Anda di halaman 1dari 9

Abdiku, si Cahaya Negeri

Karya : Harianti
XI IPA 3
“Hey, Sunarmi..”
“Di zaman modern begini masih ada nama
Sunarmi? Haha, lucu sekali..”
Sunarmi Abdipertiwi, nama yang kata
mereka sangat kuno dan kampungan. Sering kali
namaku menjadi bahan ejekan, entah apalah itu.
Tak kah mereka bangga pada nama pemberian
kakekku ini? Sunarmi yang berarti sinar, kan
mengabdi pada Ibu Pertiwi. Nama penuh makna,
selaras dengan kecintaanku terhadap tanah airku.
Sesekali ku senandungkan lagu Rayuan
Pulau Kelapa sembari membantu Ayah menjemur
ikan-ikan asin yang akan dijual esok pagi. Begitu
riangnya nyiur mendampingi angin yang turut
bernyanyi bersamaku. Turut pula mentari
bersinar terik bagai namaku. Membiaskan
cahayanya pada ombak yang tak lelah bersahut-
sahutan. Begitu eloknya tanah airku yang Engkau
ciptakan ini, Ya Tuhan.
Tahun terakhir ku di Sekolah Menengah
Atas, bingung sekali aku. Ke mana seharusnya
tujuanku? Aku merasa tak begitu pandai. Aku
tidak percaya diri. Belum lagi keluargaku
bukanlah orang yang berkecukupan. Berat hati
rasanya mengingat ibu dan ayah sering kali tiba
di rumah dengan penuh peluh. Begitu kerasnya
mereka membanting tulang demi impian anak
mereka satu-satunya. Aku tak boleh durhaka. Aku
harus yakin pada diriku.
Ada juga kakekku tercinta. Ia seorang
veteran. Kini, ia sakit-sakitan. Namun, tak pernah
sekalipun berkeluh-kesah di depanku, meski
raganya tak dapat berbohong. Teringat diriku
pada tiap malam saat aku masih kecil. Sebelum
tidur, ia menceritakan segala kisah perjuangan
bangsa dan pengalamannya dahulu. Samar-
samar, kulihat pelupuk matanya dipenuhi akan
kenangan lampau yang tak pernah terlupa. Di
akhir ceritanya, selalu dinasehatinya aku,
"Sunarmi Abdipertiwi, pencerah yang
mengabdikan diri pada negeri. Bangsa ini
membutuhkan sinarmu. Mengabdi lah engkau.
Meski kau pergi ke negeri nan jauh sana,
janganlah kau lupa pada tanah airmu."
Kakek, tenanglah. Cucu tersayang mu ini
akan berusaha mengabulkan permintaan tulus
mu. Aku yakin restu orang tuaku selalu
bersamaku.
Beruntung, aku pun mendapatkan beasiswa
seperti yang aku harapkan. Pendidikan Dokter.
Akhirnya, tiba lah anganku di perguruan tinggi
negeri impianku. Betapa bangganya aku. Bukan
pada diriku. Namun, orang tuaku. Bersyukur aku
pada Tuhan yang telah memberikanku harta yang
begitu berharga, keluargaku.
Merantau lah aku ke pulau seberang, tempat
di mana aku akan menempuh pendidikan. Setiap
hari, baik ayah, ibu, maupun kakek tak pernah
lupa menelpon dan menanyakan kabarku.
Diamanatkan nya petuah-petuah dan beribu
dukungan.
Alhamdulillah. Allah selalu mengasihi dan
menyayangi hamba-Nya. Aku berhasil mendapat
beasiswa ke luar negeri. Cambridge University,
Inggris. Salah satu kampus luar negeri dengan
jurusan kedokteran terbaik. Keluargaku amat
senang. Terlebih lagi ibuku. Beliau memasak
banyak hidangan ketika aku pulang mengunjungi
mereka sebelum ke luar negeri.
Ibu, kau begitu bahagia di hadapanku. Tapi,
tak sadarkah dirimu, Ibu? Kebohongan tersirat di
balik senyumanmu yang amat dalam. Malam itu,
kulihat dirimu menangis, memeluk album foto
masa kecilku. Membuatku tak kuasa
meninggalkan kalian, keluarga yang kucinta.
Sudut-sudut ruangan penuh papan ini mengabur
dari mataku, terganti oleh tetesan penyesalan dan
kekhawatiran. Sanggup kah aku?
Kakek datang dan menepuk pundak ku.
"Nak, sedang apa kau di sini?"
Air mata pembangkang. Berani-beraninya ia
mengalir turun di hadapan kakekku yang begitu
tegar. Seketika, Kakek pun terkejut. Tak pernah
ia melihatku menangis semenjak remaja.
"Nak, aku tahu apa yang kau pikirkan.
Janganlah kau menyesal, jangan kau resah. Kami
rela melepasmu demi impianmu. Sehabis kau dari
tanah orang sana, pulang lah ke rumah dan
abdikan dirimu pada masyarakat kampung ini.
Aku yakin kau adalah dokter yang hebat." Oh
Kakek, tiada pahlawan terhebat bagiku kecuali
dirimu dan orang tuaku.
Empat tahun kuhabiskan di Inggris demi
memantapkan perjalananku. Tak terasa aku sudah
menempuhnya. Saatnya ku pulang ke kampung
tercinta. Ku bercintakan aroma angin laut, ikan
asin, dan papan rumahku. Betapa nyamannya di
sana. Tak sabar pula aku memeluk Ayah, Ibu, dan
juga Kakek tentunya.
"Anakku Sunarmi, kudengar kau akan
pulang. Hati-hatilah di jalan, sayang. Jangan lupa
berdoa dan jaga dirimu baik-baik." ujar ibuku
dengan suaranya yang halus bak sutra dari balik
telepon selulerku.
"Tentu Ibu. Aku sangat merindukan kalian.
Tak sabar sekali aku mencicipi makanan buatan
mu nantinya. Aku tutup dulu, Bu.
Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Pulang aku ke peraduan, di tempat pertama
kali ku berpijak. Bahari rela menunggu. Rindunya
aku. Pada aroma angin laut, ikan asin, dan papan
rumahku. Sungguh lebih indah dibanding
gemerlap luar negeri itu.
"Sunarmi, ayo ikut Ayah memancing.”
Memancing? Itulah hobi ku. Sepulang
sekolah dulu, aku langsung menyusul Ayah ke
pantai demi memancing bersama. Tentu saja
ajakan Ayah kali ini tak boleh kutolak. Sudah
lama aku tidak pergi memancing bersama Ayah.

Tanah airku Indonesia


Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa

Ayah melantunkan sebait lagu favorit ku.


Rayuan Pulau Kelapa. Begitu merdunya suara
Ayah, semakin membakar, membara di dada,
mengobarkan cintaku pada Indonesia.
"Masih ingatkah lagu itu, Nar?" tanya Ayah
padaku.
"Tentu saja, Ayah. Tak pernah ku lupa akan
lagu itu." jawab ku.
"Baguslah Nak, Ayah bangga pada
kecintaan mu terhadap negeri ini," seraya Ayah
mengelus rambut panjang ku.

Tanah airku aman dan makmur


Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Melambai-lambai
Nyiur di pantai
Berbisik-bisik
Raja kelana
Memuja pulau
Yang indah permai
Tanah airku, Indonesia
Hingga tiba rembang petang. Sang surya pun
menggelamkan dirinya, pasrah pada waktu yang
telah ditentukan. Azan kan dikumandangkan.
Tentu saja kami beranjak pulang. Ikan tangkapan
kami begitu berlimpah, penuh sekali di dalam
ember yang kubawa. Sepanjang perjalanan aku
bertukar cerita dengan ayah. Terlihat raut wajah
ayah yang terlampau bahagia.
Malam harinya, sahaja bintang
memamerkan kerlap-kerlip indahnya, bersanding
dengan purnama. Kami bercengkrama bersama di
teras rumah. Tak lama setelah itu, tetangga kami
datang dan ikut berkumpul bersama. Sungguh
hangat. Aku tak menemukan hal ini di luar sana.
"Kakek, cucumu sungguh hebat. Dia akan
melanjutkan perjuangan mu." puji tetanggaku.
"Tentu saja, ia adalah cahaya. Ia akan
bersinar terang, terang sedari dulu, menerangi
negeri ini. Sepatutnya aku sangat bangga
padanya. Hahaha.." Kakek begitu yakin dan
bangga akan ucapannya itu.
"Nak, profesi mu sungguh mulia. Kau
memang bukan pahlawan bersenjata, membawa
tombak, memakai seragam, ataupun berjas hitam
berdasi merah. Namun, dirimu adalah penyelamat
di kala kesusahan. Turut ikut serta dalam
memperbaiki kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat juga adalah pahlawan. Nak, ikhlas lah
kau dalam bekerja. Aku sangat bersyukur
memiliki cucu sepertimu, Nak.." nasehat Kakek
kepadaku.
Kakek, aku tak akan melupakan semua kata-
kata dan harapan darimu. Tentu saja, Kakek. Aku
kan menjadi cahaya yang seperti kau harapkan.
Pahlawan yang mengabdi pada masyarakat dan
negaranya. Kampung ini, aroma angin laut, ikan
asin, dan papan rumahku, tak ingin dan tak akan
aku lupa.
Tanah airku, Bumi Pertiwi ku. Bersinarlah
engkau bersama mimpi dan harapanku.

Anda mungkin juga menyukai