Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL READING

Determination of Central Corneal Thickness in Patients


with Refractive Anomalies and Emmetropy

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Pembimbing :
dr. Harka Prasetya, Sp. M.

Oleh :
Prasetyo Bhakti H.
12095981

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Oleh :

Prasetyo Bhakti H. 12095981

Journal Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
mengikuti ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang

Semarang, .... Maret 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Harka Prasetya, Sp. M.


Penentuan Tebal Kornea Sentral pada Pasien dengan
Anomali Refraktif dan Emmetropy

Mimoza Ismaili1,Gazmend Kaçaniku1,Kelmend Spahiu1,Gentian


Hoxha1,Наташа

Abstrak
Tujuan: Tujuan studi ini adalah untuk membandingkan pengukutan CCT
pada emmetropia dan pasien dengan anomaly refraktif. Metode: Kami
melakukan penelitian retrospektif yang diselenggarakan di University
Clinical Center of Kosovo (UCCK). Pada studi ini kami melibatkan 80
pasien, dibagi menjadi 2 kelompok: uji dan control. Rerata usia yaitu
(M=25.90, SD=7.16), laki-laki (N=41 atau 51.3%) dan perempuan (N=39
atau 48%). Hasil: Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada
CCT, Hiperopic (M=545.21 SD=52.24), Myopic (M=547.90 SD=47.93) dan
Emmetropik (M= 550.76 SD=41.29). Setelah menguku axis longitudinal dan
menganalisis data menggunakan Anova, hasil menunjukkan terdapat
perbedaa signifikan antar kelompok yang dianalisis (M = 21.99, DS = 1.27),
Myopics (M= 23.21, DS= 1.24), Emmetropic (M = 22.36, DS = 0.81). Hasil
juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara CCT dan IOP, dimana
peningkatan CCT menurunkan IOP, dan sebaliknya (r = -0.26, p=0.01).
Kesimpulan: Hasil menunjukkan bahwa CCT lebih tipis pada myopic
namun tidak menunjukkan hubungan dengan hipermetropik dan
emmetropik. Sedangkan selama pengukuran ketebalan kornea sentral dan
tekanan mata ditemukan bahwa terdapat korelasi negative diantara
mereka. Keratometri memiiki korelasi negative dengan CCT. Sedangkan
tidak terdapat korelasi antara CCT dan usia. Mengingat peran CCT dalam
menginterpretasi nilai IOP, direkomendasikan untuk dilakukan pengukuran
CCT sistematik pada praktik klinis rutin, yang dapat mempertepat diagnosis
hipertensi ocular.
Kata Kunci: ketebalan kornea, metode emas, Keratometri, Pachymetri
Singkatan:
VA: visual acuicity (ketajaman visual)
CCT: Central Corneal Thickness (ketebalan kornea sentral)
AL: Longitudinal axis of eye (axis longitudinal mata)
IOP: TIO
AVK: Average Corneal Curvatura (rerata kurvatura kornea)
Mean: rerata
Km: mean K
SD: standar deviasi

1. Pendahuluan

Penentuan ketebalan kornea telah mendapatkan relevansi dalam


beberapa tahun terakhir, sebagian karena meningkatnya minat dalam
penggunaan lensa kontak berkelanjutan, operasi refraktif, dan identifikasi
awal dari mereka yang memiliki risiko lebih tinggi untuk berkembang
menjadi glaukoma sudut terbuka primer. Karena semakin populernya
koreksi defek refraktif menggunakan laser excimer, ketebalan kornea
sentral (CCT) telah memiliki signifikansi prognostik yang lebih tinggi untuk
penentuan keberhasilan operasi dan kemungkinan komplikasi pasca-
bedah. Selain itu, kornea yang tipis mampu menyebabkan terlalu rendahnya
tekanan intraokular (IOP) sedangkan kornea yang tebal mengakibatkan
terlalu tingginya estimasi. Karena adanya hubungan antara ketebalan
kornea sentral (CCT) dan TIO, nilai CCT yang rendah dapat menyebabkan
keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan glaukoma yang pada
akhirnya dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan kebutaan. Oleh
karena itu pengetahuan tentang CCT dapat membantu untuk
menghubungkan kemungkinan perkembangan penyakit dan menetapkan
risiko, sehingga dapat mengubah keputusan manajemen klinis untuk
mencapai tekanan target yang bersifat individu tiap pasien. Studi empiris
menunjukkan faktor koreksi penyimpangan CCT untuk pembacaan IOP
applanation adalah 0,19-1 mm Hg per 10-m dari nilai rata-rata. Oleh karena
itu, pada individu dengan kornea tebal, pengukuran TIO dengan
menggunakan GAT dapat menunjukkan pembacaan yang sangat tinggi dan
pembacaan yang rendah untuk kornea yang tipis. Perangkat yang disebut
tonometer digunakan untuk mengukur TIO. Instrumen yang dianggap
sebagai "standar emas" oleh komunitas oftalmik, dan fokus dari penelitian
ini adalah Goldmann Applanation Tonometer ("GAT"). Kisaran normal dari
tekanan intraokular pada manusia adalah 10 - 20 mm Hg. Oleh karena itu,
pada individu dengan kornea tebal, pengukuran TIO dengan menggunakan
GAT dapat menunjukkan pembacaan sangat tinggi dan pembacaan rendah
untuk kornea tipis. Pengukuran TIO dengan tonometri applan didasarkan
pada prinsip Imbert-Fick, yang menyatakan bahwa gaya aplikasi yang
diperlukan dari permukaan bola sama dengan besar tekanan dalam bola
yang terisi cairan dan hal itu disebut applanar. Mata rabun dikaitkan dengan
peningkatan risiko glaukoma. Selain itu, kornea cenderung lebih tipis di
mata myopia. Kesalahan refraktif adalah masalah okular paling umum yang
mempengaruhi semua kelompok usia. Dalam banyak kasus, hasilnya tidak
meyakinkan dan terkadang bertentangan. Hasil dan tingkat keberhasilan
prosedur bedah refraktif bergantung pada keakuratan pengukuran
pachymetry. Biaya langsung dari kesalahan ini termasuk tinggi di
masyarakat yang memiliki banyak individu mengalami, yang meliputi koreksi
melalui kacamata. Kesalahan refraktif terjadi ketika ada kegagalan mata
untuk memfokuskan sinar cahaya dengan benar dari suatu benda ke bidang
retina. Gambar yang dihasilkan dirasakan oleh individu kabur, dan koreksi
refraksi diperlukan untuk melihat dengan jelas. Kesalahan refraksi dapat
dibagi menjadi miopia (rabun dekat atau rabun jauh), hiperopia (panjang
atau rabun jauh) dan astigmatisme (kornea yang tidak beraturan).
Kesalahan refraktif tidak dapat dicegah tetapi dapat dengan mudah
ditangani dengan kacamata mata korektif, lensa kontak atau dalam
beberapa kasus, operasi korektif Dalam penelitian ini akan meneiti
kemungkinan korelasi antara anomali refraktif, CCT, axis longitudinal mata
(AL), TIO, dan keratometri (K).
2. Subjek dan Metode

Penelitian ini adalah penelitian retrospektif. Itu dilakukan di UCCK dari


Republik Kosovo di Prishtina. Penelitian ini melibatkan 80 pasien yang
dibagi menjadi dua kelompok: mata dengan ketajaman visual normal (16),
dan mata dengan abnormalitas anomali refraksi (64), dalam periode waktu
dari Februari 2016 hingga Januari 2018. Responden dengan ketajaman
visual yang normal dipilih setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan yang
terperinci. Ada 80 peserta dalam penelitian ini, di antaranya (N = 41 atau
51,3%) adalah laki-laki dan (N = 39 atau 48,8%) adalah perempuan. Usia
rata-rata adalah (M = 25,90, SD = 7.16).
Setiap individu menandatangani formulir persetujuan sebelum
partisipasi, setelah menerima informasi tentang tujuan penelitian
Analisis Statistik
Data disajikan dengan mean ± standar deviasi (SD). Hubungan antara
CCT, kesalahan refraksi , keratometri, IOP dan AL diuji menggunakan
korelasi Pearson dan analisis regresi linier berganda. Satu mata dari
masing-masing peserta dipilih untuk analisis statistik, menggunakan
algoritma berikut: mata kanan dipilih di mana keduanya normal, jika tidak
mata memenuhi kriteria inklusi digunakan.

3. Desain Studi
3.1. Sampel Studi
Penelitian ini melibatkan total 80 pasien yang datang ke klinik,
sebagai kasus rawat jalan dengan gejala gangguan penglihatan,
lingkaran cahaya di sekitar lampu terang, sakit kepala, dan kekaburan.
Subjek berusia 18 hingga 38 tahun, dari daerah perkotaan dan
pedesaan. Setelah pemeriksaan awal mereka dilibatkan dalam
penelitian ini. Jumlah pasien ini dibagi menjadi kelompok uji (64 peserta)
dan kelompok kontrol (16 peserta).

Pasien dengan gejala di atas dimasukkan dalam kelompok uji,


sedangkan kelompok kontrol termasuk emmetropia yang tidak memiliki
gejala yang disebutkan di atas.
3.2. Kriteria Inklusi
Pasien dengan anomali refraksi yang belum pernah didiagnosis
sebelumnya; Pasien dengan anomali bias antara usia 18 dan 40 tahun
tanpa memandang jenis kelamin; Pasien dengan kebutuhan untuk
koreksi anomali refraktif, topografi kornea normal, peserta yang tidak
memiliki penyakit mata, peserta yang tidak memiliki intervensi operasi
mata.

3.3. Kriteria Eksklusi


Pasien dengan glaukoma dan prosedur bedah refraktif kornea
sebelumnya; pasien yang telah dikoreksi karena memiliki anomali
refraktif; pasien presbyopi; pasien dengan ambliopia, pasien dengan lesi
kornea, diabetes mellitus atau penyakit akut atau kronis lainnya yang
mungkin mempengaruhi ketebalan kornea dieksklusikan.

3.4. Pengumpulan Data


Semua subjek dalam kelompok uji dan kelompok kontrol diukur
ketebalan kornea sentralnya dengan pachymetri ultrasonografi (USG)
oleh teknisi oftalmik terlatih. Pengukuran pymymetry yang
didokumentasikan untuk setiap mata adalah rata-rata dari 3 pengukuran
yang diambil per mata.

Pachymetry ultrasonik dilakukan pada semua pasien dengan


anestesi topikal tetracaine (1%), sementara ketajaman penglihatan
diperiksa menggunakan Snellen chart. Dalam kasus anomali refraktif,
sikloplegik digunakan dengan 3 tetes cyclopentolate 1% (Cyclogyl) yang
diberikan 5 menit secara terpisah. Setelah 40 menit refraksi subjektif
diukur menggunakan autorefractometer. Selama pengukuran, subjek
diposisikan dengan dagunya di cekungan dan dahi menempel pada ikat
kepala. Para responden diminta untuk melihat fokus, fokus otomatis dari
pusat kornea. Pengukuran dilakukan secara otomatis ketika fokus
tercapai. Anomali refraktif dihitung dalam satuan dioptri (D), pengukuran
sumbu optik menggunakan ultrasonografi pemindaian B, dan penentuan
keratometri menggunakan keratorefractometer. Tiga pengukuran
diambil dan nilai rata-rata untuk kurva kornea vertikal dan horizontal
dicatat di sepanjang meridian yang sesuai. Rata-rata dari kedua nilai
dihitung sebagai AVK. Pengukuran TIO dilakukan dengan tonometri
applanation Goldmann, pemeriksaan oftalmik segmen anterior dan
posterior dengan slit lamp biomycroscopy, dan pemeriksaan fundus
menggunakan ophthalcopy secara tidak langsung dengan lensa Volk
Superfield 90D.

Untuk pachymetry, subjek duduk dengan nyaman dengan kepala


tegak dan mata pada posisi pandangan utama. Probe disterilkan
dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Dengan menggunakan
anestesi topikal dengan teacracain (1%), probe diletakkan dengan hati-
hati agar tegak lurus dan mudah diaplikasikan pada kornea. Setidaknya
terdapat tiga bacaan yang diambil dan rata-rata dihitung sebagai CCT
yang diukur.

4. Hasil

Telah digunakan analisis korelasi untuk melihat hubungan antara


variabel dan One Way Anova untuk membandingkan kelompok.

Ada 80 peserta dalam penelitian ini, di antaranya (N = 41% atau 51,3%)


adalah laki-laki dan (N = 39% atau 48,8%) adalah perempuan. Usia rata-
rata adalah (M = 25,90, SD = 7.16). Jumlah pasien ini dibagi menjadi
kelompok uji (64 peserta) dan kelompok kontrol (16 peserta). Pada
kelompok uji ada 29 myopia dan 35 hyperopic. Sedangkan pada kelompok
kontrol 16 emmetropia (lihat Tabel 1). Untuk memahami perkembangan
yang lebih baik dari berbagai parameter pada mata dan interaksinya, kami
telah melihat nilai deskriptifnya (lihat Tabel 2.

Statistik deskriptif seperti usia, kelengkungan kornea rata-rata,


tonometri applanasi Goldmann, ketajaman visual dan ketebalan kornea
sentral disajikan pada Tabel 2.

CCT terendah adalah (Min = 295.0), sedangkan tingkat ketebalan


kornea tertinggi adalah (Max = 643.0). Juga ditentukan CCT dan parameter
okular lainnya, rata-rata CCT adalah (M = 547.21, SD = 48.93), Km adalah
(M = 42.38, SD = 1.97). Para responden melaporkan nilai TIO yang berbeda,
ketika tingkat yang lebih rendah dari itu (Min = 9,00) dan tingkat yang lebih
tinggi atau maksimum adalah (Maks = 29,00). Di sisi lain rata-rata TIO pada
semua responden adalah (M = 15,05, SD = 3,99), (Tabel 2).

Ada korelasi negatif antara CCT dan AVK (r = −0,24, p = 0,03), yang
menunjukkan kepada kita bahwa peningkatan CCT dikaitkan dengan
penurunan AVK. Di sisi lain, terdapat korelasi positif antara AL dan AVK (r
= 0,20, p = 0,04), yang berarti peningkatan AL terkait dengan peningkatan
AVK. Pada kondisiyang sama tidak terdapat korelasi antara AL dan IOP (r
= −0,09, p = ns). Hasil ini menunjukkan juga bahwa ada korelasi negatif
antara CCT dan IOP (r = −0,26, p = 0,01) (lihat Tabel 3).

Ketika kami menganalisis anomali refraktif, CCT, AL, IOP, hasil kami
menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara peserta dengan myopia
dan CCT (r = −0.41, p = 0,01), yang berarti bahwa peningkatan CCT terkait
dengan penurunan miopi kepada pasien. Pada saat yang sama kami
menganalisis korelasi CCT dengan partisipan hyperopic, dan kami
menemukan bahwa tidak ada korelasi di antara mereka (r = 0,02, p = 0,91)
serta tidak ada korelasi antara CCT dan peserta emmetrop, (r = - 0,22, p =
0,44). Parameter okular lainnya menunjukkan korelasi yang berbeda. Ada
korelasi positif antara TIO dan miopi (r = 0,46, p = 0,01) dan korelasi negatif
antara emmetropik dan TIO (r = -0,58, p = 0,05). Hasil kami menunjukkan
korelasi positif antara responden dengan myopias dan ketajaman visual (r =
0,32, p = 0,05). Ketajaman visual juga memiliki korelasi positif dengan
responden emmetropik (r = 0,58, p = 0,03), lihat Tabel 4.

Untuk lebih memahami interaksi antara parameter biometrik yang


berbeda, maka dilakukan analisis regresi.

Hasil yang dilaporkan menemukan bahwa CCT adalah prediktor negatif


pada IOP (β = −0.26, p = 0,01), tetapi CCT tidak berpengaruh pada VA (β =
−0,11, p = 0,33) (lihat Tabel 5).
Dalam follow up dari berbagai analisis, kami telah melihat perbedaan
antara parameter biometrik dan CCT yang berbeda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara anomali refraktif dan CCT
dengan menolak hipotesis F kami (2, 78) = 0,09, p = ns (menggunakan
analisis One Way Anova). Dari nilai rata-rata CCT adalah sebagai berikut;
untuk miopia (CCT = 547.90, DS = 47.93), untuk hyperopia (CCT = 545.21,
DS = 52.24) dan emmetropic (CCT = 550.75, DS = 41.29).

Pada Gambar 1, dijelaskan perbedaan TIO antara kelompok umur yang


berbeda. Ketika mean TIO dianalisis berdasarkan kelompok usia, ditemukan
bahwa peserta antara 16 - 20 tahun memiliki rerata TIO (Mean = 13,84), 21
- 25 tahun (M = 14,61), 26 - 32 tahun (M = 14,68) dan mereka yang antara
33 - 38 tahun (M = 16,84). Bertambahnya usia dikaitkan dengan
peningkatan nilai rata-rata TIO.

5. Diskusi

CCT tampaknya bervariasi di berbagai ras. Hal ini sebelumnya telah


dilaporkan oleh penelitian lain. Namun, Suzuki telah menemukan korelasi
negatif yang lemah antara CCT dan kesalahan refraktif pada pria, tetapi
tidak pada wanita (CCT lebih tinggi di myopia daripada mata emmetropic
pada pria).

Nomura juga melaporkan nilai CCT lebih tinggi dalam miopia sedang
daripada di emmetropik dan hyperopic; prevalensi miopia meningkat di
antara populasi asal Asia Timur. Dengan meningkatnya tingkat miopia,
operasi refraksi seperti laser in situ keratomileusis (LASIK) telah menjadi
metode yang populer di Asia. Ketika melakukan operasi tersebut untuk
miopia benar, CCT merupakan pertimbangan penting untuk mencegah
kornea menjadi terlalu tipis setelah treatment. Biasanya, nilai cut off
pachymetry untuk bedah refraktif dinyatakn aman jika sudah lebih tipis dari
500 um.

Hubungan antara CCT dan kesalahan refraktif masih kontroversial. Li


Jinghai melaporkan ada korelasi negatif antara CCT dan kesalahan bias.
Chang menyatakan tidak ada korelasi antara CCT dan tipe kesalahan
refraktif. Ketebalan kornea sentral pada miopia berkurang dengan
meningkatnya anomali refraktif. Namun, Zhang Shisheng menyatakan ada
korelasi positif antara CCT dan kesalahan refraktif, tetapi Liu Z, menyatakan
tidak ada hubungan yang signifikan antara CCT dan kesalahan refraktif.
Bradfield melaporkan bahwa untuk setiap derajat peningkatan kesalahan
refraksi miopia, CCT akan 1 μm lebih tipis dari rata-rata. Menurut Michael
Mimouni, CCT berkaitan dengan derajat miopia pada orang dewasa yang
akan menjalani operasi refraktif.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara


responden dengan miopi dan CCT (r = −0,41, p = 0,01), yang berarti bahwa
peningkatan CCT dikaitkan dengan penurunan miopi kepada responden.
Sementara antara CCT dan partisipan hyperopic tidak memiliki korelasi (r =
0,02, p = 0,91) serta tidak ada korelasi antara CCT dan peserta
emmentropik (r = .20,22, p = 0,44).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam CCT


antara emmentropik dan anomali refraksi, sehingga menolak hipotesis F
kami (2, 78) = 0,09, p = ns (menggunakan analisis One Way Anova). Nilai
rata-rata CCT untuk miopia (CCT = 547.90, DS = 47.93), untuk hyperopia
(CCT = 545.21, DS = 52.24) dan emmetropic (CCT = 550.75, DS = 41.29).

Dalam follow up dari berbagai analisis, kami telah melihat perbedaan


antara berbagai parameter mata dan ketebalan kornea sentral.

Menurut penelitian oleh Lekskul M, CCT yang lebih besar dikaitkan


dengan tekanan intraokular yang lebih tinggi, peningkatan tekanan
intraokular akan meningkatkan signifikansi CCT 1,4 mikrom secara statistik.
Hasil kami menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara CCT dan IOP (r
= −0,26, p = 0,01). Kami juga telah menemukan korelasi negatif antara CCT
dan IOP, di mana peningkatan CCT dikaitkan dengan penurunan TIO dan
sebaliknya. Pada kondisi yang sama, hasil yang dilaporkan menunjukkan
bahwa CCT adalah prediktor negatif dari IOP (β = −2.40, p = 0,01).

Studi melaporkan bahwa hubungan antara CCT dan usia tidak


signifikan secara statistik.

Rata-rata CCT usia 20-39 tahun secara signifikan lebih tebal daripada
kelompok usia 60-69 tahun dan 70-79 tahun. Tren umum adalah penurunan
CCT pada kelompok usia yang lebih tua. Hasil ini konsisten dengan
penelitian Wong dan Hawker, yang melaporkan korelasi negatif antara CCT
dan usia. Dari penelitian tersebut, diprediksikan terdapat penurunan CCT
sekitar 5,0 μm untuk setiap peningkatan usia 10 tahun, dan ini sangat mirip
dengan yang diperoleh dalam penelitian ini. Perubahan CCT seiring
bertambahnya usia dapat dikaitkan dengan perubahan sifat biomekanik
struktural kornea yang terjadi seiring bertambahnya usia.

Dalam penelitian kami tidak ada korelasi yang ditemukan antara CCT
dan usia. Berbeda dengan hasil penelitian lain karena kelompok usia
responden yang berbeda (18-40). Menurut penelitian yang dilakukan di
Saudi, ditemukan bahwa nilai CCT telah menurun dengan bertambahnya
usia. Jadi, hasil ini konsisten dengan temuan Hahn sebelumnya, yang
menyatakan bahwa subjek yang lebih tua memiliki nilai CCT yang lebih
rendah dibandingkan dengan peserta yang lebih muda. Studi lain yang
dilakukan di Prasad A, usia dan kelainan refraksi tidak mempengaruhi CCT.

Tetapi menurut Solo T, tidak ada korelasi yang ditemukan antara CCT
dan usia maupun jenis kelamin.

Didukung oleh penelitian oleh Afnan H. Alqurashi, perbedaan gender


tidak memberikan hasil signifikan. Demikian pula, menurut Gelawet, mereka
bertentangan dengan beberapa temuan sebelumnya di mana rata-rata lebih
tinggi pada laki-laki daripada perempuan, sedangkan menurut Hahn, tidak
ada perbedaan signifikan. Menurut studi Hashman N, mereka menunjukkan
bahwa laki-laki memiliki kornea kulit yang secara signifikan lebih kecil
daripada perempuan. Ditambahkan menurut M.Michael, CCT tidak
menunjukkan perbedaan gender.

Hubungan yang signifikan secara statistik belum ditemukan antara


ketebalan kornea sentral dan VA menurut Lleo A. Juga, hasil ini
menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara CCT dan VA.
Dalam studi novis Nigeria untuk menentukan korelasi antara CCT dan
AL, telah ditemukan bahwa analisis regresi menunjukkan tren terbalik dalam
hubungan antara CCT dan AL meskipun tidak signifikan secara statistik.
Tampaknya tidak ada konsensus mengenai hubungan antara CCT dan
panjang aksial. Berdasarkan penelitian Chej MJ, tidak ada hubungan antara
CCT dan panjang aksial.

Sementara itu, hasil kami menunjukkan hal yang sama — bahwa tidak
ada korelasi antara CCT dan AL.

Hubungan antara CCT dan keratometri diselidiki dalam beberapa


penelitian sebelumnya. Shimmyo dan studi Tajimi melaporkan bahwa CCT
berkorelasi positif dengan keratometri pada tahun 1976 orang Amerika dan
2868 orang Jepang. Korelasi yang lemah antara CCT dan keratometri juga
ditunjukkan dalam penelitian Suzu dan Tong yang disebutkan sebelumnya.
Sebaliknya, Eyesteinsson melaporkan tidak ada korelasi antara CCT dan
nilai keratometri pada 925 Kaukasian. Temuan serupa juga ditemukan di
Chang, Fam serta Cho dan Lam yang disebutkan sebelumna. Banyak
perbedaan dalam penelitian yang dilakukan dijelaskan oleh berbagai
metodologi bahwa dengan penurunan nilai rata-rata kesalahan refraktif, nilai
KM rata-rata meningkat pada kelompok miopia. Sementara korelasi negatif
ditemukan antara CCT dan keratometri menurut Kadhim YJ. Hubungan
antara nilai CCT dan Keratometry memiliki korelasi negatif antara nilai CCT
dan Km (r = −0.24, p = 0,03), yang menunjukkan kepada kita bahwa
pertumbuhan CCT dikaitkan dengan penurunan Keratometry.
Tabel 1. Data demografi

Tabel 2. Data Deskriptif

Tabel 3. Analisis korelasi Pearson dari parameter okular


Tabel 4. Korelasi antara anomaly refraktif dan parameter biometric lain pada
mata

Tabel 5. Regresli Multipel CCT sebagai predictor pada ketajaman


visual dan TIO

Gambar 1. Perbedaan IOP antara kelompok usia yang berbeda. antara 16


- 20 tahun memiliki rerata TIO (Mean = 13,84), 21 - 25 tahun (M = 14,61),
26 - 32 tahun (M = 14,68) dan mereka yang antara 33 - 38 tahun (M = 16,84).

Anda mungkin juga menyukai