Anda di halaman 1dari 34

ABSES HEPAR

Disusun Oleh :

Yulius Clinton Andorio

11.2016.068

Dokter Pembimbing :

dr.RA Nuniek Endang Sp PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

RSUD TARAKAN JAKARTA

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

1
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

Nama Mahasiswa : Yulius Clinton Andorio Tanda Tangan

NIM : 11-2016-068 ........................

Dr. Pembimbing : dr. Nuniek Endang Sp PD ........................

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Jenis Kelamin :Laki-laki

Tempat /tanggal lahir : Jakarta, 28-12-1990

Suku Bangsa : Jawa

Status Perkawinan : belum Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Lain-lain

Pendidikan : SMA

Alamat :jl manyar rt 001 rw 011

Masuk Rumah Sakit : Tanggal 22 oktober 2018, 22.30 WIB

2
ANAMNESIS

Diambil dari : Autonamnesis

Tanggal : 22 oktober 2018 Jam 06.00 WIB.

Keluhan Utama :

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien dating ke IGD rumah sakit Tarakan dengan keluhan nyeri perut sejak 1
minggu yang lalu. nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk terus menerus terutama
dibagian kanan atas. Keluhan mual ada tetapi muntah tidak ada.

Pasien mengeluh demam dan nyeri kepala. Demam terus menerus tanpa
diseratai dengan menggigil dan keringat dingin. Nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala.
Tidak ada riwayat kuning. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Keluhan nyeri dada (-) dan
sesak (-)

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya, dalam


keluarga hanya pasien yang mengalami penyakit seperti ini. Riwayat alergi obat dan
makanan disangkal. Riwayat makan-makanan yang kurang bersih tidak ada. Riwayat
merokok dan minum minuman beralkohol tidak ada. Riwyat penyakit DM (-) dan
hipertensi(-)

Riwayat Penyakit Dahulu

(-) Batu Empedu (-) Malaria (-) Batu


ginjal/Sal.kemih

(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Hernia

(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik

(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir

(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes

(-) HIV (-) Sifilis (-) Alergi

3
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor

(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis

(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis

(-) Tuberkulosis (-) Operasi Prostat (-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga
Hubungan Umur (Tahun) Jenis Kelamin Keadaan Penyebab
Kesehatan Meninggal
Kakek Tidak diketahui Laki-laki Meninggal Usia tua
Nenek Tidak diketahui Perempuan Meninggal Usia tua
Ayah 50 Tahun Laki-laki Sehat -
Ibu 46 Tahum Perempuan Sehat -

Saudara
25 Tahun Laki-laki Sehat -
(1 orang)

Adakah Kerabat yang Menderita:

Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama.

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi 

Asma 

Tuberkulosis 

Arthritis 

Hipertensi 

4
Jantung 

Ginjal 

Lambung 

I. ANAMNESIS SISTEM
Catat keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan

Harap diisi: bila ya (+), bila tidak (-)

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam

(-) kuku (-) Ikterus (-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma (-) Sakit kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri pada sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Radang (-) Sekret

(-) gangguan penglihatan (-) Ikterus (-)Ketajaman


penglihatan

Telinga

(-) Nyeri (-) Gangguan pendengaran

(-) Sekret (-) Kehilangan pendengaran (-) tinitus

Hidung

(-) Trauma (-) Nyeri (-) Sekret

(-) Epistaksis (-) Penyumbatan (-) gangguan penciuman

5
Mulut

(-) Bibir (-) Gusi (-) Selaput

(-) Lidah (-) pengecapan (-) Stomatitis

Tenggorokan

(+) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri leher

Dada (Jantung/ Paru-paru)

(-) Nyeri dada (-) Berdebar (-) Ortopnoe

(-) Sesak napas (-) Batuk darah (-) Batuk

Abdomen (Lambung/ Usus)

(-) Rasa kembung (-) Wasir (-) Mual

(-) mencret (-) Muntah (-) Tinja darah

(-) Muntah darah (-) Tinja dempul (-) Sukar menelan

(+) Nyeri perut kolik (-) benjolan (-) Perut membesar

Saluran kemih/ alat kelamin

(-) Kencing nanah (-) Disuria (-) Stranguri

(-) Kolik (-) Poliuri (-) oliguri

(-) Polakisuria (-) Anuria (-) Hematuria

(-) Retensi urin (-) ngompol (-) Kencing batu

(-) kencing menetes (-) penyakit prostat

Katamenia

6
(-) Leukore (-) Perdarahan (-) lain-lain

Ekstremitas

(-) Nyeri pinggang sampai ke paha (-) Bengkak

(-) Sianosis (-) Deformitas

Berat badan Sekarang (Kg) : 60 kg

III. PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaraan : compos mentis

Tinggi Badan : 165 cm

Berat Badan : 60 kg

IMT : 22,05 (normol)

Tekanan Darah : 131/70 mmHg

Nadi : 100x/menit

Suhu : 37,8oC

Pernafasaan : 20x/menit

Saturasi Oksigen : 99 %

Kulit : Turgor kulit cukup baik

Keadaan gizi : baik

Sianosis : -

Udema umum : -

7
Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku, alam perasaan dan proses pikir : wajar

Kulit

Warna : Sawo matang Effloresensi : -

Jaringan Parut :- Pigmentasi : ada

Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab

Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah:Tidak tampak


pelebaran

Keringat : Umum

Turgor : Melambat

Ikterus :-

Lapisan Lemak : Merata

Oedem :-

Kelenjar Getah Bening

Submandibula : Tidak membesar Leher : Tidak membesar

Supraklavikula : Tidak membesar Ketiak : Tidak membesar

Lipat paha : Tidak membesar

Kepala

Bentuk : Normocephali

Ekspresi wajah: Wajar

Simetri muka: Simetris

Rambut : Hitam merata, tidak mudah dicabut, berminyak.

8
Mata

Exophthalamus : Tidak ada

Enopthalamus : Tidak ada

Kelopak : Tidak ada edema

Lensa : Jernih

Pupil : Bulat 3 mm kiri &kanan, isokor, RCL/RCTL +/+

Konjungtiva : Tidak anemis

Visus : tidak dites

Sklera : Tidak ikterik

Telinga

Tuli : Tidak ada

Selaput pendengaran : Utuh

Lubang : Lapang

Penyumbatan : Tidak ada

Serumen : Tidak ada

Pendarahan : Tidak ada

Cairan : Tidak ada

Mulut

Bibir : Normal, kering . Tonsil : T1 –T1


tenang

Langit-langit : Normal Bau pernapasan: Normal

Gigi geligi : Tidak Lengkap Trismus : Tidak ada

Faring : Tidak ada hiperemis Selaput lendir : Normal

9
Lidah : bersih

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 - 2 cm H2O

Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar

Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar

Dada

Bentuk : normo Chest, tidak ada retraksi sela iga

Pembuluh darah : Spider nevi (-), pembuluh darah kolateral (-), caput medusae -.

Buah dada : Warnanya normal, simetris

Paru – Paru Depan Belakang

Inspeksi normo Chest, tidak ada retraksi sela iga normo Chest, tidak ada retraksi sela iga

Palpasi Vokal fremitus normal Vokal fremitus normal

Perkusi Sonor semua lapang paru Sonor semua lapang paru

Auskultasi SN vesikulernormal, Wheezing (-), Ronchi SN vesikulernormal, Wheezing (-), Ronchi (


(-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi : Teraba ictus cordis pada ICS V, 2 cm medial dari garis midclavicula kiri

Perkusi : Batas kanan : Sela iga III, garis midsternal kanan

Batas kiri : Sela iga V, 2 cm medial garis midclavicula kiri

10
Batas atas : Sela iga II, garis sternal kiri

Batas pinggang jantung : sela iga III, garis midclavicula kiri

Batas Bawah jantung : Sela iga VI, garis midclavicula kiri.

Auskultasi : BJ I- II reguler, Murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis : Teraba pulsasi

Arteri Karotis : Teraba pulsasi

Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi

Arteri Radialis : Teraba pulsasi

Arteri Femoralis : Teraba pulsasi

Arteri Poplitea : Teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis: Teraba pulsasi

Abdomen

Inspeksi : Datar, pembuluh darah kolateral (-), caput medusa (-), spider

nevi (-)

Palpasi

Dinding perut : nyeri tekan (+) bagian hipokondriak kanan

Hati : hepar teraba ± 3 jari dari arcus costa kanan


konsistensi kenyal permukaan rata tepi tumpul

Limpa : normal, tidak teraba membesar

Ginjal : Balotement (-/-), CVA (-/-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)

11
Auskultasi : BU +

Colok dubur : Tidak dilakukan

Anggota Gerak

- Kekuatan motorik 5555 / 5555


5555/ 5555

- Kedua kaki teraba hangat


Refleks
Refleks tendon Kanan Kiri
Bisep ++ ++
Trisep ++ ++
Patela ++ ++
Achiles ++ +
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit + ++
Refleks patologis - -

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Jenis 26/09/2018

11.00 WIB

Darah Rutin

Hemoglobin 12.6

Hematokrit 36.4

Eritrosit 4.13

Leukosit 16.090

Trombosit 454.200

12
HBSaG KUANTITATIF Non reaktif

Anti HCV Non reaktif

Darah Rutin 28/09/2018

Hemoglobin 12.6

Hematokrit 40.5

Eritrosit 4.47

Leukosit 13.120

Trombosit 481,800

13
V. RINGKASAN
Pasien laki-laki umur 27 tahun dating ke IGD rumah sakit Tarakan dengan
keluhan sejak 1 minggu yang lalu. nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk terus
menerus terutama dibagian kanan atas. Keluhan mual ada tetapi muntah tidak ada.

Pasien mengeluh demam dan nyeri kepala. Demam terus menerus tanpa
diseratai dengan menggigil dan keringat dingin. Nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala.
Tidak ada riwayat kuning. BAK dan BAB tidak ada keluhan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu pasien 37,80 tekanan darah 131/70 dengan
nyeri abdomen dan hepar teraba ± 3 jari dari arcus costa kanan konsistensi kenyal
permukaan rata tepi tumpul. Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan leukositosis

DIAGNOSIS KERJA

1. Diagnosis Kerja
 Abses Hepar

Pemeriksaan yang dianjurkan

- Pemeriksaan fungsi hati


- USG abdomen

VI. RENCANA PENGELOLAAN


- Paracetamol 3 x 500 mg
- Metronidazple 3 x 750 mg
- Dehydroemetine 3 x 500
- Cloroquin 2 x 300
VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

14
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)

Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang


jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.
Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan
secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa
dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,
etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta
prognosisnya. (2)

B. EPIDEMIOLOGI
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di
seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene
/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000
kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa
kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 –
1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering

15
terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih
dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,
CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)

C. ETIOLOGI

D.1 Abses Hati Amebik

Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai


parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala
amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu
strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)

16
Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang


mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif,
mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif
bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua
stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup
komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri
menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya
perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini
tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau
enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um
yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar
sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease
yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering
atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista
sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4
inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding

17
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)

D.2 Abses Hati Piogenik

Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic


streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,
fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia
enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme
penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari
bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus
aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki
penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan
sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.
Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam
abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan
dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau
pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.

18
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

D. PATOGENESIS

E.1 Abses Hepar Amebik

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,


baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi
langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang
terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat
ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian
kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan
mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam
aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi
enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati
terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti
dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan
vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy
paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)

19
E.2 Abses Hepar Piogenik

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses.


Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses
viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini
dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari
tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima
darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid
hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari
organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari
vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati
sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan
nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran
empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding
lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik. (1,10)
E. GAMBARAN KLINIS

F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)

Gejala :

20
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :

a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi

F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15)

Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang


lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah

21
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia

Pemeriksaan fisis :

a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

F. DIAGNOSIS

G.1 Abses hati amebik (2,9)

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan


trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi
dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.

22
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid

G.2 Abses hati piogenik

Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis


dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-
kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun
pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi
untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.
Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun
terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis. (1)

23
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

H.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan


hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-
3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L,
SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang
didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan
ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan
adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal
infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain
hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.
Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar. (2,7,9)
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah,
gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase,
peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya
konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang
menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang
memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada
permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering
ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman
anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)

H.2 Pemeriksaan Radiologi

24
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto
polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan
air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG
sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis
hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti
ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan
kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa
massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa
hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca
kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat
pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang


didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma
kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada
foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan
daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada
subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan
dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat
menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan
atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi

25
hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim
enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.
Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak
massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai
masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya
kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat
hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding
kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak
area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil
piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat
pada segmen VII dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan


penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak
tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2)
Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah
sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik
(debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin
bertambah tebal. (16)

26
H. PENATALAKSANAAN

I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)

1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-
50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi

27
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10)

 Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal

28
 Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang
adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang
berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena
sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-
2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
 Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
 Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
I. KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba

Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.


Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum

29
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim.
Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses
dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)

J.2 Abses Hepar Piogenik


Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal,
gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula
hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah
mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses
rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)

J. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)

30
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)

K. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)

Differential Diagnosis Manifestasi Klinis


Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.

31
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :


Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.

32
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari
sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at
a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis.
Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.

33
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2
0amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta :
Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Hal 120-122.

34

Anda mungkin juga menyukai