnia sebagai salah satu gangguan
paling banyak yang dikeluhkan masyarakat Indonesia.

D. Patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi
insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan
dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (ascending reticular activating
system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan pusat-pusat
pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus. Hiperarousal
merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan yang
merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan tidur (Buysse, 2008).
Data psikofisiologi dan metabolik dari hiperarousal pada pasien insomnia
meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi
periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh dihitung melalui
penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada pasien insomnia
dibandingkan pada orang normal (Mai, 2009).
Data elektrofisiologi hiperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi
gelombang beta pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan
dengan aktivitas gelombang otak selam terjaga. Penurunan dorongan tidur pada
pasien insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta.
Data neuroendokrin tentang hiperarousal menunjukan peningkatan level kortisol
dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada setengah
bagian pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level melatonin tidak
konsisten ditemukan.
Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal tentang hiperarousal
menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional otak selama tidur NREM
melalui SPECT (single-photon emission computer tomography) dan PET (positron
emission tomography). Pada penelitian PET yang pertama pada insomnia primer
terjadi peningkatan kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur maupun

7
terjaga. Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan aktivitas
dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan hiperarousal pada tidur NREM dan hipoarousal frontal selama terjaga,
hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien baik pada
saat terjaga maupun tidur.
Pada pasien yang mengalami insomnia yang karena depresi berat terjadi
peningkatan gelombang beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik
di kortek orbita frontal dan mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga
mendukung hipotesis mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien
insomnia primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang
paling jelas pada basal ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan
perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan insomnia
primer maupun sekunder (Buysse, 2005).

E. Klasifikasi
Insomnia dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan etiologinya. Dilihat dari
durasinya insomnia dibagi menjadi tiga yaitu: transient insomnia, short-term
insomnia, dan insomnia kronis sedangkan berdasarkan etiologinya insomnia dibagi
menjadi insomnia primer dan insomnia sekunder (Galimi, 2010).
- Insomnia Berdasarkan Durasi
Transient insomnia: insomnia yang dapat sembuh secara spontan,
berlangsung 7 hari. Insomnia akut juga sering disebut dengan transient
insomnia, berlangsung 4 minggu. Penyebab insomnia akut adalah
ketidaknyaman secara fisik maupun emosional. Insomnia akut dapat
berkembang menjadi insomnia kronis apabila tidak ditangani dengan tepat.
Short-term insomnia: insomnia yang berlangsung dalam 1- 3 minggu. Insomnia
kronis: insomnia yang berlangsung > 3 minggu. Sesuai dengan definisinya
insomnia kronik berlangsung minimal selama 1 bulan.
- Insomnia Berdasarkan Etiologi
Insomnia primer : insomnia yang penyebabnya tidak diketahui dengan

8
jelas/ idiopatik. Pada pasien tidak ditemukan gangguan medis, gangguan
psikiatri atau karena faktor lingkungan.
Insomnia sekunder : insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu
dan juga oleh obat-obatan. Ada beberapa faktor yang menyebababkan insomnia
sekunder misalnya penyakit jantung dan paru, nyeri, gangguan cemas dan
depresi serta obat-obatan seperti beta-bloker, bronkodilator dan nikotin.

F. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis dari insomnia primer berdasar DSM-IV antara lain:
- Keluhan utama adalah kesulitan memulai tidur atau mempertahankan tidur, atau
tidur non-restoratif kurang lebih selama satu bulan.
- Gangguan tidur menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis atau
gangguan sosial, gangguan dalam bekerja, atau area-area fungsional penting
yang lainnya.
- Gangguan tidur tidak terjadi secara khusus selama mengalami narkolepsi,
breathing-related sleep disorder, gangguan tidur ritme sirkardian, parasomnia.
- Gangguan tidak terjadi secara khusus selama mengalami gangguan mental
lainnya(contoh: major depressive disorder, generalized anxiety disorder,
delirium).
- Gangguan terjadi tidak diakibatkan karena efek psikologis langsung atau suatu
substansi(contoh: penyalahgunaan obat) atau keadaan medis umum (Evelyn,
2009).

Kriteria diagnosis insomnia non-organik berdasarkan PPDGJ III antara lain:


• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,
atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1
bulan

9
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang
berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi
dalam sosial dan pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis
di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan
penyesuaian (F43.2)

Insomnia selain kriteria di atas disebut insomnia sekunder di mana, insomnia


muncul akibat adanya suatu penyebab sekaligus merupakan diagnosis banding dari
insomnia primer. Penyakit-penyakit yang memiliki gejala insomnia sebagai
diagnosis banding insomnia primer adalah insomnia yang disebabkan oleh:
- Gangguan Kardiovaskuler: gagal jantung kongestif, aritmia, Congenital Arterial
Disease(CAD).
- Gangguan Paru: Penyakit Paru Obstruktif Kronis(PPOK), asma.
- Gangguan Saraf: stroke, penyakit Parkinson, neuropathy traumatic brain injury.
- Gangguan Gastrointestinal: Gastro Esophageal Reflux Disease(GERD).
- Gangguan Ginjal: gagal ginjal kronik.
- Endokrin: diabetes, hipertiroidisme.
- Reumatologi: Reumatoid atritis, osteoatritis, sakit kepala, fibromyalgia.
- Gangguan tidur: Restless legs syndrome, periodic limb movement disorder, sleep
apnea, gangguan ritme sirkardian, parasomnia, serangan panik nokturnal, mimpi
buruk/nightmare, rapid eye movement behavior disorder.
- Gangguan psikiatri: depresi, cemas, panik, Post Traumatic Stress Disorder.

10
- Obat-obatan: dekongestan, anti-depresan, kortikosteroid, beta-agonis,
beta-antagonis, stimulan, statin.
- Substansi: kafein, alkohol, nikotin, kokain (Evelyn, 2009)
Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan
adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon,
kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya) untuk mengetahui adanya penyakit
klinis dan pemeriksaan psikologis untuk mendeteksi gangguan psikis (depresi,
skizofrenia, psikosis,dan sejenisnya).

G. Penatalaksanaan
1. Terapi Non Farmakologi
a. Sleep Hygiene
Sleep hygine adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk
insomnia. Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas tidur pasien. Langkah – langkah ini meliputi:
Mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur sebanyak
yang dibutuhkan, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari,
idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur,
hindari caffeine, alkohol, dan nikotin 6 jam sebelum tidur, hindari kegiatan
lain yang tidak ada kaitannya dengan tidur kecuali hanya untuk seks dan
tidur (Sadock, 2010).
b. Sleep Restriction
Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat
meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur. Hal ini
dicapai dengan rata-rata waktu di tempat tidur dihabiskan hanya untuk
tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun
pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien yang

11
lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam
sebelumnya.
Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang
terjaga di tempat tidur adalah kontraproduktif sehingga mendorong siklus
insomnia. Maka tujuannya adalah untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai
setidaknya 85%. Awalnya pasien disarankan ke tempat tidur hanya pada
saat tidur. Kemudian mereka diijinkan untuk meningkatkan waktu terjaga
di tempat tidur 15 – 20 menit permalam setiap minggu, asalkan efisiensi
tidur melebihi 90%. Waktu di tempat tidur berkurang sebesar 15 - 20 menit
jika efisiensi tidur dibawah 90% (Sadock, 2010).
c. Relaxation Therapy
Relaxation therapy meliputi relaksasi otot progresif, latihan pernafasan
dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif melatih pasien untuk
mengenenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan
serangkaian latihan. Pada latihan perrnafasan dalam maka pasien diminta
untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam perlahan – lahan
(Sadock, 2010).
d. Stimulus Control Therapy
Stimulus control therapy terdiri dari beberapa langkah sederhana yang
dapat membantu pasien dengan gejala insomnia, dengan pergi ke tempat
tidur saat merasa mengantuk, hindari menonton TV, membaca, makan di
tempat tidur. Tempat tidur hanya digunakan untuk tidur dan aktivitas
seksual. Jika tidak tertidur 30 menit setelah berbaring, bangun dan pergi ke
ruangan lain dan melanjutkan teknik relaksasi, mengatur jam alarm untuk
bangun pada waktu tertentu setiap pagi, bahkan pada akhir pecan, hindari
bangun kesiangan, hindari tidur siang panjang di siang hari (Sadock, 2010).
2. Terapi Farmakologi
Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu: menggunakan dosis yang
rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4 kali

12
dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4 mimggu), penghentian
terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala insomnia, memiliki
efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari
pasien (Kamel, 2006).
a. Golongan Benzodiazepin
Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah efek
hipnotik-sedatif. Sifat yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-sedatif
antara lain adalah perbaikan anxietas, euporia dan kemudahan tidur
sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk insomnia, jika keadaan ini
terjadi terus menerus, maka pola penggunaanya akan menjadi kompulsif
sehingga terjadi ketergantungan fisik. Hampir semua golongan obat-obatan
hipnotik-sedatif dapat menyebabkan ketergantungan. Efek ketergantungan
ini tergantung pada besar dosis yang digunakan tepat sebelum penghentian
penggunaan dan waktu paruh serta golongan obat yang digunakan.
Obat-obatan hipnotik-sedatif dengan waktu paruh lama akan dieliminasi
lama untuk mencapai penghentian obat bertahap sedikit demi sedikit.
Sedangkan pada obat dengan waktu paruh singkat akan dieliminasi dengan
cepat sehingga sisa metabolitnya tidak cukup adekuat untuk memberikan
efek hipnotik yang lama. Oleh karena itu , penggunaan obat dengan waktu
paruh singkat sangat bergantung dari dosis obat yang digunakan tepat
sebelum penghentian penggunaan. Gejala gejala abstinensi dapat terjadi
pada penggunaan berbagai golongan obat hipnotik- sedatif. Gejala –gejala
ini dapat berupa lebih sukar tidur dibanding sebelum penggunaan obat-
obatan hipnotik-sedatif. Jika gejala ini terjadi, ada kecenderungan untuk
menggunakannya lagi, karena mungkin dari sisi psikologis, si pemakai
akan merasakan rasa nyaman karena sifat obat tersebut sehingga terjadilah
ketergantungan fisik. Dibeberapa Negara maju dan berkembang seperti di
Belanda dan Indonesia, benzodiazepin digolongkan ke dalam golongan
psikotropika, sehingga penggunaanya dibatasi karena penyalahgunaan

13
dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan
psikis (Savard, 2003).
- Lama Kerja Benzodiazepin
Berdasarkan lama kerjanya, benzodiazepin dapat digolongkan ke
dalam 3 kelompok yaitu long acting, short acting dan ultra short acting.
Long acting benzodiazepin dirombak dengan jalan demetilasi dan
hidroksilasi menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu
kerja) yang kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang
dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif. Metabolit aktif desmetil
biasanya bersifat anxiolitas. Sehingga biasanya, zat long acting
digunakan sebagai obat tidur walaupun efek induknya yang paling
menonjol adalah sedatif-hipnotik. Short acting benzodiazepine di
metabolisme tanpa menghasilkan zat zat aktif. Sehingga waktu
kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obatan ini jarang menghasilkan efek
sisa karena tidak terakumulasi pada penggunaan berulang. Ultra short
acting benzodiazepine memiliki lama kerja yang leih pendek dari short
acting hanya kurang dari 5.5 jam. Semakin kuat zat berikatan pada
reseptornya maka semakin lama juga waktu kerjanya. Obat-obatan
yang lazim digunakan untuk penatalaksanaan gangguan tidur adalah
obat golongan benzodiazepin (kerja pendek/ masa paruh obat <10 jam:
misalnya triazolam; kerja menengah/ masa paruh obat 10-20 jam:
misalnya alprazolam, lorazepam, estazolam; kerja panjang/ masa paruh
obat >20 jam: misalnya diazepam, clonazepam). Obat golongan
benzodiazepin kerja pendek efektif untuk mengatasi insomnia karena
kesulitan untuk memulai tidur (sleep-onset insomnia), sedangkan
untuk mengatasi insomnia karena terbangun lebih awal/ dini hari, obat
golongan benzodiazepin kerja menengah lebih bermanfaat. Obat
golongan benzodiazepin kerja panjang tidak direkomendasikan untuk
diberikan kepada orang usia lanjut.

14
- Mekanisme Kerja Benzodiazepin
Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan interaksinya dengan
reseptor penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh GABA.
GABA (gamma-aminobutyric acid) merupakan inhibitor utama
neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP), melalui
neuron-neuron modulasi GABA nergik. Reseptor Benzodiazepin
berikatan dengan reseptor subtipe GABA. Berikatan dengan
reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang
menyebabakan hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana
dapat membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan
cara demikian obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA
sehingga meningkatkan efek GABA dan menghasilkan efek sedasi,
tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi kegelisahan dan
sebagai muscle relaxant. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan
di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks
serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada
medula spinalis.
- Efek Samping
Benzodiazepin dosis hipnotik pada kadar punak dapat menimbulkan
efek samping berikut: kepala ringan, malas/tak bermotivasi, lamban
inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan
psikomotorik, gangguan koordinasi berpikir, bingung, disartria dan
amnesia retrogard. Kemampuan motorik lebih dipengaruhi
dibandingkan kemampuan berpikir. Semua efek tersebut dapat
sangat mempengaruhi ketrampilan mengemudi dan kemampuan
psikomotor lainnya. Interaksi dengan etanol dapat menimbulkan
depresi berat. Efek residual telihat pada beberapa benzodiazepin dan
berhubungan erat dengan dosis yang diberikan. Intensitas dan

15
insiden intoksikasi SSP umumnya meningkat sesuai dengan usia
pasien; farmakokinetik dan farmakodinamik obat
Efek samping lain yang relatif lebih umum terjadu adalah lemas,
sakit kepala, pandangan kabur, vertigo, mual dan muntah, diare,
nyeri epigastrik, nyeri sendi, nyeri dada, dan pada beberapa pasien
dapat mengalami inkontinensia. Benzodiazepin dengan efek
antikonvulsi kadang-kadang malah meningkatkan frekuensi
bangkitan pada pasien epilepsi (Gunawan, 2011).
b. Golongan Non Benzodiazepin
Baru-baru ini diperkenalkan obat yang bekerja pada reseptor
benzodiazepine tetapi strukturnya bukan benzodiazepine (zaleplon,
zolpidem, eszopiklon).
c. Antihistamin
Three – diphenhydramine hydrochloride, dypenhydramine citrate dan
doxylamine yang sering digunakan untuk membantu tidur. Efek samping
penggunaanya adalah pusing, lemah, mual pada 10 – 25% pada orang
yang menggunakan obat ini (Ruth, 2005). Antihistamin sangat banyak
digunakan untuk penanganan insomnia kronik tapi tidak didapatkan bukti
tentang efektifitas dan resiko dari pengobatan ini. Efek yang dapat
ditimbulkan residual daytime sedation, menurunnya fungsi kognitif,
delirium. Efek lainya seperti mulut kering, pandangan kabur, retensi urin,
konstipasi, dan peningkatan tekanan intraokular pada pasien dengan
narrow angle glaucoma (Buysse, 2008).
d. Antidepresan
Antidepresan dosis rendah pada antidepresan yg memiliki efek sedasi
seperti trazodone (desyrel), amitriptyline (elavil), doxepine (sinequen,
adapin) dan mirtazapin (remeron) sering diresepkan pada pasien bukan
depresi untuk pengobatan insomnia, antidepresan sering diberikan
untuk insomnia karena pemberiannya tidak terjadwal, relatif tidak

16
mahal, dan memiliki sedikit potensi untuk disaalahgunakan. Namun
demikian harus digunakan secara konservatif untuk insomnia karena
keberhasilannya terbatas dan berpotensi menghasilkan efek samping
yang bermakna (Ruth, 2005). Dua puluh tahun belakangan ini
penanganan insomnia kronik mengalami pergeseran yaitu penurunan
penggunaan benzodiasepin reseptor agonis dan peningkatan
penggunaan antidepresan. Berdasarkan penelitian terbaru, antidepresan
(trazadone) sekarang ini banyak diresepkan untuk menangani insomnia
di United States. Obat ini dapat diberikan selama 2 minggu. Tetapi
tidak ada penelitian tentang penggunaan trazadone untuk penanganan
insomnia kronik. Obat antidepresan lainnya seperti doxepin ditemukan
dapat diberikan selama 4 minggu. Penggunaan antidepresan harus
diperhitungkan untung ruginya karena antidepresan memilki efek
samping yang signifikan sperti hipotensi ortostatik dan efek
antikolenergik. Penggunaan obat ini banyak ditemukan pada pasien
yang mempunyai riwayat penggunaan substance atau pada orang yang
kontraindikasi atau respon yang buruk terhadap penggunaan
benzodiasepin reseptor agonis (Buysse, 2008).

17
BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Usia : 60 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Karanganyar
Status Pernikahan : Sudah Menikah
PendidikanTerakhir : Tamat SD
Pekerjaan : Pedagang

2. Keluhan Utama
Sulit tidur

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan utama: Sulit tidur sejak 3 bulan lalu
Pasien datang dengan keluhan sulit tidur yang dirasakan sejak 3 bulan
yang lalu. Awalnya, pasien hanya merasakan sulit untuk tidur selama 2-3
malam saja dalam seminggu. Akan tetapi, semakin lama keluhan dirasakan
memberat. Hampir setiap malam pasien kesulitan untuk tidur
Pasien mengatakan dirinya baru bisa tidur jam 2 pagi meskipun sudah
berusaha untuk tidur sejak jam 9 malam. Keluhan sulit tidur ini dirasakan
terus menerus sehingga pasien merasa sangat kurang istirahat dan badannya
terasa lelah.

18
Dirinya mengaku sulit tidur sejak ±3 bulan karena memikirkan kondisi
ekonomi suami pasien yang memasuki masa pension. Dalam 1 bulan terakhir
ini pasien menjadi enggan melakukan aktivitas selain bekerja di pasar, pasien
tidak bernafsu makan serta menjadi enggan berkumpul dengan keluarganya
di rumah. Karena sesampainya di rumah pasien merasa sudah sangat lelah.
Pasien berusaha untuk memulihkan tenaganya dengan tidur akan tetapi sulit.
4. Riwayat Psikiatri :disangkal
5. Riwayat Gangguan Medis
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
6. Riwayat Medis Lain
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat konsumsi NAPZA : disangkal
7. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat. hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
8. Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Selama kehamilan tidak
ada masalah, lahir secara normal di bidan
b. Riwayat Masa Anak Awal (0-3 tahun)
Pasien diasuh oleh ayah dan ibunya. Pasien tumbuh sebagaimana
anak-anak seusianya. Tidak ada gangguan perkembangan maupun

19
penyakit tertentu.
c. Riwayat Masa Anak Pertengahan (4-11 tahun)
Pasien memiliki teman dan kehidupan sosial yang baik.
d. Riwayat Masa Anak Akhir (pubertas sampai remaja)
Pasien tamat SD, tidak pernah tinggal kelas
e. Riwayat Masa Dewasa
 Riwayat Pekerjaan : Pedagang
 Riwayat Pendidikan : Tamat SD
 Riwayat Agama : Pasien beragama Islam, rajin beribadah.
 Kehidupan seksual : pasien sudah menikah
 Riwayat kemiliteran dan hukum : pasien belum pernah
ditangkap polisi dan tidak pernah terlibat dalam kegiatan
kemiliteran.
9. Riwayat Keluarga
a. Riwayat gangguan jiwa di keluarga: (-)
b. Riwayat darah tinggi: (-)
c. Riwayat diabetes: (-)
d. Riwayat alergi: (-)

B. PEMERIKSAAN STATUS MENTALIS


a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien adalah seorang perempua, penampilan sesuai umur,
perawatan diri baik.
2. Pembicaraan
Spontan, volume cukup intonasi baik, artikulsi jelas, menjawab
pertanyaan saat ditanya.

20
3. Psikomotor
Normoaktif
4. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif, kontakmata (+) adekuat
b. Kesadaran
1. Kuantitatif : compos mentis, GCS E4V5M6
2. Kualitatif : tidak berubah
c. Alam Perasan
1. Mood : hipotimia
2. Afek : depresi
3. Keserasian : serasi
4. Empati : dapatdiraba-rasakan
d. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : (-)
2. Ilusi : tidak ada
3. Derealisasi : tidak ada
4. Depersonalisasi: tidak ada
e. Proses Pikir
1. Bentuk : realistik
2. Isi : waham (-)
3. Arus : koheren
f. Kesadaran Dan Kognisi
1. Orientasi
a. Orang :baik, pasien mengenali orang sekitarnya
b. Tempat :baik, pasien tahu dimana dia berada saat ini
c. Waktu :baik, pasien menyebutkan hari dan waktu
saatdiperiksa

21
d. Situasi : baik, pasien dapat menjelaskan situasi dengan
baik.
2. Daya Ingat
a. Jangka segera : baik, pasien mampu mengingat nama
pemeriksa yang disebutkan di awal pembicaraan
b. Jangka pendek : baik, pasien mampu menyebutkan apa
yang pasien makan pada saat sarapan
c. Jangka panjang : baik, pasien mengatakan alamat rumah,
dan mengingat masa sekolahnya dulu.
3. Kemampuan abstrak : Pasien dapat menyebutkan persamaan
dan perbedaan dua benda seperti jeruk dengan apel.
4. Kemampuan visuo spatial: baik
5. Daya konsentrasi dan perhatian
a. Konsentrasi : baik
b. Perhatian : baik
6. Kemampuan menolong diri: baik, pasien dapat makan, mandi, dan
merawat diri sendiri dengan baik
g. Daya Nilai
1. Realita : terganggu
2. Sosial : baik
h. Tilikan Diri : derajat V

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum: compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital:
1) Tekanan Darah : 110/80 mmHg
2) Frekuensi Nadi : 74 kali/menit, reguler
3) Respirasi : 20 kali/menit

22
4) Suhu : 36,2ºC
c. Pemeriksaan Kepala dan Leher : dalam batas normal
d. Pemeriksaan Thoraks : dalam batas normal
e. Pemeriksaan Abdomen : dalam batas normal
f. Pemeriksaan Ekstremitas : dalam batas normal
g. Status neurologis : dalam batas normal
1) Fungsi Kesadaran :GCS E4V5M6
2) Fungsi Luhur : dalam batas normal
3) Fungsi Kognitif : dalam batas normal
4) Fungsi Sensorik : dalam batas normal
5) Fungsi Motorik : dalam batas normal
6) Fungsi Craniales : dalam batas normal
7) Kesan Pemeriksaan Neurologis : dalam batas normal
i. Pemeriksaan Kulit : dalam batas normal

D. FORMULASI DIAGNOSIS
Dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan kelaianan medis umum atau riwayat
penggunaan zat (Gol. NAPZA/ psikoaktif lainnya) sehingga kemungkinan
gangguan mental organik (F00-F09) dan gangguan mental dan perilaku akibat zat
psikoaktif (F10-F19) dapat disingkirkan.
Diagnosis Aksis I
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental pasien ditemukan
gejala sulit memulai tidur pada pasien yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu,
memberat dan terjadi hampir setiap malam selama 1 bulan terakhir serta pasien
merasa tidak puas terhadap kuantitas kualitas tidurnya mengarah pada diagnosis
F51.0 Insomnia Anorganik. Selain itu, dari anamnesis dan pemeriksaan status
mental juga diperoleh gejala utama episode depresif yaitu kehilangan minat dan
kegembiraan, berkurangnya energi sehingga pasien mudah lelah, afek depresif

23
serta gejala lain yaitu berkurangnya nafsu makan serta gangguan tidur yang
dirasakan selama 1 bulan terakhir. Hal tersebut mengarah pada F32.0 Episode
Depresif Ringan.
Diagnosis Axis II
Belum ada diagnosis
Diagnosis Axis III
Belum ada diagnosis
Diagnosis Axis IV
Masalah Pekerjaan
Diagnosis Axis V
GAF 70-61

E. DIAGNOSIS
Axis I : F51.0 Insomnia Anorganik
F32.0 Episode Depresif Ringan
Axis II : Belum Ada Diagnosis
Axis III : Belum Ada Diagnosis
Axis IV : Masalah Pekerjaan
Axis V : GAF 70-61

F. TATALAKSANA
1. Non Medikamentosa
Memberikan edukasi kepada pasien:
- terkait keluhan sulit tidurnya meliputi penyebab keluhan dan rencana
terapi
- pasien dapat menerapkan sleep hygiene yaitu mencuci muka, sikat gigi,
buang air kecil sebelum tidur, tidur sebanyak yang dibutuhkan
- melakukan olahraga minimal 20 menit per hari
- pasien dapat menerapkan stimulus control therapy dengan pergi ke tempat

24
tidur saat merasa mengantuk, hindari menonton TV, membaca, makan di
tempat tidur.
- Rencana terapi farmakologi

2. Medikamentosa
Resep Medikamentosa
RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
13 Agustus 2018
Dokter : dr. Kamil

R/ Halcion tab mg 0,125 No. VII


∫ 1 dd tab I hora somni

R/ Deproz tab mg 20 No. VII


∫ 1 dd tab I mane

Pro : Ny. T (60 tahun)


Alamat: Karanganyar

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

1. Penegakan diagnosis
Diagnosis insomnia anorganik dan Episode depresif ringan pada kasus ini
ditegakkan atas dasar:
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental pasien
ditemukan gejala utama episode depresif yaitu kehilangan minat dan
kegembiraan, berkurangnya energi sehingga pasien mudah lelah, afek
depresif serta gejala lain yaitu berkurangnya nafsu makan serta gangguan
tidur yang dirasakan selama 1 bulan terakhir. Hal tersebut mengarah pada
F32.0 Episode Depresif Ringan. Selain itu, keluhan sulit memulai tidur
pada pasien yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, memberat dan terjadi
hampir setiap malam selama 1 bulan terakhir serta pasien merasa tidak
puas terhadap kuantitas kualitas tidurnya mengarah pada diagnosis F51.0
Insomnia Anorganik.
2. Terapi
Terapi yang diberikan kepada pasien adalah tablet triazolam sebagai terapi
insomnia dan fluoxetin sebagai terapi antidepresan.
Triazolam
1. Farmakologi
Triazolam berikatan dengan reseptor stereospesifik pada neuron
GABA post sinaps di sistem saraf pusat yang melibatkan sistem limbik,
formasio retikular. Peningkatan efek penghambatan terhadap GABA
melalui peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Cl yang

26
menghasilkan hiperpolarisasi dan stabilisasi. Triazolam merupakan obat
golongan benzodiazepin kerja pendek dengan masa paruh obat <10 jam yang
sesuai diberikan untuk pasien dengan keluhan sulit memulai tidur. Onset kerja
triazolam adalah 15-30 menit. Obat ini diabsorbsi di saluran pencernaan,
konsentrasi plasma maksimum dicapai setelah 2 jam pemberian. Sekitar 89%
triazolam terikat dengan protein serum Triazolam dimetabolisme di hati
oleh isoenzim CYP3A4 dan diekskresikan melalui urin.
Hipnotik ideal harus memiliki mula kerja cepat, mampu
mempertahankan tidur sepanjang malam dan tidak meninggalkan efek
residu pada keesokan harinya. Diantara benzodiazepin yang digunakan
sebagai hipnotik, secara teoritis triazolam paling mendekati kriteria tersebut
(Gunawan, 2011)
2. Indikasi
Terapi jangka pendek insomnia
3. Kontraindikasi
- Kehamilan
- Penggunaan dengan inhibitor CYP3A4 seperti ketokonazol,
itrakonzaol, nefazodon
4. Bentuk Sediaan
Pada pemberian oral, triazolam dapat diberikan dalam bentuk tablet
dengan dosis 0.125 mg, dan 0.25 mg.
5. Dosis Aturan Pakai
Untuk pasien dewasa yang mengalami gangguan tidur bisa diberikan
tablet triazolam 0.125-0.25 mg dalam 1 kali pemberian dalam sehari
menjelang tidur. Pemberian maksimal 0.5 mg per hari. Pada pasien geriatri,
dapat diberikan dosis awal 0.125 mg dengan dosis maksimal 0.25 mg per
hari.

27
6. Efek Samping
Beberapa efek samping yang ditimbulkan antara lain adalah adanya
amnesia anterograde, pemikiran yang abnormal, perubahan perilaku, agitasi,
halusinasi, depersonalisasi, reaksi hipersensitivitas (misal angioderma),
reaksi paradoxical (seperti hiperaktif dan agresif).
Efek samping lain yang relatif lebih umum terjadi ialah lemas, sakit
kepala, pandangan kabur, mual, muntah, diare, nyeri epigastrik, nyeri sendi.
7. Interaksi Obat
Konsentrasi plasma meningkat jika diberikan bersamaan dengan
antibiotik makrolid, simetidin, isoniazid dan ranitidin.
Obat-obat CYP3A4 inhibitor seperti ketokonzol, itrakonazol,
nefazodon dapat secara signifikan meningkatkan konsentrasi plasma
triazolam.
Selain itu, konsumsi alkohol dapat meningkatkan efek triazolam
terhadap SSP.

Fluoxetin
1. Farmakologi
Obat ini merupakan obat golongan SSRI yang paling luas digunakan,
karena obat ini kurang menyebabkan antikolinergik, hampir tidak
menimbulkan sedasi dan cukup diberikan satu kali sehari.
Obat ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat
ambilan serotonin (Serotonis Selective Reuptake Inhibitor). Golongan obat
ini kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinerhik,
adrenergik atau histaminergik sehingga efek sampingnya lebih ringan
(Gunawan, 2011). SSRI adalah agen lini pertama untuk penatalaksanaan
depresi, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan panik sebagaimana
gangguan-gangguan lainnya.

28
Fluoxetin diabsorbsi di saluran pencernaan. Konsentrasi plasma
maksimum dicapai setelah 6-8 jam pemberian. Makanan tidak mengganggu
penyerapannya. Sekitar 95% fluoxetin terikat dengan protein serum.
Distribusi fluoxetin sangat luas dan terdapat dalam ASI.

2. Indikasi
Fluoxetin diindikasikan untuk pengobatan depresi atau gangguan
depresi mayor, gangguan obsesif kompulsi, bulimia nervosa dan gangguan
disforik pramenstrual.
3. Kontraindikasi
Epilepsi, kegagalan ginjal dan hati, gagal jantung akut, laktasi dan
penggunaan bersama MAO inhibitor.
4. Bentuk sediaan
Pada pemberian oral, fluoxetin dapat diberikan dalam bentuk tablet
dengan dosis 10 mg, 20 mg, 60 mg untuk dewasa yang dibagi dalam 1 kali
pemberian dalam sehari. Bentuk lainnya berupa kapsul dengan dosis 10 mg,
20 mg, 40 mg.
5. Dosis Aturan Pakai
Dosis awal untuk depresi pada dewasa 20 mg/hari diberikan setiap
pagi. Bila tidak diperoleh efek terapi selama beberapa minggu, dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap. Pemberian maksimal 80 mg/hari dapat
sebagai dosis tunggal atau terbagi. Pada anak dengan usia >8 tahun, dosis
awal 10 mg/hari dan dapat ditingkatkan sampai 20 mg/hari setelah 1-2
minggu hanya jika pemberian awal tidak memberikan efek terapi.
6. Efek Samping
- Astenia, demam, mual, muntah, sakit kepala, gelisah, kantuk, radang
laring, ruam kulit dan biduran
- Mulut kering, diare, gangguan pencernaan
- Pernah dilaporkan terjadi penurunan denyut nadi, lambatnya denyut

29
jantung, reaksi ekstrapiramidal dan akatisia

7. Interaksi Obat
Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila SSRI
dikombinasikan dengan MAO inhbitor, yaitu akan terjadi peningkatan efek
serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala
hipertemia, kekakuan otot, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan
perilaku serta tanda vital

30
DAFTAR PUSTAKA

Benca RM. Diagnosis and Treatment of Chronic Insomnia: A Review. 2005. p.


332-43

Buysse DJ, et al. Insomnia. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry . 2005;
3(4): 568-584.

Buysse DJ. Chronic Insomnia. Am J Psychiatry. 2008; 165(6): 678-686

Davies C. Chronic Insomnia. Carle Selected Papers. 2007;50(1): 11-15

Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact, Pathogenesis,


Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.

Galimi R. Insomnia in the elderly: an update and future challenges. G GERONTOL.


2010;58:231-247.

Gunawan SG. 2011. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.

Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p. 777-785.

Jack D. Edinger et al. Cognitive Behavioral therapy for treatment of chronic primary
insomnia. Jama: American Medical Association; 2001.

31
Kamel NS, Gammack JK. Insomnia in the Elderly: Cause, Approach, and Treatment.
The American Journal of Medicine. 2006;119:463-469.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Tidur Normal dan Gangguan Tidur. Sinopsis
Psikiatri Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher,2010.p.210-2117.

Mai E, Buysse DJ. Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential


Diagnosis, and Evaluation. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry. 2009;
7(4): 491-498

R Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia Clinic.


Singapore Med J Vol 42(2); p. 064-066

Ruth M. Diagnosis and Treatment of insomnia. Available at:


http://ps.psychiatryonline.org/vol.56/no.3/march2005 (Downloaded on 14th of
November 2016)

Savard J et al. Chronic insomnia and immune functioning. America: American


psychosomatic Society; 2003

32

Anda mungkin juga menyukai