Anda di halaman 1dari 3

Definisi operasional variabel pola asuh orang tua

Dalam penelitian ini, pola asuh dapat didefinisikan sebagai cara orang tua dalam menjaga,
mendidik dan merawat anak sebagai tanggung jawab yang dilakukan orang tua melalui berbagai
macam penanaman agama, budaya, dan kecakapan (skill) yang diukur melalui persepsi remaja
yang berperan sebagai siswa atas perlakuan sehari-hari yang diterimanya didalam kehidupan
remaja.
Berdasarkan latar belakang kehidupan keluarga, pendidikan, pengalaman, kepentingan serta
pengasuhan, setiap orang tua akan membentuk pola asuh yang berbeda dalam mendidik anaknya.
Pola asuh ini dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu : (a) pola asuh otoriter; (b) pola asuh
demokratis; dan (c) pola asuh permissive.
Pola asuh otoriter dapat diartikan sebagai cara orang tua dalam mendidik, menjaga, dan merwat
anak dengan cara memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta berusaha
membentuk tingkah laku anak sesuai keinginannya. Ciri dari pola asuh ini yaitu munculnya sikap
(1) over protection (terlalu melindungi dan mengekang keinginan anak), (2) unjuk kuasa dengan
senantiasa memaksakan kehendak orang tuauntuk dipatuhi oleh anak, (3) adanya domination
(dominasi) yang kuat, serta (4) punitiveness/overdiscipline ( terlalu disiplin) dengan menunjukan
tegas dan senantiasa memberikan hukuman pada anak.
Pola asuh demokratis dapat diartikan sebagai cara orang tua dalam mendidik, menjaga, dan
merawat anak dengan sikap saling memberi dan menerima serta mendorong anak saling
membantu, bekerja sama dan bertindak secara obyektif. Ciri dalam pola asuh ini ditandai dengan
(1) acceptance (penerimaan) dengan cara memberikan hubungan yang hangat dan saling
berdialog secara respek terhadap anak, (2) authoritative (berwenang) dengan cara menerapkan
pengawasan tegas atas perilaku anak, tetapi juga menekankan kemandirian anak, serta (3) bina
kasih dengan cara menerapkan sikap mau mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-
anaknya serta selalu memberikan alasannnya kepada anak.
Pola asuh permisif dapat diartikan sebagai cara orang tua dalam mendidik, menjaga, dan
merawat anak melalui kebebasan sebesar-besarnya yang diberikan kepada anak untuk mengatur
dirinya sendiri tanpa melibatkan pengawasan dari orang tua maupun campur tngan orang tua
dalam mengaturnya. Ciri dari pola asuh ini diantaranya (1) permissive positif seperti
permissiveness (pembolehan yang sifatnya toleran), dan (2) permisif negative seperti rejection
(penolakan), dan (3) submission (penyerahan)
Beberapa macam pola asuh tersebut dapat dijadikan sebagai komponen, pengembangan sub,
serta indikator dalam membimbing kecakapan pribadi remaja diantaranya sebagai berikut:
a. Pola asuh otoriter meliputi sub pola perlakuan : (1) over protection (terlalu
melindungi) dengan indikator: (a) memberikan bantuan kepada remaja secara terus-
menerus, meskipun remaja sudah mampu; dan (b) mengawasi kegiatan remaja secara
berlebihan; (2) unjuk kuasa dengan indikator memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi
remaja meskipun sebenarnya remaja tidak dapat menerimanya; (3) domination
(dominasi) dengan indikator mendominasi anak; (4) puntiveness/overdiscipline (terlalu
disiplin) dengan indikator : (a) mudah memberikan hukuman; dan (b) menanamnkan
kedisiplinan secara keras.
b. Pola asuh demokratis meliputi sub pola perlakuan : (1) acceptance (penerimaan)
dengan indikator : (a) memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada remaja;
(b) mengembangkan hubungan yang hangat dengan remaja; (c) berkomunikasi dengan
remja secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya; (2) authoritative (berwenang)
dengan indikator: (a) menerpkan kendali yang tegas atas perilaku remaja; (b)
menekankan kemandirian dan individualitas remaja; (3) bina kasih dengan indikator
mendidik dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap
keputusan dan perlakuan yang diambil remaja.
c. Pola asuh permissive didalamnya terdapat sub pola perlakuan : (1) permisif positif
seperti permissiveness (pembolehan yang sifatnya toleran) dengan indikator: (a)
memberikan kebebasan untuk berpikir atau berusaha; (b) toleran dan memahami
kelemahan remaja; (c) cenderung lebih suka memberi sesuatu yang diminta remaja
daripada menerima; dan (2) permisif negative seperti rejection (penolakan) dengan
indikator: (a) kurang memperdulikan kesejahteraan remaja; (b) menampilkan sikap
permusuhan atau dominasi terhadap remaja; dan (3) submission (penyerahan) dengan
indikator: (a) senantiasa memberikan sesuatu yang diminta remaja; (b) membiarkan
remaja berperilaku semaunya.

Definisi Operasional variabel penyesuaian sosial


Schneiders (1964:460) menjelaskan penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas
yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi dan
relasi sosial. Callhoun dan accocella (1990:14) yang mendefinisikan penyesuain sosial sebagai
intersksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia atau lingkungan sekitar. Ketiga
faktor ini secara konstan mempengaruhi diri dan hubungan tersebut bersifat timbal balik.
Berdasarkan definisi penyesuaian sosial diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
penyesuaian sosial adalah keterampilan siswa dalam mereaksi tuntutan tuntutan sosial secara
tepat dan wajar. Penyesuaian sosial siswa merupakan kemampuan siswa dalam berinteraksi
dengan lingkungan secara efektif, dapat diterima, dan memuaskan serta dapat mereaksi secara
tepat dan wajar terhadap realitas sosial, kondisi, dan relasi atau hubungan sosial disekitarnya.
Secara operasional yang dimaksud penyesuaian sosial siswa dalam penelitian merupakan skor
total dari aspek-aspek dan indikator-indikator berikut
a. Kemampuan siswa menjalin hubungan persahabatan dengan teman sekolah
1) Siswa mampu menerima teman apa adanya
2) Kemampuan siswa mengendalikan emosi
3) Kemampuan siswa bertanya terlebih dahulu
4) Kemampuan siswa bersikap realistis
5) Kemampuan siswa melakukan pertimbangan rasional yang mendalam dalam
mengambil keputusan dan melakukan tindakan
6) Kemampuan siswa mempertahankan hubungan persahabatan
b. Kemampuan siswa bersikap hormat terhadap guru, kepala sekolah, dan staf
sekolah lainnya. Dalam aspek ini terdapat empat indikator, yaitu:
1) Siswa berbicara dengan volume suara yang lebih rendah daripada guru, kepala
sekolah dan staf sekolah lainnya.
2) Kemampuan siswa bertuturkata dengan sopan dan sntun ketika berkomunikasi
dengan guru, kepala sekolah dan staf sekolah lainnya.
3) Kemampuan siswa dalam menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, kepala
sekolah dan staf sekolah lainnya.
4) Siswa melakukan senyum, salam, dan sapa (3S) ketika bertemu dengan guru,
kepala sekolah dan staf sekolah lainnya.
c. Partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegitan sekolah. Dalam aspek ini terdapat
dua indikator, yaitu:
1) Partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dikelas
2) Partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
d. Bersikap respek dan mau menerima peraturan disekolah. Dalam aspek terdapat
dua indikator, yaitu:
1) Memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan di sekolah
2) Mematuhi dan mentaati peraturan yang berlaku di sekolah

Anda mungkin juga menyukai