Anda di halaman 1dari 68

Presentasi Kasus Besar

LAKI – LAKI 64 TAHUN DENGAN HEMATEMESIS MELENA NON


VARICEL ec GASTRITIS EROSIF dd ULKUS PYLORUS, ANEMIA
GRAVIS NORMOSITIK NORMOKROMIK ec PERDARAHN dd OCD,
HIPOKALSEMI BERAT, AKI PRERENAL dd ACUT on CKD

Oleh:
Karisa Indriati G991903026
Jemmy Haryadi Sima G991903025
Hanna Alaydrus G991905026

Pembimbing

dr. Ratih Tri Kusuma Dewi, SpPD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:


LAKI – LAKI 64 TAHUN DENGAN HEMATEMESIS MELENA NON
VARICEL ec GASTRITIS EROSIF dd ULKUS PYLORUS, ANEMIA
GRAVISNORMOSITIK NORMOKROMIK ec PERDARAHN dd OCD,
HIPOKALSEMI BERAT, AKI PRERENAL dd ACUT on CKD

Karisa Indriati G991903026


Jemmy Haryadi Sima G991903025
Hanna Alaydrus G991905026

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Ratih Tri Kusuma Dewi, SpPD, FINASIM

1
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ...............................................................................................1

Daftar Isi...................................................................................................................2

Bab I Status Pasien ...................................................................................................3


Identitas Pasien.............................................................................................3
Data dasar .....................................................................................................3
Pemeriksaan Fisik ........................................................................................5
Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................8
Resume .......................................................................................................10
Diagnosis ....................................................................................................11
Follow Up ..................................................................................................12
Rencana Awal ............................................................................................13

Bab II Tinjauan Pustaka .........................................................................................31


A. Syok Hipovolemik......................................................................31
B. Anemia .......................................................................................34
C. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas .....................................40
D. Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney Injury) ..................................51

Daftar Pustaka ........................................................................................................58

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. C
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jumantono, Karanganyar
No. RM : 01474xxx
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 26 Oktober2019
Tanggal pemeriksaan : 26Oktober 2019

B. Data Dasar
Autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Flamboyan 8
Kamar 807C RSUD DR. Moewardi, Surakarta.
a. Keluhan Utama
Muntah darah sejak 2 jam SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan muntah darah sejak 2 jam SMRS.
Muntah dirasakan sebanyak 1x berupa darah warna merah sebanyak +- 1/4
gelas belimbing, muntah terus menerus dan dirasakan semakin memberat,
tidak berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh BAB hitam,
dirasakan sejak 10 hari SMRS sebanyak 1x/hari berupa feses berwarna
hitam bercampur dengan darah kehitaman +- 1/4 gelas belimbing berbau
amis tidak didapatkan nyeri saat BAB. BAB berwarna hitam seperti petis,
konsistensi lembek lengket dan berbau amis, berubah menjadi warna merah
saat BAB diguyur air, sehari BAB kurang lebih dua kali @ ¼ - ½ gelas

3
belimbing. Pasien juga mengeluh lemas. Lemas dirasakan seluruh tubuh,
dirasakan sejak 1 minggu yg lalu, dirasakan terus menerus, tidak
menghilang dengan istirahat dan pemberian makanan. keluhan lemas
disertai dengan pusing dan mengganggu aktivitas pasien. Pasien
sebelumnya pernah dirawat di RS Dr. Moewardi 2 bulan yg lalu dengan
keluhan nyeri perut dan nyeri pinggang. Nyeri pinggang sudah dirasakan
semenjak 7 tahun yang lalu dan dirasakan semakin memberat. Karena nyeri
pinggang tersebut pasien biasa membeli obat-obatan bebas yang di jual di
warung dekat rumahnya, pasien mengaku lupa nama obat yang sering
dikonsumsinya. Pada saat pasien di RS Dr. Moewardi 2 bulan yang lalu
pasien dirawat selama 5 hari dan dilakukan transfusi darah sebanyak 1
kantong darah, pasien menyangkal memiliki riwayat darah tinggi, gula
jantung maupun asma alergi. Pasien BAK sebanyak 5-6 kali sehari BAK
+- 1/2 gelas belimbing berwarna kuning tidak didapatkan darah/ BAK
seperti teh, tidak didapatkan nyeri saat BAK. pasien juga mengeluh mata
kanan melihat bayangan berwarna putih dirasakan 30 tahun lalu dan
semakin berat, belum dilakukan operasi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma dan alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma dan alergi : disangkal

4
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai seorang petani, namun saat ini tidak bekerja. Pasien
berobat menggunakan fasilitas BPJS Kelas III. Pasien makan 3-4 kali sehari
dengan porsi sedang, dan minum 3 kali sebanyak ¾ botol aqua 600 mL.
Kebiasaan merokok +- 20 thn, 1 batang/hari, riwayat alkohol disangkal,
riwayat minum obat-obatan dijual bebas 7 tahun yang lalu namun pasien lupa
nama obat yang dikonsumsi tersebut.

Pohon keluarga pasien

Keterangan

Laki –laki

Perempuan

Pasien

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 26 Oktober 2019 dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, GCS E4V5M6 composmentis.
2. Tanda Vital

5
a. Tekanan Darah : 80/50 mmHg lengan kanan, posisi supine
b. Nadi : 110 kali/menit regular, isi dan tekanan lemah
c. Frekuensi nafas : 20 kali/menit pernapasan thorax
d. Suhu : 36.6oC per axilla
e. VAS : 3 pada punggung

3. Status Gizi
a. Berat Badan : 60kg
b. Tinggi Badan : 165 cm
c. IMT : 22.03kg/m2
d. Kesan : Normoweight
4. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi bekas garukan gatal (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah rontok (-),luka (-), atrofi
m. temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-
/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-), strabismus (-/-),katarak (-/-), pandangan kabur (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-), chvostek sign (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi berdarah
(-), papil lidah atrofi (-)
10. Leher : JVP R+ 2cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-), distensi
vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela
iga melebar(-), pembesaran limfonodi axilla (-/-)
12 Jantung :

6
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kiri : SIC IV linea midklavikularis sinistra
Kanan : SIC IV lineasternalis dextra
Pinggang : SIC III linea parasternalis sinistra
Ictus cordis : SIC V lineamidaksilaris sinistra 2cm ke medial
Kesan : Batas jantung kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, gallop (-), murmur (-).
13. Pulmo :
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : Simetris
2. Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
1. Kanan : Sonor
2. Kiri : Sonor

Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar: vesikuler, wheezing (-), ronkhi basah
halus (-), krepitasi (-)
2. Kiri : Suara dasar: vesikuler, wheezing (-), ronkhi basah
halus (-), krepitasi (-)
14. Abdomen :

7
a. Inspeksi : Dinding perutsama tinggi dengan dinding thorax,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), ikterik (-), papul (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 11x / menit, bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Supel, hepar dan lien sulit dievaluasi, nyeri tekan
epigastrium (-), undulasi (-)
15. Ekstremitas : Akral Dingin Oedem
+ + - -
+ + - -
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (+/+), akral
dingin (+/+),ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat
(+/+), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail
(-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas
(-/-), kesemutan (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (+/+), akral
dingin(+/+), ikterik (-/-), luka (-/-),kuku pucat
(+/+), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail
(-/-)
16. Regio Genitalia : Nyeri (-/-), deformitas (-/-), kesemutan (-/-), nyeri
tekan (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil Laboratorium Darah (30 September 2019) di RSUD Dr.
Moewardi

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 3.5 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 11 % 33 – 45
Leukosit 11.4 ribu/µl 4,5 – 11.0
Trombosit 512 ribu/µl 150 – 450

8
Eritrosit 1.26 juta/µl 4.50 – 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 90.1 /um 80.0 – 96.0
MCH 28.2 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 31.3 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 16.0 % 11.6 – 14.6
MPV 7.7 Fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.10 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.30 % 0.00 – 2.00
Netrofil 84.00 % 55.00 – 80.00
Limfosit 11.30 % 22.00 – 44.00
Monosit 4.30 % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
GDS 151 mg/dl 60 – 140
SGOT 25 u/l <35
SGPT 18 u/l <45
Kreatinin 1.7 mg/dl 0.9 – 1.3
Ureum 91 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 133 mmol/L 132 –146
Kalium darah 3.8 mmol/L 3.7-5.4
Calsium Ion 0.94 mmol/L 136 - 145
HBsAg Non reactive Non reactive
Kesimpulan: Anemia Normositik-Normokromik, Leukositosis, dan
Hipokalsemi berat

9
b) Pemeriksaan Radiologi Thorak PA di RSUD Dr. Moewardi

Kesimpulan : Cor dan Pulmo tak tampak kelainan

E. RESUME
1. Keluhan utama:
Muntah berwarna merah sejak 2jam SMRS.
2. Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
 Muntah berwarna merah sejak 2 jam SMRS.
 Muntah dirasakan sebanyak 1x berupa darah warna merah sebanyak
+- 1/4 gelas belimbing.

10
 Sebelum muntah, pasien mengeluh nyeri pinggang hingga berkeringat
dingin dan badan terasa lemas.
 Pasien memiliki riwayat BAB hitam, dirasakan sejak 10 hari SMRS
 BAB sebanyak 1x/hari berupa feses berwarna hitam bercampur
dengan darah kehitaman +- 1/4 gelas belimbing berbau amis tidak
didapatkan nyeri saat BAB
 Muntah tidak disertai dengan nyeri perut.
 Pasien juga mengeluh lemas
 Lemas dirasakan seluruh tubuh, dirasakan sejak 1 minggu yang lalu,
dirasakan terus menerus, tidak menghilang dengan istirahat dan
pemberian makana
 Keluhan lemas disertai dengan pusing dan mengganggu aktivitas
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat mondok disangkal.
Riwayat operasi disangkal.
Riwayat keganasandisangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat asma dan alergi disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat sakit jantung disangkal.
Riwayat sakit kuning disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat keganasandisangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat asma dan alergi disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat sakit jantung disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan

11
Pasien bekerja sebagai petani tinggal bersama keluarga, berobat
menggunakan BPJS kelas III.
3. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
● Vital sign:Tekanan darah 80/50 mmHg, RR 20x/ menit, HR 110x/menit,
suhu 36.6 0C
● Mata: Conjungtiva anemis (+/+)
● Ekstremitas : Akral dingin (+/+)
4. Pemeriksaan penunjang:
A. Laboratorium darah
Kesimpulan: Anemia normositik-normokromik, leukositopenia, hipokalsemi
berat
B. Radiologi Thorak PA-Lat
Kesimpulan: Cor dan Pulmo tak tampak kelainan

F. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Hematemesis melena non varicel (ec gastritis erosif dd ulkus
pylorus) dd variceal bleeding
2. Anemia gravis normositik normokromik ec perdarahn dd OCD
3. Hipokalsemi berat
4. AKI prerenal dd acut on CKD

12
RENCANA AWAL

No Pengkajian Rencana Awal Rencana Rencana


Diagnosis Rencana Terapi
(Assesment) diagnosis Edukasi Monitoring

1. Hematemesis Anamnesis: EGD - Bed rest ½ Penjelasan Monitoring


melena non Muntah berwarna merah sejak 2 duduk kepada pasien keadaan umum,
jam SMRS. mengenai tanda vital, dan
varicel (ec Muntah sebanyak 2 kali, masing - O2 2 lpm kondisi, perdarahan
gastritis erosif masing 2 gelas belimbing. - Diet: prosedur
dd ulkus BAB hitam, dirasakan sejak 10 sementara diagnosis, dan
hari SMRS sebanyak 1x/hari tatalaksana
pylorus) dd puasa
berupa feses berwarna hitam beserta
variceal bercampur dengan darah - NGT dialirkan komplikasi yang
bleeding kehitaman +- 1/4 gelas - Inf NaCl 0,9% dapat terjadi.
belimbing berbau amis tidak
16 tpm
didapatkan nyeri saat BAB
Pasien riwayat meminum obat- (mikro)
obatan bebas sejak 7 tahun yang - Inj as
lalu.
traneksamat 5
mg/ 8jam

13
- Inj omeprazole
80 mg bolus
dibagi dalam 2
dosis
dilanjutkan
omeprazole
syringe pump
8 mg/jam
- Sucralfat syr
15 cc/ 8jam
2. Anemia gravis Anamnesis: Cek Gambaran Transfusi PRC 1300 Penjelasan Monitoring
normositik darah tepi cc ~ 5 kolf sd Hb > 10 kepada pasien anemia
normokromik - Lemas sejak 7 hari Retikulosit mengenai
ec perdarahan SMRS kondisi pasien,
dd on chronic terapi yang
Pemeriksaan Fisik
disease diberikan serta
komplikasi yang
- Wajah pucat
mungkin terjadi
- CA (+/+) dari kelainan
Pemeriksaan Penunjang yang diderita
pasien
Hb 3.5 g/dl

14
Eritrosit 1.26 juta/ul
MCV 90.1 /um
MCH 28.2 pg
3. HPemeriksaan lab Cek elektrolit Inj. Ca Glukonas Penjelasan Cek elektrolit
i Ca ion: 0.94 mmol/L urin 1ampul/24 jam (3 kepada pasien post koreksi
mengenai
p hari) kondisi,
o tatalaksana dan
k komplikasi yang
mungkin terjadi.
a
l
s
e
m
i
a
b
e
r

15
a
t

4. AAnamnesis: - Diet ginjal Penjelasan Monitoring


KPasien mempunyai riwayat - Inf EAS kepada pasien keadaan umum,
mondok 2 bulan sebelumnya di mengenai tanda vital
IRS Dr. Moewardi dengan pfrimmer 1 kondisi,
pdiagnose AKI prerenal dd aku kolf/24 jam tatalaksana dan
ron CKD - CaCO3 1 mg/8 jam komplikasi yang
mungkin terjadi.
e
r
e
n
a
l
d
d
a
k
u

16
t
o
n
C
K
D

17
G. FOLLOW UP
Tanggal 26 Oktober 2019 (DPH 0)
Subjektif Muntah darah sejak 2 jam SMRS
Objektif KU : tampak sakit sedang, lemas, composmentis,
E4V5M6
Tensi : 90/60mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 104 kali/menit
Suhu : 36.8° C
VAS : 3 pada punggung
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (-/-)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada

16
A : Bising usus (+) 10 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -

CRT > 2 detik


RT
TMSA (+), ampulla recti tidak kolaps (-), nyeri (-), benjolan (-)
Darah (-), lendir (-), feses (+)

Pemeriksaan  Thoraks PA (26/10/19)


Penunjang Cor dan Pulmo tak tampak kelainan
 Laboratorium (26/10/19)
Hb 3,5 APTT 20,8
Hct 11 INR 1.260
AL 11,4 GDS 151
AT 512 SGOT 25
AE 1,26 SGPT 18
MCV 90,1 Bil total 0,38
MCH 28,2 Cr 1.7
MCHC 31,3 Ur 91
RDW 16,0 Na darah 133
MPV 7,7 K darah 3,8
PDW `6 Ca ion 0,94
PT 15,5 HBsAg nonreaktif

17
Assesment 1. Hematemesis melena ec non varicel (gastritis erosif dd
ulkus pylorus dd variceal bleeding
2. Anemia gravis normositik normokromik ec perdarahn dd
OCD
3. Hipokalsemi berat
4. AKI prerenal dd acut on CKD
Terapi 1. Bedrest tidak total
2. O2 2 lpm
3. Infus RL 500 cc
4. NGT dialirkan, sementara puasa
5. Sp omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500 cc
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Transfusi PPRC 1300 cc ~ 5 kolf s/d Hb ≥10 g/dl
8. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
9. NAC 20mg/8jam
10. Inj Ca Glucons 1 amp/24 jam 3 hari
11. Hindari obat-obatan hepatotoksik
12. Kabiven 1 fl/24 jam
Planning - GDT, cek retikulosit, ferritin, SI, TIBC, saturasi
transferrin
- EGD
- Cek ur/cr/3 hari
- USG ginjal, urin rutin
- Cek eletrolit/3 hai post koreksi

18
Tanggal 27 Oktober 2019 (DPH 1)
Subjektif Lemas
Objektif KU : tampak sakit sedang, lemas, apatis, E3V5M6
Tensi : 80/50mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 100 kali/menit
Suhu : 36.8° C
VAS : 3 pada punggung
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (-/-)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 10 x/menit

19
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar

Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -

CRT 2 detik
Assesment 1. Hematemesis melena ec non varicel (gastritis erosif dd ulkus
pylorus) dd variceal bleeding
2. Anemia gravis normositik normokromik ec perdarahn dd OCD
3. Hipokalsemi berat
4. AKI prerenal dd acut on CKD
Terapi 1. Bedrest tidak total
2. O2 2lpm
3. Infus RL 500 cc
4. NGT dialirkan ; sementara puasa
5. Sp omeprazole omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500
cc
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Transfusi PPRC 1300 cc ~ 5 kolf s/d Hb ≥10 g/dl
8. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
9. NAC 20mg/8jam
10. Inj Ca Glucons 1 amp/24 jam 3 hari
11. Hindari obat-obatan hepatotoksik
12. Kabiven 1 fl/24 jam
Planning - GDT, cek retikulosit, ferritin, SI, TIBC, saturasi
transferrin
- EGD
- Cek ur/cr/3 hari

20
- USG ginjal, urin rutin
- Cek eletrolit/3 hai post koreksi

Tanggal 28 Oktober 2019 (DPH 2)


Subjektif Muntah darah (+), melena (+)
Objektif KU : somnolen, E2V5M4
Tensi : 100/60 mmHg on epi 750 cc/jam
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 98 kali/menit
Suhu : 36.3° C
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (-/-)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada

21
A : Bising usus (+) 10 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar

Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -

CRT >2 detik


Pemeriksaan  Laboratorium Darah (28/10/19)
Penunjang Hb 3,7 MCV 84,8
Hct 11 MCH 28,0
AL 14,3 MCHC 33
AT 286 RDW 16,7
AE 1,32 Eosinofil 0,70
Basofil 0,10 Monosit 3,30
Neutrofil 81,50 Albumin 1,4
Limfosit 14,40

 Laboratorium Urin (28/10/19)


Warna Yellow Leukosit 494,6
Kejernihan Cloudy Eritrosit 247,0
Berat jenis 1.011 Epitel squamous -
pH 7.5 Epitel transisional 2-3
Leukosit 500 Epitel bulat -
Nitrit +1 Hyaline 0
Protein +1 Granulated 2-3
Glukosa Normal Leukosit -
Keton Negatif Kristal 0,0

22
Urobilinoge +1 Yeast Like Cell 0,0
n
Bilirubin - Small Round Cell 0,1
Eritrosit +2 Mukus 0,38
Sperma 0,0 Konduktivitas 13,0

Lain-lain Eritrosit 89-90/LBP, leukosit hampir memenuhi


seluruh lapang, bakteri (+++), benang mukus (+)
Assesment 1. Hipotensi ec syok hipovolemik ec perdarahan
2. Anemia gravis normochromic normositik ec perdarahan
3. Hematemesis melena ec nonvariceal bleeding (gastritis erosif
dd ulcus pylorus) dd variceal bleeding
4. Hipokalsemia berat
5. AKI prerenal dd acut on CKD
6. Hipoalbumin berat
7. ISK
Terapi 1. Bedrest tidak total
2. O2 2-3 lpm NK
3. Infus NaCl loading 30 cc/KgBB àjika MAP ≥65 mmHg ganti
dengan D5%
4. Sementara puasa, NGT dialirkan à produk 10 cc hitam
5. Sp omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500 cc
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
8. NAC 20mg/8jam
9. Inj Ca Gluconas 1 g/24 jam
10. Inj as traneksamat 500mg/8jam
11. Inj vit K 1 fl/8 jam
12. Transfusi PRC 1300 cc à target Hb ≥10 g/dl
13. Sp norepinefrin 4 mg dalam NaCl 0,9% 50 cc kecepatan 7,5
cc/jam ànaikkan tiap 15 menit sampai target MAP ≥65 mmHg
Planning  Pindah perawatan intensif (ICU)

23
 Kuvs/jam
 GDS/4jam
 BC/12 jam
 Kultur urin

Tanggal 29 Oktober 2019 (DPH 3)


Subjektif BAB hitam (+) 1x, lemas (+)
Objektif KU : somnolen, E2V5M4
Tensi : 90/60mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 102 kali/menit
Suhu : 36.8° C
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-),
oral thrush (+)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri

24
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 13 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (+), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -

CRT >2 detik


Pemeriksaan  Kultur urin (29/10/19)
penunjang Ampicillin R Cefepime R
sulbactam
Ciftazidine R Gentamisin S
Meropenem R ESBL (+)
Assesment 1. Hipotensi ec syok hipovolemik ec perdarahan dd syok
sepsis
2. Hematemesis melena ec nonvariceal bleeding (gastritis
erosif dd ulcus pylorus) dd variceal bleeding
3. Anemia gravis normochromic normositik ec perdarahan
4. Hipokalsemia berat
5. Hipoalbumin berat
6. ISK
7. AKI prerenal dd acut on CKD
Terapi 1. Bedrest total
2. O2 2-3 lpm NK
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. NGT dialirkan à evaluasi 6 am à jernih à diet

25
5. Sp omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500 cc
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
8. NAC 20mg/8jam
9. Inj Ca Gluconas 1 g/24 jam
10. Inj as traneksamat 500mg/8jam
11. Inj vit K 1 fl/8 jam
12. Transfusi PRC à target Hb ≥10 g/dl àinj ca gluconas post
PRC ke 4
13. Sp norepinefrin 4 mg dalam NaCl 0,9% 50 cc kecepatan
9,2 cc/jam
14. Inj octublin 25% 100 cc 1 fl/24 jam
15. Inj ciprofloxacin 400 mg/12 jam
16. Sp somatostatin 300 mg dalam 50 cc NaCl 0,9%
kecepatan 4,2 cc/jam
17. Kabiven 1 fl/24 jam
Planning - DR3 + albumin post koreksi

Tanggal 30 Oktober 2019 (DPH 4)


Subjektif Muntah darah (+), BAB hitam (+), lemas (+)
Objektif KU : somnolen, E2V5M4
Tensi : 70/40mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 110 kali/menit
Suhu : 36.7° C
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)

26
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-),
oral thrush (+)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 13 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (+), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -

CRT >2 detik


Assesment 1. Hipotensi ec syok hipovolemik dd syok sepsis
2. Hematemesis melena ec nonvariceal bleeding (gastritis
erosif dd ulcus pylorus) dd variceal bleeding
3. Anemia gravis normochromic normositik ec perdarahan
4. Hipokalsemia berat

27
5. Hipoalbumin berat
6. ISK
7. AKI prerenal dd acut on CKD
Pemeriksaan  Laboratorium (30/10/19)
Penunjang Hb 4,0 AT 199
Hct 13 AE 1,36
AL 27,8 albumin 1,5
Terapi 1. Bedrest total
2. O2 2-3 lpm NK
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm à klabiven 1 fl/24 jam
4. Dietà NGT dialirkan, sementara puasa
5. Sp omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500 cc kecepatan
5,5 cc/jam
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
8. NAC 20mg/8jam
9. Inj Ca Gluconas 1 g/24 jam
10. Inj as traneksamat 500mg/8jam
11. Inj vit K 1 fl/8 jam
12. Transfusi PRC à target Hb ≥10 g/dl àinj ca gluconas post
PRC ke 4
13. Sp norepinefrin 4 mg dalam NaCl 0,9% 50 cc kecepatan
9,2 cc/jam
14. Inj octublin 25% 100 cc 1 fl/24 jam
15. Inj ciprofloxacin 400 mg/12 jam
16. somatostatin bolus 250 mg à sp somatostatin 300 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9% kecepatan 4,2 cc/jam
Planning - DR3 + albumin post koreksi

Tanggal 31 Oktober 2019 (DPH 5)


Subjektif BAB hitam (+), lemas (+)

28
Objektif KU :somnolen, E2V5M4
Tensi : 150/106mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 92 kali/menit
Suhu : 36.5° C
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-),
oral thrush (+)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 13 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (+), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

29
Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -
CRT >2 detik
Pemeriksaan  Laboratorium (31/10/19)
penunjang Hb 3,8 Na 137
Hct 11 K 5,0
AL 22,4 Ca 0,97
AT 64
AE 1,34
albumin 1,4
Assesment 1. Hipotensi ec syok hipovolemik ec perdarahan dd syok
sepsis
2. Hematemesis melena ec nonvariceal bleeding (gastritis
erosif dd ulcus pylorus) dd variceal bleeding
3. Anemia gravis normochromic normositik ec perdarahan
4. Hipokalsemia berat
5. Hipoalbumin berat
6. ISK
7. AKI prerenal dd acut on CKD
Terapi 1. Bedrest total
2. O2 2-3 lpm NK
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm à klabiven 1 fl/24 jam
4. NGT dialirkan
5. Sp omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500 cc kecepatan
5,5 cc/jam
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
8. NAC 20mg/8jam
9. Inj Ca Gluconas 1 g/24 jam
10. Inj as traneksamat 500mg/8jam

30
11. Inj vit K 1 fl/8 jam
12. Transfusi PRC à target Hb ≥10 g/dl àinj ca gluconas post
PRC ke 4
13. Sp norepinefrin 4 mg dalam NaCl 0,9% 50 cc kecepatan
9,2 cc/jam
14. Inj octublin 25% 100 cc 1 fl/24 jam
15. Inj ciprofloxacin 400 mg/12 jam
16. somatostatin bolus 250 mg à sp somatostatin 300 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9% kecepatan 4,2 cc/jam
Planning - perbaikan KU
- cek DR3 post transfusi

Tanggal 1 November 2019 (DPH 6)


Subjektif lemas (+)
Objektif KU :somnolen, E2V5M4
Tensi : 61/40mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 82 kali/menit
Suhu : 36.5° C
Kepala : mesocephal, rambut mudah dicabut (-), atrofi m.
temporalis (+/+)
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik(-/-), pupil bulat
isokor diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-),
oral thrush (+)
Leher : JVP 5+2 cmHg,pembesaran KGB (-)
Thorak : Normochest, retraksi (-), spider nevi (-)
Cor
I : IC tidak tampak

31
P : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid
clavicula sinistra 2 cm ke medial
P : Batas jantung ukuran jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor
A : suara dasar: vesikuler, RBH (-/-) RBK (-/-)
Abdomen
I : Dinding perut lebih sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 13 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (+), undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
Akral dingin + +
+ +
Oedem - -
- -

CRT >2 detik


Assesment 1. Syok hipovolemik dd syok sepsis
2. Hematemesis melena ec nonvariceal bleeding dd variceal
bleeding
3. Anemia gravis normochromic normositik ec perdarahan
4. Hipokalsemia berat
5. Hipoalbumin berat
6. ISK ec E.Coli (ESBL +)
7. AKI prerenal dd acut on CKD
Terapi 1. Bedrest total
2. O2 3 lpm NK
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm à klabiven 1 fl/24 jam

32
4. NGT dialirkan, sementara
5. Sp omeprazole 80 mg dalam NaCL 0,9% 500 cc kecepatan
5,5 cc/jam àstop àinj omeprazole 210 mg/12 jam IV
6. Sucralfat syr 3xC1
7. Inf EAS Pfrimmer 1 fl/24 jam
8. NAC 20mg/8jam
9. Inj Ca Gluconas 1 g/24 jam
10. Inj as traneksamat 500mg/8jam
11. Inj vit K 1 fl/8 jam
12. Sp norepinefrin 4 mg dalam NaCl 0,9% 50 cc kecepatan
9,2 cc/jam
13. Inj octublin 25% 100 cc 1 fl/24 jam
14. Sp somatostatin 300 mg dalam 50 cc NaCl 0,9%
kecepatan 1,2 cc/jam
Planning - perbaikan KU

33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SYOK HIPOVOLEMIK
1. Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem
sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-
organ vital tubuh. Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem
sirkulasi akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang
berkurang.
2. Etiologi
Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh karena perdarahan,
kehilangan plasma, dan kehilangan cairan ekstrasesuler. Contoh
daripada perdarahan ialah hematom subkapsular hati, pecahnya
aneurisma aorta, perdarahan gastrointestinal, ataupun perlukaan
akibat trauma. Adapun contoh dari kehilangan plasma seperti luka
bakar luas, pankreatitis, deskuamasi kulit, sindrom dumping.
Kehilangan cairan ekstrasesuler pun dapat menyebabkan syok
hipovolemik seperti muntah, diare, dehidrasi, terapi diuretik yang
agresif, diabetes insipidus, dan insufisiensi adrenal.
3. Patofisiologi
Penurunan volume intravaskuler akan menyebabkan menurunnya
tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran
darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan turunnya
curah jantung atau cardiac output (CO) yang selanjutnya
menimbulkan beberapa manifestasi pada beberapa sistem organ.
a. Mikrosirkulasi
Ketika curah jantungturun, akan terjadi adanya kompensasi
tubuh berupa peningkatan tahanan vaskular sistemik atau
systemic vascular resistance (SVR) dengan cara konstriksi
pembuluh darah guna menyediakan perfusi yang cukup bagi

34
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit,
dan khususnya traktus gastrointestinal. Ketika tekanan
arterial rata-rata atau mean arterial pressure (MAP) jatuh
hingga ≤ 60 mmHg, maka aliran ke organ-organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu
termasuk jantung dan otak.
b. Neuroendokrin
Hipovolemia yang berlanjut menjadi hipotensi dan hipoksia
akan dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh.
Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi jaringan.
c. Kardiovaskular
Pengisian atrium, ejeksi ventrikel, dan kontraktilitas
miokard bekerja untuk menjaga volume sekuncup agar tetap
optimal. Hipovolemia dapat menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan
volume sekuncup.
d. Gastrointestinal
Aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal dapat
menyebabkan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh
bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini
memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan
metabolisme, dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan
menyebabkan depresi jantung.
e. Ginjal
Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan
hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jarang karena
cepatnya pemberian cairan pengganti. Namun yang sering
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi
antara syok, sepsis, dan pemberian obat yang nefrotoksik
seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara
fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan

35
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama
dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi urin.

4. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan syok hipovolemik akibat
perdarahan ataupun non-perdarahan tidak jauh berbeda, walau ada
sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respon
fisiologis pada syok adalah mempertahankan perfusi terhadap otak
dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi
dengan efektif. Sehingga akan terjadi adanya peningkatan kerja
simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan
hormon stres serta ekspansi besar guna pengisian volume
pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial,
intraseluler, dan menurunkan produksi urin.

Gambar 1. Derajat Hipovolemia beserta gejala yang ditimbulkan


(Wijaya, 2014)

5. Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber
perdarahan. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan
hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan
kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar
hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya

36
perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi,
kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan
terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya
hipovolemia.
6. Tatalaksana
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih
tinggi, menjaga jalur pernapasan, dan memberikan resusitasi cairan
dengan cepat lewat akses intravena. Cairan yang diberikan adalah
garam isotonis yang ditetes cepat atau dengan cairan garam
seimbang seperti ringer laktat dengan jarum infus terbesar.
Pemberian 2 – 4 liter dalam 20 – 30 menit diharapkan dapat
mengembalikan keadaan hemodinamik. Apabila hemodinamik
tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum
teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar
hemoglobin dibawah 10 perlu penggantian darah dengan transfusi.
Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-
match, namun bila sangat darurat dapat menggunakan PRC dengan
tipe darah yang sesuai atau O-negatif.
Hipovolemia berat atau berkepanjangan dapat dipertimbangkan
dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin, atau dobutamin
untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume
darah dicukup dahulu. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam
3 – 5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam D5 dapat
membantu meningkatkan MAP.

B. ANEMIA
1. Definisi
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau
hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman

37
O2 ke jaringan menurun (Bakta, 2017). Secara fisiologi, harga
normal hemoglobin bervariasi tergantung umur, jenis kelamin,
kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu
ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (Bakta, 2017)
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa <13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil <12 g/dl
Wanita hamil <11 g/dl
2. Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

a. Gangguan pembentukan eritrosit


Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat
defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga),
vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada
sumsum tulang.
b. Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan
penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi.
c. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
(Bakta, 2017).
3. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan
menjadi tiga jenis anemia:
a. Anemia normositik normokrom
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif
metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah
eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin, bentuk dan ukuran eritrosit.
b. Anemia makrositik hiperkrom

38
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal
dan hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari
normal. . Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi
vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik non-
megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia).
c. Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal
dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari
normal. Penyebab anemia mikrositik hipokrom dapat terjadi
oleh karena berkurangnya zat besi seperti pada anemia
defisiensi besi, berkurangnya sintesis globin seperti
thalasemia dan hemoglobinopati, serta berkurangnya
sintesis heme pada anemia sideroblastik (Bakta, 2017).

Tabel 2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi (Bakta,


2017)
Anemia hipokromik Anemia Normokromik Anemia Makrositer
mikrositer normositer
 Anemia  Anemia pasca  Anemia
defisiensi besi perdarahan akut defisiensi asam folat
 Thalassemia  Anemia  Anemia
major aplastik defisiensi B12
 Anemia akibat  Anemia  Anemia
penyakit kronik hemolitik penyakit hati kronik
 Anemia  Anemia akibat  Anemia pada
sideroblastik penyakit kronik hipotiroidisme
 Anemia pada  Anemia pada
gagal ginjal kronik MDS
 Anemia pada
MDS
 Anemia pada
keganasan hematologis

39
4. Gejala Klinis
Gejala umum anemia atau yang disebut sebagai sindrom anemia
timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala
ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hb < 7 g/dl.
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, tinitus,
mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan
dispepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan dibawah
kuku (Bakta, 2017).
Gejala lain pada anemia juga dapat timbul tergantung pada
klasifikasi anemianya. Sebagai contoh pada anemia defisiensi besi,
tanda dan gejalanya dapat berupa disfagia, atrofi papil lidah,
stomatitis angularis, dan koilonychia. Anemia megaloblastik dapat
berupa glositis, serta gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12. Sedangkan pada anemia hemolitik dapat berupa ikterik,
splenomegali, dan hepatomegali (Bakta, 2017).

5. Diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindroma, bukan suatu kesatuan penyakit
(disease entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam
diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai diagnosis
anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-
tahap dalam diagnosis anemia adalah:
a. Menentukan adanya anemia
b. Menentukan jenis anemia
c. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
d. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
mempengaruhi hasil pengobatan

40
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis
dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik
diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif (Bakta, 2017).
Pendekatan lain adalah pendekatan morfologik, fisiologik dan
probabilistik. Dari aspek morfologik maka anemia berdasarkan
hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi
anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer
dan anemia makrositer. Pendekatan fungsional bersandar pada
fenomena apakah anemia disebabkan karena penurunan produksi
eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka
retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang
ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan
ini kita dapat menduga jenis anemia dan kemungkinan
penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan
probabilistik (pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang
bersandar pada data epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di
suatu daerah (Bakta, 2017).Dalam pendekatan klinis yang menjadi
perhatian adalah:
a. Kecepatan timbulnya penyakit (onset anemia)
b. Berat ringannya derajat anemia
c. Gejala yang menonjol
Berdasarkan onset anemia, kita dapat menduga jenis anemia
tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai
minggu) biasanya disebabkan oleh:
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA
terjadi penurunan Hb.>1 g/dl per minggu. Anemia hemolitik
intravaskuler juga sering terjadi dengan cepat, seperti misalnya
akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia
akibat defisiensi G6PD.
c. Anemia yang timbul akibat leukemia akut

41
d. Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik
Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh
a. Anemia defesiensi besi
b. Anemia defesiensi folat atau vitamin B12
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital
Sifat-ifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.
Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejal apenyakit dasar
dijumpai pada : anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia
hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan
anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik,
penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih
menonjol (Bakta, 2017).
Pendekatan diagnostik dengan cara gabungan hasil penilaian klinis
dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan
fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di bawah ini diajukan
algoritme pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium (Bakta, 2017).
6. Tatalaksana
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada
penderita anemia ialah:
a. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis
definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu.
b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
c. Pengobatan anemia dapat berupa
1) Terapi untuk keadaan darurat seperti
misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa penderita, atau
pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai
gangguan hemodinamik.
2) Terapi suportif

42
3) Terapi yang khas untuk masingmasing
anemia
4) Terapi kausal untuk mengobati penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut.
d. Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat
ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi
ex juvantivus). Disini harus dilakukan pemantauan yang ketat
terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit
penderita dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang
kemungkinan perubahan diagnosis.
e. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan
tandatanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik
transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau
adanya ancaman payah jantung. Disini diberikan packed red
cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai
peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan
dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi (Bakta, 2017).

Gambar 2. Algoritma pendekatan diagnostik anemia


(Bakta, 2017).

43
Gambar 3. Algoritma diagnosis anemia normokromik normositer (Bakta, 2017).

C. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS


1. Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan
Bawah
Cara praktis membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) atau saluran cerna bagian bawah (SCBB) terdapat dalam
tabel di bawah ini.

44
Tabel 3. Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB (Adi, 2014)

Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi klinik Hematemesis dan/ Hematokesia
pada umumnya melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/ Meningkat >35 <35
Kreatinin)
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

2. Pemeriksaan awal pada perdarahan saluran cerna


Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan
adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan
pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi: 1). Tekanan
darah dan nadi posisi baring, 2). Perubahan ortostatik tekanan
darah dan nadi, 3). Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral
dingin), 4). Kelayakan napas, 5). Tingkat kesadaran, 6). Produksi
urin (Adi, 2014).
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume
intravascular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak
stabil, dengan tanda-tanda sebagai berikut: 1). Hipotensi (<90/60
mm Hg atau MAP < 70 mmHg dengan frekuensi nadi >100/menit;
2). Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik
turun > 20 mmHg; 3). Frekuensi nadi ortostatik >15/ menit; 4).
Akral dingin; 5). Kesadaran menurun; 6). Anuria atau oliguria
(produksi urin < 30 ml/jam) (Adi, 2014).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai
kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: 1).
Hematemesis, 2). Hematokesia (berak darah), 3). Darah segar pada
aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih,
hipotensi persisten, dan 5). Dalam 24 jam menghabiskan transfusi
darah melebihi 800-1000 ml (Adi, 2014).

45
3. Stabilisasi Hemodinamik pada Perdarahan Saluran Cerna
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan
kristaloid (misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat
menggunakan dua jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan
pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya
memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.
Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya
dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya
kirim pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar
hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan
diathesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan tes Rumpel-
Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi
bekuan darah, PPT, dan aPTT.Kapan transfusi darah dapat
diberikan sifatnya sangat individual, tergantung jumlah darah yang
hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut.
Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna
dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: 1). Perdarahan dalam
kondisi hemodinamik tidak stabil, 2). Perdarahan baru atau masih
berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih, 3).
Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10
g% atau hematokrit <30%. 4). Terdapat tanda-tanda oksigenasi
jaringan yang menurun. Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit
untuk memperkirakan jumlah perdarahan kurang akurat bila
perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari
cairan ekstravaskuler selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan.
Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung
kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup
20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan
melebihi 27-28% (Adi, 2014).
Jangan berikan transfusi trombosit untuk pasien yang tidak
perdarahan aktif dan hemodinamik yang stabil. Berikan transfusi

46
trombosit untuk pasien yang perdarahan aktif dan memiliki jumlah
trombosit < 50x109/l. Berikan fresh frozen plasma untuk pasien
yang memiliki fibrinogen < 1g/l, atau protrombin time (rasio
normal internasional) atau activated partial thromboplastin time>
1,5 kali normal (Adi, 2014).

4. Pemeriksaan Lanjutan
Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik
lengkapi anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan-
pemeriksaan lain yang diperlukan (Adi, 2014).
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan: 1). Sejak kapan
terjadinya perdarahan perdarahan dan berapa perkiraan darah yang
keluar. 2). Riwayat perdarahan sebelumnya, 3). Riwayat
perdarahan dalam keluarga, 4). Ada tidaknya perdarahan di bagian
tubuh lain 5). Penggunaan obat-obatan terutama anti inflamasi non-
steroid dan anti koagulan, 6). Kebiasaan minum alcohol, 7).
Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam
berdarah, demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus,
hipertensi, alergi obat-obatan, 8). Riwayat transfusi sebelumnya
(Adi, 2014).
Pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan: 1). Stigmata penyakit
hati kronik 2). Suhu badan dan perdarahan di tempat lain, 3).
Tanda-tanda kulit dan mukosa penyakit sistematik yang bisa
disertai perdarahan saluran cerna, misalnya pigmentasi
mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher (Adi, 2014).
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan: 1).
Elektrokardiogram; terutama pasien berusia > 40 tahun, 2). BUN,
kreatinin serum; pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh
kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan
kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat, 3). Elektrolit

47
(Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan,
transfuse, atau kumbah lambung, 4). Pemeriksaan lainnya
tergantung macam kasus yang dihadapi (Adi, 2014).
5. Diagnosis
Di Indonesia sebagian besar (70-85%) hematemesis disebabkan
oleh pecahnya varises esofagus yang terjadi pada pasien sirosis hati
sehingga prognosisnya tergantung dari penyakit yang mendasari.3
Dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU
dr. Sutomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises
esofagus, 19,2% gastritis esofagus, 1,0% tukak peptic, 0,6% kanker
lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab lain. Laporan dari RS
Pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3
penyebab terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr.
Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS Pemerintah di
Ujung pandang menyebutkan tukak peptic menempati urutan
pertama penyebab perdarahan SCBA. Laporan kasus di rumah
sakit swasta yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena tukak
peptik 51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus 10,9%,
keganasan 9,8%, esophagitis 5,3%, sindrom Mallory-Weiss 1,4%,
tidak diketahui 7%, dan penyebab-penyebab lain 2,7%. Di negara
barat tukak peptik berada di urutan pertama penyebab perdarahan
SCBA dengan frekuensi sekitar 50% (Adi, 2014).
Walaupun pengelolaan perdarahan SCBA telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih
berkisar 8-14%. Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus
perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat komorbiditas yang
menyertai (Adi, 2014).
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan
saluran makanan ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi
dengan barium, radionuklid, dan angiografi. Pada semua pasien
dengan tanda-tanda perdarahan SCBA atau yang asal
perdarahannya masih meragukan, pemeriksaan endoskopi SCBA

48
merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian
besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain
itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila
perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit
diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan
radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk
menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau
angiografi sangat tergantung tingkat keahlian, ketrampilan, dan
pengalaman pelaksana. Tujuan pemeriksaan endoskopi selain
menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga untuk
menentukan aktivitas perdarahan (Adi, 2014).
6. Tatalaksana
a. Non-endoskopis
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama
dilakukan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik
dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi
distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik,
namun demikian manfaatnya dalam mengehentikan
perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat
diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan
dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah
perdarahan. Berdasar percobaan hewan, kumbah lambung
dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan jadi
memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa
timbul ulserasi pada mukosa lambung (Adi, 2014).
Pada perdarahan saluran cerna ini dianggap terdapat
gangguan hemostasis berupa defisiensi kompleks
protrombin sehingga diberikan vitamin K parenteral dan bila
diduga terdapat fibrinolisis sekunder dapat diberikan asam
traneksamat parenteral. Pemberian vitamin K pada pasien
dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan

49
SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian
tersebut tidak merugikan dan relatif murah (Adi, 2014).

Gambar 4. Penanganan perdarahan saluran cerna bagian


atas
(Adi, 2014)
Vasopressin merupakan vasokonstriksi kuat yang dapat
menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Penatalaksanaan dengan obat
vasoaktif sebaiknya mulai diberikan saat datang ke rumah
sakit pada pasien dengan hipertensi portal dan dicurigai

50
adanya perdarahan varises. Terapi ini rasional bila tekanan
portal yang tinggi ( > 20 mmHg) dengan prognosis yang
kurang baik. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin
yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary
gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin (Adi,
2014).
Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan
sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%,
diberikan 0,5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat
diulang tiap 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama
dilanjutkan per infus 0,1-0,5 U/menit. Vasopressin dapat
menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi
coroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya
disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara
titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan
tetap mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg
(Adi, 2014).
Terlipresin adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long
acting, bekerja lepas lambat. Memiliki efek samping
kardiovaskuler lebih sedikit dibandingkan dengan
vasopresin. Pada pasien dengan sirosis dan hipertensi porta
terjadi sirkulasi hiperdinamik dengan vasodilatasi.
Terlipresin memodifikasi sistem hemodinamik dengan
menurunkan cardiac output dan meningkatkan tekanan
darah arteri dan tahanan vaskuler sistemik. Terlipresin
memiliki efek menguntungkan pada pasien kegagalan
hepatorenal, yaitu dengan kegagalan fungsi ginjal dan sirosis
dekompensata. Dengan demikian, dapat mencegah gagal
ginjal, yang sering terdapat pada pasien dengan perdarahan
varises. Ketika dicurigai perdarahan varises diberikan dosis
2 mg/ jam untuk 48 jam pertama dan dilanjutkan sampai

51
dengan 5 hari kemudian dosis diturunkan 1 mg/ jam atau 12-
24 jam setelah perdarahan berhenti. Efek samping terlipresin
berhubungan dengan vasokonstriksi seperti iskemia jantung,
infark saluran cerna dan iskemia anggota badan (Adi, 2014).
Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat
menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih
selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada
perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978.
Somatostatin dapat menghentikan perdarahan varises
esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada
perdarahan akut non-varises. Dosis pemberian somatostatin
diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan perinfus 250
mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti;
oktreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25
mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.2
Namun peranan somatostatin pada perdarahan non-varises
masih belum jelas dan tidak ada cukup bukti untuk
merekomendasikan penggunaan somatostatin atau analog
sintetiknya pada terapi perdarahan SCBA non-varises (Adi,
2014).
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan
bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena
tukak peptik ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi.
Diawali dosis omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan
per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang
pada kelompok placebo 20% sedangkan yang diberi
omeprazole hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang beredar
di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa
digunakan perinfus ialah persediaan esomeprazole dan
pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazole. Pada
perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis
reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan

52
penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis
reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA
karena tukak peptik kurang bermanfaat.Jangan memberikan
PPI atau antagonis reseptor H2 sebelum endoskopi pada
pasien dengan suspek perdarahan SCBA non-varises (Adi,
2014).
Balon tamponade tepat di lakukan jika tidak ada pilihan
endoskopik emergensi atau setelah tindakan endoskopik,
terapi operasi atau TIPS yang gagal. Penggunaan balon
tamponade untuk menghentikan perdarahan varises
esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling popular adalah
Sengtaken-Blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga
pipa serta dua balon masing-masing untuk esofagus dan
lambung (Gambar 2). Balon lambung berfungsi sebagai
jangkar agar SB tube tidak keluar saat balon esofagus
dikembangkan. Balon esofagus tersebut secara tidak
langsung menekan langsung pembuluh darah varises yang
robek dan berdarah. Komplikasi pemasangan SB-tube yang
bisa berakibat fatal adalah pneumoni aspirasi, laserasi
sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak
melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya
dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman dan
ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat (Adi, 2014).
b. Endoskopis
Endoskopi merupakan sarana diagnostik yang paling akurat.
Endoskopi membantu diagnosis, memberi petunjuk yang
dapat membantu memperkirakan dampak yang terpenting
terapi segera yang dapat menghentikan perdarahan dan
mengurangi risiko perdarahan berulang. Harus
dipertimbangkan kapan perlu dilakukan prosedur ini.
Apakah pemeriksaan endoskopi darurat akan merubah pola
penatalaksanaan saat itu. Apakah dukungan sarana personal

53
dan sarana medik saat itu cukup baik sehingga dapat
mengantisipasi bila terjadi perburukan (Adi, 2014).
Terdapat laporan bahwa risiko endoskopi pada perdarahan
SCBA sepuluh kali lebih besar daripada endoskopi elektif.
Disisi lain akurasi diagnosis yang telah dicapai dengan
kemajuan teknologi canggih ini ternyata tidak menurunkan
angka kematian keseluruhan pada perdarahan SCBA.
Endoskopi darurat dikerjakan bila didapatkan situasi dimana
hasil pemeriksaan akan mengubah prinsip
penatalaksanaannya , terutama tindakan bedah. Untuk
endoskopi darurat pada perdarahan diperlukan endoskopi
berlumen lebar dan ganda sehingga memungkinkan
penghisapan bekuan darah yang menghalangi lapangan
pandang dalam mengidentifikasi sumber perdarahan
ataupun terapeutik (Adi, 2014).
Terapi endoskopi dapat segera dilakukan pada pasien
dengan perdarahan saluran cerna bagian atas setelah
diresusitasi karena endoskopi yang dini dapat
memperkirakan risiko perdarahan. Pasien dengan resiko
rendah dapat keluar dari rumah sakit pada tahap awal
sehingga dapat mengurangi pengeluaran biaya perawatan.
Praktek klinis saat ini melibatkan endoskopi yang dilakukan
dalam 24 jam sejak munculnya gejala. Endoskopi dan terapi
endoskopi dini (<24 jam) dikaitkan dengan berkurangnya
kebutuhan transfusi dan operasi, menurunnya perdarahan
berulang dibandingkan pasien yang diendoskopi kemudian
(Adi, 2014).
Endoskopi ditujukan pada pasien dengan perdarahan tukak
yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang
tampak. Metode terapinya meliputi: 1). Contact thermal
(monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 2).
Noncontact thermal (laser) 3). Nonthermal (misalnya

54
suntikan adrenalin, polidokanol, alcohol, cyanoacrylate,
atau pemakaian klip) (Adi, 2014).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan
aman apabila dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan
berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan
pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan 10% sisanya
tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah
terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi
tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak
peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan
arterial yang bisa behenti spontan hanya 30%. Terapi
endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0,5-1
ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alcohol
dosis (98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan
sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya
tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan
perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan
dibandingkan adrenalin.Keberhasilan terapi endoskopi
dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai diatas 95%
dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang
frekuensinya sekitar 15-20% (Adi, 2014).
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada
perdarahan karena varises esofagus. Ligasi varises
merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan
varises esofagusdengan caramemutus aliran darah kolateral
dengan cepat. Dengan ligase varises dapat dihindari efek
samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi
terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal
mendekati cardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. dilakukan
pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda

55
baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang
melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik pada vena.
Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligase
endoskopi sulit dilakukan karena perdarahan yang massif,
terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan.
Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran sama
banyak polidokanol (etoksiskerol) 3%, NaCl 0,9%, dan
alcohol absolut. Skleroterapi dengan polidocanol
(etoksiskerol), pada prinsipnya adalah memberikan tekanan
dan trombosis pada varises, menginduksi inflamasi dengan
akibat terbentuk parut. Campuran dibuat sesaat sebelum
skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian
paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal
bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Disuntikkan pada
daerah para varises atau intra varises. Terapi ini sudah
terbukti, baik pada kasus dimana lapang pandang buruk dan
relatif lebih mudah dilakukan. Pada perdarahan varises
lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi
untuk varises lambung hasilnya kurang baik (Adi, 2014).

D. GANGGUAN GINJAL AKUT (ACUTE KIDNEY INJURY)


1. Definisi
Ganggual ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) adalah
penurunan fungsi ginjal yang terjadi mendadak, dalam beberapa
jam sampai beberapa minggu, diikuti oleh kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen dengan atau tanpa disertai
terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Etiopatofisiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan
patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan
hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal, 55%); penyakit yang secara langsung

56
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,
40%); penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,5%).
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70
mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka
mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol
afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan
penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal
atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan
struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki
homeostasis intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal
bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID
terutama pada pasien – pasien berusia di atas 60 tahun dengan
kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-
renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi,
hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung.
Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan
– keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renal seperti
penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler),
penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal
akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis.
Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa
penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan
tubulus penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu pembuluh
darah besar ginjal, glomerulus ginjal, tubulus ginjal (nekrosis
tubular akut), dan interstitial ginjal. Gagal ginjal akut intra renal
yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut disebabkan oleh
keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi
kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut.
Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular.

57
Salah satu penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis,
iskemik dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan
dasar patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan
perfusi regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut
(NTA). Penyebab lain yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep
secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan parenkim
renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi
intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena
deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (
mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada
pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla)
dan ekstrinsik ( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis)
serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan
prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila
obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral,
atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak
berfungsi.
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis
ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase
ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal
dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II.
Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal
yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke
normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam
adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari
normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi
dan faktor - faktor pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis
interstisial ginjal.

58
3. Diagnosis
Pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan
ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab
AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan
perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal.
Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran
normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan
penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula
mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan
komplikasi.
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan
pre-renal, renal dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal
ginjal akut diperiksa:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari
penyebabnya seperti misalnya operasi kardiovaskular,
angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan,
infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
b. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia
dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
c. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang
fungsi ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi
glomerulus. Pada pasien rawat selalu diperiksa asupan dan
keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya
kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat
dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam
berkurang sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai
terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam
yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya

59
manifestasi GGA lebih didominasi oleh factor-faktor presipitasi
atau penyakit utamanya.

Tabel 4. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN

4. Tatalaksana
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi
kelainan utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan
menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus
untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau
nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada
penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin,
menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan
komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal
tergantung pada patologi yang mendasari.
a. AKI Prerenal

60
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA
prerenal akibat hipovolemia harus disesuaikan sesuai
dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat
akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai
untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan
gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi
namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya,
saline 0,45%) biasanya direkomendasikan sebagai pengganti
awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal,
walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus
yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada
pengukuran volume dan isotonik cairan yang diekskresikan.
Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan
hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen
yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload
mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis
seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik
invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk
komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung
dan volume intravaskular sulit.
b. AKI intrinsik renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti
glomerulonefritis akut atau vaskulitis dapat merespon
glukokortikoid, alkylating agen, dan atau plasmapheresis,
tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis
alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting
penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi
ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit

61
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat
scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan
inhibitor ACE.
c. AKI Post Renal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat
antara nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada
leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola awalnya
oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter
kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara
sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati
secara definitif. Demikian pula, obstruksi ureter dapat
diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal.
Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi
perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau
dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma).
Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama
beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien
mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang
mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk
menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh
penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika
ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE
R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana
optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada
tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila
penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis,
penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal,
dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan
asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.
Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan

62
yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi
secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur
secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

Gambar 5. Kebutuhan Nutrisi pada penderita AKI

Gambar 6. Kebutuhan Nutrisi pada penderita AKI dengan


Terapi Pengganti ginjal

DAFTAR PUSTAKA
Varrier M, Fisher R, Ostermann M. (2015). Acute Kidney Injury – An Update. EMJ
Nephrol, 3(1) pp. 75-82.
Ardissino, G., Dacco, V., Testa, S., Bonaudo, R., Claris-Appiani, A., Taioli, E., Marra, G.,
Edefonti, A., dan Sereni, F (2003). Epidemiology of chronic renal failure in children:
data from the ItalKid project. Pediatrics. 111(4 Pt 1): e382-7.

Arora P (2016). Chronic Kidney Disease. Medscape.

Chan, M.R., Dall, A.T., Fletcher, K.E., Lu, N., dan Trivedi, H. 2007. Outcomes in patients
with chronic kidney disease referred late to nephrologists: a meta-analysis. Am J
Med. 120(12):1063-70.

Choi AI, Rodriguez RA, Bacchetti P, Bertenthal D, Hernandez GT, O'Hare AM.

White/black racial differences in risk of end-stage renal disease and death. Am J Med. 2009
Jul. 122(7):672-8. [Medline]. [Full Text].

63
Coresh J, Selvin E, Stevens LA, Manzi J, Kusek JW, Eggers P, Van Lente F, Levey AS
(2007). Prevalence of chronic kidney disease in the United States. JAMA.298: 2038-
2047.

Couser WG, Remuzzi G, Mendis S, Tonelli M. The contribution of chronic kidney disease
to the global burden of major noncommunicable diseases. Kidney Int. Dec
2011;80(12):1258-1270.

Garg AX, Clark WF, Haynes B, House AA. 2002. Moderate renal insufficiency and the
risk of cardiovascular mortality: Results from the NHANES I. Kidney Int. 61: 1486-
1494.

Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, Hirst JA, Callaghan CAO, Lasserson DS, Hobbs FDR. 2016.
Global Prevalence of Chronic Kidney Disease-A Systematic Review and Meta-
Analysis.http://journals.plos.org/plosone/article/asset?id=10.1371/journal.pone.01
58765.PDF

Jha V, Garcia-Garcia G, Iseki K, et al. Chronic kidney disease: global dimension and
perspectives. Lancet. Jul 20 2013;382(9888):260-272.
https://www.kidney.org/kidneydisease/global-facts-about-kidney-
disease#_ENREF_2

Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UPH.

KDIGO (2013). KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements, 3: 19–
62

KDOQI. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification.
http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm

Levey, A.S., Stevens, L.A., Schmid, C.H., Zhang,Y. Castro, A.F., Feldman, H.I., Kusek,
J.W., Eggers, P., Lente, F.V., Greene, T., dan Coresh, J (2009). A New Equation to
Estimate Glomerular Filtration Rate. Ann Intern Med. 150(9): 604-612.

Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M., Burns, K.,
Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S., Barrett, B, Foley, R,
Jindal, K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari, A., Cohn, A., Reslerova, M.,
Deved, V., Mendelssohn, D., Nesrallah, G., Kappel, J., Tonelli, M., dan Canadian
Society of Nephrology (2008). Guidelines for the management of chronic kidney
disease. CMAJ. 179(11): 1154-1162.

Prodjosudjadi, W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of end-stage renal


disease In Indonesia. Ethnic Dis. 16: S214-S216.

Reddan, D.N., Szczech, L.A., Tuttle, R.H., Shaw, L.K., Jones, R.H., Schwab, S.J., Smith,
M.S., Califf, R.M., Mark, D.B.,dan Owen Jr, W.F (2003). Chronic Kidney Disease,
Mortality, and Treatment Strategies among Patients with Clinically Significant
Coronary Artery Disease. J Am Soc Nephrol. 14:2373-2380.

64
Sherwood L. 2001.Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG, p. 463 – 503.

Silbernagl S, Lang F (2013).GagalGinjalKronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.


Cetakan I. Jakarta: PenerbitBukuKedokteran EGC; p. 110 – 115.

Sprangers, B.,Evenepoel, P., dan Vanrenterghem, Y. 2006. Late Referral of Patients With
Chronic Kidney Disease: No Time to Waste. Mayo Clin Proc. 81(11):1487-1494.

Stevens, L.A., Viswanathan, G., dan Weiner, D.E (2011). CKD and ESRD in the Elderly:
Current Prevalence, Future Projections, and Clinical Significance. Adv Chronic
Kidney Dis. 17(4): 293-301.

Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology. 2003. Strategies for the care of adults with
chronic kidney disease. CMAJ. 168:1553-60.

Sudoyo A, et al (2014).PenyakitGinjalKronik.Dalam:BukuAjarIlmu Penyakit Dalam. Jilid


II. Edisi VI. Jakarta: PusatPenerbitan IPD FK UI; p. 2159 – 2165.

US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney
Disease and End-Stage Renal Disease in the United States. Bethesda, Md: National
Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Diseases. Hyperlink Available at: http://www.usrds.org/adr.htm

65

Anda mungkin juga menyukai