Anda di halaman 1dari 17

PAPER

SEMINAR AKUNTANSI

“AUDITOR SWITCHING”

KELOMPOK 14

NELI AGUSTIN 1510011311119

SANDRO JUNI ILHAM 1510011311124

DOSEN

RESTI YULISTIA MUSLIM, S.E. M.Si. Ak. CA

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS BUNG HATTA


BAB I

PENDAHULUAN

Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban dan penyampaian informasi


suatu perusahaan atau organisasi kepada pihak–pihak yang membutuhkan, baik internal maupun
eksternal (Jensen dan Meckling, 1976 di dalam Satrio dan Ghozali,2015). Setiap perusahaan
yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau yang sudah go public diwajibkan untuk
menyampaikan laporan keuangan yang disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) dan telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM). Karena laporan keuangan akan dijadikan sebagai salah satu cerminan kinerja
pihak manajemen dan merupakan bentuk pertanggungjawaban agent kepada shareholder dan
stakeholder, terutamanya kepada pemilik perusahaan (principal) yang nantinya dapat
dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan pengambilan keputusan (Mahantara, 2013 dalam
Trisdia dan Dharma,2016).

Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik menjadi salah satu dasar bagi
pertumbuhan kehidupan profesi akuntan publik di Indonesia. Timbul dan berkembangnya profesi
akuntan publik dipengaruhi oleh perkembangan perusahaan publik pada umumnya. Semakin
banyak perusahaan publik, semakin banyak pula jasa akuntan publik yang dibutuhkan.
Banyaknya kebutuhan akan jasa akuntan publik disebabkan oleh keinginan perusahaan publik
untuk menyajikan laporan keuangan secara wajar. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya
persaingan antar Kantor Akuntan Publik (KAP) guna mendapatkan klien (perusahaan) dengan
berusaha memberikan jasa audit sebaik mungkin. Banyaknya KAP yang beroperasi saat ini,
memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk tetap menggunakan KAP yang sama atau
melakukan pergantian KAP yang dikenal dengan istilah auditor switching (Susan dan Trisnawati,
2011 dalam Eka, 2015). Menurut Agoes (2012) dalam Lianto (2017) menyatakan setiap
perusahaan diwajibkan untuk melakukan auditor switching agar dapat menjaga independensi
auditor dan menjaga kepercayaan stakeholder terhadap kredibilitas laporan keuangan
perusahaan.
Menurut Oktaviana,dkk (2017) Auditor Switching adalah pergantian KAP maupun
auditor yang dilakukan oleh perusahaan. Auditor Switching dapat bersifat mandatory (wajib)
ataupun voluntary (sukarela). Auditor Switching yang bersifat mandatory (wajib) terjadi karena
adanya peraturan yang mewajibkan. Sedangkan voluntary auditor dapat terjadi karena suatu
alasan atau terdapat faktor-faktor tertentu dari pihak perusahaan klien maupun dari auditor/KAP
tersebut. Faktor internal berasal dari dalam perusahaan yang diaudit, sedangkan faktor eksternal
berasal dari auditor/KAP yang bersangkutan. Jika terjadi dari sisi auditor, maka variabel yang
dapat mempengaruhi yaitu audit fee, audit tenure, audit delay, dan sebagainya. Apabila terjadi
dari sisi klien, maka variabel yang dapat mempengaruhi yaitu financial distress, pergantian
manajemen, dan sebagainya. Menurut Wayan dan Ketut (2013) menyatakan auditor switching
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: opini audit, pergantian manajemen, ukuran
KAP, dan ukuran perusahaan klien. Klien tentu menginginkan laporan keuangannya mendapat
opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari KAP, karena pendapat WTP atas laporan keuangan
akan berpengaruh terhadap pembuatan keputusan investasi pihak eksternal.

Indonesia merupakan salah satu yang mewajibkan adanya auditor Switching sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Peraturan mengenai auditor switching diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2002), dan kemudian dirubah menjadi Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 359/KMK.06/2003 pasal 2 tentang “Jasa Akuntan
Publik”. Peraturan ini berisikan tentang pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari
suatu perusahaan dapat dilakukan oleh kantor akuntan publik paling lama untuk 5 (lima) tahun
buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku
berturut-turut. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 tentang
“Jasa Akuntan Publik”, merupakan perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 359/KMK.06/2003. Adapun perubahan yang dilakukan diantaranya adalah
pertama, pada pasal 3 ayat 1 menjelaskan tentang pemberian jasa audit umum menjadi 6 (enam)
tahun berturut-turut oleh kantor akuntan dan 3 (tiga) tahun berturut-turut oleh akuntan publik
kepada satu klien yang sama. Kedua, pada pasal 3 ayat 2 dan 3 menjelaskan tentang peraturan
akuntan publik dan kantor akuntan boleh menerima kembali penugasan setelah satu tahun buku
tidak memberikan jasa audit kepada klien.
Adanya pesan pergantian Kantor Akuntan Publik (KAP) dilatarbelakangi oleh runtuhnya
KAP Arthur Anderson di Amerika Serikat pada tahun 2001, yang terlibat dalam kecurangan yang
dilakukan oleh kliennya Enron dan Worldcom sehingga gagal mempertahankan independensinya.
Skandal ini melahirkan The Sarbanas Oxley Act (SOX) pada tahun 2002. Kemudian pesan ini
digunakan oleh berbagai Negara untuk memperbaiki struktur pengawasan terhadap KAP dengan
menerapkan pergantian KAP dan auditor secara wajib. Dengan adanya rotasi auditor dan KAP,
maka auditor diharapkan dapat tetap mempertahankan independensi dalam melaksanakan proses
auditnya. Selain itu pergantian auditor juga dapat tejadi karena kurang teliti atau kurang baiknya
kinerja dari seorang auditor atau KAP dalam mengaudit laporan keuangan. Seperti yang terjadi
pada perusahaan British Telecom disalah satu lini usahanya di Italia pada tahun 2017. Di mana
terdapat fraud akuntansi pada perusahaan British Telecom yang gagal dideteksi oleh PwC yang
merupakan kantor akuntan publik ternama di dunia dan termasuk the bigfour. Sehingga BOD
British Telecom merasa tidak puas atas kegagalan PwC dalam mendeteksi fraud tersebut dan
memutuskan untuk mengganti PwC dengan KPMG yang merupakan kantor akuntan publik the
bigfour juga.

Berdasarkan beberapa kasus di atas menurut Satriyo dan Ghozali (2015) sesuai dengan
PSA No. 2 Seksi 110 (SPAP, 2001), dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab dalam
merencanakan,mengendalikan dan mencatat pekerjaannya untuk memperoleh hasil yang relevan
atas laporan keuangan agar terbebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan, serta kesesuaiannya dengan prinsip–prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Auditor yang mempunyai kredibilitas, selain bisa mendeteksi salah saji material, juga
dapat memberikan opini kepada klien. Selain itu auditor juga harus menjaga
keindependensiannya. Menurut Flint (1988) dalam Buchari (2014) berpendapat independensi
akan hilang jika auditor terlibat dalam hubungan pribadi dengan klien, karena hal ini dapat
mempengaruhi sikap mental dan opini mereka. Untuk menjaga kepercayaan publik profesi
auditor dilarang untuk memiliki hubungan pribadi dengan klien karena dapat menimbulkan
konflik kepentingan potensial (Wijayanti, 2010 dalam Satrio dan Ghozali, 2015). Sebab itu
auditor switching merupakan salah satu isu yang masih menjadi topik bahasan oleh para akuntan,
akademisi, dan pihak lain yang berkepentingan. Banyak pihak yang pro dan kontra terhadap
kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan melakukan pergantian auditor (auditor
switching).
BAB II

TEORI

2.1 Agency Theory

Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Puji (2012) menyatakan bahwa masalah
agensi disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan dan informasi asimetri antara principal
dan agent. Pihak yang berperan sebagai prinsipal adalah pemegang saham, sedangkan pihak
yang bertindak sebagai agen adalah manajer. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen
terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal,
sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Menurut Putri (2010) Dalam teori agensi, audit
independen berfungsi untuk mengurangi biaya agensi yang timbul dari perilaku mementingkan
diri sendiri oleh agen (manajer). Dan auditor independen berperan sebagai penengah kedua belah
pihak (agent dan principle) yang berbeda kepentingan. Selain itu adanya asimetri informasi, di
mana agen lebih banyak memiliki informasi dari pada principal. Salah satu hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi asimetri informasi tersebut, yaitu perusahaan harus melakukan
kontrak (perikatan) dengan auditor (KAP), dimana auditor ini bertugas untuk memeriksa laporan
keuangan serta kinerja manajer dalam perusahaan. Namun, masa perikatan audit yang panjang
antara auditor dengan kliennya memiliki dampak terhadap independensi auditor. Salah satu
anjuran agar tetap independen adalah memiliki rotasi wajib. Salah satunya dengan melakukan
pergantian auditor/ auditor switching. Keputusan untuk melakukan pergantian auditor yang
dilakukan oleh perusahaan klien dikarenakan masalah prinsipal-agen dari pemisahan
kepemilikan dan pengendalian perusahaan.

2.2 Pengauditan

Menurut Arens,et al (2011) dalam Oktaviana,dkk (2017) Audit adalah suatu pemeriksaan
yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan
keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-
bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran
laporan keuangan tersebut.
Pengauditan adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti
yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi
secara objektif untuk menentukan tingkat kepatuhan antara asersi tersebut dengan kriteria yang
telah ditetapkan dan mengomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan
(Haryono,2014).
Tujuan pengauditan dalam Standar Audit 200 (paragraf 3) berbunyi sebagai berikut :
Tujuan suatu audit adalah untuk meningkatkan keyakinan pengguna laporan keuangan yang
dituju. Hal itu dicapai melalui pernyataan suatu opini oleh auditor tentang apakah laporan
keuangan disusun, dalam semua hal yang material,sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan
yang berlaku.

2.3 Auditor dan Kantor Akuntan Publik (KAP)

Menurut Haryono (2014) secara garis besar auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu:

a. Auditor Pemerintah, adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan negara pada
instansi-instansi pemerintahan

b. Auditor Internal, adalah auditor yang bekerja pada suatu entitas (perusahaan) dan oleh
karenanya berstatus sebagai pegawai pada entitas tersebut.

c. Auditor Independen (Akuntan Publik), adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari
menteri keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Tanggungjawab utama
auditor independen adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang
diterbitkan entitas (perusahaan dan organisasi lainnya).

Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan Undang-Undang
Akutan Publik. Menurut undang-undang tersebut, akuntan publik dalam memberikan jasanya
wajib mempunyai kantor akuntan publik (KAP) paling lambat 6 bulan sejak izin akuntan publik
diberikan. Akuntan Publik yang tidak mempunyai KAP dalam waktu lebih dari 6 bulan akan
dicabut izin akuntan publiknya.
2.4 Auditor Switching

Independensi merupakan kunci utama dari profesi audit dalam menilai kewajaran laporan
Keuangan (Dadi,2013). IFAC (The International Federation of Accountant) secara global
mendefinisikan independensi menjadi dua : independence of mind dan independence in
appearance. Indpendence of mind merupakan suatu keadaan pikiran yang memungkinkan
pengungkapan suatu kesimpulan tanpa terkena pengaruh apapun selain penilaian profesional,
sehingga memungkinkan seorang individu bertindak berdasarkan integritas, serta menerapkan
objektivitas dan skeptisme professional. Independence in appearance merupakan penghindaran
fakta dan kondisi yang sedemikian signifikan sehingga pihak ketiga yang paham dan berfikir
rasional - dengan memiliki pengetahuan akan semua informasi yang relevan, termasuk
pencegahan yang diterapkan - akan tetap dapat menarik kesimpulan bahwa skeptisme
profesional, objektivitas, dan integritas akuntan publik telah dikompromikan (IFAC Handbook
2012 dalam Dadi (2013).
Seorang auditor akan selalu dituntut independensinya dalam menilai kewajaran laporan
keuangan perusahaan. Menurut Espahbodi (1991) dalam Thrisdia dan Darma (2016) menyatakan
bahwa lamanya hubungan auditor dengan klien yang sama akan dapat memengaruhi
independensi yang dimilikinya. Sikap mental dan opini dari seorang auditor dapat terpengaruh
jika ia memiliki hubungan pribadi dengan kliennya (Nasser et al, 2006 dalam Thrisdia dan
Darma, 2016). Dalam hal lain, profesi auditor tidak keberatan untuk melayani klien mereka
dalam waktu yang panjang, tetapi tampaknya ada keberatan atas kekhawatiran bahwa lama
pelayanan dapat menyebabkan “hubungan nyaman” yang mungkin mengancam independensi
auditor. Untuk meminimalisir adanya dampak dari berkurangnya independensi, salah satu cara
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan auditor switching.
Auditor Switching merupakan pergantian auditor atau Kantor Akuntan Publik yang
dilakukan oleh perusahaan klien (Susan dan Estralita, 2011 dan Eka, 2015). Menurut Buchari
(2014) dan Wayan (2013) Auditor Switching merupakan perpindahan auditor (KAP) yang
dilakukan oleh perusahaan klien. Sedangkan menurut Lianto (2017) Auditor switching
merupakan suatu perpindahan auditor atau kantor akuntan publik yang dilakukan oleh
perusahaan sebagai salah satu usaha yang digunakan untuk menjaga perikatan yang lama.
Auditor switching merupakan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan untuk berpindah
auditor (Aurora, 2013) . Hal itu muncul karena adanya kewajiban rotasi audit. Berdasarkan bukti
teoritis, dengan adanya rotasi auditor mengakibatkan masa perikatan audit (audit tenure) yang
lebih pendek dan perusahaan akan melakukan perpindahan auditor (Nasser et al, 2006:4 dalam
Aurora, 2013). Menurut Puji (2012) Auditor switching merupakan perpindahan kantor akuntan
publik oleh perusahaan klien. Auditor switching oleh perusahaan terjadi ketika lingkungan
perusahaan berubah, ketika ingin mendapatkan auditor yang lebih efektif atau jasa yang berbeda,
ketika ingin menaikkan image perusahaan, dan ketika ingin mengurangi biaya audit (William
dalam Davidson et al., 2005 dalam Puji, 2010). Auditor switching juga timbul karena pengaruh
kompetisi pasar auditor (Beattie et al., 1998 dalamPuji, 2010).
Pergantian auditor atau dikenal dengan istilah Auditor Switching dibedakan menjadi dua
yaitu pergantian wajib (mandatory) dan pergantian secara sukarela (voluntary). Pergantian
auditor secara wajib dengan secara sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang menjadi
fokus perhatian dari isu tersebut. Jika pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka perhatian
utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya, jika pergantian terjadi secara wajib, perhatian utama
beralih kepada auditor (Febrianto, 2009 dalam Putri, 2010). Perhatian pada sisi klien seperti
kesulitan keuangan perusahaan, manajemen yang gagal, perubahan kepemilikan/ownership
initial public offering, ukuran perusahaan klien, dan sebagainya. Perhatian dari sisi auditor
seperti fee audit, kualitas audit, opini audit, dan sebagainya.
a. Auditor Switching yang bersifat mandatory (wajib)

Auditor Switching yang bersifat mandatory (wajib) terjadi karena ada peraturan yang
telah ditetapkan. Pergantian auditor secara wajib semata–mata dilakukan atas dasar peraturan.
Pergantian wajib dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Pergantian wajib dilakukan sesuai dengan KMK-359/KMK.06/2003 tentang Jasa Akuntan Publik
(merupakan perubahan atas KMK- 423/KMK.06/2002 yang berlaku sejak tanggal 30 September
2002). Peraturan tersebut ke-mudian diperbaharui dengan PMK-17/PMK.01/2008 tentang Jasa
Akuntan Publik yang berlaku sejak tanggal 5 Februari 2008.
b. Auditor Switching yang bersifat voluntary (sukarela)

Pergantian voluntary (sukarela) terjadi karena ada faktor-faktor yang mempengaruhi. Jika
pergantian auditor terjadi secara voluntary, maka faktor-faktor penyebab dapat berasal dari sisi
klien (misalnya kesulitan keuangan, manajemen yang gagal, perubahan ownership, Initial Public
Offering, dan sebagainya) dan dari sisi auditor (misalnya fee audit, kualitas audit, dan
sebagainya). Ketika klien mengganti auditornya pada saat tidak ada aturan yang mengharuskan
pergantian dilakukan (secara voluntary), maka akan terdapat dua kemungkinan yang terjadi pada
pergantian sekarela ini yaitu: apabila auditor mengundurkan diri dari penugasan yang ditrimanya
atau auditor dipecat oleh klien. Karena alasan pengunduran diri auditor atau pemecatan auditor
(klien mengganti auditor untuk jasa yang diberikan), fokus yang menjadi masalah adalah pada
pihak klien yang mana menyebabkan voluntary auditor switching. Jika alasan pergantian tersebut
adalah karena ketidaksepakatan atas praktik akuntansi tertentu, maka diekspektasi klien akan
pindah ke auditor yang dengan mereka klien akan bersepakat. (Febrianto, 2009 dalam Puji,
2012). Dan jika perusahaan mengganti KAP secara sukarela maka perlu dipertanyakan hal-hal
apa saja yang menyebabkan perusahaan melakukan pergantian KAP (Susan dan Estralita, 2011).

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Auditor Switching

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perusahaan melakukan auditor
switch:

a. Pergantian Manajemen

Pergantian manajemen merupakan pergantian direksi perusahaan yang dapat disebabkan


karena keputusan rapat umum pemegang saham atau direksi berhenti karena kemauan sendiri
(Oktaviana. dkk, 2017). Menurut Uslifah (2016) Pergantian direksi dan manajer merupakan hal
yang umum pada perusahaan dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan.
Pergantian manajemen perusahaan dapat diikuti oleh perubahan kebijakan dalam bidang
akuntansi, keuangan, dan pemilihan KAP. Manajemen yang baru biasanya akan memilih KAP
yang dianggap dapat bekerja sama dengannya.
Pergantian manajemen dalam suatu perusahaan memungkinkan manajer yang baru untuk
memilih auditor yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan ataupun memilih auditor yang
dapat menghormati pilihan-pilihan serta kebijakan akuntansi mereka (Schwartz dan Menon,
1985 dalam Aurora, 2013).
b. Opini Audit

Opini audit merupakan pernyataan pendapat oleh auditor mengenai kewajaran laporan
keuangan perusahaan yang diaudit, dalam semua hal yang material, yang didasarkan atas
kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi berterima umum
(Uslifah, 2016). Menurut Khasanah (2013) Opini audit didefinisikan sebagai pernyataan
pendapat yang diberikan oleh auditor dalam menilai kewajaran perjanjian laporan keuangan
perusahaan yang diauditnya.Berdasarkan standar profesional akuntan publik seksi 508, pendapat
auditor dikelompokkan ke dalam lima tipe, yaitu: pendapat wajar tanpa pengecualian
(unqualified opinion), pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas (unqualified
opinion with explanatory paragraph), pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion),
pendapat tidak wajar (adverse opinion), pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer
opinion).
Menurut Tandirerung (2006) dalam Susan dan Estralita (2011), jika auditor tidak dapat
memberikan opini wajar tanpa pengecualian atau tidak sesuai dengan harapan perusahaan, maka
perusahaan akan berpindah KAP yang mungkin dapat memberikan opini yang sesuai dengan
harapannya. Manajemen akan memberhentikan auditornya atas opini yang tidak diharap-kan
perusahaan atas laporan keuangannya dan berharap untuk mendapatkan auditor yang lebih lunak
(Carcello dan Neal dalam Susan dan Estralita, 2011). Dalam penugasan audit sering terjadi
benturan-benturan yang dapat mempengaruhi independensi akuntan publik dimana klien sebagai
pemberi kerja berusaha untuk mengkondisikan agar laporan keuangan yang dibuat mempunyai
opini yang baik, sedangkan disisi lain akuntan publik harus dapat menjalankan tugasnya secara
professional yaitu auditor harus dapat mempertahankan sikap independen dan obyektifitas.
c. Ukuran KAP (Kantor Akuntan Publik)

Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang
memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha di bidang
pemberian jasa professional dalam praktik akuntan publik. Ukuran dari KAP digolongkan dalam
big-4 dan non big- 4. KAP big-4 dianggap lebih mampu meningkatkan indepedensi
dibandingkan KAP yang kecil dan KAP non big-4 dianggap memiliki tingkat independensi lebih
rendah daripada KAP big-4 (Oktaviana.dkk, 2017). KAP yang lebih besar (Big 4) dapat dianggap
lebih mampu mempertahankan tingkat independensi yang memadai daripada rekan-rekan mereka
yang lebih kecil karena mereka dapatanya menyediakan berbagai layanan untuk klien dalam
jumlah yang lebih besar, sehingga mengurangi ketergantungan mereka pada klien tertentu
(Nasser, et al. 2006 dalam Satrio dan Ghozali, 2015). Selain itu, KAP yang lebih besar umumnya
dianggap sebagai penyedia kualitas audit yang tinggi dan menikmati reputasi tinggi dalam
lingkungan bisnis dan karena itu, akan berusaha untuk mempertahankan independensi mereka
untuk menjaga image mereka (Nasser, et al. 2006 dalam Satrio dan Ghozali, 2015).

d. Pertumbuhan Perusahaan

Pergantian auditor dapat dihubungkan dengan pertumbuhan (growth) dari perusahaan klien.
Seiring dengan pertumbuhan perusahaan maka semakin kompleks kegiatan operasionalnya dan semakin
meningkat pula pemisahan antara manajemen dan pemilik, sehingga permintaan akan independensi
auditor meningkat untuk mengurangi biaya agensi yang disebabkan pertumbuhan perusahaan tersebut
(Watts dan Zimmerman dalam Khasanah, 2013). Perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan,
maka permintaan terhadap KAP yang mampu untuk menyediakan layanan jasa non-audit diperlukan
untuk perluasan peningkatan perusahaan. Hal ini menyebabkan, perusahaan yang bertumbuh diharapkan
untuk lebih cenderung mempertahankan KAP mereka daripada rekan-rekan mereka yang mengalami
pertumbuhan yang lebih rendah (Martina, 2011 dalam Satrio dan Ghozali, 2015). Perusahaan akan
mengganti KAP jika perusahaan menganggap KAP yang lama tidak dapat memenuhi tuntutan mereka,
atau mereka akan cenderung mengganti dengan KAP yang lebih besar untuk meningkatkan prestise,
sehingga dimata stakeholder citra perusaaan dapat meningkat.
e. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan klien merupakan suatu skala yang mengklasifikasikan besar kecilnya
perusahaan yang berhubungan dengan financial perusahaan (Wayan dan Ketut, 2013). Pada
umumnya semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar pula kegiatan yang dilakukan
perusahaan tersebut. Ukuran KAP harus sesuai dengan ukuran perusahaan klien. Nzri et al.
(2012) dalam Ari dan Zulaikha (2014) berpendapat bahwa ketika perusahaan telah meningkatkan
ukuran akan menyebabkan meningkatnya kesulitan bagi pemilik dalam memantau tindakan
manajer sebagai prinsipal, dan agen menjadi lebih jauh. Hal tersebut membuat principal semakin
sulit dan kompleks untuk memonitor tindakan agen yang dianggap cenderung memaksimalkan
keuntungan pribadinya daripada keuntungan principal. Oleh karena itu, keadaan ini diatasi
dengan mengganti ke KAP atau auditor yang lebih independen guna mengendalikan resiko dari
tindakan mementingkan diri sendiri oleh principal.
f. Kesulitan Keuangan Perusahaan

Kashanah (2013) menyatakan bahwa Auditor switching juga bisa disebabkan karena
perusahaan sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar biaya audit yang dibebankan
oleh KAP yang diakibatkan penurunan kemampuan keuangan perusahaan. Selain itu,
Mohammad Hudaib dan T.E Cooke (2005) dalam Kashanah (2013) juga menyatakan bahwa
perusahaan dengan tekanan finansial cenderung untuk mengganti KAP dibandingkan dengan
perusahaan yang lebih sehat. Schwartz dan Soo dalam Susan dan Estralita (2011) menyatakan
bahwa perusahaan yang bangkrut lebih sering berpindah auditor daripada perusahaan yang tidak
bangkrut. Kesulitan keuangan yang dialami oleh sebuah perusahaan akan menjadi pendorong
yang kuat bagi perusahaan tersebut untuk berganti KAP.
g. Persentase Perubahan ROA

Salah satu tolak ukur kinerja keuangan suatu perusahaan yang dapat menggambarkan
reputasi klien secara menyeluruh adalah profitabilitas (Sartono 2004:113 dalam Susan dan
Estralita, 2011). Profitabilitas dapat diwakili oleh return on asset (ROA) perusahaan. Perubahan
ROA digunakan sebagai indikator kondisi keuangan perusahaan untuk melihat prospek bisnis
dari perusahaan tersebut. Semakin tinggi nilai ROA berarti semakin efektif pengelolaan aktiva
yang dimiliki perusahaan dan semakin baik pula prospek bisnisnya (Susan dan Estralita
Trisnawati, 2011).
Perusahaan yang memiliki nilai ROA semakin rendah cenderung mengganti auditornya
karena mengalami penurunan kinerja sehingga prospek bisnisnya menurun. Dalam hal ini berarti
kondisi keuangan perusahaan menurun yang mengakibatkan manajemen cenderung mencari
auditor baru yang bisa menyembunyikan keadaan perusahaan.
h. Perubahan Fee Audit

Fee audit adalah honorarium atau upah yang dibebankan oleh akuntan publik kepada
perusahaan auditee atas jasa audit yang dilakukan akuntan publik terhadap laporan keuangan
(Aurora, 2013). Fee audit merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam penerimaan
penugasan audit. Besarnya fee anggota dapat bervariasi tergantung oleh risiko penugasan,
kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa
tersebut, struktur biaya KAP yang bersangkutan, dan pertimbangan profesional lainnya. Anggota
KAP tidak diperkenankan mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang dapat merusak
citra profesi. Ada beberapa cara dalam penentuan atau penetapan fee audit antara lain:
 Per diem basis, pada cara ini fee audit ditentukan dengan dasar waktu yang digunakan
oleh tim auditor.
 Flat atau Kontrak basis, pada cara ini audit fee dihitung sekaligus secara borongan tanpa
memperhatikan waktu audit yang dihabiskan. Yang penting pekerjaan terselesaikan sesuai
dengan aturan atau perjanjian.
 Maksimum fee basis, cara ini menggunakan gabungan dari kedua cara diatas. Pertama
kali tentukan tarif per jam, kemudian dikalikan dengan jumlah waktu tertentu tetapi
dengan batasan maksimum.
Penentuan fee audit harus disepakati bersama baik oleh klien maupun auditor. Ketika fee
audit melampaui batas toleransi yang ditetapkan perusahaan, perusahaan akan mencari auditor
dengan penawaran fee audit yang lebih rendah meskipun mereka harus melepas auditor yang
biasa mereka gunakan untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan. Saat manajer merasa tidak
nyaman dengan fee audit yang mereka bayarkan, mereka akan mencoba untuk melakukan
auditor switching sehingga dapat menemukan penawaran yang lebih baik dengan fee audit yang
mereka tawarkan.
BAB III

DISKUSI

3.1 Pro Terhadap Adanya Auditor Switching

a. Jika pergantian auditor (Auditor Switching) terjadi secara mandatory, maka hal ini tidak
menjadi masalah karena Auditor Switching merupakan kewajiban yang tertuang dalam
Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomor 359/KMK.06/2003 dan
Peraturan Menteri Keuangan Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008.
b. Setiap perusahaan diwajibkan untuk melakukan auditor switching agar dapat menjaga
independensi auditor dan menjaga kepercayaan stakeholder terhadap kredibilitas laporan
keuangan perusahaan.

3.2 Kontra Terhadap Adanya Auditor Switching

a. Perpindahan auditor secara voluntary menimbulkan beberapa akibat negatif terhadap


perusahaan, seperti biaya yang dikeluarkan akan lebih besar apabila perusahaan
mengganti auditornya terlalu sering. Karena pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya
auditor switching tersebut juga berpendapat bahwa biaya yang dikeluarkan oleh klien
untuk melakukan pergantian auditor akan lebih tinggi daripada manfaat yang diterima
apabila pergantian itu dilakukan.
b. Dengan adanya auditor switching akan menyebabkan auditor yang baru juga harus
beradaptasi terhadap lingkungan perusahaan yang baru dan belum pasti memberikan
dampak yang bagus terhadap perusahaan, dan hal pertama yang harus dilakukan adalah
memahami lingkungan kerja klien (perusahaan/organisasi) dan menentukan resiko audit.
Bagi auditor yang sama sekali belum mengerti dengan keadaan tersebut, maka auditor
akan memerlukan biaya start- up yang lebih tinggi, yang akhirnya dapat menaikkan fee
audit. Kelemahan lain adalah bahwa pengetahuan yang diperoleh selama meningkatkan
kualitas pekerjaan audit akan sia-sia dengan pengangkatan seorang auditor baru

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban dan penyampaian informasi


suatu perusahaan atau organisasi kepada pihak–pihak yang membutuhkan, baik internal maupun
eksternal (Jensen dan Meckling, 1976 di dalam Satrio dan Ghozali,2015). Setiap perusahaan
yang sudah go public diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Menurut Arens,et
al (2011) dalam Oktaviana,dkk (2017) Audit adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara
kritis dan sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun
oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan
tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

Independensi merupakan kunci utama dari profesi audit dalam menilai kewajaran laporan
Keuangan. Seorang auditor akan selalu dituntut independensinya dalam menilai kewajaran
laporan keuangan perusahaan. Untuk meminimalisir adanya dampak dari berkurangnya
independensi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan auditor switching.
Menurut Lianto (2017) Auditor switching merupakan suatu perpindahan auditor atau kantor
akuntan publik yang dilakukan oleh perusahaan sebagai salah satu usaha yang digunakan untuk
menjaga perikatan yang lama. Pergantian auditor atau dikenal dengan istilah Auditor Switching
dibedakan menjadi dua yaitu pergantian wajib (mandatory) dan pergantian secara sukarela
(voluntary). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi Auditor Switching adalah : Pergantian
Manajemen, Opini Audit, Ukuran KAP, Pertumbuhan Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Kesulitan
Ukuran Perusahaan, Persentase Perubahan ROA, dan Perubahan Fee Audit.

Dengan adanya paper mengenai Auditor Switching ini maka diharapkan dapat membantu
menambah pengetahuan dan wawasan pembaca. Dan bagi penulis selanjutnya sangat disarankan
untuk dapat memaksimalkan pembahasan mengenai auditor switching ini. Serta lebih dapat
membahas lagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perusahaan melakukan auditor switch,
selain faktor-faktor yang sudah dijelaskan di atas sesuai dengan perkembangan standar
akuntansi.

DAFTAR PUSTAKA
Aurora, Frida Pahartari. 2013. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Auditor Switching”.
Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta

Buchari, Chana. 2014. “Pengaruh Ukuran KAP, Opini Audit, Pertumbuhan Perusahaan
Klien,Pergantian Manajemen dan Ukuran Perusahaan Klien Terhadap Pergantian
Auditor (Studi pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia)”. Indonesia
Accounting Research Journal, Vol.2, No.1. ISSN:2303-2235.

Eka, Desty Putri. 2015. “Pengaruh Pergantian Manajemen, Ukuran Perusahaan Klien, dan Opini
Auditor terhadap keputusan Auditor Switching ( Studi Empiris pada Perusahaan
Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2013)”. E-Proceeding Of Management,
Vol.2, No.1.

Haryono, Al Jusup.2014. Auditing ( Pengauditan Berbasis ISA). Yogyakarta : Bagian Penerbitan


Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.

Khasanah, Istainul. 2013. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Auditor Switching pada


Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)”. Artikel Ilmiah
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbankan, Surabaya.

Lianto, Daniel. 2017. “Determinan Voluntary Auditor Switching: Studi Empiris pada Perusahaan
Manufaktur di Bursa Efek Indonesia”. Parsimonia, Vol.3 No.3. ISSN:2355-5483.

Menteri Keuangan, 2003, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 359/KMK.06/2003 tentang “Jasa
Akuntan Publik”, Jakarta.

Menteri Keuangan, 2008, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik”, Jakarta.

Oktaviana, dkk. 2017. “Pengaruh Ukuran KAP, Opini Audit dan Pergantian Manajemen
Terhadap Auditor Switiching ( Studi pada Perusahaan BUMN yang Terdaftar di BEI
2010-2016)”. E-Proceeding Of Management, Vol.4, No.2.
Puji, Hana Lestari. 2012. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perusahaan Manufaktur Terdaftraf
di BEI Melakukan Voluntary Auditor Switching”. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro, Semarang.

Putri, Martina Wijayanti. 2010. “Analisa Hubungan Auditor Klien:Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Auditor Switching di Indonesia”. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro, Semarang.

Satriyo, Dwi Adi Nugroho dan Imam Ghozali. 2015. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pergantian Auditor oleh Klien”. Diponegoro Journal Of Accounting, Vol.4, No.4.

Susan dan Estralita Trisnawati. 2011. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perusahaan


Melakukan Auditor Switching”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.13, No.2, Hal:131-134

Trisdia,Komang Mahijdrayogi dan IDG Dharma Suputra. 2016. “Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Voluntary Auditor Switching pada Perusahaan Manufktur di Bursa Efek
Indonesia”. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. ISSN:2302-8559, Hal.1755-1781.

Uslifah, Raodatul dan Hadriana Hanafie. 2016. “Auditor Switching Perusahaan Manufaktur di
Bursa Efek Indonesia. Assets, Vol. 6, No. 2,

Wayan, Ni Ari Juliantari dan Ni Ketut Rasmini. 2013. “Auditor Switching dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya”. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. ISSN 2302-8556,
Hal.231-246.

Anda mungkin juga menyukai