Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.​ ​Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang sangat besar.
Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi tersebut. Ada tiga
kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia, astigmatisme, atau campuran
kelainan-kelainan tersebut. Diantara kelainan refraksi tresebut, miopia adalah yang paling
sering dijumpai, kedua adalah hipermetropia, dan yang ketiga adalah astigmatisma.

Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh
Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia
pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari
10 penyakit mata utama (Departemen Kesehatan RI,1983; Hamurwono, 1984).

Dari hasil survai kesehatan anak di daerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil Depkes
DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan lbtiddaiah di seluruh
wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi rata-rata sebesar 11,8%. Sehingga di
Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8 juta orang anak
yang menderita kelainan refraksi (Biro Pusat Statistik, 1986; Marsetio, 1989).

Menurut para peneliti dari berbagai negara, penyakit mata yang dapat mengakibatkan
kebutaan, ternyata berbeda-beda penyebabnya. Di Amerika Serikat misalnya berdasarkan
laporan resmi ​US Department of Health pada tahun 1976, miopia merupakan penyebab
kebutaan ke tujuh dalam daftar urutan penyebab kebutaan. Sedangkan di Jerman Timur
menunjukkan tingkat kedua, Uni Sovyet kedua, Denmark ketiga, Jepang kelima, Hongkong
kelima, Sri Langka kelima dan Jerman Barat ketujuh (Lim & Jones, 1981).

Dalam bidang oftalmologi tercatat bahwa miopia merupakan obyek penelitian yang paling
lama telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena penglihatan sangat penting untuk
kehidupan. Dalam sejarahnya kelainan miopia telah diketahui sejak zaman Aristoteles,
tetapi penelitian yang lebih mendalam dan akurat serta sistematis baru dilakukan pada
pertengahan abad 19 oleh Von Jaegger, Donders, Von Graefe, Von Reuss dan Von Arlt.
Pada permulaan pertengahan abad ke 19 sejalan dengan kemajuan di bidang oftalmologi dan
optik, Schnabel & Herrnheiser telah membuktikan bahwa miopia antara lain dapat
disebabkan oleh panjang sumbu bola mata (Von Graefe, 1854; Von Jaeger, 1861; Donders,
1864; Von Arlt, 1876; Schnabel & Herrnheiser, 1895; Curtin, 1985).

Sementara, walaupun gambaran jumlah hipermetropi telah dipublikasikan, angka pasti


hipermetropi di dunia tidak diketahui. Hipermetropia diyakini menyerag jutaan orang
Amerika dan ratusan juta orang di seluruh dunia (Manolette R Roque, 2008)

Astigmatisme idiopatik lebih sering. Secara klinis astigmatisme refraktif ditemukan


sebanyak 95% mata. Insidensi astigmatisme yang signifikan secara klinis dilaporkan
7,5-75%, bergantung pada ​specific study dan defenisi derajat astigmatisma yang signifikan
secara klinis. Kira-kira 44% dari populasi umum memiliki astigmatisme lebiih dari 0.50 D,
10% lebih dari 1.00 D, dan 8% lebih dari 1.50 D. astigmatisme ditemukan 22% pada Down
Syndrome (David R Hardten , 2009).

Dibandingkan dengan seluruh kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui merupakan
masalah yang paling besar karena menyangkut jumlah penderita kelainan refraksi yang
tertinggi serta menyebabkan gangguan terhadap kehidupan serta pekerjaan sehari-hari (Sato,
1957; Goldschmidt, 1978; Fledelius, 1978).

1.2.​ ​Rumusan Masalah

Sampai saat ini belum ada data terbaru mengenai prevalensi kelainan refraksi di poliklinik
Rs. H. Adam Malik Sumatera Utara. Untuk itu perlu dilakukan suatu penalitian
epidemiologi prevalensi kelainan-kelainan refraksi di Rs. H. Adam Malik Sumatera Utara,
dalam penelitian KTI di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2010. Di
masa mendatang, semoga hasil penelitian ini dapat diimplementasikan secara lebih luas di
wilwyah lain di Indonesia. Pertanyaan lain yang timbul adalah apakah kebijakan pelayanan
saat ini dapat mengatasi masalah kesehatan mata terutama kelainan-kelainan refraksi di
Indonesia?

1.3.​ ​Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan menentukan prevalensi kelainan refraksi mata (miopia,


hipertropia, dan astigmatisma) di Rs. H. Adam Malik Sumatera Utara dari tahun
2004 sampai 2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:


1. mengestimasi prevalensi miopia, hipermetropia, dan astigmatisma
sebagai penyebab kebutaan
2. mengestimasi kewaspadaan atau sikap dan perilaku masyarakat
dalam menghadapi masalah kelainan refraksi pada mata
3. mengevaluasi manajemen dan kebijakan pelayanan kesehatan mata
di Sumatera Utara.

1.4.​ ​Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk manajemen, pelaksana
kebijakan pelayanan kesehatan di Sumatera Utara, dan para klinisi.
1. perbaikan pelayanan kesehatan mata terutama kelainan refraksi.
2. peningkatan kewaspadaan terhadap kesehatan mata terutama kelainan
refraksi
3. peningkatan pengetahuan dan kesadaran kita akan kesehatan mata terutama
kelainan refraksi.

Anda mungkin juga menyukai