Anda di halaman 1dari 27

Meet The Expert

MANIFESTASI KLINIS ABLASIO RETINA

Oleh :

Haemamalini Pakirisamy 1110314009

Dina Alyani 1310311013

Fitri Ramadewi 1310311022

Wirza Rahmania 1310312038

Syafira Anandayu 1310312056

Nurbeyti Nasution 1310312125

Pakar :

Dr. Weni Helvinda, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya lapisan sensorik retina (sel kerucut dan

batang retina) dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina dapat menyebabkan cacat penglihatan

atau kebutaan yang menetap. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel

pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila

berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.1

Terdapat tiga jenis utama dari ablasio retina, yaitu: ablasio regmatogenosa, ablasio serosa

atau hemoragik, dan ablasio traksi. Ablasio retina regmatogenosa merupakan kasus emergensi

pada mata yang ditandai dengan pemutusan total ( full-thickness ) dari retina sensorik yang

diikuti mengalirnya korpus vitreum cair melalui defek retina sensorik kedalam ruang sub retina.

Miopia, afakia, degenerasi lattice, dan trauma mata biasanya berkaitan dengan ablasio jenis ini.

Tipe berikutnya adalah ablasio retina serosa. Ablasio ini adalah hasil dari penimbunan cairan

dibawah retina sensorik yang terutama disebabkan oleh penyakit RPE dan Koroid. Pelepasan

retina jenis ini berkaitan dengan penyakit peradangan, tumor. (American Academy

Ophthalmology. Retinal Detachment. Retina and Vitreous. BCSC Secsion 12. P. 292-3.) Tipe

lainnya adalah ablasio retina akibat traksi terutama disebabkan oleh retinopati diabetes

proliperatif, vitreoretinopati proliperatif dan trauma pada mata.2

Insiden ablasio retina di Amerika Serikat sekitar 12 per 100.000 penduduk dan semakin

meningkat pada populasi usia lebih dari 50 tahun. Di Eropa insiden ablasio retina adalah 7 dari

100.000 populasi dan di Jepang adalah 10,4 dari 100.000 populai. Ablasio retina lebih sering
2
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, hal ini mungkin disebabkan seringnya pria

mendapat trauma dibanding wanita. Berdasarkan studi yang dilakukan di Singapura, didapatkan

bahwa insiden ablasio retina lebih banyak pada etnis Cina dibandingkan Malaysia dan India. Hal

ini dikarenakan kasus myopia ditemukan lebih banyak pada etnis Cina.3

Pada 50% pasien dengan ablasio retina regmatogenosa ditemukan manifestasi klinis

photopsia dan floaters. Juga terdapat “tobacco dust” yang merupakan gumpalan kecil sel

berpigmen yang sering terdapat di vitreous atau segmen anterior. Tekanan intraokular

kemungkinan rendah. Pada ablasio regmatogenosa yang sudah berlangsung lama, retina akan

tampak halus dan tipis. Cairan pada ablasio retina eksudatif dapat merespon gaya gravitasi

sehingga dapat melepaskan area retina yang terakumulasi. Misalnya, saat pasien duduk, retina

inferior terlepas. Namun, ketika pasien menjadi terlentang, cairan bergerak ke posterior dalam

hitungan detik atau menit, dapat memisahkan makula. 4 Sedangkan pada ablasio retina akibat

traksi sering bersifat asimptomatik, dan terdapat bukti dari proses penyakit yang mendasarinya

(seperti: Retinopati Diabetik). Dalam beberapa kasus, traksi dapat merobek retina dan

menyebabkan ablasio retina regmatogenosa.5

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang manifestasi klinis ablasio retina.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis

ablasio retina.

3
1.4 Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan

tentang manifestasi klinis ablasio retina kepada pembacanya.

1.5 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan tinjauan pustaka yang merujuk kepada berbagai

literatur.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ablasio Retina

Ablasio retina (retinal detachment) adalah terlepasnya lapisan sensoris retina, yakni

lapisan fotoreseptor dan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen retina dibawahnya. Ablasio

berasal dari bahasa latin ablation yang berarti pemuangan atau terlepasnya salah satu bagian

badan4

2.2 Anatomi dan Histologi Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi transparan yang

melapisi dua per tiga bagian dalam posterior dinding bola mata. Retina terdiri dari pars

pigmentosa di sebelah luar dan pars serosa di sebelah dalam. Permukaan luar berhubungan

dengan koroid dan permukaan dalam berhubungan dengan corpus vitreum.6

Retina membentang ke anterior hampir sejauh korpus siliar dan berakhir pada ora serrata

dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrate berada sekitar 6,5 mm di belakang

garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensoris

bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina. Retina dan epitel pigmen retina mudah

terpisah sehingga membentuk ruagan subretina di sebagian besar tempat kecuali pada diskus

optikus dan ora serrata. Hal ini menyebabkan perluasan cairan subretina pada ablasio retina dapat

dibatasi.4

5
Lapisan-lapisan retina secara histologi dari dalam keluar yang terlihat pada gambar 2.1

adalah:

a. Membran limitan interna (ILM)

b. Lapisan serat saraf (NFL), mengandung akson-akson sel ganglion

c. Lapisan sel ganglion (GCL)

d. Lapisa pleksiform dalam (IPL)

e. Lapisan inti dalam (INL)

f. Membran limitan tengah (MLM)

g. Lapisan pleksiform luar (OPL)

h. Lapisan serat henle (HPL)

i. Lapisan inti luar (ONL)

j. Membrane limitan eksterna (XLM)

k. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar sel batang dan kerucut (IS/OS)

6
Gambar 2.1 Lapisan Retina4

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrate dan 0,56 mm pada kutub posterior.

Ditengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5 mm. Secara histologi, lapisan ini

memiliki dua atau lebih lapisan sel ganglion. Ditengah makula dengan diameter 1,5 mm terdapat

fovea yang memiliki fungsi untuk ketajaman visual dan warna. Foveola adalah bagian fovea

dengan diameter 0,3 mm yang hanya memiliki sel kerucut sehingga memiliki ketajaman visual

yang optimal. Pada bagian tengah foveola terdapat cekungan yang disebut umbo.4

Nervus opticus meninggalkan retina kira-kira 3 mm dari sisi medial macula lutea melalui

discus nervi optici. Discus nervi optici agak cekung bagian tengahnya, yaitu tempat dimana

7
nervus opticus ditembus oleh arteri centralis retinae. Pada discus nervi optici tidak terdapat sel

batang dan kerucut sehingga tidak peka terhaap cahaya dan disebut sebagai bintik buta. Pada

pemeriksaan oftalmoskop, discus nervi optici tampak bewarna merah muda pucat, jauh lebih

puat dai arteri disekitarnya.6

2.3 Epidemiologi Ablasio retina

Prevalensi retinal detachment di dunia ialah 1 kasus dalam 10.000 populasi. Biasanya

retinal detachment terjadi pada usia 40-70 tahun. Prevalensi meningkat pada beberapa keadaan

seperti miopi tinggi, afakia/pseudofakia, dan trauma. Insidensi retinal detachment di Amerika

Serikat berkisar antara 1 dari 15.000 populasi, dengan prevalensi 0,3% dari total populasi.

Prevalensi kelainan pada retina di Indonesia mencapai angka 0,13% dan merupakan penyebab

kebutaan ke empat setelah katarak (0,78%), glaucoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), dan

penyebab lainnya (0,10%). Hal ini diketahui berdasarkan Survei Kesehatan Indra Penglihatan

dan Pendengaran tahun 1993 -1996. Pada penelitian yang dilakukan di BKMM didapatkan

jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki (63%) lebih banyak dari perempuan (37%).7

2.4 Etiologi

 Terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi dapat

memasuki ruangan subretina.

 Retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina

 Akumulasi cairan dalam ruangan subretina akibat proses eksudasi.

Ablasio retina eksudatif umumnya terjadi sekunder dari penyakit lain. Ablasio retina eksudatif

dapat terjadi karena adanya kerusakan epitel pigmen retina (pada keadaan normal berfungsi

sebagai outer barrier), karena permeabiltas dinding pembuluh darah oleh berbagai sebab atau

8
penimbunan cairan yang terjadi pada proses peradangan. Neoplasia dan inflamasi merupakan

beberapa penyebab utama ablasio retina eksudatif yang luas.9,10

2.5 Klasifikasi

Pada ablasio retina terjadi pemisahan retina sensorik yaitu lapisan fotoreseptor dengan

lapisan epitel pigmen retina dibawahnya. Terdapat tiga jenis utama ablasio retina yang masing-

masing mempunyai patogenesis yang berbeda yaitu :

1. Ablasio Retina Regmatogenosa

Pada ablasio retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada retina

sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan

retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke

rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.

Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan korpus vitreum

posterior 9,13.

Ablasio Retina Regmatogenosa merupakan bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio

retina dengan karakteristik pemutusan total (full-thickness) berbentuk tapal kuda lubang atropi

bundar atau robekan sirkumferensial anterior (dialisis retina). Jenis ini disebabkan pengaruh

antara traksi antara vitreo retina dan retina perifer yang dipredisposisi oleh faktor degenerasi 9,13.

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmatogenosa antara lain 10,12 :

a. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun usia tidak

menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi.

b. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan laki

: perempuan adalah 3 : 2

9
c. Miopi. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa terjadi karena seseorang

mengalami miop.

d. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada seseorang yang

fakia. Pasien bedah katarak diduga akibat vitreus ke anterior selama atau setelah

pembedahan. Lebih sering terjadi setelah ruptur kapsul, kehilangan vitreus dan vitrektomi

anterior. Ruptur kapsul saat bedah katarak dapat mengakibatkan pergeseran materi lensa

atau sesekali, seluruh lensa ke dalam vitreus.

e. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi

f. Fenile Posterior Vitreous Detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina dalam

kasus banyak.

g. Pasca sindrom nekrosis akut retina dan sitomegalovirus (CMV) retinitis pada pasien

AIDS berupa nekrosis retina dengan formasi istirahat retina terjadi, kemudian, cairan dari

rongga vitreous dapat mengalir melalui istirahat dan melepas retina tanpa ada hadir traksi

vitreoretinal terbuka.

h. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice degeneration,

Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without or occult pressure,

acquired retinoschisis.

Predisposisi degenerasi retina perifer11 :

1. Lattice degeneration

Ditemukan pada 40% penderita ablasio retina dengan myopia tinggi usia muda , sinroma

marfan, stickies synd, Ehlers-Danlos synd yang semuanya merupakan faktor resiko

terjadinya ablasio retina

2. Degenerasi retinoskisis

10
Dinamika traksi vitreoretina yang terjadi berupa sinkisis liquefaction dari vitreus gel.

Beberapa mata dengan sinkisis berkembang menjadi lubang pada bagian tipis kortek posterior

yang menutupi fovea. Cairan sinkisis berasal tengah vitreous yang lewat melalui defek menuju

ruang retrohyaloid yang baru terbentuk. Proses ini menyebabkan tertariknya vitreus posterior dan

membrana limitan interna retina sejauh batas posterior vitreous base. Sisa vitreus gel mengendap

ke bawah dan ruangan retrohyaloid akan diisi sepenuhnya oleh cairan sinkitik11

Ablasio retina akan memberikan gejala prodromal terdapatnya gangguan penglihatan

yang kadang – kadang terlihat sebagai tabir yang menutupi (floaters) akibat dari vitreous cepat

degenerasi dan terdapat riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan akibat

sensasi berkedip cahaya karena iritasi retina oleh gerakan vitreous9,10,13

Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena dapat

mengangkat macula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya retina mengenai macula

lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan

pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata

bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen

didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.

Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler glaucoma pada

ablasi yang telah lama10,11,12

11
Gambar 2.1 Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear (BCSC, 2016).

2. Ablasio Retina Traksi

Ablasio retina akibat traksi adalah jenis tersering kedua yang terutama disebabkan oleh

beberapa kelainan seperti

 Retinopati diabetik proliferative

Ablasio retina traksi merupakan jenis tersering pada retinopati diabetik proliferatif.

 Retinopati prematuriti

 Trauma tembus segmen posterior

Kelainan diatas menyebabkan adanya gaya-gaya traksi yang secara aktif menarik retina

sensorik menjauhi epitel pigmen dibawhnya disebabkan oleh adanya membran vitreosa, epiretina

atau subretina yang terdiri dari fibroblas sel glia atau sel epitel pigmen retina. Traksi ini

menyebabkan terlepasnya lapisan sensorik retina dengan RPE. Pada awalnya pelepasan mungkin

terbatas di sepanjang arkade-arkade vaskular, tetapi dapat terjadi perkembangan sehingga

kelainan melibatkan retina mid perifer dan macula

Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut pada

korpus vitreus (badan kaca). Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat

12
disebabkan diabetes melitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah

atau infeksi. Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa.
Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin

halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR)

yang sering ditenukan pada tipe Regmetogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi kegagalan

dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina, sel

glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus akan

membentuk membrane. Kontraksi dari membran tersebut akan menyebabkan retina tertarik

ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau brkembang

menjadi ablasio retina traksi 9,12,13.

Gambar 2.3 Ablasio retina traksi pada pasien advanced diabetic retinopathy (Khurana, 2007).

3. Ablasio retinopati eksudatif

Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah retina

(subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi

cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab Ablasio retina eksudatif dibagi menjadi dua

yaitu

a. penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis

nodosa.

13
b. penyakit mata meliputi akibat inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), akibat

penyakit vascular (central serous retinophaty, and axudative retinophaty of coats, akibat

neoplasma (malignant neoplasma koroid dan retinoblastoma), akibat perforasi bola mata

pada operasi intraokuler.

Mengetahui kemungkinan ablasi yang terjadi adalah tipe eksudatif merupakan hal yang penting

karena berbeda dengan tipe ablasio retina lainnya, manajemen pada ablasio tipe eksudatif

umumnya adalah non surgical.

Gambar 2.2. Ablasio retina tipe eksudatif akibat dari hasil metastase karsinoma payudara (BCSC, 2016).

Ablasio retina eksudatif paling jarang terjadi dibandingkan Ablasio Retina Traksi dan

regmatogenosa. Penyebabnya adalah gangguan pada pigmen epitel retina sehingga cairan dari

koroid masuk ke dalam ruang sub retina. Ablasio jenis ini dapat terjadi walaupun tidak ada

pemutusan retina atau traksi vitreo retina. Hal ini disebabkan berbagai keadaan seperti tumor

koroid (melanoma, haemangioma) dan metastasenya, inflamasi intraokuler seperti penyakit

Harada dan Skleritis posterior, iatrogenik termasuk operasi pada ablasio retina sebelumnya,

fotokoagulasi pan retinal. Neovaskuler subretinal yang berhubungan dengan retinal telangiektasi

dan neovaskuler koroid bisa juga menyebabkan kelainan pada RPE 9,13.

14
2.6 Patogenesis

Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan rongga vesikel

optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata yang matur dapat berpisah :

1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi dapat

memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio

regmatogenosa).

2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina, misalnya

seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional).

3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina akibat

proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio retina

eksudatif)10

Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya robekan retina atau

lubang retina. Sering terjadi pada miopia, pada usia lanjut, dan pada mata afakia. Perubahan yang

merupakan faktor prediposisi adalah degenerasi retina perifer (degenerasi kisi-kisi/lattice

degeration), pencairan sebagian badan kaca yang tetap melekat pada daerah retina tertentu,

cedera, dan sebagainya. Perubahan degeneratif retina pada miopia dan usia lanjut juga terjadi di

koroid. Sklerosis dan sumbatan pembuluh darah koroid senil akan menyebabkan berkurangnya

perdarahan ke retina. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada miopia karena teregangnya dan

menipisnya pembuluh darah retina10,11

Perubahan ini terutama terjadi di daerah ekuator, yaitu tempat terjadinya 90% robekan

retina. Terjadinya degenerasi retina pada mata miopia 10 sampai 15 tahun lebih awal daripada

mata emetropia. Ablasi retina delapan kali lebih sering terjadi pada mata miopia daripada mata

emetropia atau hiperopia. Ablasi retina terjadi sampai 4% dari semua mata afakia, yang berarti

15
100 kali lebih sering daripada mata fakia. Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada

mata miopia satu dasawarsa lebih awal daripada mata normal10,11,12

Depolimerisasi menyebabkan penurunan daya ikat air dari asam hialuron sehingga

kerangka badan kaca mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan sebagian dan ablasi badan

kaca posterior. Oleh karenanya badan kaca kehilangan konsistensi dan struktur yang mirip agar-

agar, sehingga badan kaca tidak menekan retina pada epitel pigmen lagi. Dengan gerakan mata

yang cepat, badan kaca menarik perlekatan vireoretina. Perlekatan badan kaca yang kuat

biasanya terdapat di daerah sekeliling radang atau daerah sklerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi

katarak intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan mata bahkan akan lebih kuat lagi. Sekali

terjadi robekan retina, cairan akan menyusup di bawah retina sehingga neuroepitel akan terlepas

dari epitel pigmen dan koroid10,11,12

2.7 Manifestasi Klinis

Keluhan yang klasik dan sering dilaporkan adalah photopsia dan floaters sebesar 60 %

setelah beberapa saat penderita mengeluh kehilangan lapang pandangan perifer kemudian

berlanjut menjadi kehilangan penglihatan sentral.

Manifestasi klinis yang terjadi pada ablasio retina yaitu 9,10,13:


1. Photopsia.
Adalah: sensasi subjektif yang dikeluhkan penderita sebagai kilatan cahaya, hal ini

disebabkan oleh tarikan pada vitreo retina di daerah perifer.


2. Floaters.
Adalah : Gerakan kekeruhan vitreous yang memberikan bayangan pada retina, ada tiga

bentuk floaters yang sering dijumpai yakni :


a. Lingkaran besar ( Weiss ring )
b. Cobwebs
c. Bintik-bintik kecil.
3. Defek Lapang Pandangan.

16
Hilangnya lapangan pandang disebabkan oleh: menyebarnya cairan sub retina ke daerah

ekuator, defek ini kadang menghilang pada saat bangun pagi dan timbul lagi sesudah

bekerja atau jalan pada siang hari


4. Penurunan visus
Pada pasien ablasio yang belum mengenai makula visus pasien bisa normal. Akan tetapi

lama kelamaan akan mengalami penurunan sampai akhirnya visus menurun total (O)

pada ablasio retina total.


5. Metamorfopsia.
1. Manifestasi klinis Ablasio Retina Regmatogenosa9,10,12
a. gangguan penglihatan yang kadang – kadang terlihat sebagai tabir yang menutupi

(floaters) akibat dari vitreous cepat degenerasi


b. riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan akibat sensasi berkedip

cahaya karena iritasi retina oleh gerakan vitreous.


2. Manifestasi Klinis Ablasio Retina Eksudatif12
a. Fotopsia (kilatan cahaya) tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya yang umumnya

terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
b. Floaters yang terjadi karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina

yang lepas atau degenerasi dari vitreus itu sendiri.


c. Penurunan tajam penglihatan
d. Nyeri mirip uveitis atau skleritis
e. Pupil putih (leukokoria)
f. Mata merah
g. Ablasio retina eksudatif halus dan cembung. Pada puncak tumor itu biasanya bulat dan

tetap dan bisa menunjukkan gangguan pigmen.


h. Kadang-kadang, pola pembuluh retina mungkin terganggu akibat adanya neovaskularisasi

di puncak tumor.

2.8 Diagnosis

Diagnosis dari ablasio retina dapat ditegakkan dengan anamnesis mengenai keluhan,

perjalanan penyakit, faktor pencetus, faktor risiko, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang yang tepat. Pasien dengan ablasio retina biasanya dating dengan keluhan melihat

17
bayangan berupa photopsia atau kilatan cahaya, floater, dan penyempitan lapangan pandang

bahkan dapat kehilangan lapangan pandang. Secara rangkum telah dijabarkan gambaran

diagnosis pada ablasio retina pada Tabel 2.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien ablasio retina adalah pemeriksaan tajam

penglihatan, pemeriksaan lapangan pandang, memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma, periksa

reaksi pupil, dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya trauma. Pemeriksaan slit

lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan vitreous untuk mencari tanda pigmen atau

“tobacco dust”, ini merupakan patognomonis dari ablasio retina pada 75 % kasus. Pemeriksaan

tekanan bola mata serta pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan

berdilatasi).14

Tabel 2.1. Gambaran Diagnosis Dari Tiga Tipe Ablasio Retina

Regmatogenus Traksi Eksudatif

Riwayat penyakit Afakia, myopia, Diabetes, Factor-faktor sistemik


trauma tumpul, premature,trauma seperti hipertensi
photopsia, floaters, tembus, penyakit maligna, eklampsia,
gangguan lapangan sel sabit, oklusi gagal ginjal.
pandang yang vena.
progresif, dengan
keadaan umum baik.

Kerusakan retina Terjadi pada 90-95 % Kerusakan primer Tidak ada


kasus tidak ada

Perluasan ablasi Meluas dari ora ke Tidak meluas Tergantung volume dan
discus, batas dan menuju ora, dapat gravitasi, perluasan
permukaan cembung sentral atau perifer menuju oral bervariasi,
tergantung gravitasi dapat sentral atau perifer

Pergerakan retina Bergelombang atau Retina tegang, batas Smoothly elevated


terlipat dan permukaan bullae, biasanya tanpa
cekung, Meningkat lipatan
pada titik tarikan

18
Bukti kronis Terdapat garis Garis pembatas Tidak ada
pembatas, makrosis
intra retinal, atropik
retina

Pigmen pada Terlihat pada 70 % Terlihat pada kasus Tidak ada


vitreous kasus trauma

Perubahan vitreous Sineretik, PVD, Penarikan Tidak ada, kecuali pada


tarikan pada lapisan vitreoretinal uveitis
yang robek

Cairan sub retinal Jernih Jernih atau tidak Dapat keruh dan
ada perpindahan berpindah secara cepat
tergantung pada
perubahan posisi kepala.

Massa koroid Tidak ada Tidak ada Bisa ada

Tekanan Rendah Normal Bervariasi


intraocular

Transluminasi Normal Normal Transluminasi terblok


apabila ditemukan lesi
pigmen koroid

Keaadan yang Robeknya retina Retinopati Uveitis, metastasis,


menyebabkan diabetikum melanoma maligna,
ablasio proliferative, post retinoblastoma,
traumatis vitreous hemangioma koroid,
traction makulopati eksudatif
senilis, ablasi eksudatif
post cryotherapi atau
dyathermi.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

 Binocular indirect ophthalmoscopy

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat gambaran fundus. Pasien dalam posisi supine

atau duduk bersandar. Pupil dibuat dilatasi, lampu ruangan diredupkan. Pasien diminta membuka

19
mata,

bila

perlu

pemeriksa menahan palpebra superior dengan jari atau spekulum. Lensa condensing dipegang

denga satu tangan lainnya, bagian yang datar menghadap ke pasien.15

Gambar 2.5 Binocular indirect ophthalmoscopy dan lensa condensing oftalmoskop indirect15

 B-scan ultrasonografi

B-scan ultrasonografi diindikasikan jika media keruh, misalnya akibat hemoragi

vitreus,sehingga penggunaan oftalmoskop tidak dapat membantu dalam penegakan diagnosis.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya ablatio retina, mendeteksi

ketebalan koroid, ablatio koroid, dan ketebalan sklera.

 Pemeriksaan slit-lamp

20
Segmen anterior biasanya normal, namun pemeriksaan diperlukan untuk mencari tanda

pigmen atau tobacco dust yang merupakan patognomonis dari ablatio retina pada 75% kasus.15

Gamba r 2.6 tobacco dust di vitreous15

2.10 Diagnosis Banding

 Retinoskisis

Retinoskisis adalah kelainan retina dengan gambaran terjadi pemisahan lapisan-

lapisan retina. Bila pada ablasio retina pemisahan terjadi antara epitel pigmen retina

dengan lapisan sensori retina, maka retinoskisis pemisahan lapisan retina dapat terjadi di

lapisan sensori mana saja, misalnya di lapisan pleksiform luar atau dalam lapisan syaraf

optik. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan permukaan dinding dalam retina yang

berbentuk kubah tidak berubah pada saat bola mata bergerak dan juga tidak ada

perubahan bentuk serta lokasi karena gaya gravitasi. Retinoskisis dapat dibedakan dari

ablasio retina dengan membandingkan permukaannya yang rata, biasanya tidak

ditemukan perdarahan atau pigmen di dalam vitreus, selalu muncul dengan skotoma,

Biasanya mengalami perbaikan dengan fotokoagulasi, tidak ada pergerakan cairan

seperti pada ablasio retina. 4,16

21
 Ablasi koroid
Sering terjadi setelah operasi katarak. Berbeda dengan ablasio retina cairan pada ablasio

koroid ini terus ke anterior melewati ora serata sehingga pars plana dan ora serata terlihat

lebih jelas dari biasanya.17


 Tumor koroid

Tumor koroid disini termasuk melanoma malignan koroid, metastasis tumor ganas

dari tempat lain, atau hemangioma koroid. Oftalmoskop direk sukar membedakan dengan

ablasio karena adanya elevasi dari neurosensorik dan epitel pigmen retina. Akan tetapi

dengan pemeriksaan lebih lanjut seperti ultrasonografi oftalmoskop indirek akan terlihat

massa dalam koroid, tidak ditemukan robekan retina.16

2.11 Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah mengembalikan kontak antara neurosensorik

retina yang terlepas dengan RPE dan eliminasi kekuatan traksi. Berbagai metode operasi yang

akan dilakukan bergantung dari lokasi robekan, usia pasien, gambaran fundus, dan pengalaman

ahli bedah.

Pembedahan dibagi ke dalam dua kategori, yakni :

1. Konvensional : melibatkan eksplan material ke rongga bola mata

2. Vitrektomi : pembuangan vitreus, menurunkan gaya traksi. Vitreus kemudian

digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade robekan. 18

1. Scleral Buckling

Pembedahan Scleral buckling adalah metode pendekatan ekstraokuler dengan membuat

lekukan pada dinding mata untuk mengembalikan kontak dengan retina yang terlepas.

Sebuah silikon dengan konfigurasi yang sesuai diposisikan dengan jahitan pada sklera

bagian luar di atas lekukan buckle dinding bola mata. Proses perlengketan kembali ini
22
dapat diperkuat oleh drainase cairan subretina, meskipun manuver ini tidak dibutuhkan

pada semua kasus. Robekan tunggal ditangani dengan cryotherapy atau terapi laser untuk

menjamin penutupan permanen. Angka keberhasilan scleral buckling untuk melekatkan

kembali retina dan memulihkan penglihatan terbilang tinggi. Penelitian terbaru yang

melibatkan 190 mata, angka keberhasilan metode ini mencapai 89% untuk operasi

tunggal.19

Komplikasi cryotherapy adalah vitreoretinopathy proliferative (PVR), uveitis,

cystoid edema makula, perdarahan intraokular, dan nekrosis chorioretinal. Komplikasi

operasi scleral buckling adalah iskemia (segmen anterior dan posterior), infeksi,

perforasi, strabismus, erosi atau ekstrusi eksplan, mengerutnya makula, katarak,

glaukoma, vitreoretinopathy proliferative (4%), dan kegagalan (5-10%). Scleral buckling

memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Prognosis visual akhir tergantung pada

keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika makula terlepas. 20

Gambar 2.7 Scleral Buckling19


Gambar a) menunjukkan tamponade di jahit pada permukaan luar sklera. Gambar b)

menunjukkan lubang retina yang kelihatan. Gambar c) menunjukkan tamponade pada

tempatnya.
Pita silikon menekan spons silikon dibawahnya sehingga dapat memposisikan

lapisan sensorik dan RPE kembali menyatu.

23
Gambar 2.8 Prosedur Scleral Buckling19
2. Pneumatic Retinopexy
Pada metode ini, gas inert atau udara diinjeksi ke dalam vitreus. Dengan

cara ini, retina akan terlekat kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau

sesudah injeksi gas atau koagulasi laser dilakukan di sekitar defek retina setelah

perlekatan retina. Metode ini sangat cocok digunakan pada kondisi ablasio dengan

satu robekan retina pada bagian atas perifer fundus (arah jam 10 hingga jam 2).21

Gambar 2.9: Pneumatic Retinopexy19


3. Vitrektomi
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasi

akibat diabetes, ablasio rhegmatogenous yang disertai traksi vitreus atau

hemoragik vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil

pada bola mata kemudian memasukkan instrument hingga ke cavum melalui


24
pars plana. Setelah itu pemotongan vitreus dengan pemotong vitreus.

Kemudian teknik dan instrument yang digunakan tergantung tipe dan

penyebab ablasio.21

2.12 Prognosis

Terapi yang cepat prognosis lebih baik. Perbaikan anatomis kadang tidak sejalan dengan

perbaikan fungsi. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina

perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula lepas lebih dari 24 jam sebelum

pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.9,21

2.11 Komplikasi

Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling umum

terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakantangan atau persepsi cahaya

adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina yang melibatkan macula.22

Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami komplikasi,

maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati poliferatif, PVR). PVR

dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih lanjut.9,19

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Ramzi. 2013. Ablasio retina non regmatogen. Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan

Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Makalah Seminar Kesehatan.

25
2. Hardy Robert A. 2013. Retina dan Tumor Intraokular. Dalam: Vaughan DG, Asbury T.
Oftalmologi umum. Edisi ke 17. Jakarta: EGC, pp: 207-8.

3. Wong TY, Tielsch JM, Schein OD. 1999. Racial difference in the incidence of retinal
detachment in Singapore. Arch Ophthalmol, 117: 379-83

4. American Academy Ophthalmology. Retinal Detachment. Retina and Vitreous. BCSC


Secsion 12. P. 294-9.

5. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. 2011. Oxford American Handbook
of Ophthalmology. Edisi ke 1. New York: Oxford University Press, p: 385.

6. Snell RS. 2002. Anatomi Klinis Berdsarkan Klinis. EGC: Penerbit Buku Kedokteran.
7. Larkin. G. D. Retinal Detachment diakses dari eMedicine Journal,Volume : 2. Number : 8.

August 10 2001. P. 1-10.

8. Sinaga R, Rares L, Sumual V (2016). Indikasi vitrektomi pada kelainan retina di balai

kesehatan mata masyarakat (BKMM) provinsi selawesi utara periode januari-desember 2014)

9. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General ophthalmology) edisi

17.Jakarta : EGC.

10. Kanski JJ, Bowling B. (2007). Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 6th ed. China: Elsevier : (e-
book)
11. Basic and Clinical Science Course, Retina and Vitreous, section 12. (2016). United State:
American-Academy of Ophtalmology.

12. Khurana (2007). Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New Delhi :
New Age International Limited Publisher

13. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi keempat. 2012. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.

14. Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata ,edisi ke empat. 2009. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

26
15. Bowling B (2016). Kanki's clinical ophthalmology. Edition 8. China: Elsevier.
16. Ahmed E, 2011. Comprehensive manual of ophthalmology. Medical publishers, India.

17. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, et al. In : Pocket Atlas Of Opthalmology. New York:

Thieme Stuttgart. 2006. Page 2-6, 172-7.


18. Juliana Prazeres, Octaviano Magalhães Jr., Luiz F. A. Lucatto, et. Al. Heavy Silicone Oil as a
Long-Term Endotamponade Agent for Complicated Retinal Detachments Journal. 2014
19. Amico DJ. In : Primary Retinal Detachment. New England Journal Medicine. 2008. Page
359, 22, 2346-56
20. Alasil Tarek, Eljammal Sam, Scartozzi Richard, et al. In : Rhegmatogenous Retinal
Detachment. Cases Journal. 2008.
21. James Bruce, dkk. Ablasi retina. Oftalmologi, edisi ke 9. Ciracas Jakarta. Erlangga; 2003:
116-120
22. Gregory Luke Larkin. Retinal Detachment. EMedicine
http://www.emedicine.com/emerg/byname/Retinal-Detachment.htm

27

Anda mungkin juga menyukai