Anda di halaman 1dari 11

Makalah Dampak dan Pengaruh Sosial Budaya, Terhadap Lingkungannya, Kehamilan,

Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Di era
globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem menuntut semua
manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam
masyarakat dimana mereka berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-
konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun
negatif terhadap kesehatan ibu dan anak.
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik maupun
mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan yang siap mengabdi di kawasan
pedesaan mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah pola kehidupan masyarakat yang
mempunyai dampak negatif tehadap kesehatan masyarakat.. Tidak mudah mengubah pola pikir
ataupun sosial budaya masyarakat. Apalagi masalah proses persalinan yang umum masih banyak
menggunakan dukun beranak.
Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali masalah dan mencari solusi
bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan.
Untuk itu seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu
mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk,
struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai,
agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

1.2 Tujuan Makalah


Untuk mengetahui aspek sosial budaya yang berkaitan dengan peran seorang bidan.

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan dan Perkawinan?
2. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan?
3. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi Baru Lahir?
4. Bagaimana pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran
Seorang Bidan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan dan Perkawinan
2.1.1 Pra Perkawinan
Masa pra perkawinan adalah masa pasangan untuk mempersiapkan diri ke jenjang
perkawinan Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan kesehatan para calon ibu.
Remaja wanita yang akan memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya.
Kepada para remaja di beri pengertian tentang hubungan seksual yang sehat, kesiapan mental
dalam menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang proses kehamilan dan persalinan,
pemeliharaan kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan.
Promosi kesehatan pada masa pra kehamilan disampaikan kepada kelompok remaja
wanita atau pada wanita yang akan menikah. Penyampaian nasehat tentang kesehatan pada masa
pranikah ini disesuaikan dengan tingkat intelektual para calon ibu dan keadaan sosial budaya
masyarakat. Nasehat yang di berikan menggunakan bahasa yang mudah di mengerti karena
informasi yang di berikan bersifat pribadi dan sensitif. Remaja yang tumbuh kembang secara
biologis diikuti oleh perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan pikiran remaja perlu
diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang, sesuatu yang dianggap kaku
dan kolot serta ingin akan kebebasan dapat menimbulkan konflik di dalam diri mereka.
Pendekatan keremajaan di dalam membina kesehatan diperlukan. Penyampaian pesan kesehatan
dilakukan melalui bahasa remaja dengan memperhatikan aspek sosial budaya setempat.
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan. Tujuan dari
pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui secara dini tentang kondisi kesehatan para
remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di dalam diri remaja, maka tindakan pengobatan
dapat segera dilakukan. Bila penyakit atau kelainan tersebut tidak diatasi maka diupayakan agar
remaja tersebut berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah berat atau menular
kepada pasangannya. Misalnya remaja yang menderita penyakit jantung, bila hamil secara teratur
harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Remaja yang menderita AIDS harus menjaga
pasanganya agar tidak terkena virus HIV. Caranya adalah agar menggunakan kondom saat
besrsenggama, bila menikah. Upaya pemeliharaan kesehatan bagi para calon ibu ini dapat
dilakukan melalui kelompok atau kumpulan para remaja seperti karang taruna, pramuka,
organisaai wanita remaja dan sebagainya.
Promosi kesehatan pranikah merupakan suatu proses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya yang ditujukan pada masyarakat
reproduktip pranikah
Bidan juga berperan dalam mencegah perkawinan dini pada pasangan pra nikah yang
masih menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, anak perempuan yang menikah pertama kali pada usia
sangat muda, 10-14 tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari jumlah perempuan usia 10-59
tahun. Sedangkan yang menikah dalam rentang usia 16-19 tahun berjumlah 41,9 persen. Dengan
demikian, hampir 50 persen perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia di bawah 20
tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan dini tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9
persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-
masing 7 persen. Hal ini sangat berhubungan dengan sosial budaya pada daerah tersebut yang
mendukung perkawinan dini.
Usia perkawinan dini yang cukup tinggi pada perempuan mengindikasikan rentannya
posisi perempuan di masyarakat. Koordinator Kartini Network Nursyahbani Katjasungkana
menyebut dalam berbagai kesempatan, pernikahan dini menunjukkan posisi perempuan yang
lebih lemah secara ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan disosialisasikan segera
menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya, perempuan memiliki pilihan lebih terbatas untuk
mengembangkan diri sebagai individu utuh. Selain itu, segera menikahkan anak perempuan
artinya keluarga akan mendapat mas kawin yang berharga di masyarakat setempat, seperti hewan
ternak. Data Riskesdas memperlihatkan, perkawinan sangat muda (10-14 tahun) banyak terjadi
pada perempuan di pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus ekonomi termiskin, serta berasal
dari kelompok buruh, petani, dan nelayan.
Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil pada usia sangat muda.
Bila disertai kekurangan energi dan protein, akan menimbulkan masalah kesehatan yang dapat
berakibat kematian bagi ibu saat melahirkan dan juga bayinya. Dan resiko hamil muda sangat
tinggi.

2.1.2 Perkawinan
Pekawinan bukan hanya sekedar hubungan antara suami dan istri. Perkawinan
memberikan buah untuk menghasilkan turunan. Bayi yang dilahirkan juga adalah bayi yang
sehat dan direncanakan. Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh bidan sendiri antara lain
mempromosikan kesehatan agar peran serta ibu dalam upaya kesehatan ibu, anak dan keluarga
meningkat.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak
prasekolah sehat. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini
memerlukan pengetahuan aspek sosial budaya dalam penerapannya kemudian melakukan
pendekatan-pendekatan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan
yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak. Misalnya pola makan, pacta
dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar.
Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu
hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap
beberapa makanan tertentu. Misalnya di Jawa Tengah adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang
makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang
kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil
karena akan membuat ibu dan anak kurang gizi.
2.2 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal
care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang
menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu
memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang
kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya
faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada
saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal
yaitu kematian.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya
informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan,
permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah
pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih
adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang
menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif
pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi saat melahirkan.
Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu
tradisi upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa
kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada usia
saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu
upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang
perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan
banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan
tidak hanya dirinya sendiri juga anak yang dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya,
khususnya kaum laki-laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan
hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno. Masyarakat nuaulu juga
beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai
sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal ini ( masa kehamilan 1-8
bulan ) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi.
Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi
dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak
heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9
bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan
kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Dan memang, selain ibunya kurang gizi,
berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan
dan kesehatan si bayi.

2.3 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi Baru Lahir

Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu maternal
berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian pertahunnya. Angka
kematian ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang meliputi ibu dalam masa
kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN. Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan
merupakan penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4% dengan penyebabnya,
yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain menimbulkan kematian, ada penyebab lain
yang dapat menambah resiko terjadinya kematian yaitu Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb
kurang dari 11gr%.
Angka kematian balita masih didapatkan sebesar 10,6 per 1000 anak balita. Seperti
halnya dengan bayi sekitar 31% penyebab kematian balita adalah penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, yaitu infeksi saluran pernafasan, polio, dan lain-lain.
Masih tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia berkaitan erat dengan faktor
sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang
masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi
tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat
dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah, mempunyai
pengaruh besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi. Berdasarkan survei rumah
tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta huruf pada wanita dewasa adalah sebesar
25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak
mengetahui tentang perawatan semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak
mengetahui kapan ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan
penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan,
dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya:
 Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan,
 Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan asin, telur asin karena bisa
membuat ASI jadi asin
 Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang,
 Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar,
 Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor
naik ke mata,
 Ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus diuraikan dan persalinan
yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat dengan mudah melahirkan.
 Bayi baru lahir yang sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda tajam.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih
rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang
sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Di
daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong
persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992
rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang
pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun
yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa
tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan
minyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina
dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan
posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan
perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada
masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh
dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut
perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah
dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat
tubuh (Iskandar et al., 1996).
Ini adalah sedikit gambaran tentang aspek sosial budaya masyarakat yang berkaitan
dengan persalinan dan pasca persalinan, yang tentunya masih banyak terdapat aspek sosial
budaya yang mempengaruhi persalinan dan pasca persalinan sesuai dengan keanekaragaman
masyarakat di Indonesia.

2.4 Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran Seorang
Bidan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat,
khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan
dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut.
Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta
tanggung jawabnya.
Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan
pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan khususnya
calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan
peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya kesehatan.
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai persalinan,
pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan
melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya
penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh
bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah
diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu: Mengenai
wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem pemerintahan desa
dengan cara:
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah
pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari
masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh
masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
 Jenis kelamin
 Umur
 Mata pencaharian
 Pendidikan
 Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan
hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama kali harus dilakukan
bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat
setempat.
Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang
meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan
sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan wilayah tersebut.
Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan social
dan budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di anugerahi pikiran,
perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk menyatakan rasa
seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif.
Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan terhadap kesenian atau kebudayaan
seolah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat mata. Maka itu dalam mengadakan pendekatan
terhadap kesenian kita tidak cukup hanya bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu
yaitu secara empati. Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat
berperan aktif untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan
penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.
Misalnya: Dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini diselipkan pesan-pesan
kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan pada akhir pertunjukan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat,
khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan
dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut.
Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta
tanggung jawabnya.
Seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi
tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari,
pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
wilayah tersebut.
Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif
untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan
kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.

3.2 Saran
Bidan harus selalu menjaga hubungan yang efektif dengan masyarakat dengan selalu
mengadakan komunkasi efektif.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

www.google.com

Anda mungkin juga menyukai