Anda di halaman 1dari 123

BREVET AB TERPADU

PAJAK PENGHASILAN
ORANG PRIBADI

BREVET PAJAK AB TERPADU


IKATAN AKUNTAN
INDONESIA ( IAI )
2017 1
PROFILE
PROFILE

Nama : Amri Utama SE.,MM


Tpt/Tgl.lahir : Lubuk Linggau/ 17-08-1977
Pendidikan Dinas : STAN Lulus 1997
Alamat : Jl. Angkatan 66 Lr. Rajawali 1 No. 2005 A
Palembang
Kantor Dinas : KPP Palembang Utara 1997 - 2002
KPP Palembang Ilir Barat 2002 - 2007
KPP Madya Palembang 2007- 2010
KPP Pratama Sekayu 2010 - 2013
KPP Pratama Kayu Agung 2013 - 2015
Kanwil DJP Sumsel Babel 2015 – Sekarang

Diluar Kedinasan : Instruktur di IAI Sumsel


Politeknik Sriwijaya Palembang
Politeknik Keuangan Negara (STAN) Palembang
Dilpolma III fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya

Blog: : https://amriutama.blogspot.co.id
No. HP : 081367226655
2
DASAR HUKUM

UU No. 7 TAHUN 1983 TENTANG


PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH
TERAKHIR DENGAN
UU No. 36 TAHUN 2008

• PERATURAN PEMERINTAH
• PERATURAN MENKEU
• PERATURAN DIRJEN PAJAK

3
PAJAK PENGHASILAN (PPh)
Pasal 1

ADALAH

PAJAK YANG DIKENAKAN TERHADAP SUBJEK PAJAK


ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEHNYA
DALAM TAHUN PAJAK

4
SUBJEK PAJAK
Pasal 2 ayat (1)

- ORANG PRIBADI

- WARISAN YG BELUM TERBAGI

BADAN

BENTUK USAHA TETAP (BUT)

5
SUBJEK PAJAK
Pasal 2 ayat (2)

SUBJEK PAJAK

DALAM NEGERI LUAR NEGERI

6
SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI
Pasal 2 ayat (3)

ORANG PRIBADI :
- BERTEMPAT TINGGAL / BERADA DI INDONESIA
LEBIH DARI 183 HARI DLM 12 BULAN; ATAU
- DALAM SUATU TAHUN PAJAK BERADA DI
INDONESIA DAN MEMPUNYAI NIAT BERTEMPAT
TINGGAL DI INDONESIA

BADAN
YANG DIDIRIKAN ATAU BERTEMPAT KEDUDUKAN DI
INDONESIA

WARISAN YANG BELUM TERBAGI

7
SUBJEK PAJAK
LUAR NEGERI
Pasal 2 ayat (3)

ORANG PRIBADI :
- BERTEMPAT TINGGAL / BERADA DI INDONESIA
KURANG DARI 183 HARI DLM 12 BULAN; ATAU
- TIDAK TINGGAL DI INDONESIA
- TIDAK BERNIAT TINGGAL DI INDONESIA

BADAN ASING YANG MEMPEROLEH PENGHASILAN


DARI INDONESIA

8
Bentuk Usaha Tetap Bagi OP
SPLN
 Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

a. tempat kedudukan manajemen;


b. Cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;

9
Perlakuan Perpajakan Bentuk
Usaha Tetap
 Yang menjadi Objek Pajak BUT Adalah :
1. Penghasilan dari usaha dan atau kegiatan BUT tsb dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai. (ATTRIBUTION INCOME)
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha, atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis yang
dilakukan oleh BUT di Indonesia. (FORCE OF ATTRACTION
INCOME)
3. Penghasilan sebagaimana dalam pasal 26 yang diterima atau
diperoleh oleh Kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif
antara BUT dengan harta atau kegiatan yamg memberikan
penghasilan dimaksud. (EFFECTIVELY CONNECTED INCOME)
 Pengurangan Biaya
 Dikenakan Tarif Pasal 17 UU PPh

10
Non subjek PPh OP
 Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut,
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

 Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c UU PPh, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

11
Warisan Belum Terbagi
 Ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai SPDN

 Warisan yg belum terbagi mengikuti status pewaris,(memakai NPWP


pewaris)

 Kewajiban pajak subjektif, dimulai sejak timbulnya warisan dan berakhir


saat warisan selesai dibagikan.
 Warisan yang belum terbagi yang ditinggal oleh WP OP SPLN yang
tidak menjalankan kegiatan melalui BUT di Indonesia

12
OBJEK PAJAK
Pasal 4 ayat (1)

PENGHASILAN

- Setiap tambahan kemampuan ekonomis

- Diterima atau diperoleh Wajib Pajak,

- Berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

- Dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan


Wajib Pajak,

DENGAN NAMA DAN DALAM


BENTUK APAPUN

13
PENGHASILAN

OBYEK
PAJAK
DIBAYAR Tahun Berjalan =
SENDIRI Kredit Pajak.
Pada akhir tahun
PPh Dihit. kembali
Tidak FINAL
atas seluruh
(Pasal 4 ayat 1) pengghasilan
PEMOTONGAN
setahun.

DIBAYAR
SENDIRI
Th Berjalan =
FINAL Pelunasan Pajak
(Pasal 4 ayat 2)
PEMOTONGAN

BUKAN OBJEK PAJAK


(Pasal 4 ayat 3)
14
Pengelompokan Jenis
Penghasilan

Penghasilan Dalam
Negeri

Penghasilan Luar
Negeri
15
Sumber Penghasilan DN
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada
Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
 penghasilan dari usaha dan kegiatan misal usaha dagang , jasa
 pekerjaan bebas yaitu orang pribadi yang mempunyai keahlian
khusus misal praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;
 penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji,
honorarium, penghasilan
 penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak
gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan
penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha;
dan
 penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

16
Penghasilan Luar Negeri

 UU PPh menganut prinsip Worldwide Incme maka:


 penghasilan yang berasal dari luar negeri dengan nama
dan dalam bentuk apa pun harus dilaporkan di
Indonesia.

17
Penghasilan yang menjadi objek PPh :

Penghasilan yang merupakan objek Pajak :


 Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh
 hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
 laba usaha;
 keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya;

18
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

19
 penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
 bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
 dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
 royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
 sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
 keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
 keuntungan selisih kurs mata uang asing;
 selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

20
 premi asuransi;
 iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
 tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
 penghasilan dari usaha berbasis syariah;
 imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
 surplus Bank Indonesia.

21
Obyek PPh Final
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
 penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
 penghasilan berupa hadiah undian;
 penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diterima oleh perusahaan modal ventura;
 penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan; dan
 penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

22
Karakteristik Obyek PPh Final

Tidak perlu digabung dengan


Penghasilan Non Final

Tidak dapat dikreditkan

Biaya tidak dapat


dikurangkan

23
PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA
TELAH DIATUR DGN PERATURAN PEMERINTAH (PP)

1. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN AHAM DI BURSA EFEK


( PP No. 41 TAHUN 1994 sttd PP No. 14 TAHUN 1997)

2. PENGHASILAN DARI HADIAH UNDIAN ( PP No. 132 TAHUN 2000)

3. PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU


BANGUNAN (PP No. 48 TAHUN 1994 sttd PP No.71 TAHUN 2008)

4. PENGHASILAN DARI BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA


DISKONTO SBI ( PP No. 131 TAHUN 2000 jo KMK No.51/KMK.04/2001)

5. PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN


( PP No. 29 TAHUN 1996 sttd PP No 5 tahun 2002)

6. PENGHASILAN BERUPA OBLIGASI ( PP No. 16 tahun 2009)

7. PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI


( PP No. 51 TAHUN 2008 sttd PP 40 Tahun 2009)
24
PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA
TELAH DIATUR DGN PERATURAN PEMERINTAH (PP)

8. PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH


WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI (PP No 19 tahun 2009)

9. PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF


BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
(PP No 17 tahun 2009)

10. PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH


KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI
(PP No 15 tahun 2009)

11. PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAN NEGARA (


(PP No 27 tahun 2008)

25
Bukan Obyek Pajak
a. Pasal 4 ayat 3:
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

26
Bukan Obyek Pajak
b. warisan;
c. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan
khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
PPh;
d. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

27
Bukan Obyek Pajak

h. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan


komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya


diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;

m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

28
Beasiswa yang merupakan
bukan obyek PPh
 Penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara
Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan
formal dan/atau pendididikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri
dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
 Pendidikan formal yang dimaksud adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
 Pendidikan nonformal yang dimaksud adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
 Ketentuan tsb tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan
istimewa dengan : 1) Pemilik; 2) Komisaris; 3) Direksi; atau 4) Pengurus, dari
Wajib Pajak pemberi beasiswa.
 Komponen beasiswa tsb terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah
(tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang
diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai
dengan daerah lokasi tempat belajar.

29
Penghitungan Penghasilan Neto

Biaya2/
Ph Bruto Norma
Ph. Netto
Penghitungan

30
Penghitungan Penghasilan Neto

 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan


usaha atau pekerjaan bebas
 Peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
 dengan syarat memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan

31
Norma Perhitungan Penghasilan
Neto
 Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan
pencatatan
 Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

32
Pembukuan dan Pencatatan
 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia
wajib menyelenggarakan pembukuan
 Dikecualikan dari kewajiban pembukuan :
 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
(Omzet Max 4,8 M/Thn)
 Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

33
Pembukuan dan Pencatatan
 Pembukuan atau pencatatan tersebut harus
diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik
dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.
 Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan.
 Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas
dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas

34
Pembukuan dan Pencatatan
 Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan
mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan
biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
 Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto
dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang
dikenai pajak yang bersifat final.

35
Penyimpanan Dokumen

 Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi


dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di
Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau
tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi,
atau di tempat kedudukan Wajib Pajak
badan.

36
Pencatatan
 Pencatatan harus diselenggarakan secara
teratur dan mencerminkan keadaan yang
sebenarnya dengan menggunakan huruf
latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan disusun dalam bahasa Indonesia.
 Pencatatan dalam satu tahun harus
diselenggarakan secara kronologis.
 Catatan dan dokumen yang menjadi dasar
pencatatan harus disimpan di tempat tinggal
Wajib Pajak selama 10 (sepuluh)

37
Pencatatan
 Pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan
secara kronologis
 Pencatatan harus dapat menggambarkan antara lain:
1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau
diperoleh;
2) Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
 Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis
usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat
menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis
usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
 Wajib Pajak Orang pribadi juga harus menyelenggarakan
pencatatan atas harta dan kewajiban.

38
Penentuan PTKP

 Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan


keadaan pada awal tahun kalender.
 Untuk subyek pajak yang baru datang
dan menetap di Indonesia dalam bagian
tahun kalender ditentukan berdasarkan
keadaan pada awal bulan dari bagian
tahun kalender yang bersangkutan.

39
Penentuan PTKP

 Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan


keadaan pada awal tahun kalender.
 Untuk subyek pajak yang baru datang
dan menetap di Indonesia dalam bagian
tahun kalender ditentukan berdasarkan
keadaan pada awal bulan dari bagian
tahun kalender yang bersangkutan.

40
Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP)
Mulai 1 Januari Mulai 1 Januari
Kondisi 2015 2016

Untuk Diri Wajib Pajak Orang Pribadi 36.000.000 54.000.000

Tambahan Untuk Wajib Pajak Kawin 3.000.000


4.5.000.000
Tambahan Untuk Seorang Istri Yang 36.000.000 54.000.000
Penghasilannya Digabung Dengan
Penghasilan Suami
Tambahan Untuk Setiap Anggota 3.000.000 5.000.000
Keluarga Sedarah dan Keluarga
Semenda Dalam Garis Lurus Serta
Anak Angkat Yang menjadi
Tanggungan Sepenuhnya, Paling
Banyak 3 Orang Untuk Setiap
Keluarga 41
Status PTKP/ batas sini.....
Mulai 1 Januari Mulai 1 Januari
WP Tidak Kawin Kode
2013 2015
0 Tanggungan TK/0 24.300.000 36.000.000
1 Tanggungan TK/1 26.325.000 39.000.000
2 Tanggungan TK/2 28.350.000 42.000.000
3 Tanggungan TK/3 30.375.000 45.000.000

Mulai 1 Januari Mulai 1 Januari


WP Kawin Kode
2013 2015
0 Tanggungan K/0 26.325.000 39.000.000
1 Tanggungan K/1 28.350.000 42.000.000
2 Tanggungan K/2 30.375.000 45.000.000
3 Tanggungan K/3 32.400.000 48.000.000
42
Status PTKP (Lanjutan)

WP Kawin +
Mulai Mulai
Penghasilan Istri Kode
1 Januari 2013 1 Januari 2015
Digabung
0 Tanggungan K/I/0 50.625.000 75.000.000
1 Tanggungan K/I/1 52.650.000 78.000.000
2 Tanggungan K/I/2 54.675.000 81.000.000
3 Tanggungan K/I/3 56.700.000 84.000.000

• Pasal 7 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 s.t.t.d. UU No. 36 Tahun 2008
• Pasal 1 PMK 122/pmk.010/2015
43
hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan atau kesamping satu derajat.
- Ayah - Mertua
- Ibu - Anak Tiri
- Anak
- Anak Angkat
Sedarah Kakak/Adik Ipar Semenda

44
Contoh perhitungan ptkp:

1. Joni buka usaha sejak tahun 2015, baru


menikah tgl 12 Juni 2016, maka status
PTKP Joni di tahun 2016 adalah:
TK/0
2. Joni buka usaha sejak tahun 2010,
menanggung adik kandung dan ibunya
(Pensiunan) memiliki 2 orang akan
PTKP Joni di tahun 2016 adalah:
3. K/2
45
Contoh perhitungan ptkp:

1. Joni buka usaha sejak tahun 2015,


mempunyai 2 orang anak yang berusia
2 tahun dan anak kedua lahir tgl 2
Januari 2016, maka status PTKP Joni di
tahun 2016 adalah:
K/1

46
Penghasilan Keluarga
 Sistem pengenaan pajak berdasarkan UU PPh
menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan
ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu
kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.

 Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban


pajak tersebut dilakukan secara terpisah.

47
PENGHASILAN ATAU KERUGIAN BAGI WANITA KAWIN
Pasal 8 ayat (1)

PENGHASILAN ATAU KERUGIAN BAGI WANITA YANG TELAH KAWIN

DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN ATAU


KERUGIAN SUAMINYA

KECUALI
1. PENGHASILAN TSB SEMATA-MATA DITERIMA ATAU DIPEROLEH
DARI SATU PEMBERI KERJA YG TELAH DIPOTONG PPh PASAL 21,
DAN
2. PEKERJAAN TSB TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN USAHA
ATAU PEKERJAAN BEBAS SUAMI ATAU ANGGOTA KELUARGA
LAINNYA

48
Pemisahan Penghasilan
Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah
apabila :
 suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan
hakim;
 dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
 dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.

49
Penghasilan Anak
 Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber
penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung
dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

 Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak


yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah.
 Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah
berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan
pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya
berdasarkan keadaan sebenarnya.

50
Tarif PPh WP Orang Pribadi
No Lapisan Penghasilan Kena Pajak (Rp) Tarif

1 sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima 5%


puluh juta rupiah)
2 di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta 15%
rupiah) sampai dengan
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah)
3 di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima 25%
puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
4 di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta 30%
rupiah)

51
Perhitungan PPh WP
Orang Pribadi

BREVET AB TERPADU IAI

52
Type WP Orang Pribadi
 WP Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/
pekerjaan bebas.
 Pegawai Negeri Sipil/TNI/ABRI
 Pegawai Swasta
 Pensiunan

 WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha, misalnya :


 Dagang
 Bidang Jasa
 Industri / Manufaktur

 WP Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan Bebas, misalnya :


 Pengacara, Akuntan , Dokter, Notaris, Aktuaris, Konsultan

53
Norma Perhitungan Penghasilan
Neto
 Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan
pencatatan
 Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

54
PENYESUAIAN BATAS PENGGUNAAN NORMA
PERHITUNGAN BAGI WP ORANG PRIBADI DN.
( Pasal 14 UNDANG-UNDANG No. 36 Tahun 2008-PPh)

1. MULAI TAHUN PAJAK 2009, WP ORANG PRIBADI DN, YANG


DIPERKENANKAN MENGHITUNG PENGHASILAN NETO UNTUK
MENDAPATKAN BESARNYA PAJAK TERUTANG, DITINGKATKAN
DARI PEREDARAN/PENGHASILAN BRUTO Rp 600.000.000.
MENJADI Rp 4.800.000.000.- (EMPAT MILYAR DELAPAN RATUS
JUTA) SETAHUN.

2. PENGHASILAN NETO YANG TELAH DIHITUNG DENGAN NORMA


PERHITUNGAN TSB, HANYA DAPAT DIKURANGKAN DENGAN
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP), SESUAI DENGAN
KONDISI WP (TK, K/0, K/1, K/2, ATAU K/3).

55
3. WAJIB PAJAK YANG AKAN MENGGUNAKAN NORMA PERHITUNGAN DIMAKSUD HARUS MEMBERITAHUKAN
KE KANTOR PELAYANAN PAJAK SETEMPAT DALAM TEMPO 3 (TIGA) BULAN PERTAMA DARI TAHUN PAJAK
YANG BERSANGKUTAN, ( CONTOH UNTUK TAHUN PAJAK 2009 SELAMBAT-LAMBATNYA TGL 31 MARET 2009)

4. KEPADA WP MASIH DIWAJIBKAN UNTUK MENYELENGGARAKAN PENCATATAN OMZET/PEREDARAN/PENG


HASILAN BRUTONYA GUNA DILAMPIRKAN PADA PENYAMPAIAN SPT TAHUNANNYA.( BUKAN PEMBUKUAN )

5. CONTOH PENERAPAN NORMA PERHITUNGAN :


TUAN DARNOTO ( STATUS K/3 ) MEMILIKI USAHA BENGKEL MOBIL DI JALAN IKAN GURAMI 27 JAKARTA
UTARA, PENERIMAAN BRUTO BENGKEL TAHUN 2009 BESARNYA Rp 1 . 650 . 000.000.
MISALNYA NORMA PERHITUNGAN BERDASARKAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PAJAK UNTUK USAHA
BENGKEL DIDAERAH TERSEBUT 8% ( DELAPAN PROSEN ) .
PENGHASILAN NETO = 8% x Rp 1.650.000.000. = Rp 132 . 000.000.
PENGURANGAN PTKP DENGAN STATUS ( K/3 ) = Rp 21. 120.000.
PENGHASILAN KENA PAJAK = Rp 11 0 . 880.000.
PAJAK PENGHASILAN TERUTANG :
5 % x Rp 50.000.000. = Rp 2.500. 000..
15 % x Rp 60.880.000-. = Rp 9. 1 32.000.-

JUMLAH Rp 11 . 632 . 000.-


56
JENIS-JENIS PEMBAYARAN PPh YANG DAPAT
DIKREDITKAN BAGI WPDN/BUT
PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
a. PASAL 21 DARI PEKERJAAN,JASA, DAN KEGIATAN LAIN

PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


b. Pasal 22 DARI KEGIATAN DIBIDANG IMPOR ATAU KE
GIATAN USAHA DIBIDANG LAINNYA

PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


c. PASAL 23 BERUPA DEVIDEN, BUNGA, SEWA, ROYALTY,
HADIAH, DAN PENGHARGAAN & IMBALAN
JASA LAINNYA .

d.PASAL 24 PAJAK YG DIBAYAR ATAU TERUTANG ATAS


PENGHASILAN DARI LN YG BLH DIKREDITKAN

e. PASAL 25 PEMBAYARAN YG DILAKUKAN WP SENDIRI.

f. PASAL 26 PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN


YANG TIDAK BERSIFAT FINAL
Ayat (5)

TIDAK BOLEH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA,


DENDA DAN KENAIKAN PAJAK
DIKREDITKAN

PASAL 28 Ayat (1) dan (2) 57


KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN

PAJAK TERUTANG DARI JUMLAH KREDIT


PADA LEBIH
KECIL PAJAK SEBAGAIMANA
SATU TAHUN PAJAK DIMAKSUD PASAL 28 (1)

SETELAH DILAKUKAN
PEMERIKSAAN.
SETELAH DIPERHITUNG
KAN DG UTANG PAJAK KELEBIHAN PEMBA
BERIKUT SANKSINYA YARAN PAJAK
DIKEMBALIKAN

PASAL 28 A
58
APABILA PAJAK YANG
TERUTANG UNTUK
SUATU TAHUN PAJAK

TERNYATA
LEBIH BESAR KREDIT
DARI PADA
PAJAK

SEBAGAIMANA DIMAKSUD
DALAM PASAL 28 AYAT (1)

KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK


YANG TERUTANG HARUS DILUNASI
SEBELUM SPT PAJAK PENGHASILAN
DISAMPAIKAN.
59
PASAL 29
FORMULA PENGHITUNGAN PPh OP

 TOTAL PENGHASILAN NET0 .................................................. .. XXXXXXXXX


 ZAKAT………………………………………………………………………… ( XXXXXXXXX )
 PTKP................................................................................................ ...... (XXXXXXXXX )
 PENGHASILAN KENA PAJAK................................................................ ..XXXXXXXXX
 DIKALIKAN TARIF PPh WP ORANG PRIBADI (TARIF PROGRESIF)
 PPh TERHUTANG..................................................................................... XXXXXXXXX
 - KREDIT PAJAK
- PPh 21
- PPh 22
- PPh 23
- PPh 24
- PPh 26 (5)
- PPh 25 dibayar Sendiri
- Pokok STP PPh Pasal 25
TOTAL KREDIT PAJAK...................................................................... .( XXXXXXXXX)
PPh Kurang dibayar (Psl 29 ) atau lebih bayar.........................................XXXXXXXXXX

60
Jenis-Jenis SPT PPh Orang Pribadi
BAGI ORANG PRIBADI YANG PENGHASILANNYA BERSUMBER
ANTARA LAIN DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS,
SEPERTI DOKTER PRAKTEK, PENGACARA, PEDAGANG,
1770 PENGUSAHA, BIRO JASA, KONSULTAN DAN LAIN-LAIN YANG
PEKERJAANNYA TIDAK TERIKAT.
BAGI ORANG PRIBADI YANG SUMBER PENGHASILANNYA DIPEROLEH
 DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA DAN MEMLIKI PENGHASILAN
LAINNYA YANG BUKAN DARI KEGIATAN USAHA DAN/ATAU
PEKERJAAN BEBAS.
1770 S CONTOHNYA KARYAWAN, PNS, TNI, POLRI, PEJABAT NEGARA, YANG
MEMILIKI PENGHASILAN LAINNYA ANTARA LAIN SEWA RUMAH,
HONOR PEMBICARA/PENGAJAR/PELATIH DAN SEBAGAINYA

BAGI ORANG PRIBADI YANG SUMBER PENGHASILANNYA DARI SATU


1770 SS PEMBERI KERJA (SEBAGAI KARYAWAN) DAN JUMLAH PENGHASILAN
BRUTONYA TIDAK MELEBIHI RP60.000.000 SETAHUN SERTA TIDAK
TERDAPAT PENGHASILAN LAINNYA KECUALI PENGHASILAN DARI
BUNGA BANK DAN BUNGA KOPERASI

61
Formulir SPT Tahunan bagi Suami Istri yang memiliki NPWP
Terpisah (melaksanakan hak dan kewajibannya sendiri-sendiri &
penghasilan di atas 60 juta setahun)

FORMULIR FORMULIR
SUAMI ISTRI KETERANGAN
SPT SUAMI SPT ISTRI

PNS/ PNS/ Suami dan Isteri masing-masing


1770S 1770S
Swasta Swasta mengisi SPT Tahunan

•Suami dan Isteri masing-masing


mengisi SPT Tahunan;
•Besarnya PPh yg harus dilunasi oleh
PNS/ masing-masing suami-isteri dihitung
Usaha 1770S 1770
Swasta berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami-isteri dan
disesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka
• Suami dan Isteri masing-masing
mengisi SPT Tahunan;
• Besarnya PPh yg harus dilunasi oleh
PNS/ masing-masing suami-isteri dihitung
Usaha 1770 1770S
Swasta berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami-isteri dan
disesuai dgn perbandingan
penghasilan neto mereka 62
Formulir SPT WP OP

Formulir SPT Tahunan bagi WP OP


terdiri dari :
 Form 1770-SS
 Form 1770-S
 Form 1770

63
Form 1770-SS
Digunakan untuk :
 WP Orang Pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha/ pekerjaan bebas,
 Memperoleh Penghasilan hanya dari
satu pemberi kerja Maksimal 60Jt/thn,
dan
 Tidak memperoleh penghasilan lain,
kecuali penghasilan bunga bank
dan/atau bunga koperasi
64
Form 1770
Digunakan untuk :
 WP OP yang melakukan kegiatan usaha
/ Pekerjaan Bebas
 Baik menyelenggarakan pembukuan
 Maupun menggunakan Norma
perhitungan penghasilan neto

65
Form 1770-S
Digunakan oleh WP selain ,
 yang menggunakan SPT 1770-SS
 yang menggunakan SPT 1770
Yaitu :
 WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas
 WP yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja
dan memperoleh penghasilan lain selain bunga bank
dan/atau bunga koperasi, baik yang merupakan obyek PPh
Final maupun obyek PPh tidak final
 WP yang memperoleh penghasilan yang berasal dari lebih
dari satu pemberi kerja
 Penghasilannya lebih dari 60Jt

66
WP OP yang tidak melakukan
Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas

67
WPOP yang tidak memperoleh
penghasilan lain
 WP Orang Pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha/ pekerjaan bebas.
 Memperoleh Penghasilan hanya dari satu
pemberi kerja
 Tidak memperoleh penghasilan lain, kecuali
penghasilan bunga bank dan/atau bunga
koperasi
 Penghasilan maksimal 60 Jt/thn

68
Kewajiban Pajak
 Tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri
setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh
seubungan dengan pekerjaan.
 Tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan (Surat
Pemberitahuan Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap
bulan.
 Pemberi kerja (Pemberi penghasilan) Wajib untuk
memotong pajak atas penghasilan sehubungan yang
dibayarkan / terutang kepada WPOP tsb (pegawai /
Penerima Pensiun)  PPh 21
 WPOP tsb wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi) dengan formulir yang telah disediakan (Form
1770-SS
 Tidak terdapat PPh Kurang/Lebih Bayar *)
69
Pengisian SPT 1770-SS
 Formulir SPT Tahunan yang digunakan
form SPT 1770-SS (Sangat Sederhana)
 Formulir tsb hanya terdiri dari ½ halaman
folio
 Hanya mengisi jumlah harta & kewajiban
pada akhir tahun
 Lampiran 1721-A1 atau 1721-A2
 Lampiran Daftar Keluarga –jika ada-

70
Form 1770-SS

71
WP OP yang melakukan Kegiatan
Usaha/Pekerjaan Bebas

72
WP OP yang tidak wajib
menyelenggarakan pembukuan

73
FORMULA PENGHITUNGAN PPh OP

 TOTAL PENGHASILAN NET0 .................................................. .. XXXXXXXXX


 ZAKAT……………………………………………………………………………XXXXXXXXX )
 PTKP................................................................................................ ...... (XXXXXXXXX )
 PENGHASILAN KENA PAJAK................................................................ ..XXXXXXXXX
 DIKALIKAN TARIF PPh WP ORANG PRIBADI (TARIF PROGRESIF)
 PPh TERHUTANG..................................................................................... XXXXXXXXX
 - KREDIT PAJAK
- PPh 21
- PPh 22
- PPh 23
- PPh 24
- PPh 26 (5)
- PPh 25 dibayar Sendiri
- Pokok STP PPh Pasal 25
TOTAL KREDIT PAJAK...................................................................... .( XXXXXXXXX)
PPh Kurang dibayar (Psl 29 ) atau lebih bayar.........................................XXXXXXXXXX

74
Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
 WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
 WPOP tsb Wajib memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
 WPOP wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam UU KUP.
 Apabila WPOP tsb tidak memberitahukan kepada Dirjen Pajak
untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

75
Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
 Norma Penghitungan penghasilan Neto
sebagaimana diatur dalam KEP-536/PJ./2000 tgl 29
Desember 2000
 Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :
 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan
Pontianak;
 ibukota propinsi lainnya;

 daerah lainnya.

76
Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
 Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I KEP-
536/PJ./2000
 Penghitungan penghasilan neto WPOP yang
mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-
masing jenis usaha dengan memperhatikan
pengelompokan wilayah
 Penghasilan neto WP yang mempunyai lebih dari
satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan
neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan
bebas
77
Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
 Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung
dengan cara mengalikan angka persentase
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
peredaran bruto atau penghasilan bruto dari
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1
(satu) tahun.
 Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan
yang terutang oleh WPOP, sebelum dilakukan
penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung
Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan
PTKP.
78
KAMU Masih
Bingung ???

79
Contoh
 Wajib Pajak A kawin dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Ia
seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki
industri rotan di Cirebon.
 Peredaran Usaha dari Industri Rotan (setahun) di Cirebon Rp.
400.000.000,00
 Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun) di Jakarta Rp.
720.000.000,00
Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :
Dari industri rotan :
12,5% X Rp. 400.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00
Sebagai dokter :
45% X Rp. 720.000.000,00 = Rp. 324.000.000,00
jumlah penghasilan Neto Rp. 374.000.000,00

80
Contoh
 Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 374.000.000,00 - Rp.
21.120.00000 = Rp. 352.880.000,00
 Pajak penghasilan yang terutang :
5% X Rp. 50.000.000,00 Rp. 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 Rp 30.000.000,00
25% x Rp 102.880.000 Rp 25.720.000,00
Jml PPh Terutang Rp 58.220.000,00
Catatan :
 a. Angka 12,5% untuk industri rotan, lihat kode 33100
 b. Angka 45% sebagai dokter, lihat kode 93213
 c. Istri tidak punya penghasilan.

81
WP OP yang wajib
menyelenggarakan pembukuan

82
BAGAIMANA
MENGHITUNG JUMLAH SELURUH PENGHASILAN BRUTO XXXX
PAJAK?
BIAYA XXXX
(-)
JUMLAH PENGHASILAN NETO KOMERSIAL
XXXX
KOREKSI FISKAL
POSITIF XXXX
NEGATIF (XXX)
(+)

PENGHASILAN NETO FISKAL XXXX

KOMPENSASI KERUGIAN XXXX

ZAKAT XXXX
PTKP XXXX (-)
PENGHASILAN KENA PAJAK XXXX
PPh TERHUTANG XXXX
PPh DIPOTONG / TELAH DIBAYAR SENDIRI XXXX

JUMLAH KREDIT PAJAK XXXX (-)


KURANG/LEBIH BAYAR XXXX

83
WAJIB PAJAK OP

Pembukuan
Laporan R/L

Laba Komersial

Penghasilan Biaya

Bukan Objek Objek Pajak Objek Pajak Deductible Non Deductible


Pajak Final Tidak Final

KOREKSI
FISKAL

LABA FISKAL
POSITIF NEGATIF
Berakibat Berakibat Dasar
menambah Laba mengurangi Laba Perhitungan
Fiskal Fiskal Pajak
Penghasilan
Di SPT Tahunan 84
Penghitungan penghasilan neto

 Bagi Wajib Pajak yang


menyelenggarakan pembukuan,
penghasilan Neto dihitung berdasarkan
laporan Laba/rugi (fiskal)

85
Biaya 3 M

 Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi


Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan

86
Biaya 3 M
 Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu :
 Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun dan
 Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
 Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah
dan sebagainya.
 Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui
penyusutan atau melalui amortisasi.
 Disamping itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian
karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-
kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

87
Deductable Expenses
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan kegiatan usaha, antara lain:
 biaya pembelian bahan;
 biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
 bunga, sewa, dan royalti;
 biaya perjalanan;
 biaya pengolahan limbah;
 premi asuransi;
 biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
 biaya administrasi; dan
 pajak kecuali Pajak Penghasilan;

88
Deductable Expenses
 Biaya-biaya yang dimaksud dalam point a di atas lazim
disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada
tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai
biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus
mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
 Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya

89
Deductable Expenses
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A UU PPh;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

90
Deductable Expenses
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi
komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak
dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan
Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;

91
Deductable Expenses
h. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
i. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
j. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah; dan
l. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

92
Non Deductable Expenses
a. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali untuk
industri tertentu yang diatur berdasarkan PMK
b. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi
kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
c. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan

93
Non Deductable Expenses
d. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada
pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan;
e. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU PPh
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah

94
Non deductable Expenses
f. Pajak Penghasilan;
g. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya;
h. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan
i. Biaya untuk mendapatkan,menagih dan
memelihara penghasilan yang telah dikenakan PPh
Final & bukan obyek Pajak

95
KOMPENSASI KERUGIAN

KERUGIAN DAPAT DIKOMPENSASIKAN DENGAN


PENGHASILAN MULAI TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
BERTURUT-TURUT SAMPAI DENGAN 5 (LIMA) TAHUN

PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA


TERTENTU ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU,
KOMPENSASI KERUGIAN PALING LAMA
10 TAHUN

96
Mereka Kita Coba
Paham Soal
Belum Ya... yukkkk

97
Contoh
 WP A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
 Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal WP A sebagai
berikut :
2010 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp 800.000.000,00

98
Kompensasi Kerugian
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
 Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)
 Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)
 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
 Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)
 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
 Laba fiskal tahun 2012 Rp NIHIL (+)
 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
 Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)
 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)
 Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)
 Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)

99
Kompensasi Kerugian

 Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00


(seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir
tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi
dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal
tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan
laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena
jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun
2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

100
Zakat

 zakat yang dibayarkan kepada badan amil zakat


atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah, dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto

101
Penyesuaian Fiscal
 Penyesuaian fiskal dimaksudkan untuk menyesuaikan
penghasilan neto komersial menjadi penghasilan neto
fiskal. Penghasilan neto fiskal ini merupakan dasar
pengitungan Pajak Penghasilan Terutang. Penyesuaian
fiskal dilakukan atas penghasilan Orang Pribadi yang
berasal dari usaha dan atau pekerjaan bebas
 Dasar penyelenggaraan pembukuan Orang Pribadi yang
melakukan usaha dan atau pekerjaan bebas biasanya
adalah Standar Akuntansi Keuangan. Oleh karena itu,
untuk menyesuaikan jumlah penghasilan, sebagai dasar
penghitungan Pajak Penghasilan Terutang, pembukuan
orang pribadi tersebut harus disesuaikan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

102
Koreksi Fiskal

Koreksi • Koreksi yang sifatnya


Fiskal menambah besarnya
penghasilan kena Pajak
Positif
Koreksi • Koreksi yang sifatnya
Fiskal mengurangi besarnya
penghasilan kena Pajak
Negatif
103
Contoh Koreksi Fiskal Positif

 Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari


penghasilan bruto (Non deductable Expenses)
 Penyusutan menurut perhitungan komersial
lebih besar dibandingkan dengan penyusutan
fiskal
 Penghasilan menurut perhitungan komersial
lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan
menurut perhitungan fiskal

104
Contoh Koreksi Fiscal Negatif

 Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final


dan bukan obyek pajak
 Penyusutan menurut perhitungan komersial
lebih kecil dibandingkan dengan penyusutan
fiskal
 Penghasilan menurut perhitungan komersial
lebih besar dibandingkan dengan penghasilan
menurut perhitungan fiskal

105
PTKP

 Dalam menghitung Penghasilan Kena


Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, kepadanya diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 UU PPh.

106
Penentuan PTKP

 Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan


keadaan pada awal tahun kalender.
 Untuk subyek pajak yang baru datang
dan menetap di Indonesia dalam bagian
tahun kalender ditentukan berdasarkan
keadaan pada awal bulan dari bagian
tahun kalender yang bersangkutan.

107
Tarif PPh WP Orang Pribadi
No Lapisan Penghasilan Kena Pajak (Rp) Tarif

1 sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima 5%


puluh juta rupiah)
2 di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta 15%
rupiah) sampai dengan
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah)
3 di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima 25%
puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
4 di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta 30%
rupiah)

108
Tarif PPh WP Orang Pribadi

 Untuk keperluan penerapan tarif jumlah


Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke
bawah dalam ribuan rupiah penuh

109
Kredit Pajak
 Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang
terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang
bersangkutan, berupa :
 pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
 pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor
atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22;
 pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti,
sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23;
 pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
 pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25;
 pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (5).
110
PPh Lebih Bayar/ PPh pasal 28A

 Apabila pajak yang terutang untuk suatu


tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak, maka setelah
dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah
diperhitungkan dengan utang pajak
berikut sanksi-sanksinya

111
PPh Kurang Bayar/PPh Pasal 29

 Apabila pajak yang terutang untuk suatu


tahun pajak ternyata lebih besar
daripada kredit pajak, kekurangan
pembayaran pajak yang terutang harus
dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan.

112
Kredit Pajak Luar Negeri
 Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri.
 Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat
terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar negeri, Pasal 24
UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya
pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
dalam negeri.
113
Kredit Pajak Luar Negeri
 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak
yang terutang berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak
yang sama
 Besarnya kredit pajak Luar Negeri adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi
tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
 Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau
dikembalikan, maka pajak yang terutang harus ditambah
dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau
pengembalian itu dilakukan

114
Kredit Pajak Luar Negeri
 Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Contoh:

PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal


dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 2009
memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak
Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan
Pajak Dividen adalah 38%.

115
Kredit Pajak Luar Negeri
 Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc US$ 100,000.00
Corporate income tax atas Z Inc.: (48%) US$ 48,000.00 (-)
Laba Bersih Z Inc (setelah PPh) US$ 52,000.00
Pajak atas dividen (38%) US$ 19,760.00 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00

 Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak


Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.
 Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar
US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A
dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc.
di negara X.

116
Kredit Pajak Luar Negeri
 Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan,
sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
 penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat
badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan
atau bertempat kedudukan;
 penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
 penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta
tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
 penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;

117
Kredit Pajak Luar Negeri
 penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha
tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
 penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat
lokasi penambangan berada;
 keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat
harta tetap berada; dan
 keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu
bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
berada.

118
Kredit PPh Pasal 24

PPh DI LUAR NEGERI ATAS PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI


BOLEH DIKREDITKAN DENGAN PPh YANG TERUTANG DLM THN
PAJAK YANG SAMA SEBESAR YANG TERKECIL ANTARA:

PAJAK PENGHASILAN YANG


DIBAYAR/TERUTANG DI LUAR NEGERI

Jumlah Penghasilan Dari LN


X Total PPh terutang
Penghasilan Kena Pajak

Total PPh Terutang

KPLN DIHITUNG PER NEGARA ASAL


PENGHASILAN
119
ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 25 ayat (1)

BESAR ANGSURAN PPh PASAL 25 SETIAP BULAN

SAMA DENGAN PPh TERUTANG MENURUT


SPT TAHUNAN PPh THN PAJAK YG LALU

DIKURANGI

PPh YANG DIPOTONG PPh YANG TERUTANG


ATAU DIPUNGUT : ATAU DIBAYAR
PPh PSL 21 DI LUAR NEGERI
PPh PSL 22 YANG BOLEH DIKREDITKAN
PPh PSL 23 (PPh PSL 24)

DIBAGI
12 (DUA BELAS) ATAU BANYAKNYA BULAN DALAM BAGIAN TAHUN PAJAK
120
CONTOH PENGHITUNGAN ANGSURAN PPh 25

PPh TERUTANG  SPT TAHUNAN PPh 2009 SEBESAR Rp 50.000.000,00


DIKURANGI :
a. PPh YG DIPOTONG
PEMBERI KERJA Rp 15.000.000,00
(PPh PSL. 21)
b. PPh YG DIPUNGUT
PIHAK LAIN Rp 10.000.000,00
(PPh PSL. 22)
c. PPh YANG DIPOTONG
PIHAK LAIN
(PPh PSL 23) Rp 2.500.000,00
d. KREDIT PPh
LUAR NEGERI Rp 7.500.000,00
(PPh PSL. 24)
JUMLAH KREDIT PAJAK (Rp 35.000.000,00)
SELISIH Rp 15.000.000,00

BESARNYA ANGSURAN YG HRS DIBAYAR SENDIRI SETIAP BULAN UTK THN


2010 SEBESAR 1/12 X Rp 15.000.000,00 YAITU Rp 1.250.000,00

121
ANGSURAN BULANAN UNTUK BULAN SEBELUM
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh
Pasal 25 ayat (2)

SAMA BESARNYA DENGAN :


- Angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu

CONTOH :

SPT TAHUNAN PPh 2009 DISAMPAIKAN MARET 2010. ANGSURAN PPh


DESEMBER 2009 Rp 1.000.000,00 BESARNYA ANGSURAN UNTUK BULAN
JANUARI - PEB 2010 SEBESAR Rp 1.000.000,00

APABILA BULAN SEPTEMBER 2009 DITERBITKAN KEPUTUSAN


PENGURANGAN ANGSURAN PAJAK MENJADI NIHIL SEHINGGA
ANGSURAN PAJAK SEJAK OKTOBER 2009 S.D DESEMBER 2009
MENJADI NIHIL

BESARNYA ANGSURAN UNTUK BULAN JANUARI – PEBRUARI 2010 NIHIL

122
MATERI
DIDOWNLOAD DI
SINI

123

Anda mungkin juga menyukai