Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan
nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Pada anestesi umum harus memenuhibeberapa hal ini yaitu hipnotik, analgesi, relaksasi otot
diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan, stabilisasi otonom.

Penemuan dan pengembangan “laryngeal mask airway” (LMA) oleh seorang ahli
anastesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan dampak yang luas dan
bermakna dalam praktek anastesi, penanganan airway yang sulit, dan resusitasi
kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara penggunaan “face mask” dengan
intubasi endotracheal. LMA memberikan ahli anastesi alat baru penanganan airway yaitu
jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : (1)
jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli
anastesi mempunyai variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih
dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anastesi, dan prosedur
pembedahan.1,2

LMA atau sungkup laring menjadi sangat populer dalam beberapa dekade terakhir ini.
Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan penggunaan
intubasi endotrakeal dan sungkup muka. Salah satu yang menjadi kelemahan penggunaan
sungkup muka adalah tidak dapat melindungi jalan nafas dari kemungkinan regurgitasi isi
lambung .Dalam pemasangannya, sungkup laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu
pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah
dibanding intubasi endotrakea.

Pada laporan kasus ini akan membahas penggunaan anestesi umum dengan
pemasangan LMA pada seorang pasien berjenis kelamin perempuan, usia 50 tahun dengan
diagnosis penyakit Tumor Mammae Dextra, pembedahan yang dilakukan adalah Wide Eksis

1
BAB II
PERSIAPAN PRA-ANESTESI

A. IDENTITAS PASIEN
No. Catatan Medik : 083882
Nama : Ny. Z
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Suku : Betawi
Alamat : Kemanggisan, Jakarta Barat
Pendidikan Terakhir : S1
Tanggal Masuk RS : 22 Oktober 2019

B. ANAMNESIS
Autoanamnesa dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2019
Keluhan Utama : Benjolan di payudara kanan

Keluhan Tambahan : Tidak ada

Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Pasien perempuan usia 50 tahun datang dengan keluhan adanya benjolan di
payudara kanan sejak ± 5 bulan SMRS. Keluhan diawali dengan adanya nyeri di
payudara sebelah kanan terutama saat menjelang haid. Keluhan disertai dengan
bengkak terutama saat menjelang haid. Benjolan diakui pasien tidak teraba ketika
pasien berbaring terlentang atau duduk, tetapi pada saat pasien berbaring. Pasien
merasa benjolaan semakin lama semakin membesar sehingga ia memutuskan
untuk memeriksakannya ke RSPAD Poli Bedah. Ukuran awal diakui pasien hanya
sebesar kacang hijau namun sekarang sudah sebesar kira-kira seukuran kelereng,
tidak disertai bengkak di sekitar benjolan. Satu minggu terakhir demam disangkal.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
 Asma : disangkal
 DM : disangkal
 Hipertensi : (+) terkontrol dengan obat Amlodipin
 Jantung : disangkal
 Alergi obat dan makanan :disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat serupa disangkal

Riwayat Operasi
I. Riwayat SC dengan jenis anestsei Spinal

Riwayat Kebiasaan
 Pasien tidak merokok, konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemerikasaan Fisik dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2019
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis

Status Gizi :
 BB : 77 kg
 TB : 157 cm
 BMI : 31.2 kg/m2 (Overweight)
Tanda-tanda vital :
 TD : 180/92 mmHg
 Nadi : 70x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : 36,20 C

3
Status Generalis :
 Kepala : Normocephal, tidak ada deformitas, rambut tidak mudah
dicabut
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, reflex pupil +/+
 Telinga : normotia, kedua liang telinga lapang, tidak ada serumen
 Hidung : napas cuping hidung tidak ada, epitaksis tidak ada, sekret
tidak ada, deviasi septum tidak ada
 Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
 Mulut : incisor distance 3 jari pasien, jarak mental hyoid 3 jari pasien,
jarak mulut-tiroid 2 jari, Mallampati I, oral hygiene baik,
mukosa lembab dan tidak pucat, lidah bersih, gigi palsu / gigi
goyang disangkal
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada deviasi trakea, tidak
ada massa, nyeri tekan tidak ada
 Thoraks :
Paru-paru :
o Inspeksi : pergerakan dada simetris dextra sinistra
o Palpasi : vocal fremitus simetris dextra sinistra
o Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : suara dasar napas vesikuler, wheezing tidak ada,
rhonkii tidak ada

Jantung :
o Inspeksi : iktus kordis tampak
o Palpasi : iktus kordis kuat angkat
o Perkusi : batas jantung tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada
 Abdomen :
o Inspeksi : datar
o Auskultasi : bising usus dalam batas normal
o Palpasi : nyeri tekan tidak ada, supel
o Perkusi : timpani
4
 Ekstremitas : akral hangat, edem (-), capillary refill < 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Darah Rutin

Hemoglobin 10.1 12 – 16 g/dL

Hematokrit 40 37 – 47 %

Eritrosit 4,7 4,3 – 6,0 juta/uL

Leukosit 6.420 4.800 – 10.800 /uL

Trombosit 214.000 150.000 –


400.000/uL

MCV 88 80 – 96 fl

MCH 30 27 – 32 pg

MCHC 34 32- 36 g/dL

Koagulasi

Waktu Protrombin (PT)

 Kontrol 11.0 detik

 Pasien 9.8 9.3-11.8 detik

APTT

 Kontrol 31.2 detik

5
 Pasien 33.2 31-47 detik

Faal Hemostasis

Waktu Perdarahan 1’30” 1-3 menit

Waktu Pembekuan 4’30” 1-6 menit

Kimia Klinik

SGOT (AST) 22 < 35 U/L

SGPT (ALT) 20 < 40 U/L

Ureum 22 20-50 mg/dL

Kreatinin 0.7 0.5-1.5 mg/dL

Glukosa Darah (Puasa) 97 70-100 mg/dL

Glukosa Darah (2 jam PP) 104 <140 mg/dL

Natrium (Na) 142 135-147 mmol/L

Kalium (K) 5.2* 3.5-5.0 mmol/L

Klorida (Cl) 102 95-105 mmol/L

 Foto Rontgen Thorax : Kardiomegali, Tidak tampak


kelainan radiologis pada paru
 Spirometri : dalam batas normal
 EKG : dalam batas normal

E. DIAGNOSIS KERJA
Tumor Mammae Dextra

6
F. DIAGNOSIS ANESTESIS
Status fisik ASA II dengan Overweight (BMI = 31.2 kg/m2)

G. RENCANA PEMBEDAHAN
Wide Eksisi

H. RENCANA ANESTESI
Anestesi umum dengan pemasangan LMA

PERSIAPAN PRA ANESTESI


Persiapan Alat Anastesi
1. Mesin anastesi
 Komponen I : Sumber gas, flowmeter dan vaporizer

 Komponen II : Sirkuit napas / system ventilasi yaitu open, semi open


semiclose

 Komponen III : Alat penghubung sistem ventilasi dengan pasien yaitu


sungkup mukadan pipa ombak.

2. Elektrokardiografi ( EKG )
3. Sfigmomanometer digital
4. Oksimeter pulse / O2 saturasi
5. Suction
6. Guedel
7. Sungkup muka ( face mask )
8. Nasal kanul
9. Balon pernafasan
10. Infus set dan cairan infus
11. Plester
12. Sungkup laring (LMA) no 4
13. Stetoskop
14. Gel

7
15. Kateter urin + urin bag
16. Spuit berbagai ukuran (3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc)

PERSIAPAN OBAT
Anestesi umum :
a. Premedikasi : Midazolame 2 mg
b. Analgetik : Fentanyl 125 mcg
c. Obat induksi : Propofol 100 mg
d. Obat pelumpuh otot : Notrixum 40 mg
e. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2
f. Anti emetik : Ondansentron 8 mg
g. Obat emergensi : Sulfas atropine, lidocain, ephedrine
h. Analgetik : Tramadol 100 mg

PERSIAPAN PASIEN

1. Informed consent
2. Surat persetujuan operasi
3. Pasien dipuasakan selama 6 jam sejak tanggal 22 Oktober 2019 tujuannya untuk
memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum tindakan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
4. Pengosongan kandung kemih pada pagi hari sebelum operasi.
5. Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi. Anamnesa singkat yang
meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat kebiasaan, dll.
6. Pemeriksaan fisik di ruang persiapan : TD : 180/90 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR
18x/menit.
7. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.

8
BAB III
PELAKSANAAN ANESTESI
INTRA OPERATIF
o Pukul 17.30 WIB
• Memasang infus Ringer Laktat 1
• Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse
• Mengukur tekanan darah
• TD 182/100 mmHg, nadi : 80 x/menit, saturasi O2 : 100%, pernafasan :
18 x/menit
o Pukul 17.44 WIB
• Pasien dalam posisi terlentang. Pasien diberitahukan bahwa akan
dilakukan tindakan pembiusan.
• Pemberian premedikasi Midazolame 2,5 mg iv dilanjutkan dengan
Fentanyl 125 mcg iv
• TD : 180/100 mmHg, Nadi : 86x/mnt, SaO2 : 100%
• Induksi dengan Propofol 100 mg iv
• Setelah reflek bulu mata menghilang diberikan notrixum 40 mg iv
• Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka menggunakan O2
sebanyak 3 liter / menit
• Setelah relaksasi pasien diintubaasi dengan LMA no 4
• Dengan steteskop bahwa paru kanan dan kiri sama dan dinding dada
kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap inspirasi buatan.
• LMA dihubungkan dengan konektor ke sirkuit nafas alat anestesi,
kemudian N2O dibuka 2,5 liter/menit dan O2 2,5 liter/menit (N2O :
O2=50% : 50%) kemudian isofluran dibuka 2 vol%
• Inspirasi 400 ml dengan frekuensi 14 kali per menit
• TD : 170/90 mmHg, N: 70x/menit, SpO2 : 100%
o Pukul 18.00 WIB
• Pembedahan dimulai
• TD : 170/90 mmHg, Nadi : 70 x/mnt, Saturasi O2 100%
• Diberikan Ondancentron 8 mg iv

9
o Pukul 18.15 WIB
• TD : 160/80 mmHg, Nadi 76 x/m, Saturasi O2 100 %
• Diberikan antibiotik Ceftriaxon 2gr
• Diberikan Tramadol
o Pukul 18.30 WIB
• Pembedahan selesai
• TD : 170/80 mmHg, Nadi 70x/m, Saturasi O2 99 %
• Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan.
• Setelah pasien bangun, LMA dikeluarkan, lendir dikeluarkan dengan
suction lalu diberi oksigen murni 6 liter/menit.
• EKG, manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
• Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang
pemulihan atau recovery room (RR).

POST OPERATIF
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 19.00 WIB. Dilakukan penilaian terhadap
tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 78 x/menit, respirasi 20
x/menit dan saturasi O2 100%.
Sebelum dipindahkan ke ruang perawatan dilakukan penilaian pulih sadar menurut
Aldrete Score di ruang pemulihan dan ditemukan tingkat kesadaran dengan nilai 2, pernafasan
dengan nilai 2, tekanan darah dengan nilai 2, aktivitas dengan nilai 2, warna kulit dengan
nilai 2. Dan total nilai keseluruhan 10. Yang menandakan pasien diperbolehkan pindah ke
ruang perawatan.

10
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Pada kasus ini, pasien dengan jenis perempuan 50 tahun dengan diagnosis Tumor
Mammae Dextra akan dilakuan tindakan Wide Eksisi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapat, pasien dapat digolongkan dalam ASA II
dengan Overweight (BMI = 31.2 kg/m2).
Sebelum tindakan operasi, dilakukan persiapan pra anestesi 1-2 hari sebelum operasi
dilaksanakan dengan tujuan :4
1. Untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal
2. Merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan anestesi yang sesuai
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai (berdasarkan klasifikasi ASA)
Rencana anestesi pada pasien ini adalah anestesi umum dengan pemasangan LMA.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan
nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini yaitu hipnotik, analgesi, relaksasi otot
diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan, stabilisasi otonom.
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan pemasangan
LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding dengan pemasangan
Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan
lama operasi yang tidak begitu lama, karena LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang
membutuhkan bantuan ventilasi dalam jangka waktu lama. LMA juga tidak dapat dilakukan
pada pasien dengan reflek jalan nafas yang intack, karena insersi LMA akan mengakibatkan
laryngospasme. LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi
suatu indikasi.

Keuntungan penggunaan LMA diabanding ET adalah kurang invasif, mudah


penggunaanya, minimal trauma pada gigi dan laring, efek laringospasme dan bronkospasme
minimal, dan tidak membutuhkan agen relaksasi otot untuk pemasangannya.

11
ANATOMI & FISIOLOGI JALAN NAFAS BAGIAN ATAS

Gambar 1. Anatomi Jalan Nafas Bagian Atas

Hidung
Jalan nafas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung. Udara lewat melalui
hidung yang berfungsi sangat penting yaitu penghangatan dan melembabkan (humidifikasi).
Hidung adalah jalan utama pada pernafasan normal jika tidak ada obstruksi oleh polip atau
infeksi saluran nafas atas. Selama bernafas tenang , tahanan aliran udara yang melewati
hidung sejumlah hampir dua per tiga dari total tahanan jalan nafas. Tahanan yang melalui
hidung adalah hampir dua kali bila dibandingkan melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa
pernafasan mulut digunakan ketika aliran udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat aktivitas
berat. ( 1 )

Inervasi sensoris pada mukosa berasal dari dua divisi nervus trigeminal. Nervus
ethmoidalis anterior menginervasi pada septum anterior, dinding lateral, sedangkan pada area
posterior di inervasi oleh nervus nasopalatina dari ganglion sphenopalatina. Anestesi lokal
dengan topikal cukup efektif memblokade nervus ethmoidalis anterior dan nervus maksila
bilateral.

Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid berlanjut
sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring dibawahnya oleh
jaringan palatum mole. Pinsip kesulitan udara melintas melalui nasofaring kerena

12
menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah adalah sumber dari obstruksi pada
orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan muskulus genioglosus, yang bila
berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai
dilatasi faring.

Laring
Laring terbentang pada level Servikal 3 sampai 6 vertebra servikalis, melayani organ
fonasi dan katup yang melindung jalan nafas bawah dari isi traktus digestifus. Strukturnya
terdiri dari otot, ligamen dan kartilago. Ini termasuk tiroid, krikoid, aritenoid, kornikulata dan
epiglotis. Epiglotis, sebuah kartilago fibrosa, memiliki lapisan membran mukus, merupakan
lipatan glosoepiglotis pada permukaan faring dan lidah. Pada bagian yang tertekan disebut
velecula. Velecula ini adalah tempat diletakkannya ujung blade laringokop Macinthos.
Epiglotis menggantung pada bagian dalam laring dan tidak dapat melindungi jalan nafas
selama udema.

Rongga laring meluas dari epiglotis ke kartilago krikoid dibagian bawah. Bagian
dalam dibentuk oleh epiglotis, gabungan apek kartilago arytnenoid, lipatan aryepiglotis,
Bagian dalam rongga laring adalah lipatan vestibuler cincin sempit dan jaringan fibrus pada
tiap sisinya. Ini perluasan dari permukaan anterolateral aritenoid, sudut tiroid, dimana yang
terakhir berikatan dengan epiglotis. Lipatan ini adalah sebagai korda vokalis palsu, yang
terpisah dari korda vokalis sesungguhnya oleh sinus laringeal atau ventrikel. Korda vokalis
yang sesungguhnya pucat, putih, struktur ligamen melekat pada sudut tiroid bagian belakang.
Celah triangular antara korda vocalis saat glotis terbuka merupakan segmen tersempit pada
orang dewasa. Pada anak kurang dari 10 tahun, bagian tersempit adalah dibawah plika vocalis
pada level setinggi cincin krikoid.

Panjang rata-rata pembukaan glotis sekitar 23 mm pada laki-laki 17 mm pada wanita.


Lebar glotik adalah 6-9 mm tapi dapat direntangkan sampai 12 mm. Penampang melintang
glotis sekitar 60 – 100 mm2

Bidang pembahasan pada bab ini tidak memungkinkan membahas secara mendetail
aksi dari otot-otot laring, namun demikian otot-otot ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga
group berdasarkan aksinya pada korda: abduktor, adduktor, dan regulasi tegangan. Seluruh

13
inervasi motorik dan sensorik pada otot-otot laring berasal dari dua cabang nervus vagus
yaitu nervus superior dan rekuren laring, yang secara ringkas disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Inervasi Laryng

Gambar 2. Inervasi Laryng

Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi Cervikal 6
columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada bagian posterior,
panjang sekitar 10 – 15 cm, didukung oleh 16 – 20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda
sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi bronkus kanan dan kiri pada thorakal
5 kolumna vertebaralis. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150 – 300
mm2.

Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia.
Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot dinding posterior,
membantu mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada
bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor iritan yang
berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung
reflek bronkokontriksi.

14
LARINGEAL MASK AIRWAY (LMA)
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya
pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter
anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk
pasien. LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan
pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu
sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring.

Desain dan Fungsi


Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk
memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan
memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini
tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan
besar.

Gambar 3. Desain LMA

15
Macam-Macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 4:
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA

Gambar 4. Jenis-jenis LMA

1. Classic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management yang dapat
digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun
intubasi ET. LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan difficult airway.
Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff
samping berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah.
Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan inflasi yang
minimal dari lambung.

16
Gambar 5. LMA Classic

2. LMA Fastrach ( Intubating LMA )


LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung ( diameter internal 13
mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu batang
pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube
baja, handle dan batang pengangkat epiglottic.
Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang khusus untuk
dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan
diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle
yang berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan
manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang
semi rigid yang menempel pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan
leher yang netral. Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang
dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus bagian atas
karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind
intubation technique”. Setelah intubasi direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri
tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen kesulitan
intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian
cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi cardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan intubasi konvensional
dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan
atau dari samping pasien dan dengan posisipasien supine, lateral atau bahkan prone, yang

17
berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan
pasien yang terjebak.

Gambar 6. LMA Fastrach

3. LMA Proseal
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran desain yang menawarkan keuntungan lebih
dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan
jalan nafas yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa.
Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran
gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus
atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi lambung.
PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai “mangkuk” yang lebih lunak dan
lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari
ujung mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan airway tube. Ketika
posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan
“mangkuk” berada diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara
fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit dapat melalui
suatu jalur rel melalui suatu bougie yang dimasukkan kedalam esofagus. Tehnik ini paling
invasif tetapi paling berhasil denganmisplacement yang kecil. Terdapat suatu teori yang baik
dan bukti performa untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA,
berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan meningkatnya proteksi dari
regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi
alat tersebut Harga PLMA kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan
untuk 40 kali pemakaian

18
Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau peningkatan tahanan jalan nafas,
ventilasi yang adekuat tidak mungkin karena dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan
mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru,Proseal LMA telah dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang memungkinkan
insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk insersinya dan pabrik
merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku.

Gambar 7. LMA proseal

Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan dalam jangka waktu panjang (
40 jam ) tanpa menyebabkan tekanan yang berlebihan dan kerusakan mukosa hypopharing.
Laporan terakhir, satu kasus injury nervus lingual telah dilaporkan saat pemakaian ProSeal
LMA. Sementara juga dilaporkan terjadi hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic
LMA. Meskipun begitu komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekwensi injury pada nervus
cranialis dapat dikurangi dengan cara menghindari trauma saat dilakukan insersi,
menggunakan ukuran yang sesuai dan meminimalisir volume cuff. Disarankan untuk
membatasi tekanan jalan nafas kurang dari 20 cmH2O selama inflasi paru dan untuk
menggunakan volume tidal yang kecil ( 6 – 10 ml/kgBB ). Ketika ProSeal LMA digunakan
untuk periode memanjang, fungsi respirasi harus dimonitor secara ketat dan tekanan intracuff
harus diperiksa secara periodik dan dipertahankan lebih rendah dari 60 cmH2O. Akhirnya
resiko terjadinya inflasi lambung harus secara aktif disingkirkan dengan mendengarkan
daerah leher dan abdomen dengan menggunakan stetoskop.

4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube terdapat
gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi

19
proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada
pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan
yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan
untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuktons ilektomy. Airway tube
fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of
breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena
flexibilitas airway tube. Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga
masknya mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.

Gambar 8. LMA Flexibel

Teknik Anestesi LMA


Indikasi:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi
suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.

Kontraindikasi:
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency
adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi
tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak harus dijaga

20
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan
lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.

Gambar 9. Tehnik pemasangan LMA

GAmbar 10. Tehnik pemasangan LMA

21
Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10
% dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama
adalah aspirasi.

Tehnik Induksi dan Insersi :


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar.
Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama
pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang
tidak sempurna Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak berespon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak berespon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi
cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu
pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di
klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi
yang di tumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan
dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan
refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya
gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding
pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan
kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar
propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan
penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi
mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat ( seperti fentanyl atau
alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi
dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy (Sniffing Position ) dan akan
lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA
harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi
berbasis air sebelum dilakukan insersi.

22
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai
insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tekhnik ini akan menurunkan resiko
terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing. Dokter anestesi berdiri
dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan men-stabilisasi kepala dan
leher pasien, sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik
dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi
ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil
pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya
makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum
kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA
”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus
bagian atas ) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan
dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” teridentifikasi.

GAmbar 11. Insersi LMA

Cuff harus diinflasi sebeum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan.Lima test
sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. ”End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
23
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari pembuat
LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk dicatat bahwa volume
yang direkomendasikan adalah volume yang maksimum.Biasanya tidak lebih dari
setengah volume ini yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat
bertekanan rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60
cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi
pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf ( glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan
laryngeal recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas. Setelah cLMA di
insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil terhadap posisi
cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas.
N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff
sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang
berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging dengan lembut.
Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan
tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan
nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa
adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi
oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya,
ini mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial,
jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi. Untuk itu diperlukan
suatu algoritme untuk memfasilitasi diagnosis dan penatalaksanaan obstruksi jalan nafas
dengan LMA :

24
Gambar 12. Algoritma LMA

cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya migrasi keluar.
Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat sirkuit tadi tidak menarik cLMA
yang dapat menyebabkan pergeseran. Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat
penting mengecek dengan capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf
telah pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat
menurun pada epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA untuk menutupi laring
dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan beberapa kondisi dengan
peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor predisposisi, resiko regurgitasi faring
rendah.

25
Maintenance ( Pemeliharaan )
Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas pada orang dewasa
sedang dan juga pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O. Tekanan diatas
20 cmH2O harus dihindari karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas dari cLMA
tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada tekanan jalan nafas yang rendah,
tekanan gas keluar lewat mulut, tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke
esofagus dan lambung yang akan meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi.
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang lama
kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas dan akses ke
jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea. Untungnya
ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum
mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA
secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas yang
bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika
anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi harus
tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus digunakan selama tindakan
anestesi untuk meyakinkan kejadian-kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk
di ubah, akan bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian
posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan
nafas.

Tehnik Extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan
mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas telah
normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak
diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti
laryngospasme.
Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi
akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat
cLMA ditarik jikapasien tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa kajian
menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan

26
beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA ditarik dalam kondisi masih ”dalam”,
perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar,
bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme.

Komplikasi Pemakaian LMA


cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi
lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang
punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, pada
hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese.
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %13 dimana
insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu antara 21,4 % - 30 % (
Wakeling et al ), 28,5 % dan sampai 42 % Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian
batuk dan komplikasi jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET. Namun clasic
LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah (
rata-rata 18 – 20 cmH2O ) sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan
menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan berhubungan dengan
meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak
memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan
dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi
pembiusan.
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama
ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan
clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan
nafas. Sebagai tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi
lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.

27
BAB V

ANALISA KASUS

Pasien perempuan 50 tahun, dengan diagnosis tumor mammae dextra dengan status
fisik menurut ASA, pasien ini termasuk ke dalam ASA II karena Body Mass Index pasien ini
memenuhi kriteria Overweight (BMI = 31,2 kg/m2). Pemilihan teknik anestesi umum dengan
pemasangan LMA pada pasien ini dengan rencana wide eksisi. Alasan pemilihan teknik
anestesi ini berdasarkan indikasi sebagai berikut:
 Durasi operasinya singkat dan factor resiko lebih rendah
 Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui bahwa keadaan pasien cukup baik
 Lambung dalam keadaan kosong
 Tidak adanya manipulasi kepala
 Posisi pasien terlentang
Pada pasien ini, urutan tindakan anestesi mulai preoperative, intra operatif dan post
operatif secara garis besar tidak jauh berdasarkan literatur
Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:
 Midazolam
Konsentrasi 5 mg/ml
Merupakan obat sedative, hipnotik, amnestik
Dosis : 0,02 – 0,07 mg/kgBB IV
 Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja sentral pada
sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya ambang batas nyeri,
mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut saraf nyeri ascending, menyebabkan
depresi nafas dan sedasi. Onset 30 – 120 detik dengan durasi 30 – 60 menit.
Konsentrasi 50 mcg/ml. Dosis 1 – 2 mcg/kgBB IV
 Propofol
Konsentrasi 10 mg/ml
Merupakan obat induksi sedative
Dosis : 2 – 2,5 mg/kgBB IV
Dosis pemeliharaan : 100 – 150 mcg/kgBB/menit

28
 Ondansentron, sebagai anti emetic, suatu antagonis selektif 5-HT3, menghambat
serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer. Mekanisme sentral
dengan mempertiggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor trigger zone.
Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral
yang menghatar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah. Onset 30 menit,
dengan durasi 3 jam.
 Ceftriaxon, antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Mempunyai spektrum
luas terhadap gram-negatif, gram positif, dan bakteri resisten. Waktu paruh eliminasi
8 jam.
 Tramadol, merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-
inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-
inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat
dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek
terhadap reseptor opiate. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal
15 detik. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa,
kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam.
Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis awal yang dianjurkan
adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Baldini G, Butterworth JF, Carli F, et al. Spinal, Epidural, and Caudal Block. Dalam
:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical Anesthesiology 5th Edition.
United States of America : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2013. Hal. 937-74.
2. Barash, Paul G., Bruce F. Cullen, Robert K. Stoelting, Mikhael K.Cahalanand, dan M.
Christine Stock. Clinical Anestesia Sixth Edition.Wolters Kluwer: Lippincott
Williams & Wilkins; 2009.
3. Finucane, T. Brendan. Complications of Regional Anesthesia Second Edition. New
York : Springer Science. 2007. Hal. 149.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Buku Petunjuk Praktis Anestesiologi Jilid II.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. Hal 112-16
5. Syarif A, Sunaryo. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009. Hal 206 & 271.
6. Hadzic A. Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Management. United
States of America : Mc Graw Hill. 2007. Hal. 245
7. Anonim. (2008). MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 8. Jakarta: PT. Info
Master.
8. Sukmono RB. Anestesia Regional. Dalam : Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar
Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas
Kedokteran Universitas Kedokteran. 2012. Hal 451-67

30

Anda mungkin juga menyukai