Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu wacana tentang Pluralisme dan multikulturalisme menjadi sesuatu isu
penting dalam upaya pembangunan Indonesia. Belajar dari pengalaman sejarah yang
menunjukan pada kita, begitu besar korban dan penderitaan umat manusia sebagai imbas dari
pemaknaan yang kurang tepat akan keragaman (pluralisme dan multikulturalisme). Pertikaian
terjadi di berbagai belahan dunia mulai dari utara barat dan selatan pertikaian akibat sentiment
etnis, ras, budaya, golongan serta agama.
Multikulturalsime sebagai sebuah fenomena yang relatif baru dalam terminologi ilmiah
berkembang pesat menjadi realita yang menggejala dalam berbagai peristilahan di
masyarakat.Sehingga tak heran jika istilah tersebut populer di kehidupan sehari-hari meskipun
terkadang masih banyak sesungguhnya yang tidak paham makna serta arti dari kata tersebut.Asas
yang diambil oleh Indonesia, yang kemudian dirumuskan dalam semboyanbhineka tunggal ika.
Pernyataan tersebut mengandung makna meskipun berbeda-beda tetapi ada keinginan untuk tetap
menjadi satu.Indonesia adalah potret sebuah negeri yang memiliki keragaman budaya.
Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak
bisa dipungkiri oleh siapapun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau
yang dipersatukan di bawah satu kekuasaan satu Negara, melainkan juga keragaman warna kulit,
bahasa, etnis agama dan budaya. Karena itu yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa
bangsa ini adalah amat beragam (yang memang tak bisa disangkal), melainkan cara kita
memandang dan mengelola keragaman tersebut. Di sinilah letak pentingnya “pluralisme dan
multikulturalisme” untuk selalu dikaji.
Dialektika ini terus berkembang dan tidak jarang berujung pada tindak kekerasan yang berdarah
tetapi kadang pula terjadi suatu sintesis dan mintegrasi secara damai. Inilah letak pentingnya
pluralisme serta multikulturalisme. Secara garis besar berbagai masalah yang terjadi hingga
memunculkan kesalahapahaman tentang pluralisme dan multikulturalisme maka sangat
diperlukan dipelajari pendidikan plursalisme dan multikulturalisme di Indonesia, sumber
Masykuri Abdullah dalam bukunya yang berjudul Demokrasi di Persimpangan Makna.
1
B. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan pluralisme ?
Apa yang dimaksud dengan multikulturalisme?
Bagaimana pendikakan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia?
Bagaimanakah kurikulum pluralisme di Indonesia?
Hal apa sajakah yang dapat dijadikan pedoman untuk pendidikan pluralisme dan multikultural?
C. Tujuan Pembahasan
Mengetahui apa yang dimaksud dengan pluralisme
Mengetahui apa yang dimaksud dengan multikukturalisme
Mengetahui bagaimana pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia.
Mengetahui bagaimana kurikulum multikulturalisme di Indonesia.
Mengetahui hal-hal yang dapat dijadikan pedoman untuk pendidikan pluralisme dan
multikultural
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme
Pengertian tentang pluralisme dapat dilihat dari definisi berbagai tokoh seperti Josh
McDowell menjelaskan mengenai definisi pluralisme ada dua macam; Pertama, pluralisme
tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut "negative tolerance". Pluralisme ini didefinisikan
sebagai "respecting others beliefs and practices without sharing them" yaitu menghormati
keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka. Kedua,
pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan "positive tolerance" yang menyatakan
bahwa "every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal" yaitu
setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal).
Menurut The Oxford English Directory, pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”,
dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai :
a. Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan
untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili
keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di
antara partai-partai politik yang ada.
b. Keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu
masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan
atau institusi dan sebagainya.1
Menurut Mujiburrohman yang dimaksud “pluralisme” suatu pandangan yang positif terhadap
keragaman, disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengelola keragaman itu secara
damai dan berkeadilan. John Hick sebagai tokoh awal pluralisme menyatakan “other religion are
equally valid ways to the same truth”. Gagasan dasar pluralisme agama meyakini bahwa semua
agama benar adanya.Sekian agama yang ada tak lebih sebagai jalan menuju keselamatan.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pluralisme adalah faham yang
memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar
kemanusiaan seorang manusia.2
1
MasykuriAbdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap
Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. h. 146.
2
Ali Musthofa Ya’qub, Haji Pengabdi Setan Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ketiga, 2008. h. 17.
3
Pluralisme yang sebelumnya memiliki pengertian netral yang secara etimologi berarti
“paham tentang yang plural” merambah dalam pemikiran yang lebih ke masa lampau dan
menembus wilayah sakral keagamaan. Secara terminologi pluralisme adalah ajaran bahwa
kenyataan berdasarkan berbagai asas yang masing-masing tidak berhubungan yang satu dengan
yang lain bahwa kenyataan terdiri dari berbagai unsur dasar, yang masing-masing berlainan
faham pada yang satu dengan yang lain.
Atau pluralisme dapat juga diartikan sebagai sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain.
Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik. Sebenarnya
berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep
‘kemajemukan atau keberagaman”, dimana jika kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri
bahwa pluralisme itu merupakan suatu “kondisi masyarakat yang majemuk”. Kemajemukan
disini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. namun yang sering
menjadi issu terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada prinsipnya, konsep pluralisme
ini timbul setelah adanya konsep toleransi. jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep
toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Dalam konsep pluralisme-lah
bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat
menjadi bangsa yang satu dan utuh.
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran,
agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada
sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi
pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta
penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap
agamanya yang paling benar.3
3
Sukron Kamil. Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Artikel,
http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf.h.73
4
B. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang juga terkadang ditafsirkan sebagai ideologi
yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status
sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan
untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau
kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami,
adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian
manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,
pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain. Istilah multikulturalisme dengan cepat
berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan karena
memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara,
yang pada awalnya hanya dikenal dengan istilah pluralisme yang mengacu pada keragaman etnis
dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai
berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya,
keragaman budaya, dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut.
Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status
budaya dan politik yang sama.4 Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai
kehidupan multikultural. Kesadaran akan adanya keberagaman mesti ditingkatkan lagi menjadi
apresiasi dan ditanggapi secara positif. Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia
yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Dalam masyarakat yang majemuk (terdiri dari
suku, ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), sering kita dengan penggunaan istilah
tentang pluralitas (plurality), dan multikultural (multikultural). Kedua ekspresi itu sesungguhnya
tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya
’ketidaktunggalan’.mDibandingkan konsep Pluralisme. Multikulturalisme sebenarnya relatif
baru. Menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali
di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara
konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.5
4
Alef Theria Wasim., Harmoni Kehidupan Beragama: Pronblem, Praktek dan Pendidikan. Yogyakarta: Oasis
Publisher 2006, h. 77
5
Isya Marjani, Gustiana. Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana
Multikulturalisme di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 87.
5
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.6
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan yang dimaksud dengan multikulturalisme adalah
sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang mengakui
pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme menyangkut kesadaran
sosial bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat keragaman budaya. Kesadaran tersebut
berdimensi etis yang menuntut tanggung jawab yang terarah pada tindakan baik dan benar, yang
selanjutnya terwujud ke dalam berbagai bentuk penghargaan, penghormatan, perhatian, kasih
sayang, cinta, dan pengakuan akan eksistensi terhadap sesama.
Masyarakat multikultural memiliki ciri yang berbeda dengan masyarakat plural, karena
pada masyarkat multikultural terjadi interaksi aktif antara masyarakat dan budaya yang prulal
dalam kehidupan sehari hari. Ada nuansa keseteraan dan keadilan dalam unsur budaya yang
berbeda tersebut. Prinsip keanekaragaman, perbedaan, kesederajatan persamaan, penghargaan
demokrasi, hak azasi, dan soidaritas merupakan prinsip multikulturalisme. Apabila pluralitas
sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme
memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam
ruang publik.7
Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman.
Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang
terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Menurut
Rogers dan Steinfatt Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang
berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau
pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural.8
Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha
melindungi keragaman kultural.9
6
Isya Marjani, Gustiana. Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana
Multikulturalisme di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 87.
7
Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel,
http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf.h.73
8
TurnomoRahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 87.
9
Fajar, Malik. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme.
http://haryabanirfan.blogspot.co.id/2010/10/pluralisme-multikulturalisme.html
6
C. Pendidikan Pluralisme-Multikultural Di Indonesia
Jika pendidikan pluralisme-multikultural diaplikasikan dan diimplementasikan di
Indonesia, maka sesungguhnya wacana ini sangat berdasar. Ditinjau dari aspek ontologis,
epistemologis dan aksiologisnya, kemungkinan dilaksanakannya pendidikan pluralisme-
multikultural di Indonesia adalah beralasan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dasar Pemikiran:
1) Dasar filosofis: Pancasila
2) Dasar konstitusional: UUD 1945
3) Realitas Keragaman: Bhinneka Tunggal Ika
4) Aksiologis: Solusi bagi konflik bernuansa SARA
5) Kegagalan pendidikan menjalin keragaman melalui pendidikan yang melampaui sekat-sekat
agama.10
b. Definisi:
1) Pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas,
mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu
melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yangmemiliki baik perbedaan maupun
kesamaan cita-cita.
2) Proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heteroginitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran agama.
3) Pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama
sekaligus berwawasan multikultural. Dan ini disebut pendidikan pluralis-multikultural.
c. Maksud dan Tujuan
1) Sebagai upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis, agama, separatisme,
dan disintegrasi bangsa.
2) Mengantarkan peserta didik untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesia-an dalam
berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa
yang harus tetap terjaga kelestariannya.11
10
Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.
Yogyakarta: Pilar Media, 2005, h 108
11
Syamsul Maarif. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka. 2005, h 177
7
D. Kurikulum Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Ketika pendidikan pluralisme-multikultural hendak diaplikasikan pada konteks Indonesia,
maka satu hal yang sangat mendasar untuk dipikirkan adalah persoalan kurikulum yang akan
menjadi pijakannya, karena kurikulum adalah core-nya pendidikan. Ada beberapa pemikiran
tentang kurikulum yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan pluralisme-
multikultura, antara lain sebagai berikut:
1. Pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang
memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari
lingkungannya.
2. Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses peserta didik
menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta
refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi
juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan
menghormati hak orang lain.
3. Mengembangkan kurikulum sebagai proses, yakni: (a) posisi siswa sebagai subjek dalam
belajar (b) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya (c)
lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultur
siswa
12
Gustiana.Isya Marjani, Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana
Multikulturalisme di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.), h 16
8
Peserta didik diharuskan mengetahui hirarkhi antara ilmu pengetahuan dan sumber nilai.
Ilmu pengetahuan diperoleh melalui sebuah pengalaman yang harus tunduk terhadap
pengetahuan rasional, dan pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama
yang datang dari Tuhan. Keimanan dan nilai-nilai harus diakui sebagai dasar kebudayaan
manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Ilmu
pengetahuan tidak harus ditunjukkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan
agama. Dengan demikian, dalam pendidikan harus digunakan untuk mendorong value atau nilai-
nilai yang baik. Manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, tetapi suatu kebenaran dapat
direalisasikan pada level yang berbeda-beda melalui perasaan, pemikiran, institusi, dan
intelektual. Keempat bentuk ini harus bekerja secara harmoni dan terintegrasikan ke dalam
sebuah sistem pendidikan yang komprehensif.
Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip-prinsip unity and diversity dan
menyadari adanya dasar-dasar keamanan yang menembus dunia biologis dan psikis. Ini sebuah
refleksi terhadap sebuah kesatuan prinsip-prinsip penciptaan dunia. Dunia adalah sebuah sistem
yang mempersatukan (the universe is a unified system) dan terdapat suatu hubungan integral di
atara bagian-bagian yang berbeda-beda. Bagi pembuat atau pengembang kurikulum pendidikan
pluralisme-multikultural, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai
dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi
konservatif seperti esensialisme dan perenialisme harus dirubah ke filosofi humanisme,
progresivisme, dan rekonstruksi sosial. Teori kurikulum tentang konten (curriculum content)
harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta,
teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup nilai, moral, prosedur, dan keterampilan
yang harus dimiliki peserta didik. Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan
yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya
mendasarkan diri pada teori psikologi yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa
dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar belajar yang
menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif
masyarakat, bangsa, dan dunia.13
13
Gustiana.Isya Marjani, Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana
Multikulturalisme di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.), h 16-17
9
Proses belajar yang dikembangkan bagi peserta didik harus berdasrkan proses yang
memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial.Artinya, cara belajar
individualistis harus ditinggalkan menuju cara belajar berkelompok, kooperatif, dan bersaing
secara kelompok dalam situsi positif.
Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang
digunakan harus beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.
Penggunaan asesmen (portofolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan.
Pendekatan pengajaran harus lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi
titik tekan dari setiap pendidik. Peserta didik adalah makhluk yang unik sehingga tidak boleh ada
penyeragaman-penyeragaman .14
14
Gustiana.Isya Marjani, Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana
Multikulturalisme di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h 17
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pluralisme adalah faham yang memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan
sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan seorang manusia. Pluralisme yang sebelumnya
memiliki pengertian netral yang secara etimologi berarti “paham tentang yang plural” merambah
dalam pemikiran yang lebih ke masa lampau dan menembus wilayah sakral keagamaan. Secara
terminologi pluralisme adalah ajaran bahwa kenyataan berdasarkan berbagai asas yang masing-
masing tidak berhubungan yang satu dengan yang lain bahwa kenyataan terdiri dari berbagai
unsur dasar, yang masing-masing berlainan faham pada yang satu dengan yang lain. Sedangkan
multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah
keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme menyangkut kesadaran sosial bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat
keragaman budaya. Kesadaran tersebut berdimensi etis yang menuntut tanggung jawab yang
terarah pada tindakan baik dan benar, yang selanjutnya terwujud ke dalam berbagai bentuk
penghargaan, penghormatan, perhatian, kasih sayang, cinta, dan pengakuan akan eksistensi
terhadap sesama. Masyarakat multikultural memiliki ciri yang berbeda dengan masyarakat
plural, karena pada masyarkat multikultural terjadi interaksi aktif antara masyarakat dan budaya
yang prulal dalam kehidupan sehari hari. Ada nuansa keseteraan dan keadilan dalam unsur
budaya yang berbeda tersebut. Prinsip keanekaragaman, perbedaan, kesederajatan persamaan,
penghargaan demokrasi, hak azasi, dan soidaritas merupakan prinsip multikulturalisme.
Jika pendidikan pluralisme-multikultural diaplikasikan dan diimplementasikan di Indonesia,
maka sesungguhnya wacana ini sangat berdasar. Ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya. Ketika pendidikan pluralisme-multikultural hendak diaplikasikan pada konteks
Indonesia, maka satu hal yang sangat mendasar untuk dipikirkan adalah persoalan kurikulum
yang akan menjadi pijakannya, karena kurikulum adalah core-nya pendidikan. Ada beberapa
pemikiran tentang kurikulum yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan
pluralisme-multikultural, antara lain sebagai berikut:
a. Pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya
menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya
11
b. Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses peserta didik menjadi
manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk
menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis,
dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
c. Mengembangkan kurikulum sebagai proses, yakni:
(1) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar;
(2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya;
(3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultur
siswa;
(4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.
B. Saran
Dalam penulisan ini kami merasa masih banyak kekurangan dalam pengetikan maupun dalam
isi pembahasan. Oleh karena itu kami sebagai penulis mengharapkan kepada saudara maupun
saudari ataupun dosen pembimbing sekalian untuk memberikan kritik maupun saran yang
membangun dalam kesempurnaan makalah ini. Karena tidak ada sesuatupun yang sempurna
melainkan Allah SWT.
12
DAFTAR PUSAKA
13