“RETARDASI MENTAL”
Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ
Oleh :
Putra Achsanal H G4A017027
REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA
“RETARDASI MENTAL”
Oleh :
Putra Achsanal Hudha G4A017027
Disetujui
Pada tanggal, Desember 2019
Penguji,
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Retardasi mental (RM) adalah suatu perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama
masa perkembangan, sehingga berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan menyeluruh,
misalanya kemampuan kognitif, Bahasa, motoric dan sosial. Retradarsi mental dapat
terjadi dengan atau tabpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Kaplan, 2010).
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira – kira 1
persen dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena kesulitan
mengenali onsetnya. Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang
panjang sebelum keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi baik. (kaplan)
prevalensi untuk RM ringan 0,37 – 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan
sangat berat adalah 0,3 – 0,4%. 2
Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah,
dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada
laki – laki dibandingkan dengan wanita. Pada lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena
mereka dengan retardasi mental yang berat atau sangat berat memiliki angka mortalitas
yang tinggi yang disebabkan dari penyulit gangguan fisik yang menyertai (Kaplan,
2010).
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah suatu
keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan
(sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang
kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang.
Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit danfren = jiwa)
atau tuna mental. Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang
berada dibawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk
menyesuaikan diri atau berprilaku adaptif (Salmah, 2010).
2. ETIOLOGI
A.Penyebab Prenatal
a. Kelainan Kromosom
i. Sindrom down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta
anomali fisik yang beragam.1 Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32 tahun),
resiko memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100
kelahiran. Retardasi mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down.
Sebagian besar pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat.,
hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down
relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates.
Tanda yang paling penting pada neonates adalah hipotonia umum, fisura
palpebra yang oblik, kulit leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar,
tulang pipi yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal
dan lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari
kelingking pendek dan melengkung ke dalam (Kaplan, 2010).
Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down
Gambar 3. Phenylketouria
c. Infeksi Intrauterine
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi
adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga
dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, cytomegalovirus, dan
herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat
mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik
dan retardasi mental yang parah. Anak-anak yang ibunya minum alkohol selama
kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal dan merupakan kasus paling nyata
sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan
oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis,
terkena racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi
menyebabkan retardasi mental (Salmiah, 2010)
d. Intoksikasi
Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan
intoksikasi alcohol pada janin karena ibu hamil yang minum minuman mengandung
alcohol, terutama pada trimester pertama. Di negara Amerika Serikat FAS
merupakan penyebab tersering dari retradarsi mental setelah sindron down. Insiden
FAS berkisar antara 1-3 kasus per 1000 kelahiran hidup.
B. Penyebab Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat
badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan
intelektual yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang menderita
pendarahan intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap
kelainan kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan
beratnya perdarahan intrakranial (Kaplan, 2010).
Asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intraventrikuler, kernicterus, meningitis
dapat menimbulkan kerusakan otak yang ireversibel, dan merupakan penyebab
timbulnya retardarsi mental.
C. Penyebab Postnatal
Faktor-faktor postnatal seperti infeksi,trauma, malnutrisi, intoksikasi, kejang
dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbukan retardasi mental.
3. DIAGNOSIS
a. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh,
dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, dan kelahiran.
Terdapat riwayat keluarga retardasi mental, hubungan darah pada orangtua, dan
gangguan herediter. Juga dapat menilai latar belakang sosiokultural pasien,
iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien (Kaplan, 2010).
b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah
sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan verbal
pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin
dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan
pasien dan dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien dan
pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat,
pengasuh dapat sebagai penerjemah.
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup dalam berbagai
bidang, dan mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai
pewawancara. Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan
pasien suatu penjelasan yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses
diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif yang memadai. Dukungan
dan pujian harus diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan usia dan
pengertian pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus dipastikan, dan bukti
klinis adanya distraktibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ingat harus
diperiksa. Pemakaian bahasa, tes realitas, dan kemampuan menggali dan
pengalaman penting untuk dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien
(menundukkan diri sendiri menggunakan penghindaran, represi, penyangkalan,
introyeksi, da isolasi) harus diamati. Potensi sublimasi, toleransi frustasi, dan
pengendalian impuls (terutama terhadap dorongan motorik, agresif, dan
seksual) harus dinilai. Juga penting adalah citra diri dan peranannya dalam
perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan, ketetapan hati,
keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang teretardasi harus
mengungkapkan bagaimana pasien mengalami stadium perkembangan. Dalam
hal kegagalan atau regresi, juga dapat mengembangkan sifat kepribadian yang
memungkinkan perencanaan logis dari penatalaksanaan dan pendekatan
pengobatan (Kaplan, 2010).
c. Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang sering
ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal.
Sebagai contoh, konfigurasi dan ukuran kepala memberikan petunjuk terhadap
berbagai kondisi seperti mikrosefali, hidrosefalus, dan sindroma Down. Wajah
pasien mungkin memiliki beberapa stigmata retardasi mental yang sangat
mempermudah diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah hipertelorisme, tulang
hidung yang datar, alis mata yang menonjol, lipatan epikantus, opasitas kornea,
perubahan retina yag letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang
menonjol, dan gangguan gigi geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai
bagian dari pemeriksaan klinis. Warna dan tekstur kulit dan rambut, palatum
dengan lengkung yang tinggi, ukuran kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan
batang tubuh dan ekstremitasnya adalah bidang lain yang digali. (Kaplan, 2010).
d. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai
contoh sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami gangguan
pendengaran empat kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Gangguan
sensorik dapat berupa gangguan pendengaran dan gangguan visual. Gangguan
pendengaran terentang dari ketulian kortikal sampai deficit pendengaran yang
ringan. Gangguan visual dapat terentang dari kebutaan sampai gangguan
konsep ruang, pengenalan rancangan, dan konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada
tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan gerakan
involunter (koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil ditemukan dalam
kelambanan dan koordinasi yang buruk (Kaplan, 2010).
e. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah
pemeriksaan urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik. Penentuan
kariotipe dalam laboratorium genetic diindikasikan bila dicurigai adanya
gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari
ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu,
telah berguna dalam diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi, terutama
Sindroma Down. Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di
atas 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi sampling)
adalah teknik skrining yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini
dilakukan pada usia kehamilan 8 dan 10 minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu
singkat (beberapa jam atau hari), dan jika kehamilan adalah abnormal,
keputusan untuk mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dalam trimester
pertama. Prosedur memiliki resiko keguguran antara 2 dan 5 persen (Kaplan,
2010).
f. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman,
adalah bagian standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Pemeriksaan
psikologis dilakukan untuk menilai kemampuan perceptual, motorik, linguistik,
dan kognititf. Informasi tentang factor motivasional, emosional, dan
interpersonal juga penting (Kaplan, 2010).
4. KLASIFIKASI
Menurut PPDGJ-III dan DSM 5 retardasi mental dibagi menjadi (APA, 2013):
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Biasanya
ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi mobilitas,
seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada gangguan
perkembangan pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme yang tidak khas
(atypical autism) terutam pada penderita yang dapat bergerak.
Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan
memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang perilakunya
terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
5. PENATALAKSANAAN
c. Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam pendidikan keluarga dari pasien
dengan retardasi mental adalah tentang cara meningkatkan kompetensi
dan harga diri sambil mempertahnkan harapan yang realistic untuk
pasien. Keluarga seringkali merasa sulit untuk menyeimbangkan antara
mendorong kemandirian dan memberikan lingkungan yang mengasuh
dan suportif bagi anak retardasi mental, yang kemungkinan mengalami
suatu tingkat penolakan dan kegagalan di luar konteks keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan manfaat dari konseling yang
terus-menerus datau terpai keluarga. Orang tua harus diberikan
kesempatan untuk mengekspresikan perasaan bersalah, putus asa,
kesedihan, penyangkalan yang terus-menerus timbul, dan kemarahan
tentang gangguan dan masa depan anak. Dokter psikiatrik harus siap
untuk memberikan semua informasi medis dasar dan terakhir tentang
penyebab, terapi, dan bidang lain yang berhubungan (seperti latihan
khusus dan perbaikna defek sensorik).
d. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terpai gangguan mental komorbid pada
pasien retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk
pasien yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data
yang mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk pasien dengan
gangguan mental yang tidak retardasi mental. Beberapa penelitian telah
memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk sindrom
perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental:
1. Fungsi intelektual dibawah rata – rata (IQ 70 atau kurang) yang telah diperiksa
secara individual.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010