Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Di susun oleh:
MARSELO
Npm:1974201031
ARIE SUTAWIJAYA
Npm:1974201032
FERDI OCTA YUDI KASA
Npm:1974201006

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
BENGKULU
TAHUN AJARAN 2019-2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, puji syukur Penulis ucapan kehadirat
Allah SWT. Berkat limpahan rahmat dan karunia-nya
sehinggah penulis dapat menyelesaikan makalah yang
membahas tentang “FILSAFAT HUKUM ISLAM”
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah HUKUM ISLAM di kelas 1A Tahun 2019 Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu dengan dosen
pengampu Dr.Ahmad Dasan, SH.MA. dengan membaca
makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami dan
mengerti tentang salah satu ruang lingkup Hukum islam
yaitu Filsafat hukum islam serta hal-hal yang berhubungan
dengan judul makalah ini yang tentunya penulis akan bahas
lebih lanjut.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan masukan dan saran demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang mengatakan bahwa
hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan
dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan
kebahagian di akhirat. Jadi hukum Islam bukan bertujuan meraih kebahagaiaan
yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada
kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan
hukum manusia yang menghendaki kedamaian di dunia saja.
Apabila kita memperhatikan perkembangan zaman pada saat sekarang
ini, maka hukum islam dituntut untuk menyesuaikan dengan keadaan tersebut,
maka dari itulah muncul ijtihad baru yang berkenaan dengan masalah yang
terjadi itu, salah satunya adalah dengan berfilsafat, Jika kita berbicara filsafat,
kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum
merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang
strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia, khususnya adalah hukum
islam itu sendiri.
Dengan adanya Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum
Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan
hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Maka untuk mengenal
tentang Filsafat Hukum Islam itulah yang menjadi latar belakang dari penulisan
makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian filsafat hukum islam ?
2. Apa saja objek kajian filsafat hukum islam ?
3. Bagaimana Pertumbuhan dan perkembangan filsafat hukum islam ?
4. Apa saja Kegunaan dan metode pengembangan filsafat hukum islam ?

3
5. Apa Hubungan filsafat hukum islam dengan ilmu-ilmu lain ?
6. Apa saja Asumsi-asumsi dasar filsafat hukum islam ?
7. Apa perbedaan Filsafat hukum islam dan aliran filsafat hukum lainnya ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Agar supaya mengerti apa itu filsafat hukum islam dan apa saja objek
filsafat hukum islam serta batasan filsafat hukum islam.
2. Agar supaya mengerti tentang pertumbuan dan perkembangan filsafat
hukum islam.
3. Agar supaya mengetahui tentang kegunaan dan metode pengembangan
filsafat hukum islam.
4. Agar supaya mengetahui tentang hubungan filsafat hukum islam dengan
ilmu-ilmu lain.
5. Agar supaya mengetahui tentang asumsi-asumsi dasar yang di pergunakan
filsafat hukum islam.
6. Agar supaya mengetahui perbedaan antara filsafat hukum islam dengan
filsafat hukum lainnya.

D. METODE PENELITIAN
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah
dengan cara telaah pustaka atau menelaah dari buku-buku, makalah-makalah
yang sudah ada, artikel-artikel dan berbagai teks yang relevan. Karena dengan
metode itulah kami dapat menemukan sumber-sumber data yang diperlukan
untuk membuat makalah ini.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM


Filsafat Hukum Islam terdiri atas 3 kata, yaitu Filsafat, Hukum dan
Islam.Masing-masing dari 3 kata tersebut memiliki definisi tersendiri.Maka
sebelum mengetahui pengertian Filsafat Hukum Islam, perludiketahui terlebih
dahulu masing-masing arti dari 3 kata tersebut.[1]
1. Pengertian Filsafat
Secara Etimologis, dalam Dictionary of Philosophy, filsafat berasal
dari 2 kata, yakni “philos” dan “sophia”. Philos artinya cinta, sedangkan
Sophia artinya kebijaksanaan. Filsafat sebagai pemikiran mendalam melalui
cinta dan kebijaksanaan.
Secara Terminologis, menurut Juhaya S. Pradja, secara terminologis,
filsafat memiliki arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang
memberikan pengertian atau batasan. Beliau memaparkan definisi filsafat
sebagai berikut:
a. Menurut Plato ( 427 SM-347 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang
sesuatu yang ada, ilmu yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
b. Menurut Aristoteles (381 SM-322 SM), filsafat adalah ilmu yang
meliputi kebenaran, yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu, metafisika,
logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
c. MenurutAl Farabi ( wafat 950 M), filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang alam maujud yang bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.[2]
d. Menurut D.C. Mulder, filsafat adalah cara berfikir secara ilmiah.
Sedangkan cara berfikir ilmiah mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
menentukan sasaran pemikiran tertentu, bertanya terus sampai batas

1
Hasbi Ash-Shidieqie, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 54
2
Hasbi Ash-Shidieqie, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 27

5
terakhir sedalam-dalamnya (radikal), selalu mempertanggungjawabkan
dengan bukti-bukti, sistematik.
Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir
menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi dogma
dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar
persoalan.
2. Pengertian Hukum
Tidak ada pengertian yang sempurna mengenai hukum.Namun para
pakar berusaha memberikan jawaban yang mendekati kebenaran.
Diantaranya:
Sebagaimana yang tertera dalam Oxford Englisd Dictionary: Hukum
adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun
dari kebiasaan, di mana suatu Negara atau masyarakat tertentu mengaku
terikat sebagai anggota atau subyeknya.
Nasrudin Rozak mengutarakan bahwa Hukum adalah peraturan-
peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia di dalam lalu lintas
hidup.
3. Pengertian Islam
Arti Islam secara etimologi (bahasa) adalah selamat, damai, dan
tunduk. Arti Islam secara Terminologi (istilah) adalah agama wahyu
berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan
berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Jadi dapat kita simpulkan dari pembahasan diatas bahwa pengertian
Filsafat Hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam,
sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan
manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.[3]

3
HasbiAsh-Shidieqie,Filsafat Hukum Islam…hlm. 55.

6
Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, ia
merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam, maka
Filsafat Hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara
metodis dan sistematis sehinga mendapat keterangan yang mendasar, atau
menganalisis hukum secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.
Menurut Azhar Basyir, Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara
ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum
Islam, Filsafat Hukum Islam merupakan anak sulung dari filsafat Islam.
Dengan rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang
hakikat, rahasia, dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun
proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan,
menguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud
dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan
umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-benar
“cocok sepanjang masa di semesta alam” (salihun likulli zaman wa makan).

B. OBJEK KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM


Objek Kajian Filsafat Hukum Islam ada 5, yaitu:
1. Tentang Pembuat Hukum Islam (al-Hakim) yakni Allah SWT. Yang telah
menjadikan para nabi dan Rasul terutama nabi terakhir Muhammad SAW
yang menerima risalah-Nya berupa sumber ajaran Islam yang tertuang di
dalam kitab suci al-Quran. Dan keberadaan Muhammad SAW yang
eksistensinya yang ada (al-Maujudah)
2. Tentang sumber ajaran hukum Islam, berkaitan dengan kalamullah yang
tertulis atau quraniyah dan yang tidak tertulis berupa semua karya cipta-Nya
atau ayat-ayat Kauniyah.
3. Tentang orang yang menjadi subjek atau objek dari kalam ilahi yakni orang
Mukallaf, yang diperintah atau dilarang atau memiliki kebebasan untuk
memilih
4. Tentang tujuan Hukum Islam sebagai landasan amaliyah para mukallaf dan
balasan-balasan berupa pahala dari pembawa perintah.

7
5. Tentang metode yang digunakan para ulama dalam mengeluarkan dalil-dalil
dari sumber ajaran hukum Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits serta
pendapat para sahabat yang dijadikan acuan dalam pengamalan.
Maka para ahli Ushul Fiqih, sebagaimana ahli Filsafat Hukum Islam,
membagi Filsafat Hukum Islam kepada dua rumusan, yaitu Falsafat Tasyri’
(Objek Teoritis) dan Falsafah Syari’ah atau Asrar Al-Syari’ah (Objek Praktis).
1. Falsafat Tasyri’: filsafat yang memancarkan hukum Islam atau
menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan
hakikat dan tujuan penetapan hukum Islam. Filsafat tasyri’ terbagi kepada:
a. Da’aim al-hakim (dasar-dasar hukum Islam)
b. Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam)
c. Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam) atau mashadir al-ahkam
(sumber-sumber hukumIslam)
d. Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum Islam)
e. Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah Hukum Islam)
2. Falsafah Syari’ah : filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum
islam seperti Ibadah, mu’amalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya filsafat
ini membicarakan hakikat dan rahasia hukum islam. Termasuk kedalam
pembagian falsafat syariah adalah:
a. Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam)
b. Khasa is al-ahkam (cirri-ciri khas hukum islam)
c. Mahasin al-ahkam atau mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan
hukum islam)
d. Thawabi al-ahkam (karateristik hukum islam)

C. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM


ISLAM
Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam diawali oleh adanya doktrin Islam
yang memperbolehkan ijtihad. Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam
mengambil putusan hukum jika tidak ada dalil yang pasti, baik dari al-Qur’an
maupun as-Sunnah.

8
Hal tersebut terjadi pada peristiwa Muadz bin Jabal ketika ia diutus ke
Yaman:
‫ كيفتقض‬: ‫ قال‬, ‫عن معاذ بن جبل ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لما بعثه إلى اليمن‬
‫ فبسنة‬: ‫ فإن لم تجد فى كتاب هللا ؟قال‬:‫ قال‬. ‫ أقض بكتاب هللا‬: ‫إذاعرض لك قضاء؟ قال‬
‫ فضرب‬: ‫ قال‬. ‫ أجتهد برأى وال آلو‬: ‫ فإن لم تجد فى سنة رسول هللا ؟ قال‬: ‫ قال‬.‫رسول هللا‬
( .‫ وقال الحمد للهوفق رسول رسول هللا لما يرضى رسول هللا‬, ‫رسول هللا على صدره‬
) ١٦٨ ‫ رقم‬, ‫سنن الدارمي‬
Al-Qur’an juga mendorong adanya penalaran akal dalam memahami
hukum seperti Q.S. A-Baqarah ayat 179:
ِ ‫اص َحيَوة ٌ يُاو ِلى ْاالَ ْلبَا‬
َ‫ب لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْون‬ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم فِى ْال ِق‬
Kemudian pertumbuhan Filsafat Hukum Islam juga terjadi
pada Umar bin Khaththab ketika ia memutuskan hukum. Ia selalu memutuskan
hukum dengan melihat roh syari’ah. Dengan demikian ia melihat suatu
penetapan hukum dengan melalui Filsafat Hukum Islam. Dan Filsafat Hukum
Islam merupakan kunci dari Hukum Islam. Karenanya Sir Muhammad Iqbal
(1873-1938) pernah menyatakan, “Apakah Hukum Islam dapat berkembang?”
Ia menjawab sendiri, “Bisa, asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar.”
Diantara kontroversi Ijtihad Umar adalah pendapatnya tentang Hasbuna
Kitabullah, pengguguran hukum potong tangan bagi pencuri dengan
berdasarkan argumen subyektif sosiologis, pembatasan kebolehan menikahi
wanita ahlul kitab karena khawatir menikahi dengan wanita muslimah akan
kurang disukai, tidak memberikan zakat kepada muallaf.
Faktor-faktor pendorong dalam putusan Umar adalah beradaptasi dengan
tantangan baru, karena perubahan sosial, ekonomi, dan demografi.
Karakteristik Mazhab Umar adalah mengutamakan ra’yu daripada
sunnah dan menekankan aspek maqasid al-syari’ah.
Selanjutnya terjadi lagi pada masa Al-Syafi’i (150-204 H).Al-
Syafi’i terkenal dengan qaul qodim (pendapatnya ketika di Irak) dan qaul
jadidnya (pendapatnya ketika di Mesir).Qaul qadim cenderung lebih rasional
sedangkan qaul jadid lebih bersifat naqli (hadis). Secara metodologis

9
perubahan atas suatu pemikiran merupakan realitas dinamis dalam pemikiran
hukum Syafi’i yang sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.
Pemikiran tentang Filsafat Hukum Islam kemudian dikembangkan
oleh Al-Juwaini. Al-Juwaini dapat diakatakan sebagai ahli Ushul fiqih pertama
yang menekankan pentingnya memahami Maqashid Syariah dalam penetapan
Hukum. Ia menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan
hukum Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan
perintah dan larangan-larangan-Nya.Al-juawaini mengelaborasi lebih
lanjut Maqashid Syari’ah dalam kaitannya dalam pembahasan illat pada
masalah Qiyas.Maka Maqasid Syari’ah, menurut Juwaini, dibagi pada lima
bagian; daruriyyat, hajjah al-ammah, makramah, hal-hal yang tidak termasuk
daruriyah dan hajjiyah, dan hal yang tidak termasuk pada daruri, hajjah al-
ammah dan makramat.
Pemikiran Al-Juwaini ini kemudian dikembangkan oleh muridnya yaitu
Al-Ghazali. Al-Ghazali menjelaskan Maqasid Syari’ah dalam pembahasan al-
Munasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas. Maqasid Syari’ah diletakkan dalam
konteks illat dalam qiyas maupun dalam konteks istislah (maslahat). Maslahat
ialah memelihara maksud syari’ (pembuat hukum). Maslahat itu menurut al-
Gazali ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Tujuan ini diletakkan dalam dlaruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
‘Izz al-Din Ibnu ‘Abd Salam dari mazhab Syafi’i, dalam
kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, maslahat diletakkan dalam
konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’ (menghindari mafsadat menarik
manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari daruriyah, hajjiyyat,
tatimmat atau taklimat. Karena taklif selalu bermuara pada kemaslahatan
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan prinsip mashlahat
yang merupakan inti pembahasan dalam Maqashid Syari’ah.
Selanjutnya Abu Ishaq al-Syatibi (730-790H) dari mazhab Maliki dalam
kitabnya Al-Muwafaqat menyatakan bahwa tujuan Alah SWT mensyari’atkan
hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia. Ia membagi peringkat

10
kemaslahatan kepada dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyyat. Dharuriyyat bersifat
esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Hajjiyat tidak termasuk esensial tapi
merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan
dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat. Dan tahsiniyat (pujian),
sifatnya menunjang peningkatan martabat seseorang baik kehidupan di dunia
maupun akhirat.
Adapun Najmuddin al-Thufi (657-716 H.) Pemikirannya tentang

ِ ‫ض َر َر َو َال‬
maslahah bertolak dari hadis ‫ض َرار‬ َ ‫( َال‬tidak boleh memadaratkan
orang lain dan tidak boleh pula dimadaratkan oleh orang lain. (HR. Hakim,
Daruqutni, Ibn Majjah dan Ahmad Bin Hambal).
Menurut al-Thufi, inti seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash
adalah maslahah bagi manusia. Seluruh kemaslahatan itu disyari’atkan. Maka
setiap maslahat tidak pelu mendapatkan dukungan dari nash. Maslahat
merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam
menentukan hukum syara. Prinsip Masalahat dalam pemikitan al-Thufi
meliputi: akal bebas menentukan kemasalahat dan kemadaratan, khususnya
dalam bidang muamalah dan adat, maslahah merupakan dalil mandiri dalam
menentukan hukum, maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah,
maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat, maka apabila nash atau ijma
bertentangan dengan maslahah, yang harus didahulukan adalah maslahah
dengan cara takhsis dan bayan.

D. KEGUNAAN DAN METODE PENGEMBANGAN FILSAFAT HUKUM


ISLAM
1. Kegunaan Filsafat Hukum Islam
Diantara kegunaan memempelajari Filsafat Hukum Islam:
a. Menjadikan filsafat sebagai pendekatan dalam menggali hakikat,
sumber dan tujuan hukum Islam.

11
b. Dapat membedakan kajian ushul fiqih dengan filsafat terhadap hukum
Islam.
c. Mendudukan Filsafat Hukum Islam sebagai salah satu bidang kajian
yang penting dalam memahami sumber hukum Islam yang berasal dari
wahyu maupun hasil ijtihad para ulama.
d. Menemukan rahasia-rahaisa syariat diluar maksud lahiriahnya.
e. Memahami ilat hukum sebagai bagian dari pendekatan analitis tentang
berbagai hal yang membutuhkan jawaban hukumiyahnya sehingga
pelaksanaan hukum Islam merupakan jawaban dari situasi dan kondisi
yang terus berubah dinamis.
f. Membantu mengenali unsur-unsur yang mesti dipertahankan sebagai
kemapanan dan unsur-unsur yang menerima perubahan sesuai dengan
tuntunaan situasional.[4]
Menurut Juhaya S. Pradjastudi Filsafat Hukum Islam berguna untuk
menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum yang tidak kering bagi
perundang-undangan dunia. Selain itu, studi Filsafat Hukum Islam akan
memberikan landasan bagi politik hukum. Maksudnya adalah penerapan
hukum Islam agar mencapai tujuannya yang paling mendekati kemaslahatan
umat manusia dan menjauhkan dari kerusakan.
Filsafat Hukum Islam seperti filsafat pada umumnya mempunyai dua
tugas: tugas kritis dan tugas konstruktif. Tugas kritis Filsafat Hukum Islam
adalah mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan
di dalam hukum Islam.Sementara tugas konstruktif Filsafat Hukum Islam
adalah mempersatukan cabang-cabang hukum Islam dalam kesatuan sistem
hukum Islam sehingga nampak bahwa antara satu cabang hukum Islam
sengan lainnya tidak terpisahkan. Dengan demikian Filsafat Hukum Islam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum Islam; hakikat
keadilan; hakikat pembuat hukum; tujuan hukum; sebab orang harus taat
kepada hukum Islam; dan sebagainya.

4
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 62-63.

12
2. Metode Pengembangan Filsafat Hukum Islam
Metode yang digunakan dalam pengembangan filsafat hukum Islam
yang dirumuskan oleh Muchlis Usman terdapat tiga metode, adalah:
a. Pragmatis
Model ini melihat aspek praktisnya, yaitu dengan cara menelusuri
jawaban dari masalah kefilsafatan hukum Islam, ini dapat juga dilakukan
melalui teori-teori filsafat hukum kontemporer, setelah jawaban
ditemukan maka harus mencari pembenaran terhadap nas-nas al-Qur’an
dan Sunnah, sehingga nas berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi.
Metode ini juga dapat dikategorikan pada metode induktif atau empiris,
sebab acuan yang dijadikan dasar dalam metode ini adalah realita sosial
yang terjadi. Kemudian dicarilah suatu pembenaran ataupun sebaliknya
dalam memberikan kepastian hukum pada aspek tersebut. Jadi metode
ini dapat digolongkan pada grounded theory.
Lumrahnya metode pengembangan seperti ini digunakan oleh para
pemikir kontemporer yang cendrung liberal.
b. Idealistik
Model metode ini menggunakan pola pikir deduktif (istidlali) yaitu
dengan membangun premis mayor (dasar pemikiran yang menjadi
predikat kesimpulan) sebagai postulasi (asumsi yg menjadi pangkal dalil
yg dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar) lebih
dahulu melalui kajian nas-nas ilahi intensif terhadap masalah yang
terkait. Pondasi premis mayor yang dipandang kebenaran “muthlak dan
universal” itu dipakai untuk meneropong permasalahan hukum Islam
yang muncul di dunia empirik, kemudian menampilkan konklusinya.
Model metode seperti ini, dapat juga dikatakan metode grand
theory. Kinerja metode ini adanya dalil yang dijadikan penegasan
terhadap realitas sosial yang sedang terjadi. Metode seperti ini banyak
digunakan oleh kalangan tradisionalis legalis yang titik tekannya adalah
pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para

13
ulama periode pra modern dan teologis puritan, yang fokus pemikirannya
adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam.
c. Komparasi
Model ini menggabungkan dua model metode di atas, dengan
langkah sebagaimana berikut. Pertama, menggali dan menelaah semua
hukum dalam dunia empirik, dan ditelaah dengan teori hukum
kontemporer dalam menemukan jawaban sementara, sehingga penentuan
hukumnya menjadi inkonklusi (problematic, tentative maupun
hipotetik), kemudian dikonsultasikan dengan nas-nas ilahi sebagai
konklusi akhir. Langkah kedua, menyusun, menghimpun nash-nash yang
relevan dengan masalah yang dihadapi sebagai acuan untuk pemecahan
masalah. Ketiga mengkontruksikan hukum dengan pemecahan filosofis
sehingga konsep hukum perspektik Islam. Penggunaan metode ini dapat
memasukan gerakan Islam dewasa ini, yakni Islam Progresif. Kinerja
metode ijtihad kelompok, yaitu para pemikir modern atas agama yang
berupaya menafsir ulang ajaran agama agar bisa menjawab kebutuhan
masyarakat modern. Maka secara benang merah dapat memasukan
kelompok ini dengan pemakaian metode Komparasi sebagaimana
dijelaskan di atas. Dan secara umum model ini dipakai oleh kelompok
Islam yang cendrung moderat.

E. HUBUNGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DENGAN ILMU-ILMU


LAIN
1. Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama
a. Ilmu Pengetahuan
Dalam Ensiklopedia Indonesia dinyatakan bahwa secara
epistimologi setiap pengetahuan manusia merupakan kontak dari

14
dua hal, yaitu : Obyek dan manusia sebagai subyek. Dengan
demikian secara sederhana, pengetahuan merupakan kontak antara
manusia sebagai subyek dengan obyek yang berupa permasalahan
yang masuk dalam fikiran manusia.
Sedangkan kata ilmu pengetahuan menurut Ensiklopedia
Indonesia adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan mengenai
suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun sedemikian rupa,
menurut asa-asas tertentu. Sehingga menjadi kesatuan, suatu sistem
dari berbagai pengetahuan didapatkan sebagai hasil pemeriksaan
yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu.
Kesimpulannya bahwa yang dimaksud ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal
dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan hakikat
dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.
b. Filasafat
Tujuan filasafat adalah memberikan weltanschauung (filsafat
hidup). Weltanschauung mengajari manusia untuk menjadi manusia
yang sebenarnya, yaitu manusia yang mengikuti kebenaran,
mempunyai ketenangan pikiran, kepuasan, kemantapan hati,
kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohani dan keinsafan,
setelah itu mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia
baru, menuntun kepadanya, mengabdi kepada cita mulia
kemanusiaan, berjiwa dan bersemangat universal, dan sebagainya.
Apakah semua tujuan filasafat akan tercapai ? satu-satunya
alat yang dipergunakan filsafat adalah akal. Akal merupakan satu
bagian dari rohani manusia. Keseluruhan rohani, perasaan, akal,
intuisi, pikiran, dan naluri atau seluruh kedirian manusia. Tentunya
lebih ampuh dan manjur daripada sebagian dari padanya. Sedangkan
keseluruhan rohani itu sendiri, merupakan bagian dari manusia.
Manusia merupakan makhluk yang tidak sempurna. Sebuah intuisi
yang tidak sempurna tidak dapat mencapai kebenaran yang

15
sempurna, kecuali apabila mendapat uluran tangan dari yang Maha
Sempurna.
Keterangan di atas memberikan pemahaman bahwa seperti
kebenaran ilmu pengetahuan yang bersifat positif dan relatif karena
bersandar pada kemampuan manusia semata, kebenaran filsafat juga
bersifat relatif, sebyektif, alternatif dan spekulatif, karena ia
bersandar kepada kemampuan akal juga.
c. Agama
Sesuatu yang berkaitan dengan agama menjadi persoalan yang
sarat emosi, subyektivitas, kecendrungan dan kadang sifat tidak
mengenal tawar menawar. Realitas ini dikarenakan konsepsi tentang
agama menyangkut kepentingan agama tersebut, keyakinan dan
perasaan. Contohnya, definisi agama sangat dipengaruhi oleh tujuan
dalam memberikan defenisi tersebut. Hampir setiap orang involved
(terlibat) dengan agama yang dianutnya dan dipengaruhi oleh
pengalaman keagamaan yang diketahuinya. Karena itulah, tidak ada
definisi agama yang dapat diterima secara umum.
Meskipun agama memiliki definisi beraneka ragam, terdapat
ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh semua agama. Ciri-ciri tersebut
merupakan titik-titik persamaan agama-agama. Titik-titik
persamaan itu adalah kebaktian, pemisahan antara yang sakral
dengan profan, kepercayaan terhadap jiwa, kepercayaan kepada
Tuhan. Penerimaan hal supranatural dan keselamatan. Dari titik-titik
persamaan ini dapat diambil pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan agama adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan, berupa ajaran
tentang ketentuan, kepercayaan, kepasrahan dan pengamalan yang
diberikan kepada makhluk yang berakal demi keselamatan dan
kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa disamping ada
kebenaran mutlak yang terdapat pada agama, juga diakui adanya
kebenaran yang sesuai dengan kebenaran mutlak, yaitu kebenaran

16
yang tidak bertentangan dengan agama. kebenaran tersebut
merupakan hasil usaha manusia dengan akalnya. Akal adalah
pemberian Allah Yang Maha Besar dan Allah tidak menciptakannya
dengan kesia-siaan. Karena itu, akal bukanlah untuk disia-siakan,
tetapi harus dimanfaatkan. Meski kebenarannya relatif, bukan berarti
produk akal lantas ditinggalkan. Kebenaran relatif harus
dimanfaatkan dengan senatiasa mengingat sifat kerelatifannya.
Artinya, dalam berpegang kebenaran relatif, seseorang harus siap
untuk meninggalkannya manakala diketemukan hasil yang lebih
benar dan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Manakala kebenaran
relatif bertentangan dengan kebenaran mutlak, ia harus berpindah
kepada kebenaran mutlak tersebut.
Dengan keterangan diatas jelas, bahwa disamping ada
kebenaran mutlak yang langsung datang dari Allah SWT, diakui pula
eksistensi kebenaran relatif sebagai hasil budaya manusia, baik
kebenaran itu berupa kebenaran spekulatif (filsafat) dan kebenaran
positif (ilmu pengetahuan) maupun kebenaran sehari-hari
(pengetahuan biasa).
Manusia tidak bisa hidup dengan hanya berpegang kepada
kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat, tanpa adanya kebenaran
agama. Sebaliknya, manusia tidak bisa hidup wajar hanya dengan
kebenaran mutlak agama, tanpa kebenaran-kebenaran relatif. Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa manusia hanya dapat hidup dengan
wajar dan benar manakala ia mau mengikuti kebenaran mutlak
sekaligus mengikuti eksistensi dan fungsi kebenaran lain yang
berkesesuaian dengan kebenaran mutlak agama tersebut.
Yang penting manusia dapat mendudukkan sesuatu pada
proporsinya dan tepat pada tempatnya. Mana yang termasuk
kebenaran mutlak ditempatkan pada kebenaran mutlak dan yang
masuk kategori kebenaran relatif harus didudukkan pada tempat

17
kebenaran relatif. Bukan sebaliknya, merelatifkan yang mutlak dan
memutlakkan yang relatif.
Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan dan wilayah
filsafat memang berbeda. Agama mengenai soal kepercayaan dan
ilmu mengenai soal pengetahuan. Pelita agama ada dihati dan pelita
ilmu ada di otak. Meski wilayahnya berbeda, sebagaimana
dijelaskan diatas, ketiganya saling berkait dan berhubungan timbal
balik. Agama menetapkan tujuan, tetapi agama tidak dapat mencapai
tujuannya tanpa bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu yang
kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa
memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
akan membahayakan umat manusia jika tidak dikekang dengan
agama.

F. ASUMSI-ASUMSI DASAR FILSAFAT HUKUM ISLAM


1. Meniadakan Kepicikan Dan Tidak Memberatkan
Tabiat manusia tidak menyukai beban yang membatasi
kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan beban hukum
dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak mengikuti perintah kecuali
kalau perintah-perintah itu dapat menawan hatinya. Mempunyai daya
dinamika, kecuali perintah yang dikerjakan dengan keterpaksaan. Syari’at
Islam dapat menarik manusia dengan amat cepat dan mereka dapat
menerimanya dengan penuh ketetapan hati. Hal ini adalah karena Islam
menghadapkan pembicaraannya kepada akal dan mendesak manusia
bergerak dan berusaha serta memenuhi kehendak fitrah yang sejahtera.
Hukum Islam menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan,
menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.
Nabi menerangkan dalam hadistnya.
Artinya:
tidak boleh memudharatkan orang dan tidak boleh
dimudharatkan orang (HR.al-Thabrani)

18
Artinya :
Agama itu mudah, maka mudahkanlah dan jangan kamu
menyukarkan (HR.Bukhari dan Nusai).

Hukum Islam senantiasa memberikan kemudahan dan menjauhi


kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan oleh umat manusia. Karena
itu dalam hukum Islam dikenal istilah rukhsah (peringanan hukum). Contoh
dari rukhsah adalah kebolehan berbuka bagi musafir yang merasa tidak kuat
berpuasa. Dalam hukum Islam juga dikenal istilah dharurah (hukum yang
berlaku pada saat keterpaksaan). Contoh; dharurah adalah kebolehan
memakan makanan yang diharamkan apabila terpaksa. Penetapan ini
didasarkan pada kaidah fiqh.

‫الضرورات تبيح المحصورات‬


Artinya :
Keadaan terpaksa menjadikan apa yang semula terlarang
dibolehkan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa beban kewajiban bagi
manusia tidak pernah bersifat memberatkan.
Adalah sebagai berikut :

…‫سا إِ َّال ُو ْسعَ َها‬


ً ‫َّللاُ نَ ْف‬
َّ ‫ف‬ ُ ‫َال يُ َك ِل‬
Terjemahnya :
Allah tidak membebani manusia, melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. (al-Baqarah 286)

… ‫َّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َو َال ي ُِريد ُ ِب ُك ُم ْالعُس َْر‬


َّ ُ ‫… ي ُِريد‬
Terjemahnya :
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah 185)
2. Menyedikitkan Beban

19
Nabi melarang para sahabatnya memperbanyak pertanyaan tentang
hukum yang belum ada, yang nantinya akan memberatkan mereka sendiri,
Nabi SAW, justru menganjurkan agar mereka memetik kaidah-kaidah
umum. Kita ingat bahwa ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum hanya sedikit.
Yang sedikit tersebut justru memberikan lapangan yang luas bagi manusia
untuk berijtihad. Dengan demikian hukum Islam tidak kaku, keras dan berat
bagi umat manusia.
Sangkaan-sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.
Allah berfirman :

َ ‫سؤْ ُك ْم َو ِإ ْن تَسْأَلُوا‬
‫ع ْن َها‬ ُ َ ‫ع ْن أ َ ْشيَا َء ِإ ْن ت ُ ْبدَ لَ ُك ْم ت‬
َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا َال تَسْأَلُوا‬
ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َح ِلي ٌم‬ َّ ‫ع ْن َها َو‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫عفَا‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ِحينَ يُن ََّز ُل ْالقُ ْر َء‬
َ ‫ان ت ُ ْبدَ لَ ُك ْم‬
Terjemahaannya :
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu bertanya-
tanya tentang sesuatu yang belum diterangkan kepadamu akan
menyusahkanmu, tetapi kalau kamu tanyakan (tentang ayat-ayat itu)
pada waktu turunannya, akan diterangkan kepadamu; Allah
memaafkan kamu dan Allah Maha Pengasih lagi penyabar. ( Al-
Maidah.101)
Ini semua menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya agar
bersifat realistis. Ketika Nabi ditanya apakah kewajiban haji itu tiap tahun,
Nabi menjawab : “ Kalau pertanyaan itu saya jawab “ya”, maka akan
menjadi kewajiban bagiku; (karena itu), biarkan saja selama aku
meninggalkanmu; sungguh telah rusak beberapa (kaum) yang sebelum
kamu ini karena terlalu membanyakkan pertanyaan dan perselisihan
mengenai Nabi-nabi mereka”.
Allah SWT berfirman :

‫ض ِعيفًا‬ ُ ‫س‬
َ ‫ان‬ ِ ْ َ‫ع ْن ُك ْم َو ُخ ِلق‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ‫َّللاُ أ َ ْن يُخ َِف‬
َ ‫ف‬ َّ ُ ‫ي ُِريد‬
Terjemahannya :
Allah hendak meninggalkan (keberatan) dari kamu karena
manusia diciptakan lemah. (An-Nisa, 28)

20
3. Ditetapkan secara bertahap.
Tiap-tiap masyarakat tentu mempunyai adat kebiasaan atau tradisi,
baik tradisi tersebut merupakan tradisi yang baik maupun tradisi yang
membahayakan mereka sendiri. Tradisi tersebut ada yang berakar secara
mendalam dalam darah daging mereka dan ada yang sifatnya hanya dangkal.
Bangsa arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan
yang sukar dihilangkan dalam sekejap saja. Apabila dihilangkan sekaligus,
akan menimbulkan konflik, kesulitan dan ketegangan batin.
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat
(tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang
apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam
kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru itu bertentangan
dengan tradisi yang ada”. Masyarakat akan senantiasa memberikan respon
apabila timbul sesuatu ditengah-tengah mereka.
Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk
menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaan yang
lain yang sering sama sekali bagi mereka. Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur, surah demi surah dan ayat demi ayat sesuai dengan
peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hukum
yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah
mentaatinya, serta bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima
ketentuan baru.
Karena perjudian dan menuman keras telah berurat dan berakar dalam
tradisi arab, bahkan menjadi kebanggaan sehingga diungkapkan dalam
syair-syairnya. Maka dalam menghapusnya Islam tidak berlaku ceroboh.
Hukum Islam mengharamkan minuman keras dengan berangsur-angsur.
Mula-mula diturunkan firman Allah SWT yang berbunyi :
‫اس َوإِثْ ُم ُه َما أ َ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬ ٌ ِ‫ع ِن ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل فِي ِه َما إِثْ ٌم َكب‬
ِ َّ‫ير َو َمنَافِ ُع ِللن‬ َ َ‫يَسْأَلُونَك‬
Terjemahannya :

21
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah ; pada keduanya terapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanyalebih besar dari
manfaatnya”( Al- Baqarah,219 )
Ayat ini belum memberikan suatu larangan yang tegas bagi peminum
khamar, tetapi baru memberitakan bahwa kerugiannya lebih besar dripada
manfaatnya. Kemudian setelah jiwa mereka dapat mempertimbangkan
untung ruginya minuman dan khamar, maka turun lagi firman Allah SWT
yang berbunyi :

Terjemahannya :
Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu menerti apa yang kamu
ucapkan. (An-Nisa, 43)
Baru setelah turun kedua ayat tersebut Allah menurunkan ayat yang
dengan tegas mengharamkan minuman keras. Allah berfirman :

ٌ ‫اب َو ْاْل َ ْز َال ُم ِر ْج‬


‫س ِم ْن َع َم ِل‬ ُ ‫ص‬َ ‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن‬
َ‫اجت َ ِنبُوهُ َل َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬
ْ َ‫ان ف‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ال‬
Terjemahannya :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan
syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan (Al-Maidah, 90)

4. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia


hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan
dengan pencipta, jika baik hubungan dengan manusia lain, maka baik pula
hubungan penciptanya. Karena itu hukum Islam sangat menekankan
kamanusiaan.

22
Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah
meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan. Oleh karna dalam
penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok, yaitu :
a. Hukum - hukum ditetapkan sesudah masyarakat
membutuhkan hukum -hukum itu.
b. Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak
menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat kebawah
ketetapannya.
c. Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Dalam kaidah ushul fiqh, dinyatakan :

‫الحكم يدور مع عاته وجودا وعدما‬


Artinya :
Ada dan tidaknya hukum itu bergantung kepada sebab
(illatnya)

‫الينكرتغير االحكابتغيراالزمان‬
Artinya :
Tidak diingkari adanya perubahan hukum disebabkan oleh
perubahannya masa.
Namun demikian, terbentuknya hukum Islam disamping didorong
oleh kebutuhan-kebutuhan praktis, ia juga dicari dari kata hati untuk
mengetahui yang dibolehkan dan yang dilarang.
5. Mewujudkan Keadaan yang Merata
Menurut syari’at Islam, semua orang sama. Tidak ada kelebihan
seorang manusia dari yang lain dihadapan hukum orang kaya dan orang
berpangkat tidak terlindungi oleh harta dan pangkat ketika yang
bersangkutan berhadapan dengan pengadilan. Dalam khutbah haji wada’
yang pengikutnya hampir seluruhnya orang berkebangsaan Arab,
Rasulullah bersabda, “Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan ajam”.
Firman Allah Swt. menyatakan :

ُ ‫علَى أ َ َّال ت َ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ُه َو أ َ ْق َر‬


‫ب ِللت َّ ْق َوى‬ َ ‫َآن قَ ْو ٍم‬
ُ ‫شن‬َ ‫َو َال َي ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬

23
Terjemahannya :
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena berlaku
adil itu lebih dekat kepada takwa (Al-Maidah, 8)

‫علَى أ َ ْنفُ ِس ُك ْم‬


َ ‫ّلِل َولَ ْو‬ ُ ‫ْط‬
ِ َّ ِ ‫ش َهدَا َء‬ ِ ‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ ِب ْال ِقس‬
‫اّلِلُ أ َ ْو َلى ِب ِه َما‬ ً ‫أ َ ِو ْال َوا ِلدَي ِْن َو ْاْل َ ْق َر ِبينَ ِإ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّا أ َ ْو فَ ِق‬
َّ َ‫يرا ف‬
Terjemahannya :
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu atau ibu bapakmu dan kerabatmu. Jika ia
kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya (An-Nisa,
135)
Pada suatu ketika, orang-orang Quraisy disibukkan oleh peristiwa
seorang wanita yang hendak dieksekusi potong tangan karena mencuri.
Orang quraisy berkeinginan untuk membebaskan hukuman bagi wanita
tersebut. mereka menyampaikan maksud tersebut melalui orang terdekat
Rasulullah yaitu Usamah bin zaid. Ketika mendengar pengaduan Usamah,
Nabi SAW menjadi marah dan bersabda :

‫يااسامة الاراك تشفع في حدود من حدود هللا عزوجل انما هلك من كان من‬
‫قبلكم بانه اذا سرق فيهم الشريق تركوه واذا سرق فيهم الضعيف فعلوه‬
‫والذي نفسي بيده لو كانت فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها‬
Artinya :
Hai usamah, apakah engkau memberi syafa’at (dispensasi)
terhadap seseorang dalam menjalankan sesuatu had dari had Allah
? sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kamu lantaran
mereka suka mencuri diantara mereka orang yang berpangkat,
mereka biarkan (tidak dihukum), dan jika yang mencuri itu orang
rendah mereka laksanakan had itu. Demi Allah, andaikan Fatimah

24
Puteri Muhammad mencuri, pastilah Muhammad memotong
tangannya.
Kaidah-kaidah umum yang harus diperhatikan dalam menetapkan
humum adalah :
a. Mewujudkan Keadilan.
Kebanyakan filosot menganggap bahwa keadilan merupakan
tujuan tertinggi dari penetapan hukum. Hukum tanpa keadilan dan
moralitas bukanlah hukum dan tidak bertahan lama. Sistem hukum
yang tidak punya akar subtansi pada keadilan dan moralitas akan
terpental.
b. Mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
c. Menetapkan hukum yang bersesuaiaan dengan keadaan darurat. Apa
yang tidak dibolehkan dalam keadaan normal, terkadang dibolehkan
ketika dalam keadaan darurat.
d. Pembalasan harus sesuai deng
e. an dosa yang dilakukan
f. Tiap-tiap orang memikul dosanya sendiri
Jadi untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam
masyarakat, maka harus diawali dari penegakan hukum dan keadilan yang
merata bagi seluruh anggota masyarakat. Karena tanpa keadilan, maka
kedamaian dan kesejahteraan tidak akan tercapai. [5]

G. PERBEDAAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN ALIRAN FILSAFAT


HUKUM LAINNYA
Adapun perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam dengan
filsafat hukum pada umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu
sendiri. Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada
umumnya adalah hasil pemikiran manusia semata.

5
Ansar Zainuddin, “Objek Kajian Filsafat Hukum Islam”.
http://www.kumpulanmakalah.com/2016/03/obyek-kajian-dan-kegunaan-filsafat.html. January
03, 2017

25
Hukum Islam merupakan hukum yang berangkat, berjalan dan berakhir
pada tujuan wahyu. Ia ada dan memiliki kekuatan berdasarkan wahyu. Ia
memberikan perintah dan larangan berdasarkan wahyu. Dengan demikian, apa
yang dianggap benar adalah apa yang dianggap benar oleh wahyu. Apa yang
dianggap keliru, adalah apa yang disalahkan oleh wahyu. Adapun akal adalah
sarana pendukung untuk memahami atau memikirkan operasional hukum.
Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram, alasannya
adalah karena al-Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian
pula ketika Islam menyatakan bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena
al-Qur’an melarangnya. Babi dan perzinahan adalah haram kapanpun, di
manapun, dan oleh siapapun menurut hukum Islam, meskipun secara akal babi
dan perzinahan sebenarnya bisa mendatangkan keuntungan yang banyak bagi
manusia.
Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah hasil
pemikiran manusia semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara
hasil pemikiran manusia bisa terpengaruh oleh zaman dan makan, maka hukum
tersebut juga bisa berbeda-beda bagi manusia yang hidup di daerah dan waktu
yang berbeda.
Ketika dahulu hubungan sesama jenis (homoseksual) dianggap sesuatu
yang salah dan melanggar batas kewajaran, maka perbuatan itu dilarang
(diharamkan) dan pelakunya memperoleh hukuman. Namun ketika sekarang
perbuatan itu dianggap sesuatu yang wajar –karena sudah banyak orang
melakukannya secara terang-terangan bahkan menjadi kebanggaan- dan bisa
dibenarkan, maka ia tidak lagi dilarang. Justru sebaliknya, orang yang
menentang perbuatan itu dianggap telah melanggar hak asasi orang lain yang
ingin atau gemar melakukannya.
Yang amat menarik –entah karena benar-benar hasil pemikiran murni
atau iming-iming duniawi- sekarang ada sebagian orang Islam yang
mengatasnamakan kebebasan berpikir, memberanikan diri secara bersama-
sama untuk menghalalkan perilaku homoseksual. Anehnya, mereka
mendukung perilaku tersebut dengan mencoba mengotak-atik wahyu dengan

26
logika mereka. Dengan demikian, mereka bukan lagi menggunakan akal
sebagai sarana untuk memahami wahyu. Mereka menggunakan akal untuk
“mengakali” wahyu. Namun untuk hal ini penulis mencukupkan diri sampai di
sini. Karena sebenarnya orang-orang seperti itu bukanlah para ahli hukum
Islam yang sebenarnya. Tidak lain mereka adalah para pemulung besi tua yang
hendak membuat pesawat tempur anti radar (semacam B-12) atau yang
semisalnya. Tentu saja usaha mereka hanya akan menjadi bahan tertawaan
orang lain, apalagi para pakar di bidangnya.
Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia,
makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga
kita melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan
kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai
ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hukum.
Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari
Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami di mana letak ketinggian dan
keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam
kepada Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia,
kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup. Dengan demikian,
tujuan mempelajari Filsafat Hukum Islam akan memantapkan keyakinan umat
Islam akan keagungan Hukum Islam dibandingkan dengan hukum-hukum
yang lain (hukum produk manusia). Dimana hukum Islam bisa dibuktikan
bukan hanya lebih benar dan unggul, namun juga lebih terhormat dan beradab
dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain Keyakinan yang mantap itu
menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa “paksaan”. Umat Islam
mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa cinta, karena ia
berasal dari Tuhan Maha Adil dan Welas Asih. Ia taat kepada hukum karena
keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan kepada
makhluk-Nya.[6]

6
Youngky Putra, “Filsafat Hukum Islam”, diakses dari
http://karyatulisa.blogspot.co.id/2012/06/filsafat-hukum-islam.html, Diposkan 23rd June 2012

27
28
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, ia
merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam, maka
Filsafat Hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara
metodis dan sistematis sehinga mendapat keterangan yang mendasar, atau
menganalisis hukum secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.
Objek Filsafat Hukum Islam ada dua, yaitu: Falsafat Tasyri’(yang terdiri
dari dasar-dasar hukum Islam, prinsip-prinsip hukum Islam, pokok-pokok
hukum Islam, tujuan-tujuan hukum Islam, kaidah-kaidah Hukum Islam),
dan Falsafat Syari’ah (yang terdiri dari rahasia-rahasia hukum Islam), ciri-ciri
khas hukum Islam, keutamaan-keutamaan hukum Islam, dan karateristik
hukum Islam.
Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam bermula dari Muadz bin Jabal dan
Umar bin Khaththab, lalu berkembang pada masa Al-Syafi’i, Al-Juwaini, Al-
Ghazali, ‘Izz bin Abd Salam, dan Al-Syatibi.
Kegunaan Filsafat Hukum Islam adalah untuk menjadikan hukum Islam
sebagai sumber hukum yang tidak kering bagi perundang-undangan dunia dan
memberikan landasan bagi politik hukum.
Terdapat tiga Metode yang digunakan dalam pengembangan filsafat
hukum Islam yang dirumuskan oleh Muchlis Usman : pragmatis, idealistik, dan
komparasi. Semua metode ini melahirkan berbagai metode dalam merumuskan
hukum islam.
Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan dan wilayah filsafat memang
berbeda. Agama mengenai soal kepercayaan dan ilmu mengenai soal
pengetahuan. Pelita agama ada dihati dan pelita ilmu ada di otak. Meski
wilayahnya berbeda, sebagaimana dijelaskan diatas, ketiganya saling berkait
dan berhubungan timbal balik. Agama menetapkan tujuan, tetapi agama tidak
dapat mencapai tujuannya tanpa bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu

29
yang kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa
memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan
membahayakan umat manusia jika tidak dikekang dengan agama.
Ada lima asumsi-asumsi yang menjadi dasar filsafat hukum islam :
meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan, menyedikitkan beban,
ditetapkan secara bertahab, memperhatikan kemaslahatan manusia,
mewujudkan keadaan yang merata.
Perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam dengan filsafat
hukum pada umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu sendiri.
Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada umumnya
adalah hasil pemikiran manusia semata.

B. SARAN

Filsafat Hukum Islam merupakan ilmu yang sangat urgen untuk


dipelajari terutama di Fakultas Syari’ah sebagai Fakultas Hukum Islam.

30
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shidieqie,Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.


Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
http://www.kumpulanmakalah.com/2016/03/obyek-kajian-dan-kegunaan-
filsafat.html
http://airfanr.blogspot.co.id/2012/11/pengantar-filsafat-hukum-islam.html

https://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/07/filsafat-hukum-islam/

http://karyatulisa.blogspot.co.id/2012/06/filsafat-hukum-islam.html

31

Anda mungkin juga menyukai