Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“RETARDASI MENTAL”

Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Oleh :
Putra Achsanal H G4A017027

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

“RETARDASI MENTAL”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Oleh :
Putra Achsanal Hudha G4A017027

Disetujui
Pada tanggal, Desember 2019

Penguji,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ


NIP. 19570919 198312 2 001
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Retardasi mental (RM) adalah suatu perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama
masa perkembangan, sehingga berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan menyeluruh,
misalanya kemampuan kognitif, Bahasa, motoric dan sosial. Retradarsi mental dapat
terjadi dengan atau tabpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Kaplan, 2010).

Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira – kira 1
persen dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena kesulitan
mengenali onsetnya. Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang
panjang sebelum keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi baik. (kaplan)
prevalensi untuk RM ringan 0,37 – 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan
sangat berat adalah 0,3 – 0,4%. 2
Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah,
dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada
laki – laki dibandingkan dengan wanita. Pada lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena
mereka dengan retardasi mental yang berat atau sangat berat memiliki angka mortalitas
yang tinggi yang disebabkan dari penyulit gangguan fisik yang menyertai (Kaplan,
2010).

Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar


terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat
sekitar 0.3% dari seluruh populasi. Sebagai sumber daya manusia tentunya mereka
tidak bisa dimanfaatkan karena 0.1% dari anak-anak ini memerlukan perawatan,
bimbingan serta pengawasan sepanjang hidupnya (Salmiah, 2010). Sehingga retardasi
mental masih merupakan dilema, sumber kecemasan bagi keluarga dan masyarakat.
Demikian pula dengan diagnosis, pengobatan dan pencegahannya masih merupakan
masalah yang tidak kecil.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah suatu
keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan
(sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang
kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang.
Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit danfren = jiwa)
atau tuna mental. Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang
berada dibawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk
menyesuaikan diri atau berprilaku adaptif (Salmah, 2010).

2. ETIOLOGI
A.Penyebab Prenatal

a. Kelainan Kromosom
i. Sindrom down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta
anomali fisik yang beragam.1 Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32 tahun),
resiko memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100
kelahiran. Retardasi mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down.
Sebagian besar pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat.,
hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down
relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates.
Tanda yang paling penting pada neonates adalah hipotonia umum, fisura
palpebra yang oblik, kulit leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar,
tulang pipi yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal
dan lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari
kelingking pendek dan melengkung ke dalam (Kaplan, 2010).
Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down

ii. Sindrom Fragile X


Sindrom fragile X merupakan bentuk retardasi mental yang
diwariskan dan disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X. Diyakini
terjadi pada kira-kira 1 tiap 1000 kelahiran laki-laki dan 2000 kelahiran
perempuan. Derajat retardasi mental terentang dari ringan sampai berat.
Ciri perilakunya adalah tingginya angka gangguan defisit
atensi/hiperaktivitas, ganguan belajar, dan gangguan perkembangan
pervasive seperti gangguan akuisitik. Defisit dalam fungsi bahasa adalah
pembicaraan yang cepat dan perseveratif dengan kelainan dalam
mengkombinasikan kata-kata membentuk frasa dan kalimat (Kaplan,
2010).

iii. Sindrom Prader-Willi


Kelianan ini akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15,
biasanya terjadi secara sporadic. Prevalensinya kurang dari 1 dalam
10000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan yang
kompulsif dan sering kali obesitas, retardasi mental, hipogonadisme,
perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki yang kecil. Anak –
anak dengan sindrom ini seringkali memiliki perilaku oposisional yang
menyimpang (Kaplan, 2010).
Gambar 2. Karakteristik Sindrom Prader-Willi

b. Faktor Genetik Lain / Kelainan metabolik


Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan yang menghambat
metabolisme asam phenylpyruvic, menyebabkan retardasi mental kecuali bila
pola makan amat dikontrol.3 PKU ditransmisikan dengan trait Mendel
autosomal resesif yang sederhana dan terjadi pada kira-kira yang di institusi
adalah kira-kira 1 persen dalam setiap 10.000 sampai 15.000 kelahiran hidup.
Bagi orang tua yang telah memiliki anak dengan PKU, kemungkinan memiliki
anak lain dengan PKU adalah satu dalam setiap empat sampai lima kehamilan
selanjutnya. Defek metabolisme dasar pada PKU adalah ketidakmampuan
untuk mengubah fenilalanin, suatu asam amino esensial, menjadi paratirosin
karena tidak adanya atau tidak aktifnya enzim fenilalanin hidroksilase, yang
mengkatalisis perubahan tersebut.
Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami retardasi yang berat,
tetapi beberapa dilaporkan memiliki kecerdasan yang ambang atau normal.
Walaupun gambaran klinis bervariasi, anak PKU tipikal adalah hiperaktif dan
menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat diramalkan, yang
menyebabkan sulit ditangani. Mereka seringkali memiliki temper tantrum dan
seringkali menunjukkan gerakan aneh pada tubuhnya dan anggota gerak atas
dan manerisme memutir tangan, dan perilaku mereka kadang-kadang
meyerupai anak autistic atau skizofrenik. Komunikasi verbal dan nonverbal
biasanya sangat terganggu atau tidak ditemukan. Koordiansi anak adalah buruk,
dan mereka memiliki banyak kesulitan perceptual (Kaplan, 2010).

Gambar 3. Phenylketouria

c. Infeksi Intrauterine
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi
adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga
dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, cytomegalovirus, dan
herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat
mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik
dan retardasi mental yang parah. Anak-anak yang ibunya minum alkohol selama
kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal dan merupakan kasus paling nyata
sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan
oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis,
terkena racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi
menyebabkan retardasi mental (Salmiah, 2010)
d. Intoksikasi
Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan
intoksikasi alcohol pada janin karena ibu hamil yang minum minuman mengandung
alcohol, terutama pada trimester pertama. Di negara Amerika Serikat FAS
merupakan penyebab tersering dari retradarsi mental setelah sindron down. Insiden
FAS berkisar antara 1-3 kasus per 1000 kelahiran hidup.

B. Penyebab Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat
badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan
intelektual yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang menderita
pendarahan intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap
kelainan kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan
beratnya perdarahan intrakranial (Kaplan, 2010).
Asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intraventrikuler, kernicterus, meningitis
dapat menimbulkan kerusakan otak yang ireversibel, dan merupakan penyebab
timbulnya retardarsi mental.

C. Penyebab Postnatal
Faktor-faktor postnatal seperti infeksi,trauma, malnutrisi, intoksikasi, kejang
dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbukan retardasi mental.

D. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural


Suatu bentuk retardasi mental dipengaruhi oleh lingkungan dengan
sosioekonomi rendah. Faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau sosial
yang miskin, yaitu yang memberi stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan
dari orang tua, dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan
retardasi mental pada anak-anak.3 TIdak ada penyebab biologis yang telah dikenali
pada kasus tersebut.
Anak-anak dalam keluarga yag miskin dan kekurangan secara
sosiokultural adalah sasaran dari kondisi merugikan perkembangan dan secara
potensial patogenik. Lingkungan prenatal diganggu oleh perawatan medis yang
buruk dan gizi maternal yang buruk. Kehamilan remaja sering disertai dengan
penyulit obstetric, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. Perawatan medis
setelah kelahiran buruk, malnutrisi, pemaparan dengan zat toksin tertentu
seperti timbale dan trauma fisik adalah serig terjadi. Ketidakstabilan keluarga,
sering pindah, dan pengasuh yang berganti-ganti tetapi tidak adekuat sering
terjadi. Selain itu, ibu dalam keluarga tersebut sering berpendidikan rendah dan
tidak siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya.
Masalah lain yang tidak terpecahkan adalah pengaruh ganguan mental
parental yang parah. Gangguan tersebut dapat menganggu pengasuhan dan
stimulasi anak dan aspek lain dari lingkungan mereka, dengan demikian
menempatkan anak pada resiko perkembangan. Anak-anak dari orang tua
dengan gagguan mood dan skizofrenia diketahui berada dalam resiko
mengalami gangguan tersebut dan gangguan yang berhubungan. Penelitian
terakhrir menunjukkan tingginya prevalensi gangguan keterampialan motorik
dan gangguan perkembangan lainnya tetapi tidak selalu disertai retardasi mental
(Kaplan, 2010).

3. DIAGNOSIS

Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan


karakteristik yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar
ketrampilan khusus yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua
ketrampilan ini akan berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap individu, tetapi
ada ketimpangan (discrepancy) yang luas, terutama pada penyandang RM. Orang yang
demikian mungkin memperlihatkan hendaya berat dalam satu bidang tertentu (misalnya
bahasa) atau mungkin mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang lebih tinggi
(misalnya tugas visuospasial sederhana) pada RM berat. Keadaan ini akan
menimbulkan kesluitan dalam menentukan kriteria diagnostik dimana seorang
penyandang RM harus diklasifikasikan.

Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,


termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar
belakang budayanya), dan hasil tes psikometrik.

Untuk diagnosis pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang


meningkatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan
sosial biasa sehari – hari. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi mental
mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua
keterampilannya. Oleh karena itu kategori diagnostik yang dipilih harus berdasarkan
penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu hendaya atau ketrampilan khusus.
Tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan seharusnya tidak ditetapkan
secara kaku dalam memandang keabsahan permasalahan lintas budaya (Elvira, 2010).

Diagnosis retardasi mental dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan


intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak
sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapakan. Diagnosis sendiri
tidak menyebutkan penyebab ataupun prognosisnya. Suatu riwayat psikiatrik adalah
berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan fungsi anak, dan
pemeriksaan stigma fisik, kelainan neurologis, dan tes laboratorium dapat digunakan
untuk memastikan penyebab dan prognosis (Kaplan, 2010).

a. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh,
dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, dan kelahiran.
Terdapat riwayat keluarga retardasi mental, hubungan darah pada orangtua, dan
gangguan herediter. Juga dapat menilai latar belakang sosiokultural pasien,
iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien (Kaplan, 2010).

b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah
sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan verbal
pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin
dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan
pasien dan dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien dan
pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat,
pengasuh dapat sebagai penerjemah.
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup dalam berbagai
bidang, dan mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai
pewawancara. Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan
pasien suatu penjelasan yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses
diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif yang memadai. Dukungan
dan pujian harus diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan usia dan
pengertian pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus dipastikan, dan bukti
klinis adanya distraktibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ingat harus
diperiksa. Pemakaian bahasa, tes realitas, dan kemampuan menggali dan
pengalaman penting untuk dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien
(menundukkan diri sendiri menggunakan penghindaran, represi, penyangkalan,
introyeksi, da isolasi) harus diamati. Potensi sublimasi, toleransi frustasi, dan
pengendalian impuls (terutama terhadap dorongan motorik, agresif, dan
seksual) harus dinilai. Juga penting adalah citra diri dan peranannya dalam
perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan, ketetapan hati,
keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang teretardasi harus
mengungkapkan bagaimana pasien mengalami stadium perkembangan. Dalam
hal kegagalan atau regresi, juga dapat mengembangkan sifat kepribadian yang
memungkinkan perencanaan logis dari penatalaksanaan dan pendekatan
pengobatan (Kaplan, 2010).

c. Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang sering
ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal.
Sebagai contoh, konfigurasi dan ukuran kepala memberikan petunjuk terhadap
berbagai kondisi seperti mikrosefali, hidrosefalus, dan sindroma Down. Wajah
pasien mungkin memiliki beberapa stigmata retardasi mental yang sangat
mempermudah diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah hipertelorisme, tulang
hidung yang datar, alis mata yang menonjol, lipatan epikantus, opasitas kornea,
perubahan retina yag letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang
menonjol, dan gangguan gigi geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai
bagian dari pemeriksaan klinis. Warna dan tekstur kulit dan rambut, palatum
dengan lengkung yang tinggi, ukuran kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan
batang tubuh dan ekstremitasnya adalah bidang lain yang digali. (Kaplan, 2010).
d. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai
contoh sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami gangguan
pendengaran empat kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Gangguan
sensorik dapat berupa gangguan pendengaran dan gangguan visual. Gangguan
pendengaran terentang dari ketulian kortikal sampai deficit pendengaran yang
ringan. Gangguan visual dapat terentang dari kebutaan sampai gangguan
konsep ruang, pengenalan rancangan, dan konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada
tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan gerakan
involunter (koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil ditemukan dalam
kelambanan dan koordinasi yang buruk (Kaplan, 2010).

e. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah
pemeriksaan urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik. Penentuan
kariotipe dalam laboratorium genetic diindikasikan bila dicurigai adanya
gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari
ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu,
telah berguna dalam diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi, terutama
Sindroma Down. Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di
atas 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi sampling)
adalah teknik skrining yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini
dilakukan pada usia kehamilan 8 dan 10 minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu
singkat (beberapa jam atau hari), dan jika kehamilan adalah abnormal,
keputusan untuk mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dalam trimester
pertama. Prosedur memiliki resiko keguguran antara 2 dan 5 persen (Kaplan,
2010).

f. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman,
adalah bagian standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Pemeriksaan
psikologis dilakukan untuk menilai kemampuan perceptual, motorik, linguistik,
dan kognititf. Informasi tentang factor motivasional, emosional, dan
interpersonal juga penting (Kaplan, 2010).

Menurut DSM V Gangguan fungsi intelektual, seperti pemikiran, pemecahan masalah,


perencanaan, pemikiran abstrak, pertimbangan, pembelajaran akademik, dan belajar dari
pengalaman, yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan inteligensi terstandarisasi klinis dan
individual. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif dalam 1 hal atau lebih yaitu :
komunikasi, self care, kehidupan rumah tangga, keterampilan sosial/interpersonal,
menggunakan sarana komunitas, mengarahkn diri sendiri, keterampilan akademis fungsional,
pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun.

4. KLASIFIKASI

Menurut PPDGJ-III dan DSM 5 retardasi mental dibagi menjadi (APA, 2013):

F70 Retardasi Mental Ringan

Bila menggunakan tes IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50 – 69


menunjukkan retardasi mental ringan.

Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai


tingkat, dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan
kemandirian dapat menetap sampai dewasa. Walaupun mengalami keterlambatan
dalam kemampuan bahasa, tapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan bicara
untuk keperluan sehari – hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam merawat
diri sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walaupun
tingkat perkembangannya agak lambat daripada normal.

Kesulitan utama biassanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat


akademis dan banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.

Etiologi organik hanya dapat diidentifikasikan pada sebagian kecil penderita.


Keadaan lain yang menyertai, seperti autisme, gangguan perkembangan lain, epilepsi,
gangguan tingkah laku, atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam berbagai proporsi.
Bila terdapat gangguan demikian, maka harus diberi kode diagnosis tersendiri.

F71 Retardasi Mental Sedang

IQ biasanya berada dalam rentang 35 – 49. Umumnya ada profil kesenjangan


dari kemampuan, beberapa dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam ketrampilan
visuo-spasial daripada tugas – tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang
lainnya sangat canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan
sederhana.

Tingkat perkembangan bahasa bervariasi, ada yang dapat mengikuti percakapan


sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan
dasar mereka.

Suatu etiologi organik dapat diidentifikasikan pada kebanyakan penyandang


retardasi mental sedang. Autisme masa kanak atau gangguan perkembangan pervasif
lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus, dan mempunyai pengaruh besar pada
gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan. Epilepsi, disabilitas
neurologik dan fisik juga lazim ditemukan meskipun kebanyakan penyandang retardasi
mental sedang mampu berjalan tanpa bantuan.

Kadang – kadang didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat


perkembangan bahasanya yang terbatas sehingga sulit menegakkan diagnosis dan harus
tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang mengenalnya. Setiap
gangguan penyerta harus diberi kode diagnosis tersendiri.

F72 Retardasi Mental Berat

IQ biasanya berada dalam rentang 20 – 34. Pada umumnya mirip dengan


retardasi mental sedang dalam hal :
- Gambaran klinis
- Terdapatnya etiologi organik
- Kondisi yang menyertainya
- Tingkat prestasi yang rendah
- Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan motorik
yang mencolok atau defisit lain yang menyertainya, menunjukkan adanya
kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari
susunan saraf pusat.
F73 Retardasi Mental Sangat Berat

IQ biasanya dibawah 20. Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas, hanya


mengerti perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana. Keterampilan
visuospasial yang paling dasar dan sederhana tentang memilih dan mencocokkan
mungkin dapat dicapainya dan dengan pengawasan dan petunjuk yang tepat, penderita
mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas praktis dan rumah tangga.

Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Biasanya
ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi mobilitas,
seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada gangguan
perkembangan pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme yang tidak khas
(atypical autism) terutam pada penderita yang dapat bergerak.

F78 Retardasi Mental Lainnya

Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan
memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang perilakunya
terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.

F79 Retardasi Mental YTT

Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.

5. PENATALAKSANAAN

Retardasi mental berhubungan dengan beberapa gangguan heterogen dan


berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah
pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan, 2010).
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan
gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk :
 Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat umum tentang retardasi mental.
 Usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga
dan memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat.
 Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang
optimal.
 Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan system
saraf pusat.
Konseling keluarga dan genetik membantu menurunkan insidensi
retardasi mental dalam keluarga dengan riwayat gangguan genetic yang
berhubungan dengan retardasi mental. Untuk anak-anak dan ibu dengan
sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan perinatal yang sesuai dan
berbagai program pelengakap dan bantuan pelayanan social dapat menolong
menekan komplikasi medis dan psikososial.

B. Pencegahan Sekunder dan Tersier


Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah
dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit
(pencegahan sekunder) dan untuk menekan sekuele atau kecacatan yang terjadi
setelahnya (pencegahan tersier).
Gangguan metabolik dan endokrin herediter, seperti PKU dan
hipotiroidisme, dapat diobati dalam stadium awal dengan control diet atau
dengan terapi penggantian hormone.
Anak retardasi mental seringkali memiliki kesulitan emosional dan
perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik. Kemampuan kognitif dan sosial
yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas terapi
psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan anak.
a. Pendidikan untuk anak
Lingkungan pendidikan untuk anak-anak dengan retardasi
mental harus termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan
keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan latihan kejujuran.
Perhatian khusus harus dipusatkan pada komunikasi dan usaha untuk
meningkatkan kualitas hidup. Terapi kelompok seringkali merupakan
format yang berhasil dimana anak-anak dengan retardasi mental dapat
belajar dan mempraktekkan situasi hidup nyata dan mendapatkan
umpan balik yang mendukung.

b. Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika


Kesulitan dalam beradaptasi di antara orang retardasi mental
adalah luas dan sangat bervariasi sehingga sejumlah intervensi sendiri
atau dalam kombinasi mungkin berguna.
Terapi perilaku telah digunakan selama bertahun-tahun untuk
membentuk dan meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengendalikan
dan menekan perilaku agresif dan destruksi pasien. Dorongan positif
untuk perilaku yang diharapkan dan memulai hukuman (seperti
mencabut hak istimewa) untuk perilaku yang tidak diinginkan telah
banyak menolong.
Terapi kognitif seperti menghilangkan keyakinan palsu dan
latihan relaksasi dengan instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan
untuk pasien retardasi mental yang mampu mengikuti instruksi pasien.
Terapi psikodinamika telah digunakan pada pasien retardasi
mental dan keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan
yang menyebabkan kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.

c. Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam pendidikan keluarga dari pasien
dengan retardasi mental adalah tentang cara meningkatkan kompetensi
dan harga diri sambil mempertahnkan harapan yang realistic untuk
pasien. Keluarga seringkali merasa sulit untuk menyeimbangkan antara
mendorong kemandirian dan memberikan lingkungan yang mengasuh
dan suportif bagi anak retardasi mental, yang kemungkinan mengalami
suatu tingkat penolakan dan kegagalan di luar konteks keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan manfaat dari konseling yang
terus-menerus datau terpai keluarga. Orang tua harus diberikan
kesempatan untuk mengekspresikan perasaan bersalah, putus asa,
kesedihan, penyangkalan yang terus-menerus timbul, dan kemarahan
tentang gangguan dan masa depan anak. Dokter psikiatrik harus siap
untuk memberikan semua informasi medis dasar dan terakhir tentang
penyebab, terapi, dan bidang lain yang berhubungan (seperti latihan
khusus dan perbaikna defek sensorik).

d. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terpai gangguan mental komorbid pada
pasien retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk
pasien yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data
yang mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk pasien dengan
gangguan mental yang tidak retardasi mental. Beberapa penelitian telah
memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk sindrom
perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental:

 Agresi dan perilaku melukai diri sendiri


o Beberapa bukti dari penelitian telah menyatakan bahwa
lithium (Eskalith) berguna dalam menurunkan agresi
dan perilaku melukai diri sendiri.
o Antagonis narkotik seperti naltrexone (Trexan) telah
dilaporkan menurunkan perilaku melukai diri sendiri
pada pasien retardasi mental yang juga memenuhi
kriteria diagnostik untuk gangguan austik infantile. Satu
hipotesis yang diajukan sebagai mekanisme kerja terapi
naltrexone adalah bahwa obat mempengaruhi pelepasan
opioid endogen yang dianggap berhubungan dengan
melukai diri sendiri.
o Carbamazepine (Tegretol) dan valproic acid (Depakene)
adalah medikasi yang juga bermanfaat pada beberapa
kasus perilaku melukai diri sendiri.
 Gerakan motorik stereotipik
Medikasi antipsikotik, seperti haloperidol (Haldol) dan
chlorpromazine (Thorazine), menurunkan perilaku stimulasi
diri yang berulang pada pasien retardasi mental, terapi medikasi
tersebut tidak meningkatkan perilaku adaptif. Beberapa anak
dan orang dewasa (sampai sepertiga) dengan retardasi mental
menghadapi resiko tinggi mengalami tardive dyskinesia dengan
pemakaian kontinu medikasi antipsikotik.
 Perilaku kemarahan eksplosif
Penhambat-β, seperti propranolol dan buspirone (BuSpar), telah
dilaporkan menyebabkan penurunan kemarahan ekspolasif di
antara pasien dengan retardasi mental dan gangguan autistik.
Penelitian sistematik diperlukan sebelum obat dapat ditetapkan
sebagai manjur.
 Gangguan defisit atensi/hiperaktivitas
Penelitian terapi methylphenidate pada pasien retardasi mental
ringan dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas telah
menunjukkan perbaikan bermakna dalam kemampuan
mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas. Penelitian
terapi metylphenidate tida menunjukkan bukti adanya perbaikan
jangka panjang dalam keterampilan sosial atau belajar.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam referat ini disimpulkan bahwa retardasi


mental merupakan suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu
kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan social yang dapat didiagnosis berdasarkan :

1. Fungsi intelektual dibawah rata – rata (IQ 70 atau kurang) yang telah diperiksa
secara individual.

2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (sama dengan kekurangan


individu untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari
lingkungan budayanya) dalam sedikitnya 2 hal, yaitu komunikasi, self-care,
kehidupan rumah-tangga, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana
komunitas, mengarahkan diri sendiri, ketrampilan akademis fungsional,
pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan

3. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun

Berdasatkan Panduan Pedoman Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi


mental diklasifikasikan menjadi retardasi mental ringan, retardasi mental sedang,
retardasi mental berat, retardasi mental sangat berat, retardasi mental lainnya, dan
retardasi mental yang tidak tergolongkan. Untuk penatalaksanaanya dibagi menjadi
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental


Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.
Washinton DC.
Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2010

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010

Salmiah S: Retardasi Mental. Departemen Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran


Gigi Univeritas Sumatera Utara, Medan, 2010

Anda mungkin juga menyukai