Dr. HM. Zainuddin, MA Rabu, 13 November 2013 . in Wakil Rektor I . 15343 views
B. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang
tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan, bahwa sesuatu
itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan
Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan
merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal, 1981:35). C.Di
manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu berada
dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materilaisme
berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah dan
riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya:
yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence) perubahan (change), tunggal (one),
dan jamak (many). Semua istilah tersebut dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff,
1987: 194). Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah-daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang
berada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti
penciptaan surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan
yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas epistemologi keilmuan yang
mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan peryataan yang benar
secara ilmiah (Jujun, 1986: 3) Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat
realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik
keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein)
dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik
ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi
keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah pertama adalah,
melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa
yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga
teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan
kenyataan sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang
bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat
untuk mewujudkan tujuan-tujaun yang mencerminkan das sein agar dapat menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai
moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu
surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan
berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.
1. 2. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya
ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang
epistemologi:
1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu?
Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita?
Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar
dari yang salah? (Harold Titus et.al., 1984: 187-188).
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut
sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai
kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan simbolik yang masing-
masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan
kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis (Van
Melsen, 1990: 107). Pertanyaan mengenai aksiologi menurut Kattsoff (1987:331) dapat dijawab
melalui tiga cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang
ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka; kedua, nilai-nilai
merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang
dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
Pendirian ini dinamakan objektivisme logis; ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif
yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik. Dalam pendekatan
aksiologis ini, Jujun (1986: 6) menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat
dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk
kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun di
pergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan
pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai
konotasi parokial sepertia: ras, ideologi atau agama. Tidak ada ilmu Barat dan tidak ada pula
ilmu Timur.