Disusun Oleh:
DICKY PANGESTU
FELLYANA PUTRI
FERRA WISDIATI
HETTY HIRFAWATY
HUDA NURI SURAYA
MUHAMMAD ARIF
NADYA FATMA ROSALIN
NIA MUSTIKA
NOVITA SARI
OFISA FAJRIN
RIZKY NANDA PUTRI
SERLI MARCELISA
SHABRINA SARI MEDINA
TANIA YUZA PUTRI
VIRAS VITRIANI
Pembimbing:
dr.Renardi Reza, Sp.OG
I INDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. YH Nama suami : Tn. LA
Umur : 23 Tahun Umur : 29 Tahun
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : BHL
Agama : Kristen Agama : Kristen
Suku : Nias Suku : Nias
Alamat : Jl. Pertiwi blok. D
No. MR : 00935918
Masuk RS : Tanggal 04 Oktober 2016 Jam 07.00 WIB
II. ANAMNESA
(Alloanamnesa/Autoanamnesa)
Pasien dengan G4P2A1H2 hamil 34 minggu, profuse bleeding ec. Solusio
plasenta, PEB, Janin tunggal IUFD presentasi kepala.
II.1 Keluhan Utama
Nyeri Perut sejak 4 jam SMRS
II.2 Riwayat Penyakit Sekarang
4 jam SMRS pasien nyeri pada panggul nyeri perut bagian bawah, darah
yang keluar dirasakan secara tiba-tiba saat pasien beraktivitas, mengatakan keluar
darah dari jalan lahir, darah yang keluar berupa darah bergumpal yang berwarna
merah kehitaman hingga memenuhi kain sarung, saat keluar darah disertai
dengan, gerakan janin berkurang. Riwayat diurut dibagian perut 3 hari sebelum
nyeri., Saat itu pasien langsung dibawa ke Puskesmas, dari puskesmas langsung
dirujuk ke RS. Siak namun karena tidak ada peralatan dan belum cukup bulan,
pasien dirujuk ke RSUDAA. Saat datang ke RSUD AA didapatkan TD 180/110
mmHg, keluhan pandangan kabur (-) mual-muntah (-), nyeri ulu hati (-).
Pasien merasa hamil 8 bulan, HPHT 5 Februari 2016, TP 12 November
2016. Pasien tidak teratur kontrol kehamilan, control 1 kali dan di USG 1 kali di
puskesmas dan dikatakan bayi dalam keadaan baik dan plasenta letak normal.
Tidak terdapat riwayat keputihan. Riwayat gigi berlubang tidak ada. Riwayat
demam tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Gerakan janin dirasakan
sejak 5 bulan yang lalu.
V. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA : G4P2A1H2 hamil 34 minggu, profuse bleeding
ec. Solusio plasenta, PEB, Janin tunggal IUFD
presentasi kepala.
VI. TATALAKSANA
Hemodinamik ibu dan janin stabil. Obs KU, TTV/30 menit.
Tegak diagnosis : cek DPL, SGOT/SGPT, UR/CR, GDS, PT/APTT,
UL
Cegah infeksi : Inj ceftriaxone 2x1 gr
Cegah kejang : MgSO4 40% 4 gr loading dose dihabiskan dalam
10-15 menit, lanjut maintenance 2 gr/jam
Antihipertensi : Nifedipin 3x10 mg p.o
Rencana terminasi perabdominam SC CITO : Konsul dan SIO (+)
VIII. PROGNOSA
Dubia ad bonam
IX. LAPORAN TINDAKAN
1. Pasien dalam posisi terlentang diatas meja operasi dalam anestesi
spinal
2. A dan antisepsis daerah genitalia eksterna dan sekitarnya
3. Insisi Pfannensteil 8 cm dinding perut dibuka lapis demi lapis
4. Setelah peritoneu dibuka tampak uterus compulare.
5. Plika vesico uterine disayat semilunar, kandung kemih disisihkan
kebawah
6. SBU disayat tajam, ditembus dan dilebarkan secara tumpul bentuk
semilunar, air ketuban bercampur darah
7. Dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan dengan BB 2400 gram,
PB 42 cm, apgar score 0/0 , belum terjadi maserasi.
8. Plasenta implantasi di corpus anterior,tampak stolcell dan darah
300cc dengan hematom retroplasenta 85% dari permukaan maternal
side. Sekitar 2/3 bagian plasenta terlepas.
9. Dengan tarikan ringan pada tali pusat plasenta dilahirkan lengkap.
10. Dipasangkan IUD post plasenta
11. Kedua ujung SBU dijahit hemostatis, luka SBU dijahit jelujur dua
lapis dengan vicryl no 1
12. Diyakini tidak ada perdarahan dilakukan eksplorasi, Pada eksplorasi,
kedua tuba dan ovarium dalam batas normal
13. Setelah diyakini ada perdarahan alat dan kasa lengkap, dinding
abdomen ditutup lapis demi lapis dengan jahitan jelujur, peritoneum
dan otot menggunakan chromic no 2.0, fascia menggunakan vycril no
1, subcutis dijahit satu-satu dengan cromic no 2.0, cutis dengan jahitan
subcuticuler dengan chromic no 3.0
14. Perdarahan durante op 100cc, urin 50cc jernih.
Keadaan vital sign: TD: 140/90mmHg, HR: 98 kali/menit, RR: 18
kali/menit, T: 36,50C
Pengawasan 2 jam pascapersalinan
Jam TD N R S Kontraksi TFU Perdarahan Urin
11.35 160/90 98 18 36,5 Baik 2 jbp negatif -
11.50 150/90 96 20 Baik 2 jbp negatif -
12.05 150/80 94 20 Baik 2 jbp negatif -
12.20 150/80 90 20 Baik 2 jbp negatif -
12.50 140/80 88 20 36,5 Baik 2 jbp negatif -
13.20 140/90 81 18 Baik 2 jbp negatif 200 cc
IX. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
05/10/2016 Nyeri pada KU : Baik P3A1 post Hemodinamik
luka Kesadaran : CM SCTPP atas ibu stabil KU,
operasi, TD : 130/80 mmHg indikasi, TTV, kontraksi,
perdarahan Nadi : 80x/menit profuse perdarahan.
(-), RR : 20x/menit bleeding ec. Cegah infeksi :
mobilisasi Suhu : 36,5 C Solusio Cefadroxil 3 x
duduk, plasenta, PEB, 500 mg
mami (+), Status generalis: Janin tunggal Atasi nyeri : Na
ASI (-), Mata : Konjungtiva IUFD Diclofenac 2 x
anemis (-/-), sclera presentasi 50 mg
ikterik (-/-) kepala, Cegah produksi
Thorax: Suara akseptor IUD, asi : pil KB
nafas vesikuler, POD 1 kombinasi
ronkhi negatif, Anti hipertensi:
wheezing negatif. Nifedipin 3 x 10
Bunyi jantung 1 mg
dan 2 reguler,
murmur negatif,
gallop negatif.
Mamae: bengkak (-
), produksi ASI (-).
Abdomen :
BU (+) N, supel.
Ekstremitas : Akral
hangat, CRT < 2
detik
Status obstetrikus:
TFU 2 jari bawah
pusat, kontraksi
baik
I=v/u tenang,
perdarahan aktif (-)
Status Lokalis:
Tampak luka
operasi tertutup
verban, rembesan
darah tidak ada, pus
tidak ada.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
a. Preeklamsia Ringan
Preeklamisia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah
dan aktivasi endotel.
Diagnosis preeklamsia ringan dapat ditegakkan berdasarkan kriteria ;
1. Hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20
minggu.
2. Hipertensi: sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg.
3. Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dipstik.
4. Edema local tidak termasuk, kecuali edema pada lengan, muka, dan
perut, edema generalisata.
b. Preeklamsia Berat.
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolic ≥110 mmHg, disertai proteinuria lebih 5
g/dl/24 jam.
Preeklampsia berat ditandai oleh satu atau lebih kriteria berikut:8
1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg
pada saat dua pemeriksaan setidaknya berjarak 6 jam saat pasien
berisitirahat di tempat tidur.
2. Proteinuria > 5 gr dalam spesimen urin 24 jam atau > +3 pada dua
kali pemeriksaan urin sewaktu.
3. Oliguria kurang dari 500 ml dalam 24 jam.
4. Gangguan penglihatan dan serebral.
5. Edema paru dan sianosis.
6. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran atas abdomen.
7. Fungsi hati terganggu.
8. Trombositopenia.
9. Pertumbuhan janin terganggu.
3.1.5 Patofisiologi
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem hal ini di sebabkan oleh vasospasme
dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami
peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,
tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.8
Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.
Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan
proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri
epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler
meliputi penurunan volume intavaskular, meningkatnya cardiac output dan
peningkatan tahanan pembuluh perifer.8
Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan
trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.
Perubahan pada organ-organ :8
1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload
jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnyasecara patologis
hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh
larutanonkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai
ekstravasasi ke dalam ruangektravaskular terutama paru.
2) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak
pada penderita preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa
atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan
kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak
menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium,
natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.
Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-
okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi
kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang
mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia.
Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat
penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina.
4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan
anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan
perdarahan.
5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia
sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan,
sehingga terjadi partus prematur.
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan
oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.
3.1.6 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila
ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :7
a) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110
mmHg.
b) Proteinuria lebih 5 gr per 24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif
c) Oligouri, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
d) Kenaikan kadar kreatinin plasma
e) Gangguan visus dan serebral, penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma dan pandangan kabur.
f) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
g) Terdapat edema paru dan sianosis
h) Trombositopeni berat : < 100.000 sel/mm3
i) Gangguan fungsi hati (kerusakan hepatoseluler)
j) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
Perubahan pada kriteria the American College of Obstetricians and
Gynecologist 2013 yaitu :12
1. Proteinuria tidak secara absolut dibutuhkan untuk diagnosis preeklampsia
berat.
2. Proteinuria masif (>5g) dihapuskan dari kriteria beratnya preeklampsia,
karena hubungan antara jumlah protein urin dan luaran kehamilan sangat
minimal
Pertumbuhan janin terhambat dihapuskan dari kriteria beratnya
preeklampsia karena tatalaksananya sama saja pada pasien dengan atau tanpa
preeklampsia.
3.1.7 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan, dan saat yang tepat untuk
persalinan.Perawatannya dapat diagi menjadi dua unsur : 13,14
1. Sikap terhadap penyakitnya yaitu pengobatan medikamentosa
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan
PEB antara lain adalah:
a. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
b. Pengelolaan cairan. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat
berupa 5% ringer-dextrose atau cairan kristaloid maupun koloid
dengan jumlah tetesan < 125 cc/jam atau infuse dextrose 5% yang tiap
1 liternya diselingi dengan infus ringer laktat (60-125cc/jam) 500 cc.
c. Kateter menetap untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi
jika produksi urin < 30cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24jam
d. Antasida untuk menetralisir asam lambung.
e. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
f. Magnesium sulfat (MgSO4) untuk menghambat atau menurunkan
kadar asetilkolin pada ransangan serat saraf dengan menghambat
transmisi neuromuskular. Magnesium akan menggeser kalium
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Cara pemberian : Loading
dose 4 gram MgSO4 40% dalam 10cc IV selama 15 menit.
Maintenance dose : 6 gram larutan ringer/6jam atau 4-5gram i.m.
selanjutnya maintenance dose diberikan 4gram i.m tiap 4-6jam.
Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
Tersedia kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.
Bila terjadi intoksikasi maka dapat diberikan intravena dalam tiga
menit.
refleks patella (+) kuat
frekuensi respirasi >16 kali per menit
g. Diuretik tidak diberikan secara rutin. Hanya pada kasus edema paru,
payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diuretik yang dipakai
adalah furosemid.
h. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik > 180 mmHg
dan diastolik >110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap
yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan diturunkan
mencapai 160/105. Pilihan antihipertensi lini pertama adalah nifedipin
10-20 mg peroral, diulangi setelah 30 menit maksimum dose 120 mg
dalam 24jam. Antihipertensi lini kedua sodium nitroprusside : 0,25ug
i.v/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25 ug i.v/kg/5menit atau
diazokside 30-60mg i.v/5menit atau iv infuse 10mg/menit dititrasi.
i. Glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin. Diberikan
pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam.
2. Sikap terhadap kehamilan nya ialah :
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri.
Indikasi bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1) Ibu :
a) Kehamilan lebih dari 37 minggu
b) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.
d) Diduga terjadi solusio plasenta
e) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan.
2) Janin :
a) Adanya tanda-tanda gawat janin
b) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
c) Terjadinya oligohidramnion
3) Laboratorium :
Adanya tanda-tanda sindroma HELLP .
b. Pengelolaan konservatif berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
Indikasi : Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai
tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik.
Pengobatan yang diberikan sama dengan pengobatan
medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Magnesium sulfat
dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia
ringan, selambat-lambatnya 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada
perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh
dipulangkan bila penderita kembali ke gejala preeklampsia ringan.
3.2 Solutio Plasenta
3.2.1 Definisi
Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari
tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu
15-18
20 dan lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir .
Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae, ablatio placentae,
accidental haemorrhage, premature separation of the normally implanted
placenta.16
3.2.2 Insidensi
Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya
bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan. Frekuensi solusio plasenta di
Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Solusio plasenta merupakan
salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan kontribusi terhadap
kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Saat ini kematian maternal akibat
solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta merupakan penyebab 20-35%
kematian perinatal16,18.
Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per
100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000)
dan 50-100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Di
negara berkembang, penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi
kehamilan, persalinan, nifas adalah perdarahan, infeksi, pre-eklamsi/eklamsi.
Selain itu kematian maternal juga dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan,
sosioekonomi, usia ibu hamil, dan paritas16.
Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya
tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan.16 Namun, insidensi solusio plasenta
cenderung menurun dengan semakin baiknya perawatan antenatal sejalan dengan
semakin menurunnya jumlah ibu hamil usia dan paritas tinggi dan membaiknya
kesadaran masyarakat berperilaku lebih higienis.18
3.2.3 Etiologi
Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa
keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai
solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko (Tabel 2.1), seperti hipertensi,
riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia ibu, dan paritas yang tinggi 8,18
Faktor Risiko Hubungan dengan risiko
Meningkatnya usia dan paritas 1.3–1.5
Preeklampsia 2.1–4.0
Hipertensi kronik 1.8–3.0
Ketuban pecah dini 2.4–4.9
Kehamilan ganda 2.1
Hidroamnion 2.0
Wanita perokok 1.4–1.9
Trombofilia 3–7
Penggunaan kokain NA
Riwayat solusio plasenta 10–25
Mioma dibelakang plasenta 8 dari 14
Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang
.
Tabel 2.1 Faktor Risiko Solusio Plasenta8
3.2.4 Klasifikasi
Plasenta tidak hanya dapat terlepas pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa
seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).
Perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk
seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan
ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina, menyebabkan perdarahan
eksternal (revealed hemorrhage)8 (Gambar 2.2).
Tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat sangat bervariasi. Sebagai
contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun plasenta yang terlepas tidak
terlalu luas sehingga belum membahayakan janin secara langsung. Walaupun
jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan eksternal tetapi plasenta terlepas total
dan sebagai akibatnya janin meninggal. Hurd dkk. (1983) dalam sebuah penelitian
prospektif yang relatif kecil tentang solusio plasenta, mengidentifikasi frekuensi
berbagai gejala dan tanda yang berhubungan (Tabel 2.2). Perdarahan dan nyeri
abdomen adalah temuan tersering. Temuan lain yang didapatkan adalah
perdarahan serius, nyeri punggung, nyeri tekan uterus, kontraksi uterus yang
sering.17
Pada penelitian-penelitian sebelumnya, USG jarang mengkonfirmasi
diagnosis solusio plasenta. Sebagai contoh, Sholl (1987) memastikan diagnosis
secara sonografis hanya pada 25% wanita. Hal yang sama dikemukakan oleh
Glantz dan Purnell (2002), yang mengkalkulasi hanya 24% dari 149 wanita yang
melakukan USG dapat menyingkirkan kemungkinan adanya solusio plasenta.
Yang penting, temuan negatif pada pemeriksaan USG tidak menyingkirkan
solusio plasenta.17
3.2.8 Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang
terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia,
syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal
ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari
kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan
iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.8
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta
berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita
solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga sering
terjadi di mana proses pembentukan hematom retroplasenta berhenti tanpa
dijelang oleh persalinan. Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut.
Hematoma retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta
berhenti ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat
perombakan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk
mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan
utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila pelepasan
tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi pembekuan darah
intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang semakin
menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain.8
Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal akibat
tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal sangat menurun
dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah nekrosis tubulus-
tubulus ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi ginjal.8
Terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah lapisan
serosa uterus yang disebut sebagai apopleksio uteroplasental ini, yang pertama
kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun 1900-an, sekarang sering
disebut sebagai uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta
menyebabkan darah menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan
bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum
latum, ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir sampai ke rongga pernitonei.
Perdarahan miometrium ini jarang sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga
terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan merupakan indikasi untuk
histerektomi8,17.
3.2.9 Tatalaksana
Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan
serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan
pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio
sesaria darurat.
a. Solusio Plasenta Ringan
Solusio plasenta ringan jarang ditemukan di RS. Pada umumnya
didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaaan USG oleh karena tidak
memberikan gejala klinik yang khas. Apabila kehamilannya kurang dari 36
minggu dan perdarahan kemudian berhenti, perut tidak menjadi nyeri, dna uterus
tidak tegang, maka penderita harus diobservasi dengan ketat. Apabila perdarahan
berlangsung terus dan gejala solusio plasenta bertambah jelas atau dengan
pemeriksaan USG daerah solusio plasenta bertambah luas maka dilakukan
terminasi kehamilan
b. Solusio Plasenta Sedang dan Berat
Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan perbaikan keadaan
umum terlebih dahulu dengan resusitasi cairan dan transfusi darah. Bila janin
masih hidup biasanya dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea,
kecuali bila pembukaan telah lengkap. Pada keadaan ini dilakukan amniotomi,
drip oksitosin, dan bayi dilahirkan dengan ekstraksi forcep. Apabila janin telah
mati dilakukan persalinan pervaginam dengan cara melakukan amniotomi, drip
oksitosin. Bila bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan seksio
sesarea.
c. Tokolitik
Hurd dkk. (1983) mendapatkan bahwa solusio berlangsung dalam waktu
yang lama dan membahayakan apabila diberikan tokolitik. Towers dkk. (1999)
memberikan magnesium sulfat, terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara 131
wanita dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum minggu ke-36. Angka
kematian perinatal sebesar 5% dan tidak berbeda dari kelompok yang tidak
diterapi. Namun, penggunaan tokolitik pada penatalaksanaan solusio plasenta
masih kontroversial.18
d. Seksio Sesarea
Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin
hampir selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara
cepatnya persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala
klinis berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis
dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah keputusan akan
dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8
bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah pertimbangan waktu, sehingga cepatnya
respons adalah faktor yang penting bagi prognosis bayi ke depannya.19 Seksio
sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat membahayakan ibu karena
mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang parah8.
e. Persalinan Pervaginam
Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan
janin meninggal, lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila
perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan
penggantian darah secara agresif, atau terdapat penyulit obstetri yang
menghambat persalinan pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan besar
dapat menimbulkan kesulitan pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan uterus
rentan terhadap perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan demikian,
pada persalinan pervaginam, stimulasi miometrium secara farmakologis atau
dengan massage uterus akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah
berkontraksi sehingga perdarahan serius dapat dihindari walaupun defek
koagulasinya masih ada. Lebih lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan
dikeluarkan melalui vagina.
f. Amniotomi
Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting
dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini
adalah bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor
pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak
ada bukti keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur,
pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat persalinan. Apabila janin
imatur, ketuban yang utuh mungkin lebih efisien untuk mendorong pembukaan
serviks daripada tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran
kecil dan kurang menekan serviks.17
g. Oksitosin
Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi
hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi
uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus
untuk menimbulkan persalinan pervaginam memberikan manfaat yang lebih besar
daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan
berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini dapat meningkatkan masuknya
tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah
kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion.17
Diagnosis pada pasien ini sudah tepat yaitu profuse bleeding e.c solusio plasenta
karena pada anamnesis didapatkan nyeri perut yang mendadak, nyeri dirasa pada
panggul, pasien juga mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir berwarna
kehitaman dan bergumpal serta juga memenuhi kain sarung. Dari pemeriksaan
(+/+) dan dari inspekulo tampak stosel menutupi jalan lahir, portio livudae, OUE
terbuka 1 cm, fluksus (+), fluor (-), perdarahan aktif (+) merembes. Dan
Sesuai dengan teori bahwa perdarahan pada kehamilan lanjut yaitu adalah
solutio plasenta. Hal ini dilihat dari warna perdarahan, dan gejala nyeri pada
adalah gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan pada pasien dengan solutio
plasenta.17
Pasien ini didiagnosis PEB dikarenakan tekanan darah pasien 180/110 dan
dari pemeriksaan labor ditemukan proteinuri +2. Diagnosis pada pasien ini
konjungtiva anemis dan dari Hb 8,3 g/dl. Pada janin didapatkan Intrauterin Fetal
Death (IUFD) karena dari 2 jam SMRS dirasa gerakan janin berkurang, dan saat
Untuk tatalaksana PEB pada pasien ini sudah tepat dengan memberikan
MgSO4 40% loading dose 4 gram 15-20 menit dilanjutkan dosis maintenance 2
g/jam untuk mencegah kejang. Untuk kontrol tekanan darah diberikan nifedipin
sectio caesaria sudah tepat. Apabila janin telah mati dapat dilakukan persalinan
diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Bila bayi
belum lahir dalam waktu 6 jam, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus
sesarea. Pada pasien ini tindakan yang dilakukan adalah sectio secaria cito.
4.3 Bagaimana penanganan pada pasien sebelum dirujuk dari tempat rujukan?
Pada pasien ini penyebab dari solutio plasenta adalah pre eklampsi berat.
solutio plasenta adalah pada wanita dengan hipertensi termasuk preeklamsi. Hal
antara uterus dan plasenta sehingga menyebabkan solutio plasenta. Pada pasien
4.5 Apa kompetensi dokter umum pada kasus PEB dan solutio plasenta?
dirujuk ke spesialis yang relevan. menurut SKDI, PEB kompetensi level 3b,
3. UNFPA. Maternal mortality ratio [on the internet]. 2011. [Updated 2011 ;
Cited 2016 Oct 8] Available from: http://indonesia.unfpa.org/issues-and-
challenges/maternal-mortality-ratio.
11. National High Blood Preesure Education Program. Working Group Report
on High Blood Pressure in Pregnancy. National Institutes of Health.National
Heart, Lung, and Blood Institute. 2000.